Menulis jurnal bisa jadi cara melampiaskan rasa sedih secara positif - AlteaCare | Foto: Envato

Hidup makin riuh. Keluarga dan hubungan pertemanan yang kacau bisa bikin galau. Saat ingat masa lalu kelam dan memikirkan masa depan, Anda merasa masalah seolah-olah tak ada habisnya. Ah, jadi mellow dan sedih!Selama masih hidup, emosi kita terus berubah. Kita tidak selamanya merasa sedih, begitu juga dengan bahagia.Anda pernah nonton film animasi Inside Out produksi Pixar tahun 2015? Dalam film tersebut, rasa sedih digambarkan sebagai salah satu bagian dari emosi, di samping rasa bahagia, marah, takut, dan jijik. Semua emosi itu pada akhirnya perlu diterima, divalidasi, dan diolah, sehingga bisa berkontribusi positif pada jiwa kita. <h2>Kenapa kita merasa sedih?</h2>Rasa sedih kerap muncul bersamaan dengan perasaan lainnya, seperti marah, stres, rasa bersalah, duka, cemas, atau putus asa. Semua emosi ini terjadi sebagai respon terhadap situasi negatif atau perubahan hidup yang tak terduga. Sementara menurut buku The Function of Emotions, rasa sedih juga bisa dialami ketika kita gagal mencapai tujuan yang diharapkan atau ketika kehilangan sesuatu.Mengingat dalam hidup ini tidak ada yang pasti, sedih itu pun wajar terjadi. Yang penting, kita bisa bangkit dari keterpurukan, kita tahu apa yang ingin diperjuangkan. Seperti kata Nietzsche, “He, who has a why to live for, can bear almost any how”.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/5-mood-booster-supaya-suasana-hati-anda-selalu-positif-1650890994926 Ini Alasan Kita Boleh Merasa Sedih" target="_blank">5 Mood Booster Supaya Suasana Hati Anda Selalu Positif</a><h2>Ini Alasan Kita Boleh Sedih</h2>Rasa sedih pun bisa membentuk diri kita, lo. Lewat kesedihan, kita bisa belajar berbagai hal penting seputar hidup. Berikut adalah beberapa makna dan manfaat rasa sedih dalam hidup kita:<h3>1. Membentuk relasi dengan orang lain</h3>Menurut studi yang dimuat di New Ideas in Psychology, rasa sedih yang dialami seseorang bisa mendorong orang lain untuk memberikan empatinya. Hal ini memunculkan rasa belas kasih dan kepedulian. Sebagai contoh, saat kita datang melayat kerabat atau teman yang meninggal dunia. Kita menghibur anggota keluarga yang bersedih dan menyampaikan rasa turut berbelasungkawa. Anggota keluarga yang ditinggalkan pun merasa terhibur dan tidak merasa sendirian.<h3>2. Memberi waktu untuk berpikir</h3>Saat sedih, kita cenderung ingin menyendiri dan mengambil jarak dengan orang lain, dengan maksud ingin berpikir secara jernih dan mengurai satu persatu yang membuat sedih. Dengan caranya sendiri, kesedihan memungkinkan kita untuk menjadi lebih waspada terhadap situasi yang buruk, mengevaluasi diri, dan mengumpulkan sisa kekuatan yang dimiliki. Setelahnya, kita akan melanjutkan hidup dengan lebih baik.<h3>3. Membantu kita menerima rasa duka</h3>Menurut ahli, kesedihan juga bisa jadi salah satu bagian siklus yang alaminya kita hadapi ketika sedang berduka.Rasa sedih yang muncul kemudian akan mendorong kita untuk berefleksi. Setelahnya kita akan bisa menerima rasa kehilangan.Mengekspresikan rasa sedih saat berduka dengan menangis juga bisa memberi sinyal pada orang di sekitar bahwa Anda begitu kehilangan. Sebagai respon, mereka akan memberi dukungan dan berusaha memahami kondisi Anda. <h3>4. Mengajarkan kita untuk beradaptasi</h3>Rasa sedih yang dialami setelah adanya masalah bisa menjadi bekal dan pelajaran kita untuk menghadapi masalah berikutnya.Mengutip dari The Function of Emotions, kesedihan bisa mendorong adanya perubahan kognitif. Perubahan ini bisa membuat seseorang memiliki pandangan serta tujuan hidup yang baru. Ini biasanya dialami ketika kita bersedih akibat tidak tercapainya suatu target atau tujuan. <h3>5. Jadi lebih mengenal diri sendiri</h3>Kesedihan membuat kita jadi lebih memahami apa yang penting dalam hidup ini. Bila diolah dengan baik, setelahnya kita bisa lebih berkembang ke arah yang lebih baik. Menurut studi di New Ideas in Psychology, rasa sedih menumbuhkan jiwa sehingga bisa jadi lebih sensitif terhadap orang lain dan lebih menghargai hal di sekitar kita. Hidup kita pun bisa lebih penuh dan bermakna. <h2>Cara berdamai dengan rasa sedih</h2>Jangan biarkan kesedihan bikin Anda merasa hidup ini sudah berakhir. Ayo, semangat lagi! Beberapa hal ini bisa bantu Anda mengekspresikan rasa sedih dengan positif, sehingga hidup jadi lebih bermakna: <ul><li>	Buat jurnal. Luangkan waktu 30 - 60 menit untuk menulis apa saja yang bikin Anda sedih. Ini bisa membantu melampiaskan perasaan negatif tanpa khawatir dihakimi orang lain. </li><li>
	Validasi positif untuk diri sendiri. Berikan afirmasi positif pada diri Anda sendiri. Katakan bahwa Anda boleh bersedih, tapi Anda juga berhak bahagia. </li><li>
	Meditasi. Berbagai penelitian membuktikan, meditasi dapat membantu mengelola emosi. Luangkan waktu 5-10 menit untuk melakukannya.</li><li>
	Ekspresikan perasaan. Berceritalah pada orang terdekat yang dapat dipercaya. Atau, Anda juga bisa minta bantuan profesional seperti psikolog. </li></ul><h2>Sedih tidak selamanya berarti depresi</h2>Masih banyak orang yang sering salah kaprah, yang menghubungkan rasa sedih dengan depresi. Memang betul, salah satu gejala depresi adalah rasa sedih. Tapi, ketika sedih bukan lantas kita pasti depresi.Perbedaan utama antara sedih dan depresi terletak pada penyebab perubahan emosi, lamanya Anda mengalami kondisi tersebut, serta gejala lain yang dirasakan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/serupa-tapi-tak-sama-apa-perbedaan-stres-dan-depresi-1636080470595" target="_blank">Serupa Tapi Tak Sama, Apa Perbedaan Stres dan Depresi?	</a> 
Apabila Sobat Altea mengalami sedih berkepanjangan hingga lebih dari dua minggu, sebaiknya sempatkan diri untuk bicara dengan Psikolog atau Psikiater. Anda bisa lakukan telekonsultasi di AlteaCare dari rumah saja agar lebih nyaman. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang dan cari jadwal yang sesuai! Sumber:<ul><li>Better Health. Diakses pada Maret 2022. It's okay to feel sad</li><li>
Psychcentral. Diakses pada Maret 2022. Mourning and the 5 Stages of Grief</li><li>
Psychcentral. Diakses pada Maret 2022. It’s Good to Feel Sad Sometimes: Here’s Why</li><li>
Karnaze, M. M., &amp; Levine, L. J. (2018). Sadness, the architect of cognitive change. The function of emotions, 45-58.</li><li>
Lomas, T. (2018). The quiet virtues of sadness: A selective theoretical and interpretative appreciation of its potential contribution to wellbeing. New Ideas in Psychology, 49, 18-26.</li></ul>

5 Alasan Anda Sah-sah Saja Sedih. Jangan Disimpan Sendiri!

Tertawa bersama sahabat bisa jadi salah satu mood booster - AlteaCare | Foto: Envato

Ada banyak hal yang bisa pengaruhi mood atau suasana hati kita. Dapat hadiah yang tidak diduga-duga dan mendengar lagu kesayangan bisa bikin mood secerah matahari pagi.Tapi, mood kita pasti berbeda kalau lihat pasangan taruh handuk basah di kasur. Atau, saat badan tidak nyaman karena mau haid, atau kena macet di jalan padahal lagi lapar-laparnya. Pasti ini bisa bikin kita jadi bad mood.<h2>Apa itu mood?</h2>Simpelnya, mood itu ibarat irama emosional kita. Suasana hati bisa berubah-ubah setiap saat, tergantung situasi yang sedang kita alami. Saat bisa mencapai apa yang diinginkan, mood kita positif. Sebaliknya, saat kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam keseharian, hati ini langsung bad mood. Ada beberapa hal yang bisa pengaruhi mood kita, antara lain:<ul><li>
	Stres</li><li>
	Kurang tidur, lelah, atau bekerja lembur</li><li>
	Lapar</li><li>
	Hormon, seperti saat pubertas, haid, atau menjelang menopause</li><li>
	Faktor luar seperti berita buruk, cuaca</li><li>
	Interaksi dengan orang lain</li></ul>Memahami perubahan mood bisa membantu mengetahui apa yang bikin kita bad mood dan good mood. Dan, kita juga jadi tahu sebaiknya harus ambil sikap seperti apa saat dalam kondisi suasana hati seperti itu.Misalnya, jika saat sedang bad mood Anda jadi gampang marah. Untuk mengatasinya, Anda&nbsp;mengalihkan perhatian ke hal lain, seperti mendengar musik. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mengenal-toxic-positivity-dan-ciri-cirinya-harus-waspada-1648692915294" target="_blank">Mengenal Toxic Positivity dan Ciri-cirinya. Harus Waspada!</a> 
<h2>Mood booster supaya selalu good mood</h2>Setiap orang pasti inginnya selalu good mood. Sebab, kalau mood lagi bagus, kita seperti punya energi lebih. Jadi lebih semangat menjalani aktivitas sehari-hari.Ini sejalan dengan penelitian dari University of Minnesota, yang mengungkap hubungan antara suasana hati positif dengan kondisi kesehatan fisik dan emosional.Orang yang suasananya hati baik cenderung memiliki sistem imun yang lebih kuat dan kualitas tidur yang lebih baik. Hidupnya pun cenderung lebih bahagia. Lalu, bagaimana caranya supaya suasana hati selalu baik? Anda perlu mood booster yang bisa mendongkrak suasana hati yang suram jadi lebih cerah. Nah, berikut ini beberapa inspirasi dari Altea yang bisa bantu mood Anda jadi cerah. Mana mood booster andalan Anda? <h3>1. Mendengarkan musik </h3>Bisa dibilang, musik adalah cara cukup ampuh untuk jaga mood. Sebab, musik dapat meningkatkan produksi hormon dopamin dalam otak, sehingga bisa meredakan rasa cemas dan depresi. Hormon dopamin adalah hormon dan neurotransmitter yang berkaitan dengan sensasi rasa yang menyenangkan. Sejumlah studi memperlihatkan, musik bisa meningkatkan aktivitas area di otak yang berkaitan dengan rasa senang, yang di dalamnya banyak terdapat reseptor dopamin. Sementara studi lain menunjukkan, mendengarkan musik instrumental bisa meningkatkan level dopamin di otak hingga 9%.<h3>2. Makan! </h3>Tentu saja, kalau ingin mood selalu positif pastinya jenis makanan yang dipilih harus sehat. Mengutip dari WebMD, ada beberapa jenis makanan yang bisa jadi mood booster andalan. Antara lain adalah makanan yang mengandung asam lemak omega-3, seperti pada ikan dan kacang kenari. Makanan jenis lainnya yang juga bisa memancing hormon-hormon pencipta mood positif adalah yang rasanya pedas. Studi lain menemukan, makanan tinggi kalori yang sering kita cari saat sedang butuh rasa nyaman di kala stres, juga bisa jadi pilihan untuk mendongkrak mood. <h3>3. Cari kenalan baru </h3>Tidak sedikit dari kita yang suasana hatinya buruk karena harus lebih banyak di rumah selama pandemi. Apalagi kalau harus jalani karantina maupun isolasi mandiri. Pasti mood jadi jelek karena tidak bisa bertemu teman, bahkan dengan anggota keluarga yang serumah pun jadi dibatasi.Nah, berhubung sekarang sudah mulai aman untuk beraktivitas di luar, Anda bisa manfaatkan untuk mulai berinteraksi dengan teman dan sahabat. Studi dari University of British Columbia bahkan menemukan bahwa interaksi singkat dengan orang asing atau orang baru dikenal bisa membuat suasana hati lebih positif.<h3>4. Tertawa bersama bestie</h3>Apa yang terjadi saat Anda berkumpul bersama sahabat dan teman lama, lalu ramai bercerita tentang masa lalu yang memalukan? Pasti suasana jadi menyenangkan dan penuh tawa.Bahkan ketika saat itu kita sedang muram, suara tawa dan ekspresi orang di dekat kita bisa jadi mood booster. Ini karena secara insting kita terbiasa mengikuti ekspresi wajah dan bahasa tubuh seseorang. Jadi, ketika melihat orang tertawa, Anda bisa ikut tertawa dan setelah itu merasa suasana hati jadi lebih baik.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/6-alasan-anda-butuh-pelukan-setiap-hari-1648608385519" target="_blank">6 Alasan Anda Butuh Pelukan Setiap Hari</a><h3>5. Pakai sepatu olahraga dan mulai bergerak</h3>Suasana hati sedang galau? Coba olahraga tipis-tipis di rumah atau sekadar jalan kaki 15-30 menit di taman. Setelah itu pasti mood Anda jauh lebih baik.Penelitian menunjukkan, olahraga dapat membantu menciptakan neuron baru di otak dan meningkatkan aliran darah ke otak. Selain itu, olahraga juga bisa meningkatkan hormon yang berkaitan dengan suasana hati, seperti dopamin dan serotonin.Itulah beberapa mood booster yang bisa bikin suasana hati Anda jadi positif. Biasanya, bad mood akan berubah jadi positif dalam waktu singkat dengan sendirinya. Tapi, kalau Anda selalu diliputi mood negatif selama lebih dari dua minggu, sering merasa sedih, dan kehilangan minat untuk beraktivitas seperti biasa, ada kemungkinan Anda mengalami depresi.Segera jadwalkan telekonsultasi dengan psikiater atau psikolog di AlteaCare agar bisa dapat penanganan yang tepat. Yuk, jangan ditunda-tunda. Segera download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di sini! 
 Sumber:<ul><li>Better Health Channel. Diakses pada April 2022. Monitoring your mood</li><li>
Taking Charge of Your Health &amp; Well Being. Diakses pada Maret 2022. How You Can Benefit from Happy Chemicals</li><li>
Northshore. Diakses pada Maret 2022. 9 Health Benefits of Music</li><li>
Healthline. Diakses pada April 2022. 10 Best Ways to Increase Dopamine Levels Naturally</li><li>
Edward Elmhurst Health. Diakses pada Maret 2022. How emotions, like colds, are contagious</li><li>
WebMD. Diakses pada Maret 2022. Quiz: Myths and Facts About Your Moods</li></ul>

