Seiring PPKM yang dicabut, penggunaan masker di ruang terbuka jadi lebih longgar - AlteaCare | Foto: Envato

Sejak akhir 2022 hingga awal 2023 ini, banyak orang sudah beraktivitas seperti sebelum masa pandemi COVID-19. Apakah memang ada peraturan baru setelah PPKM dicabut?Kita sama-sama menyaksikan bagaimana seluruh dunia luluh lantah pada awal 2020. Biang keladinya tidak lain dan tidak bukan adalah virus corona yang mematikan.Tidak terhitung berapa jumlah orang yang meninggal dunia akibat virus ini. Para penyintas COVID-19 hingga kini masih mengalami dampak berkepanjangan dari penyakit ini. Kondisi <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">long COVID</a> sebagai efek samping dari infeksi virus corona membuat para penyintas sulit menjalani aktivitas seperti dulu.Untuk mencegah penularan, pemerintah telah beberapa kali menerapkan aturan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahkan, ada masa ketika kita tidak bisa pergi ke luar rumah sama sekali.Namun, pada awal 2023 ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Anak-anak sudah mulai sekolah lagi dan banyak pekerja sudah kembali ngantor. Lalu, perubahan apa saja yang sudah terjadi saat ini? Simak artikel ini sampai habis, ya!<h2>Yang Berubah dari Pandemi COVID-19 Pasca PPKM Dicabut</h2>Berikut adalah rangkuman mengenai perubahan aturan mengenai COVID-19:<h3>1. PPKM Dicabut</h3>Secara resmi, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa PPKM dicabut di seluruh wilayah Indonesia pada Jumat, 30 Desember 2022."Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 dengan baik dan sekaligus bisa menjaga stabilitas ekonominya," ujar Presiden dalam konferensi pers.Kementerian Kesehatan mencatat per 27 Desember 2022, kasus harian COVID-19 berada di angka 1,7 orang per 1.000.000 penduduk. Lalu, rasio positif mingguannya ada di angka 3,35%, perawatan di rumah sakit di angka 4,79%, dan angka kematian di angka 2,39%.Menurut rilis Kementerian Kesehatan, angka tersebut sudah di bawah standar WHO.Sebelum pencabutan PPKM ini, semua kabupaten/kota di Indonesia berstatus PPKM Level 1. Hal ini menandakan bahwa tingkat pembatasan kerumunan dan pergerakan orang relatif rendah."Setelah mengkaji dan mempertimbangkan perkembangan tersebut kurang lebih selama 10 bulan, maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM yang tertuang dalam instruksi Mendagri nomor 50 dan 51 Tahun 2022," sambung Presiden Jokowi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/5-tips-dari-ahli-untuk-mencegah-covid-pada-anak-1658761846655" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak</a> 
<h3>2. Pandemi Belum Berakhir</h3>Meski PPKM sudah berakhir, status pandemi belum usai. Menurut Presiden, status pandemi adalah situasi global dan bukan keputusan pemerintah semata. Maka dari itu, untuk status kedaruratan kesehatan, Indonesia harus mengikuti Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) WHO.Status pandemi juga belum dicabut sebagai langkah antisipasi datangnya gelombang baru penyebaran virus.Pemerintah pun meminta masyarakat untuk tetap waspada dan menjaga kesehatan agar terhindar dari penularan virus.<h3>3. Masker Tetap Wajib Digunakan</h3>PPKM memang sudah dicabut dan terjadi banyak pelonggaran, tetapi pemerintah tetap mewajibkan masyarakat menggunakan masker.Pasalnya, penyebaran virus COVID-19 masih belum hilang 100%. Demi mencegah risiko penularan virus corona, masyarakat tetap diminta menggunakan masker di keramaian dan ruang tertutup.Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 pada Masa Transisi Menuju Endemi, masker wajib digunakan terutama:<ul><li>saat dalam kerumunan dan keramaian aktivitas masyarakat,</li><li>