5 Mood Booster Supaya Suasana Hati Anda Selalu Positif

Lakukan kegiatan favorit Anda di akhir minggu supaya hari Senin jadi lebih semangat - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea termasuk yang sering menghabiskan weekend dengan rebahan saja di kamar? Bisa-bisa magernya terbawa sampai Senin! Padahal, di hari kerja pertama harusnya kita semangat karena sudah menyegarkan pikiran dan badan di akhir pekan!Beda halnya kalau Anda mengisi Sabtu dan Minggu dengan kegiatan berfaedah, seperti ngobrol bersama teman atau melakukan hobi. Dijamin Senin Anda akan sangat menggembirakan. Anda pun jadi bersemangat menjalani hari-hari berikutnya.Nah, supaya hal ini bisa tercapai, kita perlu maksimalkan waktu di akhir minggu. Caranya? Pertama-tama, lupakan panggilan kasur dan niat rebahan. Yuk, coba beberapa ide dari Altea berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/banyak-meeting-bikin-pusing-awas-nanti-bisa-zoom-fatigue-1649306652339" target="_blank">Banyak Meeting Bikin Pusing? Awas, Nanti Bisa “Zoom Fatigue”!</a> 
<h2>6 Ide agar weekend Anda maksimal serunya!</h2>Weekend memang waktunya mengistirahatkan tubuh dan npikiran. Tapi tidak ada salahnya kalau kita tetap aktif bergerak. 
Berikut ini adalah beberapa ide aktivitas yang bisa mengisi waktu akhir minggu Anda! 
<h3>1. Bangun lebih pagi </h3>Saat sebagian besar orang memanfaatkan weekend sebagai kesempatan untuk bangun lebih siang, Anda mungkin harus lakukan sebaliknya. Sebab, dengan bangun lebih pagi, Anda bisa punya banyak waktu untuk melakukan berbagai hal. Seperti dilansir di Psychology Today, kebiasaan bangun lebih pagi bisa bikin mood jadi lebih cerah. Sebab, Anda jadi bisa luangkan waktu berkumpul dengan keluarga, bercengkrama dengan hewan peliharaan, atau bermain musik. Sejumlah pengusaha terkenal di dunia seperti Robert Iger, CEO dari Walt Disney, menjadikan kebiasaan bangun pagi, baik hari kerja maupun hari libur, sebagai tips untuk mencapai sukses. Anda mau coba?<h3>2. Menulis jurnal</h3>Tidak banyak orang yang masih rajin menulis catatan di masa sekarang. Namun, kebiasaan mencatat atau menulis jurnal bisa membantu menjernihkan pikiran.Dalam jurnal, Anda bebas tulis apa pun seputar perasaan Anda, mulai dari rasa senang, sedih, ataupun kecewa. Anda juga bisa berefleksi, misalnya dengan menulis beberapa hal berikut ini:<ul><li>	Apa hal yang menarik yang terjadi dalam seminggu terakhir ini?</li><li>
	Apa yang mengecewakan hati Anda sepanjang minggu ini?</li><li>
	Apakah langkah dan keputusan yang Anda ambil minggu ini sesuai dengan rencana, impian, atau cita-cita Anda? </li><li>
	Apakah ada hal yang perlu Anda ubah di minggu depan?</li></ul>Meluangkan waktu 30-60 menit di akhir minggu untuk menulis bisa membantu Anda mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Anda pun bisa berdamai dengan segala yang terjadi minggu lalu dan siap untuk menjalani hari Senin dengan penuh semangat.<h3>3. Jalin komunikasi bersama orang terdekat</h3>Manusia itu adalah makhluk sosial, sehingga kita semua perlu saling berhubungan. Meski pandemi dan dibatasi oleh jarak, Anda bisa manfaatkan panggilan telepon atau video call untuk mengobrol dengan orang-orang yang disayangi.Bila di hari kerja Anda hanya bisa bicara singkat-singkat, akhir minggu ini waktunya untuk mengobrol panjang lebar dan mendalam dengan keluarga ataupun sahabat. Ini bisa berdampak positif terhadap kondisi mental Anda.Bukan mustahil, Anda bisa berbagi semangat dengan sahabat supaya lebih semangat dan penuh energi di hari Senin!<h3>4. Olahraga</h3>Ayo, weekend ini jangan mager! Ganti baju Anda, pakai sepatu, dan segera ke jogging track ataupun taman dekat rumah.Olahraga sangat penting untuk dilakukan di akhir minggu. Mengingat selama seminggu tubuh Anda kaku karena duduk terlalu lama menghadap laptop. Sabtu dan Minggu adalah waktu yang tepat untuk melakukan peregangan, supaya bisa melatih otot dan persendian, serta menjaga kebugaran Anda. Mengutip dari Better Health, orang yang berolahraga teratur memiliki kesehatan mental dan kondisi emosional yang lebih baik. Cuaca sedang kurang bersahabat di luar? Tidak masalah. Anda bisa melakukan yoga atau meditasi. Yang penting, tubuh tetap bergerak!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-meditasi-mudah-buat-pemula-tidak-pakai-ketiduran-1648520784534" target="_blank">Tips Meditasi Mudah Buat Pemula. Tidak Pakai Ketiduran!</a> 
<h3>5. Menikmati hobi</h3>Punya hobi bermain musik, berkebun,atau menari? Atau, ingin pergi hiking atau traveling? Luangkan weekend Anda untuk melakukan hal-hal tersebut. Penelitian menunjukkan, orang yang punya hobi lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami stres, bad mood, dan depresi. Melakukan aktivitas yang disukai bisa membuat Anda lebih bahagia dan rileks.<h3>6. Beres-beres rumah</h3>Setelah seminggu repot dengan pekerjaan, kondisi rumah bisa jadi berantakan. Mau cari barang pun sepertinya susah karena sudah bertumpuk dengan yang lain.Nah, weekend ini bisa Anda isi dengan membereskan rumah. Mulai dari ruang tidur, ruang kerja, sampai ruang tamu dan dapur. Survei yang dilakukan National Sleep Foundation menemukan, kondisi tempat tidur yang rapi dapat meningkatkan kualitas tidur di malam hari.Kalau tidur sudah pulas, otomatis suasana hati Anda di hari Senin pun lebih ceria. Rasanya siap mengawali minggu dengan penuh semangat!Itulah ide memaksimalkan weekend supaya efeknya terasa sampai hari Senin.Kalau Sobat Altea tidak bisa menikmati akhir minggu karena kondisi tubuh sedang kurang sehat, sebaiknya segera lakukan telekonsultasi di AlteaCare. Jangan tunggu sampai Senin, apalagi kalau keluhannya cukup berat. Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di ponsel Anda! Sumber: <ul><li>Psychology Today. Diakses pada Maret 2022. Will You Be Happier If You Wake Up Earlier?</li><li>
NBC News. Diakses pada Maret 2022. Overindulge this weekend? This 'Summer Mondays' routine will help you hit the reset button</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Maret 2022. The Powerful Psychology Behind Cleanliness</li><li>
Head to Health. Diakses pada Maret 2022. Purposeful activity - hobbies</li><li>
Better Health. Diakses pada Maret 2022. Exercise and mental health</li><li>
Forbes. Diakses pada Maret 2022. Three Weekend Habits To Boost Happiness And Productivity</li><li>
Life Hacks. Diakses pada Maret 2022. 12 Weekend Habits of Highly Successful People</li></ul>

6 Ide Maksimalkan Weekend. Efeknya Terasa Sampai Senin!

Gangguan obsesif kompulsif ditandai dengan pikiran dan perilaku yang berulang-ulang - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Gangguan Obsesif Kompulsif</h2>Gangguan obsesif kompulsif sering dikenal sebagai obsessive-compulsive disorder (OCD).Gangguan ini merupakan gangguan jiwa yang bersifat kronis atau menahun, yang menyebabkan munculnya pikiran berulang-ulang (obsesi) dan/atau perilaku berulang-ulang (kompulsi). Sebagian orang bisa hanya memiliki obsesi atau kompusi saja. Namun, ada juga yang memiliki keduanya. 
 <h2>Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif</h2>Hingga kini, penyebab terjadinya gangguan obsesif kompulsif masih belum diketahui secara pasti. Menurut sejumlah teori, faktor-faktor seperti genetik dan lingkungan berperan dalam menyebabkan gangguan ini. 
 <h2>Faktor Risiko Gangguan Obsesif Kompulsif</h2>Gangguan obsesif kompulsif dapat menyerang kelompok dewasa maupun anak-anak di seluruh dunia. Mayoritas orang didiagnosis mengalami gangguan ini pada usia sekitar 19 tahun. Munculnya gejala pada laki-laki biasanya lebih awal dibandingkan pada perempuan.Meskipun penyebab dari gangguan obsesif kompulsif belum diketahui, faktor risiko gangguan ini antara lain adalah:<ul><li>	Genetik. Risiko akan meningkat jika Anda memiliki orang tua, kakak atau adik yang mempunyai gangguan obsesif kompulsif. </li><li>
	Fungsi dan struktur dari otak. Terdapat kemungkinan adanya kaitan antara munculnya gejala gangguan obsesif kompulsif dengan adanya abnormalitas di area otak tertentu. Namun, hal ini masih belum jelas diketahui.</li><li>
	Lingkungan. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara trauma masa anak-anak dengan gangguan obsesif kompulsif.</li></ul>Selain sejumlah faktor yang sudah disebutkan di atas, dalam beberapa kasus juga ditemukan munculnya ganggguan obsesif kompulsif yang berhubungan dengan infeksi bakteri.Kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak yang terpapar bakteri streptokokus, sehingga disebut sebagai Pediatric Autoimmune Neuropsychiatric Disorders Associated with Streptococcal Infections (PANDAS). 
 <h2>Gejala Gangguan Obsesif Kompulsif</h2>Gangguan obsesif kompulsif terdiri atas obsesi, kompulsi, maupun keduanya. Gejala yang muncul dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.<h3>1. Obsesi</h3>Rasa cemas bisa dialami oleh semua orang. Namun, jika mengalami gangguan obsesif kompulsif, rasa cemas yang Anda alami bisa menyulitkan saat harus melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Hal-hal yang sering dipikirkan atau menjadi obsesi antara lain adalah: <ul><li>	Rasa takut akan kehilangan kontrol</li><li>
	Ingin segalanya akurat dan sempurna, sehingga membuat Anda jadi perfeksionis</li><li>
	Paparan kontaminan seperti bakteri, sehingga takut akan hal yang kotor</li></ul><h3>2. Kompulsi</h3>Saat Anda mengulang-ulang saat melakukan sesuatu, bukan berarti Anda pasti mengalami gangguan kompulsi. Jika Anda memiliki gangguan obsesif kompulsif, perilaku yang berulang sangat intens, frekuensinya sangat sering, dan menghabiskan waktu. Contoh perilaku yang kompulsi adalah:<ul><li>	Sering mencuci tangan berulang kali</li><li>
	Melakukan aktivitas rutin seperti berdiri dari kursi berulang-ulang</li></ul> <h2>Diagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif</h2>Tahap pertama yang perlu dilakukan untuk mendiagnosis gangguan obsesif kompulsif adalah dengan berbicara dengan dokter. Dalam sesi pertama ini, dokter akan menanyakan gejala apa saja yang Anda rasakan. Apabila dinilai mengarah pada gangguan mental, Anda dapat dirujuk ke dokter spesialis jiwa untuk evaluasi ataupun terapi lanjutan.Gangguan obsesif kompulsif terkadang sulit untuk didiagnosis. Hal ini dikarenakan gangguan ini memiliki gejala yang mirip dengan gangguan mental lainnya. Tidak tertutup kemungkinan juga, Anda dapat mengalami gangguan obsesif kompulsif dan gangguan mental lain secara bersamaan.Tidak semua orang yang memiliki kecenderungan obsesi atau kompulsi lantas dapat didiagnosis mengalami gangguan ini. Anda baru dapat termasuk mengalami gangguan obsesif kompulsif apabil mengalami gejala-gejala berikut ini:<ul><li>	Tidak bisa mengontrol pikiran atau perilaku, meskipun Anda tahu hal tersebut sudah berlebihan</li><li>
	Menghabiskan setidaknya satu jam saat melakukan tindakan atau memikirkan hal tersebut</li><li>
	Mengulang-ulang tindakan tersebut tidak memberikan kepuasan, tetapi dapat meredakan kecemasan yang ada di pikiran Anda</li><li>
	Keseharian Anda jadi terganggu akibat pikiran dan perilaku tersebut</li></ul> Halaman selanjutnya: Pengobatan,&nbsp;Pencegahan dan Kapan Harus ke Dokter

Gangguan Obsesif Kompulsif

Stres dalam kadar tertentu bisa bikin kita lebih termotivasi dalam bekerja - AlteaCare | Foto: Envato

Sehari-hari, kita pasti sesekali mengalami stres. Datangnya tidak bisa diprediksi: bisa saat kita sedang buru-buru tapi terjebak macet di jalan atau saat dapat deadline di kantor bagai disuruh membangun Candi Roro Jonggrang. Duh, stres banget!Tapi sebenarnya stres itu tidak selalu buruk. Seandainya saja penemu internet dulu tidak mengalami stres saat mengutak-atik jaringan di komputer, mungkin kita tidak bisa menikmati serunya berselancar di sosial media atau membaca tulisan ini. Jadi, stres juga kita butuhkan supaya bisa produktif dan dimotivasi. Para ahli menyebutnya dengan istilah eustres. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/serupa-tapi-tak-sama-apa-perbedaan-stres-dan-depresi-1636080470595" target="_blank">Serupa Tapi Tak Sama, Apa Perbedaan Stres dan Depresi?</a> 
<h2>Kenapa stres tidak perlu dimusuhi</h2>Melansir dari Healthline, stres adalah respon biologis manusia saat mengalami perubahan, seperti adanya ancaman atau kondisi yang tidak terduga. Sebagai bentuk respons, sejumlah senyawa kimia dan hormon di tubuh kita jadi meningkat. Akibatnya, Anda mungkin merasa detak jantung dan napas jadi lebih cepat. Setelah itu biasanya tubuh akan menjadi rileks. Namun, bila kondisi stres ini sering dialami dalam jangka panjang, tentu dampaknya negatif bagi kesehatan. Beberapa hal ini bisa kita alami apabila mengalami stres yang berkepanjangan:<ul><li>	Mudah marah</li><li>
	Cemas berlebihan </li><li>
	Sakit kepala </li><li>
	Sulit tidur atau Insomnia</li><li>
	Depresi</li></ul><h2>Dikendalikan, bukannya dihindari</h2>Kehadiran stres dalam keseharian kita tidak bisa dicegah. Sebab, kita justru sesekali perlu stres. Yang perlu kita kuasai adalah cara mengelola stres dengan tepat.Mengontrol stres itu ibarat bermain game Tetris. Kita tidak bisa pilih balok yang muncul tapi kita bisa memilik lokasi penempatannya. Begitu juga dengan stres. Terkadang munculnya tidak bisa diatur tapi kita bisa mengatur cara menghadapinya.Bila stres bisa dikelola dengan benar, berbagai dampak positif ini bisa kita rasakan:<h3>1. Motivasi jadi tinggi</h3>Anda pernah merasakan seperti dapat dorongan energi super ketika deadline tinggal beberapa jam lagi? Nah!Menurut ahli, stres bisa dikejar deadline ternyata bisa bikin kita malah lebih fokus bekerja. Dan, dalam kadar tertentu stres membuat kita lebih semangat menyelesaikan tugas dan menjalankan tanggung jawab yang diberikan.<h3>2. Fungsi kognitif meningkat</h3>Menurut penelitian dari University of Berkeley, stres ringan dapat menyebabkan sel saraf di otak saling terhubung dan membentuk sel saraf yang baru. Selain itu, daya ingat dan daya konsentrasi pun jadi meningkat sehingga Anda lebih produktif bekerja.<h3>3. Baik buat perkembangan bayi</h3>Studi yang dilakukan Johns Hopkins University menemukan bahwa stres yang dialami ibu hamil dalam taraf ringan hingga sedang bisa bermanfaat buat bayi. Sang bayi dapat mengalami perkembangan dan memiliki ketrampilan motorik yang lebih baik saat mencapai usia 2 tahun. Ini bila dibandingkan dengan bayi dari ibu yang tidak terpapar stres saat hamil.<h3>4. Tidak mudah sakit</h3>Saat stres menyerang, tubuh kita bersiap untuk kemungkinan terburuk. Salah satunya dengan memproduksi lebih banyak interleukin, yang merupakan salah satu jenis sitokin. Sitokin sendiri adalah senyawa kimia yang berkaitan dengan sistem imun tubuh. Itu sebabnya, imun tubuh kita pun jadi meningkat untuk sementara waktu, sehingga kita jadi tidak mudah jatuh sakit<h2>Tips mengelola stres</h2>Hanya Anda yang bisa mengenali kapan stres datang dan sejauh mana Anda bisa menghadapinya. Selain itu, Anda juga bisa melakukan berbagai hal ini untuk membantu mengendalikan stres: <ul><li>	Jaga pola makan agar selalu sehat</li><li>
	Pastikan Anda tidur cukup, kira-kira 7-8 jam per hari</li><li>
	Jangan lupa berolahraga teratur</li><li>
	Kurangi konsumsi kafein dan alkohol</li><li>
	Jangan putus komunikasi dengan teman dan bergabunglah dengan support group atau komunitas tertentu</li><li>
	Sempatkan untuk nikmati me-time agar bisa meredakan stres</li><li>
	Saat stres datang, tenangkan diri dengan melakukan meditasi atau latihan pernapasan.</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-meditasi-mudah-buat-pemula-tidak-pakai-ketiduran-1648520784534" target="_blank">Tips Meditasi Mudah Buat Pemula. Tidak Pakai Ketiduran!</a> 
Stres yang dibiarkan berkepanjangan bisa berujung pada depresi. Bila Sobat Altea sudah berusaha mengendalikan stres namun tetap mengalami kesulitan, sebaiknya cari bantuan dari profesional.Lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan atau psikolog di AlteaCare untuk mendapat saran dan rekomendasi seputar stres yang Anda alami. Yuk, segera unduh AlteaCare dan buat janji dengan spesialis andalan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Februari 2022. 4 Surprising Health Benefits of Stress</li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. The Effects of Stress on Your Body</li><li>
Health. Diakses pada Februari 2022. 5 Weird Ways Stress Can Actually Be Good for You</li><li>
TIME. Diakses pada Februari 2022. How Some Stress Can Actually Be Good for You</li></ul>

4 Dampak Stres Buat Kesehatan. Tidak Selamanya Buruk!

Jadwal online meeting beruntun bisa pengaruhi kondisi mental kita - AlteaCare | Foto: Envato

Siapa bilang work from home alias WFH itu lebih santai? Ketika semua kegiatan harus dilakukan secara online, mulai dari persiapan produk, campaign, sampai presentasi ke klien, hari-hari selalu diisi dengan jadwal meeting. Tidak heran bila Sobat Altea bisa ada jadwal rapat 2-3 kali sehari melalui platform online, seperti Zoom atau Google Meet. Anak-anak yang belajar dari rumah saja saja. Dalam sehari, bisa jadi total lebih dari 4 jam mereka lalui dengan duduk menghadap laptop atau ponsel.Waduh! Padahal, menurut penelitian kita perlu jeda beberapa menit untuk bisa kembali fokus. Sebab, meeting secara online bisa membuat kita merasa lelah, baik secara fisik dan mental.Hasil pengamatan ahli pun menemukan adanya fenomena baru di tengah makin maraknya penggunaan aplikasi meeting di internet. Istilah baru pun muncul, yaitu “zoom fatigue”. Seperti apa sindrom baru ini? Yuk simak!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mengenal-toxic-positivity-dan-ciri-cirinya-harus-waspada-1648692915294" target="_blank">Mengenal Toxic Positivity dan Ciri-cirinya. Harus Waspada!</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/mengenal-toxic-positivity-dan-ciri-cirinya-harus-waspada-1648692915294" target="_blank"> </a><h2>Seperti apa zoom fatigue itu?</h2>Seperti dilansir oleh Psychology Today, zoom fatigue adalah sindrom yang berkaitan dengan rasa lelah, cemas, atau khawatir yang dialami seseorang akibat penggunaan platform online meeting secara berlebihan. Meski namanya “Zoom” bukan berarti hanya berlaku untuk pengguna aplikasi Zoom, tapi juga platform rapat daring lainnya. Yang jelas, istilah ini lahir seiring dengan semakin banyaknya orang, baik karyawan maupun pelajar, yang harus melakukan pertemuan secara daring. Dan, ini harus dilalui hampir setiap hari selama masa pandemi.Mungkin Sobat Altea pernah berpikir, cuma duduk saja seharian dan ikut rapat, rasanya kok lelah banget, ya? Ternyata, ini karena otak kita harus bekerja lebih keras saat rapat online dibandingkan rapat sebelum masa pandemi.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Microsoft, orang yang sering rapat online secara beruntun tanpa henti cenderung mudah stres dan lelah. Hal ini disebabkan aktivitas jaringan saraf di otak terus-menerus bekerja.Sementara itu, Stanford University memaparkan beberapa hal lain yang juga jadi penyebab kita mudah lelah akibat sering rapat online:<ul><li>	Saat rapat mata kita harus melihat dari jarak dekat dengan sangat intens</li><li>
	Kita harus berjuang membaca ekspresi wajah rekan kerja yang ikut meeting tersebut. Ini lebih sulit dibanding ketika kita melihat ekspresi mereka secara langsung.</li><li>
	Melihat diri Anda terus-menerus secara real-time di layar bisa menimbulkan rasa tidak nyaman.</li><li>
	Keharusan menyalakan kamera saat online meeting membuat kita jadi tidak bisa bergerak ke mana pun. Gerakan pun jadi terbatas dan tidak bebas.</li></ul><h2>Ini tanda-tanda Anda mengalami zoom fatigue</h2>Maksudnya, sih, supaya bisa produktif saat bekerja. Tapi, meeting tiada henti bisa bikin pusing. Kita jadi berpikir, kalau rapat terus dari pagi sampai malam, kapan pekerjaan akan selesai?Zoom fatigue juga bisa berdampak terhadap kondisi fisik dan psikis. Yuk, Sobat Altea, cek dulu apakah Anda sudah mengalami tanda-tanda terkena zoom fatigue berikut ini:<ul><li>	Mudah lupa dan sulit berkonsentrasi</li><li>
	Relasi dengan orang di rumah menjadi terganggu</li><li>
	Mudah marah terhadap rekan kerja</li><li>
	Otot menjadi tegang, nyeri, lelah, dan sulit tidur</li><li>
	Sakit kepala, pusing, atau migrain</li><li>
	Tidak produktif dalam bekerja</li><li>
	Motivasi kerja menurun</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">	</a><h2>Cara mengatasi zoom fatigue</h2>Jika beberapa tanda di atas sudah dialami, sebaiknya Anda mulai atur-atur lagi jadwal rapat di kantor. Jangan sampai online meeting menghambat karier Anda.Lakukan juga beberapa tips ini supaya Anda tidak sampai ambyar gara-gara zoom fatigue:<h3>1. Minta izin mematikan kamera bila memungkinkan</h3>Hal ini sering dilakukan untuk menyiasati koneksi internet yang tidak stabil. Tapi, bisa juga dicoba kalau kondisi Anda juga sedang tidak stabil alias lagi lelah banget. Selain itu, Anda juga bisa atur di aplikasi supaya hanya melihat active speaker saja yang berbicara. Jadi, tidak perlu pusing karena melihat satu per satu peserta rapat dengan foto background yang berbeda-beda.<h3>2. Buat meeting sesingkat mungkin </h3>Pada 2016, seorang pakar pernah mencetuskan istilah “the Magic of 30-Minute Meetings" saat menulis opininya di Harvard Business Review. Maksudnya, pertemuan akan bisa lebih efisien bila waktunya ditargetkan&nbsp;tidak lebih dari 30 menit. Ini juga bisa dilakukan saat mengadakan rapat online di Zoom. Bagikan materi yang akan dibahas di rapat sebelumnya supaya bisa dipelajari dulu. Minta juga rekan kerja Anda untuk menyiapkan apa yang ingin disampaikan supaya meeting tidak berkepanjangan.<h3>3. Istirahat sebentar</h3>Dapat notifikasi mendadak untuk rapat selanjutnya, padahal Anda juga masihmeeting? Jangan ragu untuk menolak atau minta reschedule. Sebab, idealnya Anda perlu waktu jeda sejenak setelah rapat untuk mengistirahatkan pikiran, tubuh, dan mata. Waktu ini bisa dimanfaatkan untuk bangkit sejenak dari tempat duduk dan berjalan sekadar untuk ambil minum. Ide lain: Lakukan peregangan simpel. Atau, beberapa kali ambil napas dan embuskan. Setelahnya, Anda siap untuk meeting lagi.<h3>4. Buat batasan</h3>Ketika Anda sudah lelah dan stres karena harus meeting maraton beberapa hari berturut-turut, jangan ragu untuk bersikap tegas. Beritahu tim di kantor kalau Anda butuh setidaknya satu hari tanpa jadwal online meeting. Atau, informasikan bahwa Anda lebih nyaman dan fokus jika diundang rapat pada jam-jam tertentu. Misalnya, pagi hari karena pikiran masih segar. Itulah cara supaya Anda tidak sampai mengalami zoom fatigue karena terlalu banyak meeting.Bila Anda mulai merasa burnout akibat gejala-gejala zoom fatigue dan tidak lagi bisa produktif seperti biasanya, jangan ragu berkonsultasi dengan dokter spesialis. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan atau psikolog di AlteaCare yang berpengalaman.Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang dan buat janji dengan dokter Anda! 
 Sumber:<ul><li>Harvard Business Review. Diakses pada Februari 2022. How to Combat Zoom Fatigue</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Februari 2022. Too Many Meetings? How to Avoid This Common Waste of Time</li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. ‘Zoom Fatigue’ Is Real — Here’s How to Cope (and Make It Through Your Next Meeting)</li><li>
Stanford News. Diakses pada Februari 2022. Stanford researchers identify four causes for ‘Zoom fatigue’ and their simple fixes</li><li>
Forbes. Diakses pada Februari 2022. Our Brains Need Breaks From Virtual Meetings</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Februari 2022. Virtual Platforms Are Helpful Tools but Can Add to Our Stress</li><li>
Verywell Mind. Diakses pada April 2022. How to Cope With Zoom Fatigue</li></ul>

Banyak Meeting Bikin Pusing? Awas, Nanti Bisa “Zoom Fatigue”!

Bijaklah saat menyimak curhat teman agar terjadi toxic positivity - AlteaCare | Foto: Envato

Anda pernah alami situasi buruk tetapi saat curhat ke teman atau keluarga, malah disuruh berpikir positif? Nah, saat itulah Anda mengalami apa yang disebut toxic positivity.Dalam hidup, ada banyak hal di luar dugaan yang bisa terjadi. Seperti mengalami peristiwa yang berdampak buruk pada kita secara fisik, finansial, atau psikis. Segala hal sudah dilakukan tapi belum berhasil. Saat mau mengeluh, kita menganggap seharusnya kita berpikir positif. Saat akhirnya memberanikan diri untuk curhat dengan orang terdekat, mereka juga menyuruh kita untuk bersikap positif.
Stop, stop, sampai sini. Sepertinya Anda terjebak dalam toxic positivity, nih?<h2>Apa itu toxic positivity?</h2>Para ahli dari University of Washington membedakan toxic positivity menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu emosi internal dan emosi yang diproyeksikan kepada orang lain. Intinya adalah asumsi yang diberikan terhadap diri sendiri maupun orang lain, untuk berpikiran positif tanpa peduli situasi sulit yang terjadi.Toxic positivity dapat berupa respon tanpa empati terhadap penderitaan seseorang atau diri sendiri, sehingga bisa menimbulkan rasa tidak nyaman. Sebenarnya, toxic positivity tidak diawali dengan niat buruk, namun sering terjadi ketika kita ingin membantu, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. 
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-bersikap-bodo-amat-walau-belum-punya-anak-1639453083667" target="_blank">Cara Bersikap Bodo Amat Walau Belum Punya Anak</a> 
<h2>Ciri-ciri toxic positivity</h2>Bagaimana membedakan antara cara berpikir positif dengan toxic positivity? Berikut ini beberapa ciri khas sikap positif yang toxic:Terhadap diri sendiri:<ul><li>	Menyembunyikan perasaan sebenarnya</li><li>
	Berpikiran "jalani saja dulu" dan mengesampingkan emosi</li><li>
	Merasa bersalah terhadap yang dirasakan</li><li>
	Mengesampingkan hal yang mengganggu dengan berkata "Yah,... beginilah adanya"</li></ul>Terhadap orang lain:<ul><li>	Mengesampingkan perasaan orang lain dengan memberikan kutipan-kutipan bijak atau positif</li><li>
	Memberi sudut pandang lain pada orang yang mengalami musibah, bukannya menerima perasaan mereka</li><li>
	Meremehkan atau meledek orang yang sedang mengungkapkan rasa frustasinya</li></ul>Sedangkan kalimat-kalimat andalan paling sering terdengar dari teman maupun keluarga (ataupun diri sendiri) yang sifatnya toxic misalnya:<ul><li>	"Coba lihat hikmahnya!"</li><li>
	"Syukuri saja apa yang dimiliki"</li><li>
	"Nanti juga ada titik terangnya"</li><li>
	“Ah, masih mending begitu. Saya lebih parah, nih…”</li><li>
	“Jangan overthinking, ah!</li><li>
	“Mungkin kurang ibadah aja, sih”</li><li>
	“Enggak mungkin depresi, deh. Mungkin kecapekan aja karena banyak pekerjaan!”</li></ul>
<h2>Dampak Toxic Positivity</h2>Menurut Journal of Abnormal Psychology menyembunyikan emosi dapat berdampak negatif. Bukannya Anda menjadi tenang dalam menghadapi situasi sulit, hal-hal seperti ini yang malah bisa terjadi:<ul><li>	muncul rasa malu, marah, bahkan makin stres</li><li>
	tidak bisa berpikir jernih dan sulit menemukan jalan keluar masalah</li><li>
	kita jadi berbalik menutup diri dan semakin sulit mengekspresikan diri, berkomunikasi, dan menjalin relasi dengan orang lain, termasuk pasangan</li></ul>
<h2>7 Cara mengatasi toxic positivity</h2>Setelah tahu ciri-ciri toxic positivity, baik dari diri sendiri maupun orang lain, lakukan beberapa hal ini:<h3>1. Terima dan olah emosi dan perasaan </h3>Amini semua perasaan dan emosi negatif yang melanda diri Anda. Mulai dari rasa sedih, marah, frustrasi, stres, dan lain-lain. Terima semua itu, jangan ditolak atau disangkal!.Setelahnya, olah emosi negatif itu sehingga Anda memiliki harapan akan masa depan. Misalnya, ketika kehilangan pekerjaan, Anda boleh bersedih dan frustasi. Setelahnya, Anda juga harus memiliki harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang.<h3>2. Tidak masalah jika Anda merasa tidak baik-baik saja</h3>Saat sedang stres berat, bisa jadi Anda merasa lebih lelah dari biasanya. Izinkan tubuh Anda beristirahat dan bebaskan diri dari merasa bersalah. Sesekali dalam hidup, tidak ada salahnya jika Anda berada dalam kondisi terpuruk dan down.<h3>3. Kurangi aktivitas di media sosial</h3>Media sosial lebih sering memperlihatkan momen bahagia banyak orang. Ini bisa bikin Anda berpikir bahwa kehidupan orang lain jauh lebih baik, sehingga muncul rasa kesepian dan malu terhadap diri sendiri. Maka dari itu, ambil cuti dulu dari media sosial.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/digital-detox-baik-untuk-kesehatan-mental-berani-coba-1647261489687" target="_blank">“Digital Detox” Baik untuk Kesehatan Mental, Berani Coba?	</a> 
<h3>4. Kembali pada kebiasaan baik</h3>Untuk membuat diri menjadi lebih baik, mulailah dengan langkah kecil. Saat mental Anda sedang tertekan, jangan mencoba sesuatu yang baru yang Anda pikir bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.Namun, lakukanlah hal-hal baik yang sudah Anda tahu sebelumnya. Misalnya, kembali bersepeda dengan rute baru yang belum pernah dilewati sebelumnya. Ini bisa bikin Anda jadi lebih baik!Nah, bagaimana kalau situasinya terbalik: Anda yang dicurhati orang terdekat yang sedang mengalami masalah?Lakukan tips berikut ini:<ul><li>	Saat orang terdekat minta waktu untuk curhat, dengarkan tanpa memberi komentar</li><li>
	Terima emosi yang mereka perlihatkan tanpa menghakimi</li><li>
	Setelah selesai bercerita, tanyakan apakah mereka perlu komentar atau saran Anda? Sebab, terkadang orang hanya butuh didengarkan supaya bisa melepaskan beban pikirannya</li><li>
	Bila Anda dimintai saran, hindari mempermalukan atau meremehkan masalahnya. Bila masalahnya pelik, sarankan untuk minta bantuan dari profesional</li></ul>Manfaatkan telekonsultasi di AlteaCare dengan dokter spesialis kejiwaan ataupun psikolog agar bisa berdiskusi secara personal dengan ahlinya. Anda bisa dapatkan teman bicara yang tepercaya dan saran yang dibutuhkan. Yuk, download, registrasi, dan buat janji telekonsultasi di <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Februari 2022. ‘Toxic Positivity’ Is Real — and It’s a Big Problem During the Pandemic</li><li>
University of Washington School of Medicine. Diakses pada Februari 2022. What You Need to Know About Toxic Positivity</li><li>
The Psychology Group. Diakses pada Februari 2022. Why Toxic Positivity is Bad for Our Health</li><li>
Gross, J. J., &amp; Levenson, R. W. (1997). Hiding feelings: the acute effects of inhibiting negative and positive emotion. Journal of abnormal psychology, 106(1), 95.</li></ul>

Mengenal Toxic Positivity dan Ciri-cirinya. Harus Waspada!