saat di dalam gedung/ruangan tertutup dan sempit (termasuk dalam transportasi publik),</li><li>
untuk orang yang bergejala penyakit pernapasan (seperti batuk, pilek, dan bersin),</li><li>
bagi mereka yang termasuk kontak erat dan terkonfirmasi positif&nbsp;COVID-19</li></ul><h3>4. Penggunaan Aplikasi PeduliLindungi Masih Berlaku</h3>Pada masa PPKM, aplikasi PeduliLindungi sangat berguna untuk melacak persebaran COVID-19. Selain itu, kita juga bisa melihat sertifikat vaksin melalui aplikasi ini.Lalu, setelah PPKM dicabut, apakah aplikasi ini bisa ditinggalkan?Jawabannya, tentu tidak. Dalam Instruksi Mendagri Nomor 53 Tahun 2022, disebutkan bahwa aplikasi PeduliLindungi masih harus digunakan saat hendak memasuki fasilitas publik.Orang yang akan menggunakan transportasi publik juga tetap harus memindai aplikasi PeduliLindungi terlebih dulu.<h3>5. Satgas Belum Dibubarkan</h3>Karena virus COVID-19 belum benar-benar punah, pemerintah pusat mewajibkan pemerintah daerah untuk tetap mengaktifkan Satgas COVID-19.Satgas ini bertugas melakukan pengawasan dan mengamati perkembangan angka penyebaran COVID-19.<h3>6. Warga Boleh ke Kantor Lagi</h3>Selama pandemi, banyak perusahaan yang memberlakukan kebijakan work from home (WFH) alias kerja dari rumah. Lalu, setelah PPKM dicabut, apakah aturan WFH masih berlaku?Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan, bahwa pencabutan PPKM ditujukan pada kegiatan yang sebelumnya dibatasi. Artinya, kini masyarakat sudah boleh berkegiatan di kantor lagi."Jadi yang dicabut PPKM-nya adalah pembatasannya saja, contoh kita tidak perlu lagi ada WFH, tidak ada lagi pembatasan kita ke mall dan sebagainya," kata Syahril dalam diskusi media secara daring, Jumat (30/12/2022)Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/yakin-remote-working-adalah-pilihan-sehat-pertimbangkan-ini-1667196599455" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Yakin Remote Working Adalah Pilihan Sehat? Pertimbangkan Ini!</a><h3>
7. Izin Acara Keramaian Masih Selektif</h3>Beberapa waktu terakhir, memang konser dan acara-acara yang mengundang keramaian sudah kembali digelar. Namun, pemerintah pusat tetap meminta pemerintah daerah dan Satgas COVID-19 tetap selektif dalam memberikan izin.Selain itu, acara juga tetap wajib memberlakukan protokol kesehatan.Itulah sejumlah aturan baru mengenai pandemiVCOVID-19 yang penting untuk diketahui.Jika Anda mengalami gejala COVID-19 dan bingung harus minum obat apa, video call dokter di AlteaCare saja untuk mendapat rekomendasi yang tepat! Anda juga bisa pesan paket obat COVID di Toko Kesehatan di AlteaCare, lo!Yuk, gunakan aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan. Diakses pada Januari 2023. PPKM di Indonesia Resmi Dicabut</li><li>
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses pada Januari 2023. Mendagri Terbitkan Inmendagri 53/2022 terkait Pencabutan PPKM</li></ul>

7 Aturan Penting soal Pandemi COVID-19 Pasca PPKM Dicabut

Munculnya COVID-19 Subvarian Omicron XBB membuat kita perlu lebih waspada - AlteaCare | Foto: Envato