Pelukan dari orang kesayangan bikin kita lebih sehat lahir batin - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap orang punya cara untuk menghadapi kondisi emosi yang sedang galau. Ada yang ke luar kota buat&nbsp;healing, minum kopi di coffee shop, atau jalan-jalan ke taman bersama hewan peliharaan.Selain cara-cara tersebut, ada lagi satu hal gampang yang bisa Anda lakukan. Minta pelukan dari orang terdekat! Ya, meski Anda bukan tipikal yang suka melakukan sentuhan fisik, cara ini tidak ada salahnya unduk dicoba, sebab efeknya bisa instan!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-healing-dari-luka-batin-ternyata-tidak-bisa-instan-1646129157420" target="_blank">Tips Healing Dari Luka Batin. Ternyata Tidak Bisa Instan!</a> 
<h2>Apa yang terjadi saat kita berpelukan?</h2>Sobat Altea tahu tidak, berpelukan bukan sekadar tanda adanya kedekatan emosional. Menurut beberapa penelitian, berpelukan juga punya manfaat besar untuk kesehatan fisik maupun mental.Saat berpelukan, otak akan mengaktifkan sejumlah hormon yang bertugas menimbulkan perasaan positif. Contohnya saja hormon dopamin yang bikin kita happy, serotonin yang bikin kita selalu good mood, serta oksitosin yang sering disebut hormon cinta. Ketika ketiga hormon ini kompak bekerja, kita jadi bisa merespons stres dengan lebih baik. Suasana hati juga selalu positif, sehingga kita lebih semangat dalam menjalani hidup.<h2>Seperti ini manfaat berpelukan!</h2>Fakta menariknya: semakin lama kita berpelukan, semakin lama juga efek ketiga hormon tersebut terasa. Tidak heran kalau ahli sampai menyarankan kita buat berpelukan setidaknya 8 kali dalam sehari. Tentunya Anda tidak lantas berpelukan dengan sembarang orang, ya Sobat Altea. Lakukan dengan pasangan, anak, orangtua, anggota keluarga, dan sahabat Anda. Dan, dapatkan manfaat sehatnya, antara lain berikut ini:<h3>1. Jantung jadi lebih sehat</h3>Studi yang dimuat di jurnal Behavioral Medicine menyebutkan, punya kebiasaan berpelukan dengan pasangan bisa bikin kita lebih kuat saat menghadapi peristiwa hidup yang bikin stres. Selain itu, berpelukan selama 20 detik saja sudah bisa menurunkan tekanan darah dan menjaga jantung tetap sehat. <h3>2. Meningkatkan imun tubuh</h3>Berpelukan dapat membantu memperkuat sistem imun kita. Adanya tekanan sedikit ke area tulang dada dan luapan emosi dapat merangsang kelenjar timus. Kelenjar ini bertugas mengatur dan menyeimbangkan produksi sel darah putih di tubuh, supaya kita tetap sehat dan tidak gampang sakit.<h3>3. Meningkatkan kualitas tidur</h3>Berpelukan dapat menurunkan kadar hormon kortisol alias hormon stres. Bila kadarnya kelewat tinggi, hormon yang satu ini sering jadi biang gara-gara sejumlah gangguan kesehatan, termasuk gangguan tidur. Tidak heran, ya, kalau kita sering susah tidur dan insomnia saat sedang banyak pikiran. <h3>4. Tidak gampang stres</h3>Pelukan dari seorang sahabat bisa bikin kita dapat mental support yang berarti. Coba bayangkan kalau hari-hari Anda selalu dihujani dengan pelukan dari orang tersayang. Ini bisa bikin hormon cinta oksitosin jadi berlimpah dan hormon kortisol penyebab stres jadi berkurang. Hasilnya? Anda jadi makin tahan banting saat ada masalah dan tidak mudah stres.<h3>5. Bikin kita lebih mindful</h3>Saat berpelukan, pikiran kita cenderung lebih berfokus pada saat sekarang supaya bisa menikmati kehangatan dan emosi yang dirasakan. Efek pelukan ini mirip dengan meditasi. Selain lebih sadar apa yang terjadi saat ini, kita pun jadi lebih tenang. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-meditasi-mudah-buat-pemula-tidak-pakai-ketiduran-1648520784534" target="_blank">Tips Meditasi Mudah Buat Pemula. Tidak Pakai Ketiduran!</a><h3>6. Anak jadi lebih empatik saat besar</h3>Pesan Altea buat para ibu yang senang memeluk dan mencium anaknya: lanjutkan, Bu! Sebab, melakukannya sejak si Kecil baru lahir dapat bermanfaat besar hingga ia besar nanti. Pelukan seorang ibu dapat membuat bayi tidak sering menangis, tidur lebih pulas, dan tidak mudah cemas. Memeluk si Kecil juga bisa menstimulasi hormon pertumbuhannya, dan yang terpenting, bisa membentuk anak jadi pribadi yang penuh empati saat ia tumbuh dewasa. Berpelukan tidak hanya bermanfaat buat yang menerima pelukan. Studi yang dimuat di jurnal Psychosomatic Medicine menyebutkan, yang memberikan pelukan juga mendapatkan manfaat sehatnya. Jadi, mulai hari ini jangan ragu untuk memberi pelukan buat orang yang kita cintai. Dan, jangan menolak juga bila sahabat ingin memeluk Anda saat sedang sedih. Jika masalah yang sedang Anda alami saat ini sepertinya tidak cukup teratasi hanya dengan dukungan emosional berupa pelukan dari orang terdekat, jangan berkecil hati. Coba lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan atau psikolog di AlteaCare untuk dapat saran dari ahlinya. Yuk, download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang dan segera atur jadwal telekonsultasi! 
 Sumber: <ul><li>Medicine Net. Diakses pada Februari 2022. How Do Hugs Make You Feel?</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Februari 2022. 4 New Scientific Findings About Hugging</li><li>
Greater Good Magazine. Diakses pada Februari 2022. Four Ways Hugs Are Good for Your Health</li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. What Are the Benefits of Hugging?</li><li>
Grewen, K. M., Anderson, B. J., Girdler, S. S., &amp; Light, K. C. (2003). Warm partner contact is related to lower cardiovascular reactivity. Behavioral medicine, 29(3), 123-130.</li><li>
Inagaki, T. K., &amp; Eisenberger, N. I. (2012). Neural correlates of giving support to a loved one. Psychosomatic medicine, 74(1), 3-7.</li></ul>

6 Alasan Anda Butuh Pelukan Setiap Hari

Kebiasaan bermeditasi bisa meningkatkan kesehatan fisik dan jiwa - AlteaCare | Foto: Envato

Saat pikiran sedang kusut dan hati banyak beban, meditasi bisa membantu kita jadi lebih damai. Eh, tapi saking tenangnya, kok, sampai tertidur, ya? Sebenarnya, bagaimana cara meditasi yang benar?Praktik meditasi telah dilakukan selama ribuan tahun dan awalnya lebih dikaitkan dengan aspek spiritual. Namun, kini meditasi juga banyak dimanfaatkan untuk penyatuan aspek tubuh dan pikiran. Saat melakukan meditasi, badan akan masuk dalam kondisi rileks yang mendalam dan pikiran pun ditenangkan. Mengarahkan fokus pada saat meditasi dapat membantu meredam berbagai pikiran yang bisa bikin stres, semisal urusan pekerjaan atau tugas kuliah. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-healing-dari-luka-batin-ternyata-tidak-bisa-instan-1646129157420" target="_blank">Tips Healing Dari Luka Batin. Ternyata Tidak Bisa Instan!</a> 
<h2>Manfaat meditasi untuk kesehatan</h2>Rajin bermeditasi dipercaya dapat meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan psikologi. Menurut penelitian yang dipublikasikan jurnal PloS One pada 2017, saat bermeditasi otak kita akan memproduksi gelombang Gamma.Gelombang Gamma adalah gelombang otak berkekuatan tinggi, sekitar 25-100 Hz. Fungsinya adalah membantu kita menyerap informasi. Saat gelombang ini bekerja, kita mencapai puncak konsentrasi.Melansir dari Healthline, manfaat lainnya yang bisa didapat dari bermeditasi adalah:<ul><li>	Mengurangi kecemasan</li><li>
	Mengatasi depresi</li><li>
	Meningkatkan kesadaran diri</li><li>
	Mencegah pikun</li><li>
	Membantu mengatasi kecanduan</li><li>
	Membantu meningkatkan kualitas tidur</li><li>
	Meredakan rasa sakit</li><li>
	Menurunkan tekanan darah</li></ul>
<h2>Tips memulai meditasi untuk pemula</h2>Sobat Altea tertarik mencoba bermeditasi? Yuk, ikuti langkah-langkahnya berikut ini:<h3>1. Cari tempat yang nyaman</h3>Kenyamanan adalah hal terpenting dalam bermeditasi. Jadi, pilih tempat yang buat Anda paling nyaman untuk merasa keheningan dan tidak terganggu.<h3>2. Posisi juga harus pas</h3>Inti dari meditasi adalah keheningan. Jadi Anda tidak perlu duduk bersila sampai kesemutan, dan akhirnya malah mengganggu pikiran.Jadi, silakan cari yang pas. Boleh sambil duduk bersila, berlutut, atau duduk di kursi.<h3>3. Bernapas seperti biasa</h3>Fokus lainnya saat meditasi adalah pada pernapasan. Namun, tidak perlu sampai terlalu serius dipikirkan. Cukup ambil napas dan embuskan seperti biasa, lalu rasakan ketenangan saat melakukannya.<h3>4. Atur emosi</h3>Saat bermeditasi, tidak tertutup kemungkinan ada gangguan. Baik berupa emosi maupun pikiran tentang hal lain. 
Kita tidak perlu melawan pikiran dan emosi tersebut. Terima semuanya lalu biarkan berlalu. Dengan seringnya latihan bermeditasi, kita bisa mengelola emosi tersebut.<h3>5. Fokus pada apa yang dilakukan selanjutnya</h3>Sebelum menyelesaikan meditasi, pikirkan apa yang akan Anda lakukan setelahnya. Bawa fokus yang telah didapat selama meditasi ke aktivitas yang akan dijalani kemudian.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/serupa-tapi-tak-sama-apa-perbedaan-stres-dan-depresi-1636080470595" target="_blank">Serupa Tapi Tak Sama, Apa Perbedaan Stres dan Depresi?</a> 
<h2>Tidak betah diam? Coba meditasi aktif</h2>Ternyata meditasi tidak melulu dilakukan dalam posisi terdiam. Anda juga bisa bermeditasi sambil melakukan kegiatan sehari-hari. Meditasi ini disebut juga meditasi aktif. Secara umum, meditasi aktif adalah meditasi yang dilakukan ketika sedang bergerak. Beri perhatian pada apa yang sedang dilakukan dan arahkah fokus pada hal tersebut sehingga batin kita jadi lebih tenang.Berikut ini adalah beberapa contoh meditasi aktif yang bisa dilakukan dalam aktivitas Anda:<h3>1. Saat memasak</h3>Saat memasak, terkadang kita terbebani tanggung jawab untuk menyediakan makan untuk anggota keluarga. Nah, sekarang cobalah fokus pada aktivitas memasak itu sendiri. Dengarkan suara ketika pisau memotong bahan makanan di atas talenan. Hirup aroma masakan yang Anda masak. Anda mungkin jadi menemukan rasa senang yang sudah lama hilang!<h3>2. Bersih-bersih rumah</h3>Lakukan meditasi aktif saat membersihkan ruangan. Fokus dan dengarkan saat air mengalir keluar keran dan mengisi ember. Kemudian ketika sedang menyapu atau mengepel lantai, fokuslah pada gerakan tubuh dan rasakan ritmenya. Anda akan merasa seperti berdansa bersama gagang sapu atau alat pel di tangan!<h3>3. Berjalan kaki</h3>Saat jalan pagi atau jalan sore sendirian, cobalah rasakan sensasi kaki yang menjejak ke tanah pada setiap langkahnya. Lalu, nikmati juga semilir udara segar yang berembus melewati tubuh.<h3>4. Mandi</h3>Ketika sedang mandi, cobalah pejamkan mata Anda dan rasakan sensasi ketika air membasuh tubuh. Rasakanlah aroma sampo dan sabun yang menyelimuti tubuh serta kepala. Fokuslah dan bayangkan masalah ikut luntur ketika Anda menyirami tubuh. Itulah tips meditasi untuk pemula dan panduan meditasi aktif yang bisa dicoba. Bila Anda sulit menenangkan pikiran karena sedang dilanda masalah berat dan butuh dukungan ahli, jangan ragu berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater di AlteaCare! Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di ponsel Anda! Sumber: <ul style=""><li style="">
Mayo Clinic. Diakses pada Februari 2022. Meditation: A simple, fast way to reduce stress</li><li style="">
Braboszcz, C., Cahn, B. R., Levy, J., Fernandez, M., &amp; Delorme, A. (2017). Increased gamma brainwave amplitude compared to control in three different meditation traditions. PloS One, 12(1), e0170647.</li><li style="">
Healthline. Diakses pada Februari 2022. 12 Science-Based Benefits of Meditation</li><li style="">
Headspace. Diakses pada Februari 2022. Top 13 Meditation Tips</li><li style="">
Psych Central. Diakses pada Februari 2022. Active Meditation: How to Meditate While You Move</li></ul>

Tips Meditasi Mudah Buat Pemula. Tidak Pakai Ketiduran!

Self-talk adalah dialog dengan diri sendiri yang justru bisa menurunkan motivasi - AlteaCare| Foto: Envato

Sobat Altea pasti sering kasih semangat buat diri sendiri saat mau melakukan sesuatu. Setelah bilang “Fighting! Pasti bisa!” ke diri sendiri, rasanya tambah pede buat capai hasil setinggi mungkin. Nah, kebiasaan ini disebut oleh ahli sebagai self-talk. Sebagaimana dalam hidup ada yang positif dan ada yang negatif, self-talk juga begitu. Kalau self-talk yang positif itu bisa bikin kita termotivasi, sebaliknya yang negatif justru bikin kita jadi patah semangat. Pada prinsipnya, self-talk negatif adalah dialog dengan diri sendiri yang dapat menghilangkan rasa percaya diri dan menghambat Anda mencapai potensi diri yang maksimal.<h2>Dampak self-talk negatif</h2>Saat mendengar orang lain bicara buruk pada kita, solusinya mudah. Tutup telinga dan jauhi orang itu. Tapi bagaimana kalau yang bicara negatif itu adalah diri sendiri? Tentu ini bisa berpengaruh pada kesehatan mental kita, ya. Selain kita jadi hilang minat untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup, dialog negatif dengan diri sendiri yang terjadi terus-menerus bisa bikin Anda stres berkepanjangan. Bahkan, penelitian yag dimuat di Journal of Affective Disorders menyebutkan, pikiran negatif yang berulang bisa berpengaruh terhadap timbulnya depresi dan gangguan kecemasan.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a><h2>7 Cara mengatasi self-talk yang negatif </h2>Self-talk yang negatif identik dengan rasa pesimis terhadap diri sendiri. Beberapa contoh dialog batin negatif yang sering kita lakukan adalah:<ul><li>	“Dari dulu saya paling tidak bisa kalau disuruh presentasi!”</li><li>
	"Kalau kebagian hitung budget untuk project, kasih orang lain saja. Saya ‘kan tidak pandai hitung-hitungan!"</li><li>
	"Ah, sampai kapan pun sepertinya saya enggak bakal dapat promosi deh di kantor!"</li><li>
	"Orang seperti saya mana mungkin dapat pasangan yang baik dan setia?"</li></ul>Biar hidup tidak jadi terpuruk, sebaiknya kita mulai belajar jauhi cara bicara negatif seperti ini. Yuk, mulai lakukan perubahan dengan tips berikut ini!<h3>1. Harus segera sadar</h3>Karena sudah dilakukan begitu lama, self-talk yang negatif bisa otomatis muncul. Untuk itu, kita harus gerak cepat antisipasi begitu hal pemikiran ini datang. Sadari kalau ini adalah bentuk dialog batin negatif. Lalu, Setelah itu, telaah mengapa pemikiran negatif tersebut datang ke kepala kita. Apa karena kita kurang pede? Atau kurang persiapan?Lama-lama, kita akan lebih sadar dan bisa menghalau datangnya dialog batin yang negatif.<h3>2. Langsung dilawan!</h3>Ketika self-talk negatif muncul dan kita kenali, langkah selanjutnya adalah melawan pemikiran tersebut. Misalnya, ketika dalam hati ada dialog "Duh, sepertinya pekerjaan saya hasilnya sangat buruk", carilah bukti sebaliknya.Anda bisa ingat lagi, adakah atasan atau rekan kerja mengapresiasi kinerja Anda dalam beberapa bulan terakhir? Ini bisa bantu Anda kembali percaya diri.<h3>3. Cari hal yang bisa disyukuri</h3>Ketika pikiran negatif datang, mungkin sulit mencari sisi positif dari diri sendiri. Namun, Anda bisa mulai dari mencari hal-hal kecil yang bisa disyukuri. Misalnya, ketika stres dengan pekerjaan tidak kunjung selesai, lihatlah sekeliling. Sobat Altea bisa bersyukur karena punya pekerjaan di masa pandemi, atau bersyukur karena masih bisa beli nasi ayam geprek favorit sepulang kerja.<h3>4. “Obati” dengan self love</h3>Salah satu hal paling penting untuk mengatasi self-talk yang negatif adalah dengan mencintai diri sendiri. Bukannya lantas kita jadi narsis, ya. Self love di sini artinya kita belajar menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan kita. Kesadaran untuk mencintai diri sendiri akan bisa mengurangi pemikiran negatif.<h3>5. Ingat, itu cuma pikiran!</h3>Yang namanya self-talk pastinya merupakan pikiran yang ada dalam diri sendiri. Tapi, itu semua cuma pikiran saja. Mengutip Very Well Mind, pemikiran negatif sering dianggap sebagai observasi yang cermat terhadap diri sendiri. Namun, apa yang kita pikirkan dan rasakan seringkali tidak sesuai kenyataan. Bisa jadi itu karena kita kelewat keras terhadap diri sendiri atau karena mood sedang kurang oke.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/infografik-6-fakta-seputar-depresi-1643611890980" target="_blank">INFOGRAFIK 6 Fakta Seputar Depresi</a><h3>6. Bersahabat dengan diri sendiri</h3>Ada pepatah yang bilang, musuh terkejam itu sebenarnya adalah diri kita sendiri. Bila self-talk yang sering Anda lakukan isinya tak jauh dari kritik tajam buat diri sendiri, stop sampai di sini. Belajarlah berdamai dengan diri sendiri. Anda tidak perlu berhenti lakukan self-talk. Tapi, ubah cara bicara Anda menjadi lebih positif. Bila kata-kata negatif keluar lagi, segera ubah dengan menganggap diri Anda sedang bicara dengan seorang sahabat.<h3>7. Curhat pada orang tepercaya</h3>Sering tersiksa dengan self-talk negatif? Coba cari teman bicara yang bisa dipercaya dan ceritakan seputar pemikiran negatif yang sering mampir di kepala Anda.Terkadang, pembahasan soal pikiran negatif dengan orang terdekat malah bisa berubah jadi lelucon yang bisa bikin Anda tertawa. Anda pun bisa beristirahat sejenak sebelum mencari solusi masalah yang dihadapi.Bila self-talk yang negatif ini semakin membebani dan Anda butuh teman bicara yang lebih suportif serta bisa memberi solusi, tidak ada salahnya untuk cari bantuan ahli. Anda bisa manfaatkan telekonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan ataupun psikolog di Altea supaya bisa berbicara dengan lebih personal. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>hari ini juga! 
 
 Sumber:<ul><li>Very Well Mind. Diakses pada Februari 2022. The Toxic Effect of Negative Self-Talk</li><li>
Spinhoven, P., van Hemert, A. M., &amp; Penninx, B. W. (2018). Repetitive negative thinking as a predictor of depression and anxiety: A longitudinal cohort study. Journal of Affective Disorders, 241, 216-225.</li><li>
Psych Central. Diakses pada Februari 2022. How to Challenge Negative Self-Talk</li></ul>

7 Cara Mengatasi Self-Talk Negatif Sebelum Jadi Overthinking

Digital detox memungkinkan Anda melepaskan diri dari kelekatan pada dunia digital - AlteaCare | Foto: Envato

Berapa lama waktu yang Anda habiskan dalam sehari untuk kepoin media sosial mantan atau cek posting terbaru dari akun kucing lucu? Satu jam? Dua jam? Atau bahkan lebih?Coba yuk, cek screen time di ponsel Anda. Berapa lama Anda buka satu aplikasi dalam sehari? Atau Anda malah rajin sleep call dengan pacar setiap malam? 
Menurut penelitian di Journal of Social and Clinical Psychology, kita ternyata perlu membatasi penggunaan media sosial. Cukup 30 menit saja per hari demi kesehatan mental kita. 
Hah? Sebentar banget? Tunggu. Sebelum Anda protes, baca dulu alasannya berikut ini.<h2>Dampak buruk interaksi di dunia digital</h2>Setiap orang punya tujuan berbeda-beda saat mengakses media sosial. Ada yang untuk sharing pengalaman pribadi, ada juga yang untuk kepentingan bisnis atau cari uang. Menurut data yang dikeluarkan oleh Statista, perusahaan penyedia layanan statistik yang berbasis di Jerman, hingga 2020 terdapat lebih dari 3,6 miliar pengguna media sosial di dunia. Jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya.Seperti dilansir di WebMD, studi menyebutkan ada sekitar 61% orang yang mengaku tidak bisa lepas dari ponselnya. Mereka sudah begitu kecanduan dengan internet dan juga gawainya. Bahkan, studi lain menyebutkan, sekitar 25% pengguna ponsel pintar berusia 18-44 tahun bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ponsel mereka tidak ada di dekatnya.Ada banyak dampak buruk dari paparan dunia digital secara berlebihan, antara lain:<ul><li>	Banyak ahli menemukan penggunaan ponsel berlebihan bisa mengubah struktur di dalam otak. Saat berinteraksi dengan ponsel akan berdampak pada hormon dopamin dalam otak, sehingga memberi respon yang sama seperti ketika terpapar zat adiktif seperti kokain.</li><li>	Menghabiskan waktu online terlalu lama bisa berpengaruh pada rasa percaya diri. Misalnya, saat merasa insecure dan butuh validasi, kita malah buka medsos. Atau ketika postingan tidak banyak dapat tombol like, kita jadi gelisah dan merasa ada yang tidak beres dengan diri sendiri. </li><li>	Gangguan pada kesehatan, seperti gangguan tidur, makan tidak sehat, kurang berolahraga, dan berat badan bertambah.</li><li>	Kesehatan mental juga terganggu, seperti depresi dan gangguan kecemasan.</li><li>	Produktivitas di tempat kerja menurun</li></ul>





Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/sehatkah-sering-curhat-di-media-sosial-1634012259833" target="_blank">Sehatkah Sering “Curhat” di Media Sosial?	</a>

<h2>Kenapa kita perlu digital detox?</h2>Membiarkan diri terus terpapar dampak buruk dunia digital bisa menurunkan kualitas hidup. Maka dari itu, penting buat Anda untuk sesekali ambil jarak untuk jauh sejenak dari layar gadget. Para ahli menyebutnya dengan istilah digital detox. Dilansir dari Cleveland Clinic, digital detox adalah istirahat sejenak dari penggunaan gadget atau media sosial dalam jangka waktu tertentu. Ada beberapa manfaat yang bisa Anda peroleh: <h3>1. Pikiran jadi lebih tenang</h3>Beberapa eksperimen sosial menemukan bahwa istirahat beberapa waktu dari gadget bisa membantu menurunkan stres. Anda bisa jalan kaki di taman dan menikmati udara di luar. Lihat sekeliling dan perhatikan hal-hal kecil di sekitar. Hati dan pikiran pun terasa lebih adem. 
<h3>2. Memanfaatkan waktu dengan lebih produktif</h3>Scrolling timeline media sosial berjam-jam bisa bikin Anda bisa lupa dengan tugas dan tanggung jawab. Dengan memberikan jarak pada gadget, Anda bisa jadi lebih fokus pada hal-hal yang perlu diselesaikan, baik di kantor maupun di rumah. Sering harus kerja lembur akibat keasyikan nonton TikTok? Tidak lagi! 
<h3>3. Mengenal diri sendiri</h3>Media sosial membuat Anda terus membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan ini bisa mempengaruhi cara Anda melihat diri sendiri.Saat melakukan digital detox Anda bisa punya pandangan lebih positif terhadap diri sendiri, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. 
<h3>4. Badan lebih sehat</h3>Melihat gadget terus-menerus bisa menyebabkan mata kering dan sakit kepala. Apalagi melihatnya juga sambil membungkuk, ini bisa menyebabkan masalah tubuh. Lepaskan diri dari gawai dan lakukan aktivitas lain yang bisa membuat tubuh lebih banyak bergerak. Mulai dari berolahraga, lari pagi dengan anjing peliharaan, atau membereskan rumah. 
<h3>5. Tidur jadi nyenyak</h3>Saat tidur, zat melatonin di tubuh akan diaktifkan sehingga istirahat jadi maksimal. Namun, melihat gadget sebelum tidur malah mengganggu produksi melatonin. Ini bisa pengaruhi kondisi emosi dan kesehatan. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a> 
<h2>Bagaimana cara memulai digital detox?</h2>Memutuskan untuk melepaskan kebiasaan berselancar berjam-jam di media sosial memang sangat sulit. Namun dengan melepas keterikatan oleh media sosial, kita akan sadar bahwa sebenarnya teknologi hanya sebagai pendukung dalam berkegiatan sehari-hari.Kalau Anda mantap mau lakukan digital detox, berikut ini langkah awal yang bisa dicoba:<ol><li>	Tentukan masalah utama Anda. Cari dan lihat aktivitas atau aplikasi apa yang membuat Anda menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial.</li><li>	Tetapkan tujuan. Apakah Anda hanya ingin mengurangi atau benar-benar bebas dari media sosial?</li><li>	Buat komitmen. Tentukan sampai di titik mana Anda bisa merasakan bisa terlepas dari kecanduan media sosial</li><li>	Miliki support system. Bagikan niat dan komitmen melakukan digital detox pada orang-orang terdekat agar mendapatkan dukungan</li></ol>




Lakukan langkah-langkah ini secara perlahan dan pantau perkembangannya secara berkala. Jika Sobat Altea ingin lakukan digital detox tapi merasa tidak mampu untuk menjalaninya sendiri, Anda bisa minta bantuan profesional. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan psikolog atau psikiater di AlteaCare yang bisa memberi rekomendasi serta terapi tambahan terkait dengan penggunaan teknologi digital. Langsung saja download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat jadwal dengan ahli sekarang! 
 Sumber: <ul style=""><li style="">
Cleveland Clinic. Diakses pada Februari 2022. How to Do a Digital Detox for Less Stress, More Focus</li><li style="">
BBC News. Diakses pada Februari 2022. Social media apps are 'deliberately' addictive to users</li><li style="">
Statista. Diakses pada Februari 2022. Number of social network users worldwide from 2017 to 2025</li><li style="">
Hunt, M. G., Marx, R., Lipson, C., &amp; Young, J. (2018). No more FOMO: Limiting social media decreases loneliness and depression. Journal of Social and Clinical Psychology, 37(10), 751-768.</li></ul>

“Digital Detox” Baik untuk Kesehatan Mental, Berani Coba?