Akhir Oktober lalu, kita dikagetkan oleh kabar munculnya subvarian COVID-19 yang baru yang disebut Omicron XBB. Ini seolah jadi pengingat buat kita bahwa pandemi belum berakhir. Kewaspadaan harus tetap dipegang saat beraktivitas di luar.Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada Minggu, 30 Oktober 2022, tercatat sudah delapan orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 subvarian Omicron XBB.Semuanya tercatat sudah divaksin dan bahkan ada yang sudah dapat vaksinasi booster. Selain Indonesia, ada 34 negara lainnya juga yang memiliki kasus serupa, termasuk India dan Singapura.Lalu, apa saja gejala COVID-19 subvarian Omicron XBB ini? Yuk, simak uraian lengkap berikut!<h2>Apa Itu COVID-19 Subvarian Omicron XBB?</h2>Melansir WHO, subvarian Omicron XBB adalah rekombinan dari varian sebelumnya, yaitu BA.2.10.1 dan BA.2.75. Hingga artikel ini ditulis, sudah ada 35 negara yang mendeteksi kasus subvarian ini.WHO sendiri mencatat, sekitar 1,3% dari total orang yang terpapar COVID-19 di seluruh dunia terinfeksi sub varian Omicron XBB.Sampai sekarang pun WHO masih mengumpulkan data tentang varian ini. Jadi, belum dapat disimpulkan seberapa parah kondisi orang yang terpapar subvarian ini.Sementara, menurut Satuan Tugas Penanganan COVID-19, varian XBB memang memiliki efek cepat menular, tetapi tingkat keparahannya tidak melebihi varian Omicron.Selain itu, PBB juga mengingatkan bahwa orang yang pernah terkena COVID-19 sangat mungkin untuk terinfeksi varian ini di masa mendatang.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);"></a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Seperti Ini Subvarian Centaurus BA.2.75. Tetap Waspada!</a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);"></a> 
<h2>Gejala COVID-19 Omicron XBB</h2>Mengutip Nature, studi mencatat bahwa gejala orang yang terinfeksi varian XBB ini tidak mengalami kondisi yang terlalu parah.&nbsp;Perlu dicatat, studi ini sifatnya masih dalam tahap awal dan belum dipublikasikan.Secara umum, gejalanya sama dengan gejala COVID-19 varian sebelumnya. Berikut adalah beberapa gejala yang harus Anda waspadai:<ul><li>demam tinggi</li><li>
badan meriang</li><li>
batuk</li><li>
pilek</li><li>
kehilangan indra penciuman (anosmia)</li><li>
sesak napas</li><li>
merasa sangat lelah</li><li>
ngilu di beberapa bagian tubuh</li><li>
sakit kepala</li><li>
nyeri tenggorokan</li><li>
hidung tersumbat</li><li>
diare</li><li>
hilang nafsu makan</li><li>
tidak enak badan</li></ul>Jika mengalami beberapa dari gejala di atas, sebaiknya langsung tes PCR dan melakukan isolasi mandiri, ya!Perlu diperhatikan, melansir Everyday Health, subvarian XBB ini sangat rentan menginfeksi kelompok imunokompromais atau orang dengan gangguan imun.Berdasarkan studi tahap awal yang telah dilakukan, virus subvarian Omicron XBB ini dapat menghindari obat yang biasa digunakan dalam terapi imun. Obat tersebut seharusnya dapat membuat imun mengenali virus XBB.Namun, virus ini dapat menghindari pendeteksian yang dilakukan oleh sistem imun.Itulah alasan mengapa orang dengan gangguan imun lebih rentan terinfeksi virus subvarian Omicron XBB.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/10-cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-penyakit-lain-1651155705247" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">10 Cara Membedakan Gejala COVID-19 Dengan Penyakit Lain</a> 
<h2>Cara Mencegah Penularan COVID-19 Subvarian Omicron XBB</h2>Protokol kesehatan harus tetap diberlakukan dengan ketat untuk mencegah penularan subvarian ini.Berikut adalah beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 subvarian Omicron XBB lebih luas:<ul><li>pastikan Anda sudah dapat vaksinasi COVID secara lengkap, termasuk booster</li><li>
rajin cuci tangan saat baru pulang ke rumah, sebelum makan, atau setelah menyentuh benda</li><li>
mengenakan masker saat pergi keluar rumah</li><li>
bekerja dari rumah dan tidak perlu keluar rumah bila tidak mendesak</li><li>
hindari konsultasi langsung ke rumah sakit untuk mencegah penularan–sebaiknya video call dokter lewat aplikasi kesehatan</li><li>