Proses healing untuk luka batin memerlukan waktu yang panjang - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap orang pasti punya luka lama yang mungkin sampai sekarang dalam proses penyembuhan. Menyimpannya luka bukanlah hal yang mudah. Apalagi buat orang yang cenderung introver atau tertutup. 
Orang introver cenderung menutup luka batinnya rapat-rapat supaya tidak diketahui banyak orang. Baginya, membuka luka batin itu sangat berisiko. Seperti kisah mitologi Yunani tentang kotak pandora, membuka kotak di hati berisi luka batin dapat membuahkan kebaikan namun juga bisa keburukan. 
Menurut data yang dihimpun melalui confession room dari sebuah komunitas support group bernama Rahasia Gadis, 4% dari 40.000 orang punya kecenderungan ingin bunuh dini akibat masalah yang dipendamnya. 
Masalahnya bisa beragam, mulai dari di-bully teman, dikucilkan di pergaulan, pelecehan seksual, hingga tidak dapat pengakuan dari lingkungan. Hal ini dipaparkan oleh Dhika Himawan dan Adelle Tanuri, co-founder Rahasia Gadis, pada AlteaTalk Episode 16, Kamis 24 Februari 2022 lalu. Episode kali ini mengambil tema “Healing dari Luka Batin Emang Nggak Instan Kok” . 
<h2>Apa penyebab munculnya luka batin?</h2>Terus-menerus menyimpan luka batin bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik, mental, dan sosial. Banyak orang yang memiliki luka batin juga mengalami masalah kesehatan mental yang kurang stabil. 
Menurut Nidya Dwika Puteri, Psikolog Klinis dari RS Mitra Keluarga, ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab munculnya luka batin: 

<ol><li>Penolakan. Ini bisa datang dari keluarga inti, akibat adanya perbedaan visi atau tujuan hidup. Misalnya, anak ingin menggeluti bidang seni, tapi orangtua minta menjalankan bisnis.</li><li>	Ditinggal orang terdekat. Salah satu anggota keluarga meninggal dunia atau putus hubungan dengan orang yang dicintai.</li><li>	Dikhianati. Hubungan keluarga yang tidak harmonis dapat membuat seseorang memiliki masalah untuk percaya pada orang lain.</li><li>	Perlakuan tidak adil. Ini bisa didapat seseorang dari lingkungan atau orang terdekat.</li></ol>



“Selain itu juga ada faktor lain yang bisa berkontribusi terhadap munculnya luka batin atau trauma seseorang. Misalnya, adanya gangguan pada aspek biologis atau genetika. Atau, akibat pola pengasuhan orangtua,” kata Nidya, yang juga bergabung sebagai narasumber dalam&nbsp;live streaming&nbsp;AlteaTalk. 
Dampaknya mungkin tidak langsung dirasakan. Namun, menurut Nidya, adanya trauma masa lalu umumnya baru terlihat efeknya saat orang tersebut sudah remaja atau dewasa.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/infografik-6-fakta-seputar-depresi-1643611890980" target="_blank">INFOGRAFIK: 6 Fakta Seputar Depresi</a> 
<h2>Bagaimana cara healing dari luka batin? 
</h2>Nidya memaparkan beberapa tahapan yang perlu dijalani dalam proses healing dari luka batin, antara lain: 
<ul><li>	Identifikasi. Cari tahu terlebih dahulu, apa penyebab luka batin terjadi</li><li>	Belajar menerima emosi. Kenali emosi yang muncul di pikiran ketika terikat dengan luka tersebut </li><li>	Lepaskan emosi dengan cara yang tepat. Misalnya dengan menceritakan masalah pada orang terdekat yang dipercaya atau menulis jurnal</li><li>	Buat batasan dalam hidup. Jangan berusaha untuk selalu menyenangkan hati orang lain. Sadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi teman dekat, jadi pilih orang yang bisa dipercaya</li><li>	Cari tahu tentang kesehatan mental. Dengan begitu, Anda jadi bisa memberi respon dan reaksi yang tepat saat menghadapi luka batin </li></ul>




Proses healing tentu saja tidak bisa instan. Selain itu, caranya juga harus tepat. “Jangan sampai malah merugikan diri sendiri. Pulang healing dari liburan di luar kota, tagihan kartu kredit malah bertambah,” kata Nidya. Ini malah menambah masalah baru. 
Nidya memberikan hal yang bisa dilakukan untuk healing:<ul><li>	Hidup yang sehat secara fisik maupun jiwa, seperti memerhatikan asupan gizi, cukup tidur, atau bermeditasi untuk menenangkan jiwa</li><li>	Bergabung ke support group, karena manusia perlu terkoneksi dengan lingkungan sosialnya </li><li>	Rajin memberi afirmasi positif pada diri sendiri.</li></ul>


Dibutuhkan upaya seumur hidup supaya kita bisa healing dari luka batin. Kemajuannya bisa dilihat dengan memantau reaksi diri kita terhadap luka batin tersebut. Ketika kita teringat akan luka batin itu tapi sudah bisa memberi respon yang netral, berarti sudah ada kemajuan. 
Bila luka batin Anda sudah lama dan sulit untuk pulih, sebaiknya jangan ragu untuk meminta bantuan profesional. Dengan bantuan psikolog atau psikiater, Anda dapat membuka hati dan menjalani proses healing secara menyeluruh. 
“Saran saya, saat melakukan proses healing dengan bantuan profesional sebaiknya jangan shopping terapi. Artinya, berpindah dari satu ahli ke ahli lainnya. Sebab, proses pemulihannya cukup panjang,” kata Nidya. 
Anda bisa manfaatkan layanan telekonsultasi di AlteaCare dari rumah saja, sehingga bisa nyaman saat membicarakan luka batin dengan ahlinya. Yuk, download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat jadwal dengan psikolog dan psikiater AlteaCare!

Tips Healing Dari Luka Batin. Ternyata Tidak Bisa Instan!

Depresi bisa dialami oleh siapa saja tanpa kenal usia - AlteaCare

Tidak semudah itu orang dianggap kena depresi dan tidak semudah itu mereka yang mengidap depresi bisa disembuhkan. Ada beberapa fakta penting yang perlu Anda ketahui tentang depresi, seperti dalam infografik kali ini.Segera hubungi ahli bila Anda maupun anggota keluarga sering stres berkepanjangan atau mengalami beberapa gejala yang sepertinya mengarah ke depresi. Tidak perlu merasa malu atau takut. Anda bisa manfaatkan telekonsultasi dari rumah saja menggunakan AlteaCare untuk bicara dengan psikolog maupun psikiater. Yuk, segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang!

 INFOGRAFIK: 6 Fakta Seputar Depresi 

Kedekatan dengan pasangan bisa menguatkan dalam masa menanti dua garis biru - AlteaCare | Foto: Envato

Kerinduan untuk memiliki buah hati sering dirasakan oleh pasangan yang sudah menikah namun tidak kunjung hamil. Harapan melihat dua garis biru di alat tes kehamilan pun membuat mereka mengerahkan segala usaha. Tapi, hal ini juga bisa mengurasi emosi dan jiwa.Penelitian mengungkap, keinginan memiliki anak umumnya sangat kuat pada perempuan. Kehadiran buah hati dalam keluarga menjadi bagian dari tolak ukur kebahagiaan dan well-being perempuan.<h2>Perjuangan dua garis biru harus dilalui bersama</h2>Riset menyebutkan, menjadi ibu merupakan bagian pembentukan identitas seorang perempuan. Hal ini juga disampaikan Psikolog Inez Kristanti, M.Psi, dalam live streaming AlteaTalk Episode 6 lalu. Menurutnya, ini berkaitan dengan peran gender yang terbentuk dalam masyarakat.“Wanita sejak kecil diperkenalkan dengan boneka dan permainan peran sebagai ibu. Sejak kecil, mereka belajar bahwa ini adalah tanggung jawabnya,” urai Inez.Saat dewasa banyak orang mengasosiasikan perjuangan mencapai dua garis biru dan punya anak sebagai urusan perempuan. “Saat sulit punya anak, perempuan merasa bersalah duluan. Menganggap dirinya gagal sebagai istri, karena punya anak adalah tugasnya. Laki-laki tidak terpikir sampai sana, karena sejak kecil tidak pernah diinternalisasi sebagai perannya,” lanjut Inez.Studi lain juga menyebutkan, banyak pria mengaitkan keinginan memiliki buah hati dengan norma dan status sosial. Itu sebabnya, ketika pasangan sulit punya anak atau mengalami infertilitas, pria butuh waktu untuk memroses. “Pria sejak dulu diharapkan harus maskulin, harus bisa. Masalah susah punya keturunan, apalagi jika berasal dari pihaknya, dapat jadi tantangan psikologis,” jelas Inez lagi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-bersikap-bodo-amat-walau-belum-punya-anak-1639453083667" target="_blank">Cara Bersikap Bodo Amat Walau Belum Punya Anak</a><h2>Tetap tenang menanti dua garis biru</h2>Saat berjuang menuju dua garis biru, kegagalan yang terjadi mungkin tidak bisa diubah. Tapi pasangan bisa menentukan bagaimana cara memaknai peristiwa ini, serta menyalurkan rasa sedih dan frustrasi dengan lebih positif. Beberapa tips ini bisa jadi inspirasi untuk para pejuang dua garis:<h3>1. Alihkan perhatian sejenak</h3>Selain memikirkan program kehamilan, lakukan juga aktivitas lain yang bisa menyenangkan hati. Coba lakukan:<ul><li>Makan malam spesial dengan pasangan</li><li>Nonton film, baca buku, atau mencoba resep masakan baru</li><li>Mengatur ulang rumah</li><li>Menekuni hobi kerajinan tangan</li><li>Menulis jurnal</li></ul><h3>2. Lebih dekat lagi dengan pasangan</h3>Bila selama ini keintiman terlalu difokuskan untuk mencapai dua garis biru, sesekali lupakan sejenak dan hidupkan kebersamaan dengan pasangan. Coba lakukan:<ul><li>Bicara dari hati ke hati dengan pasangan</li><li>Diskusikan perasaan dan ganjalan selama perjalanan memiliki buah hati </li><li>Komunikasikan dukungan apa yang diinginkan masing-masing selama perjalanan ini</li></ul><h3>3. Sayangi diri sendiri</h3>Ini tidak hanya berkaitan dengan makan yang sehat atau rajin ke dokter, lo. Setiap pasangan juga butuh waktu untuk relaksasi dan mengelola stres secara sehat. Menurut studi di American Journal of Reproductive Immunology, stres yang dialami istri bisa membuat sang suami juga stres, cemas, bahkan depresi—begitu juga sebaliknya. Kondisi seperti ini dapat menurunkan peluang mencapai dua garis biru. Jika sedang menjalani program kehamilan dengan metode bayi tabung, kondisi stres bisa menyebabkan kegagalan.Coba lakukan:<ul><li>Dengar musik favorit dan menari sesuka hati</li><li>Berendam di bath tub setelah seharian lelah beraktivitas</li><li>Latihan yoga untuk tenangkan pikiran</li><li>Meditasi sebelum tidur</li><li>Ikut terapi lewat kelas melukis</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a>

<h3>4. Jangan ragu akui perasaan </h3>Saat mengalami masalah dalam memiliki buah hati, hindari untuk mencoba pura-pura kuat sepanjang waktu. Nyatakan perasaan pada pasangan atau pada orang terdekat yang bisa dipercaya. Memendam perasaan bukanlah keputusan yang sehat.Coba lakukan:<ul><li>Jujurlah saat merasa cemas, karena kadarnya akan dapat berkurang ketika disalurkan. Kecemasan dapat menandakan Anda sedang melakukan hal penting buat Anda dan pasangan.</li><li>Buang rasa malu. Tidak ada salahnya berusaha mencapai dua garis biru atau menjalani program bayi tabung.</li></ul><h3>5. Cari support group</h3>Keluarga dan sahabat dapat jadi inner circle yang suportif. Namun, tidak ada salahnya juga untuk bergabung dalam komunitas yang punya masalah serupa. Dengan begitu, pasangan dapat merasa semakin dikuatkan.Selain itu, jangan ragu mencari bantuan dari profesional jika perlu, untuk mengatasi masalah terkait kesehatan mental maupun kesuburan. Dengan melakukan konsultasi pada ahli, pasangan bisa mendapat penanganan yang tepat dan terarah. Anda bisa lakukan konsultasi dari rumah saja menggunakan AlteaCare. Sesi telekonsultasi menghubungkan Anda dengan dokter spesialis yang dibutuhkan, seperti psikolog, kejiwaan, atau fertilitas. Yuk, segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare. Semangat terus menuju dua garis biru! 
 Sumber:<ul><li>F. van Balen &amp; T. C. M. Trimbos-Kemper (1995) Involuntarily Childless Couples: Their Desire to have Children and Their Motives, Journal of Psychosomatic Obstetrics &amp; Gynecology, 16:3, 137-144</li><li>Boivin, J., Buntin, L., Kalebic, N., &amp; Harrison, C. (2018). What makes people ready to conceive? Findings from the International Fertility Decision-Making Study. Reproductive biomedicine &amp; society online, 6, 90–101. </li><li>Very Well Family. Diakses pada Desember 2021. Coping When Trying to Get Pregnant Overwhelms You</li><li>Haimovici, F., Anderson, J. L., Bates, G. W., Racowsky, C., Ginsburg, E. S., Simovici, D., &amp; Fichorova, R. N. (2018). Stress, anxiety, and depression of both partners in infertile couples are associated with cytokine levels and adverse IVF outcome. American journal of reproductive immunology (New York, N.Y. : 1989), 79(4), e12832. </li><li>Psychology Today. Diakses pada Desember 2021. 8 Tips for Coping with the Stress of Trying to Conceive</li></ul>

Tenang Menanti Datangnya Dua Garis Biru

Pasangan harus kompak dan berani bersikap bodo amat terhadap komentar miring dari orang luar-AlteaCare | Foto: Envato

Ketika sudah beberapa tahun menikah tapi belum dikaruniai buah hati, ketenangan hati dan pikiran mungkin sering diganggu komentar dan pertanyaan dari luar. Apalagi, kalau berasal dari keluarga, yang diharapkan justru paling memahami kegelisahan Anda. Tak heran bila Anda pun membatin, sebenarnya apa ada cara bersikap bodo amat walau belum punya anak?Dalam live streaming AlteaTalk Episode 6 pada 9 Desember lalu, beberapa narasumber hadir secara khusus untuk membahas pentingnya menjaga kesehatan mental bagi pasangan yang sedang berjuang memiliki anak. Mengambil tema “Cara Bersikap Bodo Amat Walau Belum Punya Anak”, Mizz Rosie, founder Komunitas Menuju Dua Garis berbagi pengalamannya.“Aspek kesehatan mental harus jadi sorotan utama, sebab stres bisa berdampak buruk bagi pasangan yang mau jalani program bayi tabung,” tutur Mizz Rosie. “Di sisi lain, stigma dan tekanan sosial bisa membuat orang yang sedang menanti buah hati jadi bertanya, sebenarnya apa yang salah pada diri mereka.”<h2>“Kapan punya anak?”</h2>Buat pasangan yang masih berjuang mencapai dua garis, pertanyaan kapan punya anak seperti tidak ada habisnya. Menurut Psikolog Inez Kristanti, M.Psi, basa-basi orang Indonesia umumnya memang seperti itu. “Yang ditanyakan itu-itu saja. Sebenarnya, kita perlu belajar lebih berempati saat bertanya. Karena banyak, kok, yang bisa ditanyakan selain soal anak,” kata Inez.Supaya acara sosial tidak malah bikin tertekan dan tidak nyaman, misalnya acara kumpul keluarga di hari raya, lebih baik pasangan tetapkan batasan. Terapkan cara bersikap bodo amat. “Tentukan acara mana yang bisa dihadiri, mana yang tidak karena bikin kita tidak nyaman. Berani menolak,” kata Mizz Rosie. “Intinya, kita harus jaga diri sendiri. Kita bisa berteman, bersilaturahmi, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain tanpa melukai diri sendiri,” tambah Inez. Bila yang mengundang adalah orang terdekat, kita bisa terbuka padanya. Berkata bahwa kita tidak nyaman datang karena mengingatkan akan kerinduan memiliki anak “Kita sering sulit bilang tidak dan merasa harus memberi penjelasan panjang agar tidak dianggap macam-macam. Padahal, kadang orang bisa respek meski kita langsung menolak undangannya. Kalau memaksa, baru kita beri penjelasan. Tekankan bahwa bukannya kita tidak mau berteman lagi dengannya, namun kondisi tidak memungkinkan untuk datang,” anjur Inez lagi. <h2>Lebih solid dengan pasangan</h2>Perjuangan memiliki anak bukan hanya dihadapi oleh istri, namun juga suami. Karena itu, keduanya harus kompak dalam menjalani segala hal. Kita bisa punya cara bersikap bodo amat pada orang luar, tapi tidak dengan pasangan.“Masalah infertilitas bukanlah hanya tanggung jawab istri, karena disadari atau tidak masih banyak suami yang enggan diajak periksa ke dokter. Apalagi jika infertilitas ini ada pada pihak pria. Tidak mudah bagi mereka untuk menerimanya,” kata Mizz Rosie. Mizz Rosie menekankan pentingnya kekompakan suami istri. “Pengobatan dan terapi tetap dijalani berdua, meski tekanan lebih banyak dialami oleh istri. Suami bisa ambil bagian dengan memberi dukungan emosional. Harus bekerjasama sebagai pejuang dua garis,” tuturnya. “Jangan ragu untuk komunikasikan apa yang dibutuhkan. Suami bisa tanya apa yang bisa ia lakukan supaya istri nyaman selama program bayi tabung. Tanggung jawab fisik mungkin beda, tapi beban emosi bisa dipikul bersama,” saran Inez.<h2>Perjalanan yang menguatkan</h2>Masih banyak cara bersikap bodo amat lain yang bisa diadopsi. Namun, Mizz Rosie mengingatkan bahwa masa penantian buah hati bukanlah masa untuk meratap, namun untuk membentuk diri menjadi lebih baik. “Cari hal positif dari segala hal. Seburuk apa pun, tetap memberi manfaat besar buat kita,” katanya.Sementara Inez berpesan, selama proses ini kita boleh merasakan apa saja. “Perasaan kita itu valid. Tidak perlu merasa lemah apalagi mengasihani diri sendiri. Setelah itu, olah perasaan kita. Cari support system, bisa menulis jurnal atau berbagi dengan teman seperjuangan,” katanya. Singkat kata, cara bersikap bodo amat walau belum punya anak bisa dicapai dengan:<ul><li>Belajar untuk menghadapi diri sendiri dengan segala perasaannya. Hayati dan maknai setiap proses yang terjadi</li><li>Bersama pasangan, kuasai teknik coping yang tepat terhadap komentar dan pertanyaan&nbsp;dari luar dan siapkan jawabannya</li><li>Libatkan keluarga dalam perjuangan menuju dua garis agar mereka bisa paham kesulitan yang kita alami</li><li>Bicara lebih asertif tanpa emosi berlebihan terhadap orang lain yang bertanya. Memendam emosi tidak baik untuk kesehatan mental dan orang lain pun tidak belajar untuk lebih menghargai kita</li></ul>Yuk, Sobat Altea yang juga pejuang dua garis, kita praktikkan mulai hari ini!

Cara Bersikap Bodo Amat Walau Belum Punya Anak

Stigma diri yang buruk membuat seseorang menganggap dirinya tidak berharga - AlteaCare | Foto: Envato

Apa yang Anda rasakan saat melihat orang dengan gangguan mental? Sebagian langsung memberi label gila. Tak banyak yang tahu bahwa tidak semua orang yang punya gangguan jiwa lantas harus diisolasi dalam ruang perawatan. Banyaknya stigma adalah faktor penyebab kurangnya pemahaman soal kesehatan mental. 
Stigma atau ciri negatif yang diberikan lingkungan kepada orang yang punya gangguan kesehatan mental ternyata bisa berdampak buruk. Tak hanya orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya, menurut studi di jurnal Psychology Research and Behavior Management, stigma dan diskriminasi juga kerap diterima tenaga profesional. Misalnya, para psikiater, psikolog, dan perawat yang menangani orang dengan gangguan jiwa.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a><h2>Dua Bentuk Stigma yang Sering Dialami</h2>Dalam keseharian, ada dua bentuk stigma yang dihadapi oleh orang dengan gangguan kesehatan mental:

<h3>1.&nbsp;Stigma Publik (public stigma)</h3>Yang dimaksud dengan public stigma adalah stigma yang berasal dari masyarakat, dalam bentuk penolakan, pengucilan, dan kekerasan. Banyak orang menganggap orang dengan gangguan mental itu berbahaya, tidak bisa ditebak perilakunya, dan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Mereka juga disalahkan karena bisa sampai mengalami gangguan kejiwaan.Diskriminasi yang didapatkan: tidak boleh melamar pekerjaan di perusahaan, tidak boleh mengontrak rumah, diusir dari tempat tinggalnya<h3>2. Self-stigma</h3>Bentuk stigma kedua ini berasal dari diri sendiri dan keluarga. “Bentuknya bisa berupa rasa bersalah, berprasangka buruk, ketakutan, serta kemarahan,” urai Psikolog Klinis Nidya Dwika Puteri, M.Psi, yang berpraktik di AlteaCare. Diskriminasi yang didapatkan: Orang dengan gangguan jiwa mendiskriminasikan dirinya sendiri, menganggap dirinya tidak berharga dan kehilangan kepercayaan diri, 
<h2>Faktor Sosial-Budaya Berpengaruh</h2>Di Indonesia, salah satu dampak stigma adalah tindakan diskriminasi dengan cara memasung orang dengan gangguan kesehatan mental menggunakan kayu di bagian kaki, tangan, atau leher. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, sekitar 14,3% dari orang dengan gangguan jiwa berat pernah atau sedang mengalami pasung. 
Menurut Nidya, pola berpikir keliru membuat masyarakat cenderung mengucilkan orang dengan gangguan mental dari lingkungan sosial. Sementara melansir dari American Psychiatric Association, kelekatan terhadap nilai-nilai budaya dapat mendorong orang Asia cenderung menutup diri dan tidak mencari pertolongan karena tidak mau mendapat malu. 
“Keluarga akhirnya menunda melakukan pengobatan, sehingga dapat memperbesar penderitaan dan memperlambat proses penyembuhan,” tambah Psikolog yang juga berpraktik di RS Mitra Keluarga Kemayoran ini. 
<h2>Media Turut Berperan</h2>Hal lain yang dapat membentuk stigma adalah media. Apa yang kita baca atau tonton setiap hari ternyata bisa memengaruhi pandangan terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental. 
Penelitian di JAMA Network Open menyebutkan, film popular seperti Joker dapat memberi persepsi keliru terhadap sosok orang dengan gangguan kejiwaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa film tersebut berkaitan dengan tingkat prasangka buruk yang tinggi terhadap orang dengan gangguan mental. Selain itu, film ini juga dapat memperburuk self-stigma bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga semakin menunda dalam mencari pertolongan.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-mitos-dan-fakta-seputar-gangguan-jiwa-1634878323842" target="_blank">5 Mitos dan Fakta Seputar Gangguan Jiwa</a> 
<h2>Apa yang Bisa Kita Lakukan?</h2>Menurut studi di Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience, stigma dan diskriminasi bisa membatasi kesempatan hidup dan upaya kesembuhan orang dengan gangguan jiwa. 
Beberapa hal yang bisa kita lakukan supaya orang dengan gangguan kesehatan mental tidak terus terbebani stigma adalah:<ul><li>Memahami kondisi dan mencoba berinteraksi. Studi di Psychology Research and Behavior Management menyarankan kita melakukan kontak dengan orang yang mengalami gangguan jiwa agar kita bisa lebih empatik. Sebaliknya, interaksi ini juga dapat membentuk sikap positif bagi yang mengalami gangguan mental. </li><li>Ikut menyebarkan edukasi positif seputar gangguan kejiwaan. Semakin baik wawasan masyarakat seputar gangguan ini, stigma publik terhadap orang dengan gangguan jiwa pun dapat semakin berkurang.</li><li>Memberi dukungan pada keluarga. Berikan informasi yang tepat seputar gangguan kejiwaan. Pelan-pelan, coba berikan saran untuk membawa anggota keluarga yang mengalami gangguan untuk berkonsultasi dengan ahli.</li></ul>Mendapatkan pertolongan dan hidup bebas dari stigma adalah hak mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental. Bila ada kesulitan untuk mengunjungi profesional secara langsung, manfaatkan fasilitas telekonsultasi untuk berbicara dengan psikiater atau psikolog melalui video call. Ini bisa jadi langkah awal yang tepat sekaligus aman dan nyaman bagi orang dengan gangguan jiwa maupun keluarganya. Lakukan telekonsultasi dari rumah menggunakan AlteaCare. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">unduh </a>di ponsel dan buat janji dengan dokter spesialis yang diinginkan! 
 

Sumber:<ul><li>Psychology Research and Behavior Management. Diakses pada Oktober 2021. Stigma toward people with mental health problems in Indonesia</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2021. Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)</li><li>
American Psychiatric Association. Diakses pada Oktober 2021. Stigma, Prejudice and Discrimination Against People with Mental Illness</li><li>
JAMA Netwok Open. Diakses pada Oktober 2021. Association of Viewing the Films Joker or Terminator: Dark Fate With Prejudice Toward Individuals With Mental Illness</li><li>
Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience. Diakses pada Oktober 2021. Self-stigma as a barrier to recovery</li></ul>

Stop Sebar Stigma Tentang Gangguan Kesehatan Mental

Lakukan yoga untuk rilekskan pikiran dan redakan stres - AlteaCare | Foto: Envato

Pandemi yang berkepanjangan tak pelak berdampak pada kondisi kejiwaan. Banyak orang berpotensi mengalami depresi berat akibat tidak memahami cara menghilangkan stres yang dialami akibat dampak pandemi. “Masalah pandemi sendiri di satu sisi membuat orang merasa takut akan terpapar virus. Di sisi lain, kondisi ini juga dapat berdampak pada masalah finansial dan sosialisasi,"&nbsp;jelas dr. Dian Tri Pagita, Sp.KJ, Psikiater dari RS Mitra Keluarga Bintaro.Ketika dulu bisa bebas bertemu dengan orang lain, jadi harus di rumah saja, lanjutnya. Suami-istri yang sebelumnya punya aktivitas masing-masing, harus sama-sama bekerja dari rumah dengan tingkat stresnya sendiri. Ini akhirnya berpotensi membuat mereka jadi lebih sensitif, mudah bertengkar atau adu argumen. Anak-anak pun merasakan dampaknya.
Survei yang dipublikasikan oleh badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, meningkatnya pandemi membuat semakin banyak orang membutuhkan layanan kesehatan terkait gangguan kejiwaan. Selain itu, kita juga butuh cara menghilangkan stres yang tepat agar bisa bertahan di situasi tidak normal ini dan terjauh dari&nbsp;risiko depresi berat.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/serupa-tapi-tak-sama-apa-perbedaan-stres-dan-depresi-1636080470595" target="_blank">Serupa Tapi Tak Sama, Apa Perbedaan Stres dan Depresi?</a><h2>Hati-hati, stres bisa jadi depresi</h2>Melansir dari WebMD, selalu berada dalam kondisi stres kronis dapat meningkatkan respons stres fisiologis secara berlebihan, bahkan hingga melampaui kemampuan. Lama kelamaan, keadaan ini bisa berdampak pada kesehatan fisik dan jiwa kita. Stres kronis secara fisik dapat menimbulkan gangguan kesehatan serius, seperti gangguan pada jantung, pencernaan, siklus menstruasi, obesitas atau gangguan makan lain, gangguan pada kulit dan rambut, bahkan disfungsi seksual. Sedangkan dari sisi kejiwaan, stres jangka panjang berkontribusi pada munculnya depresi. Sebaliknya, depresi juga dapat menimbulkan stres. “Seperti fenomena bola salju, stres yang awalnya ringan akan bisa terakumulasi karena dibiarkan berkepanjangan dan lama-lama akan pecah juga dan menimbulkan depresi,” kata dr. Pagita. 

<h2>Cara menghilangkan stres dan depresi</h2>Berikut ini adalah cara menghilangkan stres yang bisa dilakukan agar Anda terlepas dari risiko depresi berat.<h3>1. Miliki “me-time”</h3>Menurut dr. Pagita, kita perlu punya waktu untuk diri sendiri setiap hari. “Ini penting dan merupakan bentuk apresiasi diri, agar kita ingat bahwa kita yang sudah melakukan hal-hal luar biasa baik untuk diri sendiri maupun orang yang kita sayangi,” katanya. Luangkan waktu untuk jalani aktivitas yang membuat hidup Anda lebih bermakna. <h3>2. Susun rutinitas harian </h3>Studi memperlihatkan bahwa memiliki jadwal rutinitas dapat membantu Anda tidak mudah lepas kendali saat stres datang. Jadi, meski tengah situasi di luar yang tidak jelas, sisi dalam diri Anda tetap tertata dan dapat dikuasai dengan baik. <h3>3. Tetapkan prioritas </h3>“Membuat skala prioritas bisa membantu memberi pencerahan ketika pikiran Anda terasa buntu akibat banyak masalah,” anjur dr. Pagita. Paparkan masalah-masalah Anda di atas kertas, lalu di sebelahnya tulis mana yang akan diselesaikan lebih dulu.<h3>4. Berolahraga</h3>Lakukan aktivitas fisik ringan setidaknya 30 menit sehari, lima hari seminggu. Olahraga sangat baik untuk membantu mengatasi stres hingga depresi berat. Cara menghilangkan stres lewat latihan yang sifatnya lambat dan menenangkan seperti yoga membantu Anda rileks sekaligus berfokus pada diri sendiri. <h3>5. Benahi pola makan</h3>Kondisi stres dan depresi dapat memicu gangguan pola makan. Bereskan semua: beralih pada pola makan yang sehat serta batasi asupan minuman mengandung kafein yang bisa membuat Anda makin stres. Hindari alkohol yang juga bisa berdampak buruk bagi tubuh.<h3>6. Cukup beristirahat</h3>Memberikan waktu istirahat untuk tubuh dan pikiran bisa menjadi cara menghilangkan stres. National Sleep Foundation merekomendasikan Anda untuk tidur selama 7-9 jam setiap malamnya.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-mitos-dan-fakta-seputar-gangguan-jiwa-1634878323842" target="_blank"> 5 Mitos dan Fakta Seputar Gangguan Jiwa</a><h3>7. Jalin terus komunikasi</h3>Bicaralah dengan orang terdekat seputar berbagai masalah dan beban yang Anda alami juga dapat jadi semacam terapi. Memiliki hubungan yang erat dan suportif dapat menghindarkan Anda dari depresi berat. Bila cara menghilangkan stres dengan cara curhat dengan sahabat atau keluarga belum cukup, Anda bisa berbicara dengan ahli. Melakukan telekonsultasi dengan psikolog atau dokter spesialis jiwa di AlteaCare bisa membuat Anda bisa curhat lebih nyaman, kerahasiaan terjamin, dan risiko depresi berat pun bisa dicegah. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare dan buat psikiater atau psikolog pilihan Anda! 
 