hindari membeli obat secara langsung dan lebih baik berbelanja obat secara online</li></ul>Itulah penjelasan mengenai virus COVID-19 sub varian Omicron XBB.Sobat Altea yang mengalami beberapa gejala ringan yang dapat mengarah ke COVID dapat menggunakan layanan telekonsultasi secara online. Ini lebih aman karena menghindari antrean orang di rumah sakit, yang mungkin bergejala berat.Anda bisa manfaatkan video call dokter spesialis COVID di aplikasi AlteaCare sebagai solusi konsultasi yang lebih praktis.&nbsp;Setelah konsultasi, Anda juga bisa menebus resep yang diberikan di Toko Kesehatan yang terdapat di dalam aplikasi. Pilih Paket Obat COVID dan pesanan akan dikirim langsung sampai rumah.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji video call dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Antara. Diakses pada November 2022. Kemenkes: temuan COVID-19 varian XBB di Indonesia jadi delapan kasus</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. Kemenkes Umumkan 4 Kasus Sub Varian Omicron XBB</li><li>
WHO. Diakses pada November 2022. TAG-VE statement on Omicron sublineages BQ.1 and XBB</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada November 2022. Varian XBB COVID-19 Terdeteksi di Indonesia</li><li>
Nature. Diakses pada November 2022. COVID ‘variant soup’ is making winter surges hard to predict</li><li>
National Health Service. Diakses pada November 2022. Coronavirus (COVID-19) symptoms in adults</li><li>
Ministry of Health Singapore. Diakses pada November 2022. Update on Covid-19 Situation and Measures to Protect Healthcare Capacity</li><li>
Everyday Health. Diakses pada November 2022. New COVID-19 Subvariants Spark Concerns of Winter Outbreak</li></ul>

Gejala Omicron XBB yang Harus Diwaspadai. Cepat Menular!

Dengan semakin bertambahnya subvarian virus COVID baru, prokes makin harus diketatkan - AlteaCare | Foto: Envato

Rasanya kita sudah lelah dengan varian corona. Kita pikir pandemi sudah selesai, nyatanya virus yang satu ini terus bermutasi, hingga punya berbagai nama subvarian dengan tingkat penyebaran dan penularan yang berbeda-beda.Pada pertengahan 2022 kita dikejutkan lagi dengan angka grafik penyebaran virus corona yang meningkat. Belum lama berselang setelah kemunculan subvarian BA.4 dan BA.5 bulan, saat ini sudah terdeteksi subvarian baru lagi, yaitu BA.2.75.Menurut laporan, varian ini sudah masuk ke beberapa daerah di Indonesia. Nah, untuk itu kita perlu semakin waspada dan menjaga kesehatan, agar penyebaran subvarian yang baru ini tidak terlalu masif.Lalu, seperti apa karakteristik varian baru ini? Simak selengkapnya di bawah ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/varian-baru-covid-19-muncul-lagi-prokes-tidak-boleh-kendor-1655259340884" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor! </a> 
 <h2>5 Fakta Tentang Subvarian Centaurus</h2>Berikut ini adalah beberapa fakta penting yang perlu kita perhatikan seputar subvarian BA.2.75 atau yang sering disebut juga subvarian Centaurus.<h4>1. Mutasi dari Subvarian Sebelumnya</h4>Alaminya, virus akan terus bermutasi dari jenis varian sebelumnya dan tidak akan pernah selesai, sehingga dan kita harus siap hidup berdampingan dengan virus.Seperti varian BA.2.75, yang menurut ahli merupakan mutasi dari subvarian BA.5 yang beberapa bulan lalu lalu sempat menghebohkan sejumlah negara di Asia Timur. <h4>2. Muncul Pertama di India</h4>Masih ingat varian Delta yang menyebar pada pertengahan 2021 lalu, diawali dari India kemudian ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia?Nah, varian BA.2.75 ini menurut profesor dari Arkansas State University pertama kali juga muncul di India pada awal Juni 2022. Dan, mulai pertengahan Juli sudah ditemukan di 15 negara bagian di Amerika Serikat. Penyebaran subvarian Centaurus ini juga sudah sampai ke beberapa negara lainnya. Menurut laporan yang dikutip dari WebMD, subvarian ini diprediksi dapat menyebar lebih banyak di Inggris. Sementara itu, melansir dari Channel News Asia, negara tetangga kita, Singapura, sudah melaporkan adanya enam kasus lokal dengan subvarian Centaurus pada akhir Juli 2022.<h4>3. Belum Masuk Dalam Kategori Variant of Concern</h4>Meski penyebarannya terbilang cepat, hingga kini WHO masih mengklasifikasikan varian BA.2.75 ini diklasifikasikan sebagai variant of interest (VoI), bukannya variant of concern (VoC). Artinya, subvarian ini masih dalam pantauan namun belum ada banyak bukti yang memperlihatkan kalau subvarian ini menimbulkan dampak yang besar. Sebab, hingga kini jumlah kasus infeksi dari varian BA.2.75 masih relatif rendah.<h4>4. Sudah Masuk ke Indonesia</h4>Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI, beberapa daerah di Indonesia seperti di Jakarta dan Bali sudah ditemukan kasus yang terkonfirmasi terinfeksi varian BA.2.75. Mengutip dari Healthline, varian BA.2.75 bisa dengan mudah menembus sistem kekebalan tubuh, bahkan pada orang yang sudah mendapatkan vaksin. Bahkan, subvarian BA.2.75 menyebar lebih cepat daripada varian BA.5 yang saat ini juga sedang marak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/5-tips-dari-ahli-untuk-mencegah-covid-pada-anak-1658761846655" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak</a> 
 <h4>5. Perketat Protokol Kesehatan</h4>Supaya terhindar dari penyebaran subvarian baru virus corona, pastikan kita selalu pakai masker saat berada di tempat umum dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu, Sobat Altea yang hingga kini belum lengkap vaksinnya bisa segera datang ke fasilitas layanan kesehatan terdekat.&nbsp;Sebab, pemerintah kini memberlakukan sejumlah aturan baru untuk mengantisipasi penyebaran COVID yang semakin meluas. Vaksin ketiga atau booster kini dijadikan syarat untuk melakukan perjalanan dan kegiatan di masyarakat. Termasuk bila Anda mau menggunakan kendaraan publik, masuk mal, dan menginap di hotel.Di samping itu, selalu jaga kondisi kesehatan Anda dan seluruh anggota keluarga di rumah. Jangan lupa konsumsi vitamin yang cukup untuk memperkuat daya tahan tubuh. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID bila merasakan gejala yang mungkin berhubungan atau mendaftar untuk vaksinasi melalui aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare</a>. Lengkapi juga kebutuhan obat rutin, vitamin, dan suplemen Anda dan keluarga dengan memesan di Toko Obat Altea.Sehat selalu, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Juli 2022. Omicron 2.75: What You Should Know About the Latest Emerging COVID-19 Variant</li><li>
Web MD. Diakses pada Juli 2022. Will Omicron Subvariant BA.2.75 Be the Next COVID Threat?</li><li>
WHO. Diakses pada Juli 2022. Tracking SARS-CoV-2 variants</li><li>
Channel News Asia. Diakses pada Juli 2022. 6 local cases of BA.2.75 subvariant detected in Singapore</li><li>
The Conversation. Diakses pada Juli 2022. Centaurus: what we know about the new COVID variant and why there’s no cause for alarm</li><li>
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diakses pada Juli 2022. Kemenhub akan Berlakukan Ketentuan Vaksin Booster sebagai Syarat Perjalanan</li></ul>

Seperti Ini Subvarian Centaurus BA.2.75. Tetap Waspada!