Sumber:<ul><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. COVID-19 disrupting mental health services in most countries, WHO survey</li><li>
WebMD. Diakses pada Oktober 2021. Stress Symptoms</li><li>
WebMD. Diakses pada Oktober 2021. Stress and Depression</li><li>
Yale Medicine. Diakses pada Oktober 2021. Stress, Anxiety, or Depression? Treatment Starts With the Right Diagnosis</li></ul>

Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres

Bila tidak diatasi, stres berkepanjangan bisa bikin Anda jatuh dalam depresi - AlteaCare | Foto: Envato

Hidup sehari-hari tidak lepas dari permasalahan yang bikin kita jadi tertekan atau stres. Namun, tidak semua stres adalah hal yang negatif. Ada juga yang positif. Lalu, apa perbedaan stres yang positif dan negatif?Jenis stres yang positif disebut juga eustres. “Jenis&nbsp;stres ini membuat kita termotivasi, misalnya saat mulai bekerja di tempat baru. Rasanya deg-degan saat akan menghadapi pekerjaan, rekan kerja, dan lingkungan yang baru. Namun, ini positif karena kita jadi terdorong untuk lebih berkembang dan sukses,” kata dr. Dian Tri Pagita, Sp.KJ, Psikiater dari RS Mitra Keluarga Bintaro. “Sedangkan pada stres yang negatif, atau distress, respons kita pun negatif. Misalnya, saat menghadapi pekerjaan yang bikin stres, kita jadi menunda-nunda, tidak masuk kerja, atau mulai menghindar,” jelas dr. Pagita. Jenis stres yang negatif&nbsp;inilah yang harus diatasi dengan benar. Sebab, jika Anda selalu di bawah tekanan dalam waktu yang lama, rasa stres akan menetap dan berpengaruh terhadap kondisi fisik dan emosional Anda. 
<h2>Stres adalah…</h2>Nah, setelah tahu apa perbedaan kedua jenis stres, mungkin Anda jadi ingin tahu. Stres itu apa sebenarnya, ya?&nbsp;Melansir dari Yale Medicine, stres adalah bentuk respons fisik terhadap suatu situasi. Ketika otak menerima sinyal yang mengancam, bagian dalam otak yang disebut amigdala akan mempersiapkan tubuh untuk bersiap untuk “lawan atau lari”.Proses biologis lainnya yang terjadi adalah dilepaskannya hormon adrenalin dan kortisol. Ini membuat detak jantung dan napas Anda jadi makin cepat. Anda pun sulit untuk berpikir dengan tenang dan logis, sehingga dapat bertindak impulsif. Agar hidup bisa seimbang, diperlukan manajemen stres yang tepat, yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/biar-tidak-jadi-depresi-berat-inilah-cara-menghilangkan-stres-1636080534322" target="_blank">Biar Tidak Jadi Depresi Berat, Inilah Cara Menghilangkan Stres</a> 
<h2>Depresi adalah…</h2>Apa perbedaan stres dengan depresi? Menurut dr. Pagita, depresi adalah salah satu jenis gangguan psikiatri atau mental. Bila tidak segera diatasi dengan tepat dan dibiarkan berlarut-larut, yang dikhawatirkan dari stres adalah potensi untuk berkembang menjadi depresi.Badan kesehatan dunia WHO menempatkan depresi sebagai salah satu penyebab utama gangguan disabilitas di dunia. Gangguan depresi dialami oleh sekitar 280 juta orang di dunia ini.“Yang dapat dialami seseorang saat depresi antara lain adalah rasa sedih berkepanjangan, hilang minat, atau hilang tenaga. Selain itu, dapat terjadi perubahan pola makan dan pola tidur, muncul rasa bersalah, menarik diri dari lingkaran sosial, rasa putus asa, overthinking, pesimis, hingga mulai muncul pikiran untuk melukai diri sendiri atau mengakhiri hidup,” urai dr. Pagita. <h2>Kaitan antara stres dan depresi</h2>Setelah memahami apa perbedaan stres dan depresi, kita jadi tahu bahwa dua kondisi ini dapat saling berhubungan. <ul><li>Stres berkepanjangan dapat menimbulkan depresi. Pemicu terbesar yang memperberat stres adalah perceraian atau kesulitan ekonomi. Kondisi stres yang semakin berat umumnya dapat memicu munculnya depresi. </li><li>Depresi dapat meningkatkan kadar stres. Yang kerap terjadi saat seseorang depresi adalah mengisolasi diri dan berhenti melakukan aktivitas yang disukai. Sementara hidup secara terisolasi bisa bikin level stres makin tinggi.</li></ul><h2>Cara mengatasi stres dan depresi</h2>Stigma dan mitos yang beredar di masyarakat seringkali membuat orang yang mengalami stres maupun depresi menyimpan masalahnya sendiri. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/5-mitos-dan-fakta-seputar-gangguan-jiwa-1634878323842" target="_blank">5 Mitos dan Fakta Seputar Gangguan Jiwa</a>
Padahal, kunci utama dalam mengatasi stres adalah keterbukaan, sehingga kita tidak sampai depresi. “Saat mengalami stres, Anda bisa berbicara atau curhat dengan orang terdekat. Pilih orang yang tepat, yang bersedia jadi pendengar yang baik saat Anda curhat,” saran dr. Pagita. Berkonsultasi dengan profesional, seperti psikolog atau dokter spesialis kejiwaan (psikiater) dapat membantu Anda mendapatkan saran dan solusi secara lebih objektif. 
Nah, setelah tahu apa perbedaan stres dan depresi, tentu Anda jadi makin paham kalau stres adalah kondisi yang tidak boleh dibiarkan. Anda bisa coba lakukan telekonsultasi secara daring supaya lebih nyaman bicara dengan psikolog atau psikiater dari rumah. Yuk, gunakan AlteaCare dan jadwalkan konsultasi dengan ahli hari ini! Segera unduh AlteaCare di ponsel Anda dengan klik <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">tautan ini</a>! 
 

Sumber:<ul><li>Yale Medicine. Diakses pada Oktober 2021. Stress, Anxiety, or Depression? Treatment Starts With the Right Diagnosis</li><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. Depression</li><li>WebMD. Diakses pada Oktober 2021. Stress and Depression</li><li>Family Doctor. Diakses pada Oktober 2021. Mental Health Myths: Stop the Stigma</li></ul>

Serupa Tapi Tak Sama, Apa Perbedaan Stres dan Depresi?

Bercerita pada ahli bisa membantu menemukan akar penyebab gangguan jiwa - AlteaCare | Foto: Envato

Anda pasti tidak asing dengan istilah “mens sana in corpore sano”, yang berarti “dalam tubuh sehat terdapat jiwa yang kuat”. Hidup sehat bukan sekadar urusan fisik tapi juga keseimbangan jiwa.Undang-undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan, kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. 
Sementara badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, kesehatan mental berperan penting dalam mendukung kemampuan berpikir, mengolah emosi, berinteraksi dengan orang lain, serta bekerja dan menikmati hidup ini. 
<h2>Sayangnya, hidup tak lepas dari masalah,…</h2>Beban hidup bisa mengganggu keseimbangan jiwa. Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, 1 dari 4 orang di dunia dapat mengalami gangguan jiwa atau gangguan mental pada salah satu fase kehidupannya. 
Gangguan jiwa adalah salah satu penyebab gangguan fisik dan disabilitas di seluruh dunia. Sementara depresi, salah satu jenis gangguan kesehatan mental, dialami lebih dari 264 juta orang pada tahun 2017. 
Sayangnya, tidak semua orang yang mengalami gangguan kejiwaan bisa mendapat perawatan. WHO mencatat sebanyak 75-85% orang yang memiliki masalah kesehatan mental di sejumlah negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak mendapatkan perawatan. Hal ini dapat dipengaruhi stigma dan mitos seputar gangguan jiwa yang beredar di masyarakat. 

<h2>Mitos Seputar Gangguan jiwa</h2>Berikut adalah beberapa mitos seputar gangguan jiwa yang ada di sekitar kita: 
<h3>1. Berperilaku agresif dan sering tiba-tiba mengamuk </h3>Faktanya: kita mungkin tak sadar orang terdekat kita ternyata memiliki gangguan mental, karena sepintas mereka terlihat normal, aktif, dan produktif. 
Melansir Mental Health, di antara kejadian terkait perilaku agresif dan melukai orang lain, hanya sekitar 3-5% dilakukan orang dengan gangguan mental serius. Orang dengan gangguan jiwa serius justru berisiko 10 kali lipat lebih tinggi untuk jadi korban tindak kekerasan. 
<h3>2. Tidak bisa bekerja di tengah masyarakat</h3>Faktanya: Orang dengan gangguan jiwa sangat berat mungkin tidak bisa melakukan rutinitas sehari-hari. Namun, sebagian lain bisa hadir tepat waktu dan punya motivasi maupun kinerja yang baik di kantor. Bisa jadi, mereka lebih betah bekerja dibanding yang lain. 
<h3>3. Gangguan mental terjadi karena kepribadian yang lemah</h3>Faktanya: Kesehatan mental yang buruk tidak disebabkan oleh kepribadian lemah atau mental mudah menyerah. Gangguan kejiwaan adalah gangguan medis yang butuh perawatan, sama seperti saat kita terkena infeksi atau cedera patah tulang. 

Penyebab gangguan mental antara lain:<ul><li>Faktor biologis, seperti genetika, gangguan penyakit fisik, cedera, atau struktur kimia otak</li><li>Pengalaman hidup, misalnya peristiwa traumatis, stres berkepanjangan akibat pekerjaan, atau masalah keluarga.</li><li>Riwayat dalam keluarga, seperti punya orangtua dengan gangguan mental. </li></ul><h3>4. Gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan</h3>Faktanya: Gangguan mental bukanlah vonis hukuman seumur hidup. Masalah kejiwaan dapat berbeda pada setiap orang. Ada yang cepat pulih, ada yang bisa mengalami episode kambuh dan sembuh, sehingga butuh bantuan ahli. Antara lain lewat pemberian obat-obatan dan terapi. 
<h3>5. Kalau minta bantuan profesional, berarti sudah gila</h3>Faktanya: Keluarga dan sahabat bisa menjadi tempat pertama untuk curhat dan memberi dukungan moral. Sementara, ahli berpengalaman memberikan saran konstruktif dan membantu menemukan akar penyebab gangguan jiwa. 
Menurut Psikolog Nidya Dwika Puteri, M.Psi, kehadiran seorang profesional dapat membantu melihat apa yang dibutuhkan mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental. 
<h4 style="text-align: center;">“Psikolog mendengarkan keluhan tanpa menekan dan tanpa menghakimi. Kehadiran ahli dapat membantu memberi rasa nyaman, menjalin koneksi, melindungi Anda dari situasi krisis, serta menanamkan harapan tapi tidak menjanjikan,” kata Nidya yang juga berpraktik di AlteaCare. 
</h4> Bila Anda sedang dilanda masalah pelik atau punya beban jiwa yang berat, jangan sungkan untuk bicara dengan ahlinya. Tidak perlu khawatir dicap “orang gila” dan jangan simpan masalah Anda sendirian 
Anda bisa melakukan telekonsultasi dengan psikolog atau dokter spesialis jiwa yang bergabung di AlteaCare. Sesi konsultasi lewat video call dari rumah saja membuat Anda lebih nyaman bercerita pada ahli. 
Yuk, download AlteaCare dan temui profesional untuk dapatkan solusi! 

Sumber: 
Undang-undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa 
WHO. Diakses pada Oktober 2021. Mental health: strengthening our response 
Medical News Today. Diakses pada Oktober 2021. Medical myths: Mental health misconceptions 
Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience. Diakses pada Oktober 2021. Self-stigma as a barrier to recovery 
Mental Health Gov. Diakses pada Oktober 2021. Mental Health Myths and Facts 
Family Doctor. Diakses pada Oktober 2021. Mental Health Myths: Stop the Stigma

5 Mitos dan Fakta Seputar Gangguan Jiwa

Bagi wanita, curhat di media sosial adalah sarana untuk penuhi kebutuhan emosi - AlteaCare | Foto: Envato

Perkembangan teknologi
 membuat kita punya lebih banyak akses terhadap informasi dan juga lebih mudah
 dalam berbagi informasi. Pertumbuhan media sosial, sering disingkat medsos, memungkinkan
 kita lebih dekat dengan keluarga, kerabat, dan teman yang tinggal berjauhan.
 Kita pun sering berbagi cerita di medsos, agar mereka bisa tahu kabar
 terkini kita.
 &nbsp;

Sebagian dari kita juga
 mungkin menggunakan media sosial sebagai wadah untuk mencurahkan isi
 hati alias curhat. Ya, kalau dulu kita lebih sering curhat saat
 bertemu atau menelepon sahabat, atau juga menulis jurnal pribadi, kini semua
 pindah ke medsos. Bisa dibilang, medsos adalah jurnal pribadi
 kita, yang bisa diakses oleh mereka yang ada di daftar pertemanan. 
<h2>Boleh tidak sering curhat di medsos?
</h2>Menurut Nidya Dwika
 Puteri, Psikolog Klinis dari RS Mitra Keluarga serta founder Askara
 Pelangi, curhat di medsos adalah salah satu cara kita
 berkomunikasi dengan orang lain.

“Kalau dilihat dari
 pengalaman praktik dan di lapangan, perempuan lebih sering curhat di media sosial dibandingkan laki-laki. Tujuannya pun
 berbeda. Pria lebih banyak curhat
 untuk mendapatkan solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Sementara wanita
 cenderung curhat untuk memenuhi
 kebutuhan emosi,” kata Nidya dalam acara AlteaTalk Episode 1 dengan tema “Boleh
 Gak Ya Sering Curhat di Sosmed?” pada 8 Oktober 2021 lalu.
 &nbsp;

Hal ini sejalan dengan
 penelitian yang memaparkan perbedaan pola komunikasi antara laki-laki dan
 perempuan. Nidya menyebutkan, pria lebih banyak menggunakan bahasa yang asertif
 atau penegasan. &nbsp;Sementara wanita lebih
 cenderung menggunakan bahasa yang afirmatif, alias mencari penguatan.
 &nbsp;

<h2>Siapkan diri hadapi respons tidak diinginkan
</h2>
Sering baca curhat dari teman yang sebenarnya
 bertujuan untuk menyindir orang terdekatnya? Menurut Nidya, ini dilakukan untuk
 memberi kode ke orang yang bersangkutan.
 &nbsp;

 “Bisa jadi kodenya itu
 sebenarnya minta diperhatikan. Sebenarnya, jika memang ada masalah antara Anda
 dengan orang yang dikirimi kode itu, sebaiknya bicarakanlah di dunia nyata. Bukannya
 malah curhat di medsos, yang belum tentu dibaca oleh orang tersebut. Atau, belum
 tentu ditanggapi sesuai harapan Anda,” kata Nidya.
 &nbsp;

Curhat yang menyindir orang
 terdekat juga dapat disalahartikan oleh orang lain yang ikut membaca.
 Karenanya, Nidya juga menganjurkan kita siap mengantisipasi respons orang lain
 ketika mau curhat di media sosial. Jangan
 sampai respons negatif membuat kita lupa tujuan utama saat mau curhat, yaitu mendapatkan dukungan atau penguatan.
 Salah-salah, suasana hati malah semakin buruk.
 &nbsp;

Nidya juga meminta kita
 berhati-hati saat membeberkan informasi pribadi saat curhat di media sosial. “Misalnya, nama anak, usia, hingga sekolahnya.
 Ini bisa disalahgunakan,” kata Nidya. Sebab, begitu dibuka di media sosial,
 informasi yang awalnya bersifat pribadi dan rahasia itu akan jadi rahasia
 publik.
 &nbsp;

<h2>Apakah yang sering curhat
 di medsos itu punya gangguan
 kejiwaan?
</h2>
Menurut Nidya, kita
 tidak boleh cepat menuduh orang yang sering bercerita di media sosial sedang depresi atau punya
 gangguan bipolar. “Kelainan seperti itu tidak mudah didiagnosis oleh ahli dan
 perlu banyak pengamatan dari beberapa aspek,” tegasnya.
 &nbsp;

Sebagai gambaran, orang
 sering berbagi cerita dengan banyak orang di medsos karena ada kebutuhan
 tak terpenuhi. Sementara orang yang depresi sering tidak bisa bercerita pada
 orang lain, karena khawatir orang tidak bisa menerima atau memahami. “Orang
 depresi juga cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan kehilangan minat
 untuk melakukan hal-hal yang disukainya,” tambah Nidya.
 &nbsp;

<h3>Tips penting
 sebelum curhat di media sosial:
</h3>
Nidya memberikan dua
 tips penting sebelum curhat di medsos:

<ol>
 <li>Jangan terburu-buru curhat saat mengalami masalah. Beri jeda dulu untuk berpikir,
 karena kondisi marah sering membuat kita cenderung lebih impulsif dan tidak
 bisa berpikir dengan jernih.
 </li>
 <li>Pertimbangkan tujuan curhat&nbsp;di media sosial dan dampak yang mungkin terjadi. Apakah kita
 siap mendapat respons negatif dari orang yang membaca? Bila tujuan curhat di media sosial tidak tercapai,
 apa yang akan dilakukan?
 &nbsp;
 </li>
</ol>
Selain menulis di media
 sosial, Anda sebenarnya bisa bercerita dengan sahabat atau keluarga. Atau, jika
 masalahnya pelik, Anda bisa berbagi cerita atau curhat dengan psikolog, yang pasti akan menjaga privasi Anda dan
 memberikan solusi.
 &nbsp;

Lakukan telekonsultasi
 dengan psikolog di AlteaCare dari rumah saja, sehingga Anda pun merasa nyaman
 selama curhat. Yuk, segera download
 AlteaCare dan buat jadwal dengan psikolog kesayangan Anda!