Ajarkan cara pakai masker yang benar saat di sekolah untuk mencegah paparan COVID pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea termasuk yang cemas dengan COVID yang berjilid-jilid? Duh, padahal anak-anak sekarang sudah mulai pembelajaran tatap muka di sekolah. Sementara, risiko COVID pada anak juga termasuk tinggi karena kelompok ini lebih rentan terhadap virus.Kita ingat ketika varian Delta melanda, jumlah anak dan balita yang terkonfirmasi positif cukup banyak. Tidak tertutup kemungkinan, jenis varian baru juga akan berdampak sama pada anak. Maka dari itu, anak dan balita harus punya sistem proteksi, serta harus tetap dijaga agar tetap sehat. Dalam hal ini, orangtua punya peranan besar, lo!“Jangan lupa supaya anak dapat imunisasi sesuai dengan usianya. Jika masih bayi, berikan dia ASI eksklusif karena ini satu-satunya sumber daya tahan untuk balita,” kata dr. Juliawaty Salim, Sp.A⁣.Dokter Spesialis Anak Mitra Keluarga ini berbagi tips untuk para orangtua di masa pandemi ini saat jadi narasumber di live streaming AlteaTalk Episode ke-31 di Instagram AlteaCare (@alteacare.id). Diadakan pada Jumat, 22 Juli 2022, episode kali ini mengangkat tema “Penanganan COVID-19 pada Bayi dan Balita”.Sesi ini jadi semakin menarik bersama Yora Anastasha, pendiri komunitas Ibu Hebat, yang berbagi pengalamannya. Yuk, simak apa saja tips mencegah anak terpapar COVID dari ahlinya Altea!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/dukungan-psikologis-untuk-anak-selama-isolasi-mandiri-1646360001967" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Dukungan Psikologis Untuk Anak Selama Isolasi Mandiri</a> 
<h2>Tips Mencegah Paparan COVID pada Anak</h2>Menurut dr. Juliawaty, kalau ingin anak terhindar dari COVID maka orangtua harus punya persiapan yang matang. Beberapa hal inilah yang perlu dilakukan oleh para Ibu dan Ayah:<h4>1. Selektif Soal Makanan</h4>Makan jadi salah satu kunci untuk hidup sehat. Maka dari itu, pastikan anak mendapatkan gizi yang seimbang.Menurut dr. Juliawati, makanan sehat dan bergizi dapat memperkuat imun. Dan, jika anak sampai jatuh sakit, makanan bisa mempercepat proses penyembuhan.Selain itu, usahakan untuk memasak sendiri di rumah dan tidak membeli makanan jadi dari luar. Sebab, kita tidak tahu apakah dalam makanan tersebut ada virus atau kuman yang menempel. <h4>2. Siapkan Alat Kesehatan</h4>Di masa pandemi, orangtua harus lebih sering memantau kesehatan anak. Menurut dr. Juliawaty, yang tidak kalah penting disiapkan oleh ortu adalah termometer dan oksimeter.Apalagi saat angka kasus aktif COVID sedang naik. Sebaiknya, kedua alat ini harus ada dalam kotak P3K di rumah. Dengan begitu, ortu bisa memantau suhu badan dan saturasi oksigen anak. Bila sewaktu-waktu anak kurang sehat dan mengalami gejala tertentu, kemudian suhu badannya juga tinggi, ortu bisa segera hubungi dokter untuk dapatkan penanganan lanjutan. <h4>3. Perketat Protokol Kesehatan</h4>Meski aturan pakai masker sudah dilonggarkan, bukan berarti kita lantas lupa jaga jarak dan malas cuci tangan. Apalagi, sampai tidak pakai masker ke mana pun kita pergi.“Jangan sampai karena lengah, kita bisa memberikan celah terinfeksi COVID. Maka dari itu, perketat protokol yang baik dan benar,” ujar dr. Juliawaty.Selain itu, lingkungan juga harus dijaga. Pastikan orang yang sering berinteraksi dengan anak atau balita dalam kondisi sehat. Bila mereka sedang batuk atau flu, jauhkan sementara dari anak.<h4>4. Hindari Kerumunan</h4>Dengan semakin banyaknya tempat wisata maupun ruang publik yang dibuka, semakin banyak orang memanfaatkannya untuk berekreasi bersama keluarga. Tidak salah kalau Anda dan keluarga juga ingin menikmati akhir pekan di luar. Namun, coba cermati dulu kondisi di sana. Bila ada terlalu banyak orang di tempat tersebut, lebih baik tunda keinginan untuk bermain.Yora lantas bertutur pengalaman teman dari komunitas Ibu Hebat, yang salah satu anaknya terinfeksi flu singapura.Menurut Yora, berangkat dari pengalaman tersebut bisa disimpulkan bahwa tempat umum ternyata mungkin dapat jadi tempat yang kurang ideal untuk anak-anak bermain. Karena ternyata tidak hanya tinggi risiko infeksi virus corona, namun juga virus lainnya.<h4>5. Beri Edukasi pada Anak</h4>“Anak yang usianya di atas 4 tahun sudah mengerti apa yang kita katakan. Jadi, ketika kita mengajarkan sesuatu, si Kecil dapat mengerti apa yang kita maksud,” kata Yora.Saat anak sudah mulai bersekolah tatap muka, kita bisa mengajarkan cara melindungi diri selama proses belajar. Misalnya, membersihkan meja dan kursi di kelas dengan hand sanitizer. Atau, tidak membuka masker kecuali untuk makan atau minum di waktu istirahat. Juga, etika batuk dan bersin yang benar.Orangtua juga bisa mengajarkan upaya pencegahan paparan infeksi virus COVID pada anak, seperti tidak berbagi makanan dengan teman. Sebab, virus juga bisa menyebar melalui droplet atau air liur yang menempel pada makanan. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/varian-baru-covid-19-muncul-lagi-prokes-tidak-boleh-kendor-1655259340884" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor!</a> 
Itulah beberapa cara mencegah COVID pada anak yang bisa dilakukan oleh orangtua.Bila si Kecil mengalami masalah kesehatan atau merasakan gejala yang kemungkinan mengarah pada COVID, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis untuk COVID di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat jadwal telekonsultasi segera!

5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak

Munculnya varian baru Omicron perlu diantisipasi dengan prokes ketat - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah grafik laporan kasus baru harian sudah sangat rendah dan positivity rate juga makin turun, kita mungkin termasuk yang sudah siap-siap menyambut new normal. Siap beraktivitas seperti sebelum pandemi, seperti bersekolah, bekerja, dan beribadah.Tapi, ternyata di awal Juni ini kita dikejutkan dengan berita seputar temuan varian baru COVID-19, yaitu varian BA.4 dan BA.5. Keduanya merupakan sub varian dari Omicron yang sudah lebih dulu merebak pada akhir 2021. Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI, sub varian ini sudah masuk ke Indonesia. Sebagai langkah antisipasi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diperpanjang.Lalu, seperti apa karakteristik sub varian baru ini?Yuk, simak lebih lanjut!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Anak Rentan Terhadap Omicron, Ortu Perlu Lakukan Ini</a> 
<h2>Persebaran Sub Varian BA.4 dan BA.5</h2>Pada minggu kedua bulan April, WHO mengumumkan adanya sub varian baru dari virus corona, yaitu BA.4 dan BA.5. Mengutip dari Medical News Today, kedua sub varian ini diumumkan pertama kali muncul di Afrika Selatan. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh National Institute of Clinical Disease di Afrika Selatan, sub varian BA.4 dan BA.5 disebut sebagai “virus Omicron dengan kombinasi mutasi yang baru”.Para peneliti di Afrika Selatan mendeteksi sub varian BA.4 pada Januari 2022 dan sejak saat itu sudah mulai menyebar ke seluruh negeri. Menurut laporan, hingga Mei 2022 terhitung sebanyak 35% warga di beberapa wilayah Afrika Selatan yang positif terinfeksi.Dua bulan setelahnya, laporan Badan Keamanan Kesehatan Inggris pada 22 April mengumumkan sub varian BA.4 sudah ditemukan di beberapa negara lain. Tercatat negara yang sudah terdampak sub varian ini adalah Inggris, Amerika Serikat, Denmark, Belgia, Israel, Jerman, Italia, Kanada, Prancis, Belanda, Australia, Swiss, dan Botswana.Sementara itu, sub varian BA.5 baru ditemukan peneliti pada 25 Februari, dan hingga Mei 2022 sudah mencapai 20% kasus di sejumlah wilayah di Afrika Selatan. Tidak perlu waktu lama, sub varian BA.5 menyebar pun ke sejumlah negara lain. Negara yang terdampak antara lain Portugal, Jerman, Inggris, AS, Denmark, Prancis, Austria, Belgia, Hong Kong, Australia, Kanada, Israel, Norwegia, Pakistan, Spanyol, dan Swiss.<h2>Berbahayakah Sub Varian Baru Ini?</h2>Hingga kini, penelitian seputar sub varian BA.4 dan BA.5 di sejumlah negara masih terus dilakukan. Pada 12 Mei 2022, lembaga European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) secara resmi mengklasifikasikan kedua sub varian ini sebagai variants of concern. Hal ini didasarkan pertimbangan yang berkaitan dengan kemampuan penularan dan efektivitas vaksin yang sudah ada. Menurut laporan yang dikeluarkan ECDC, meski belum ada bukti yang ditemukan seputar peningkatan keparahan dibandingkan varian sebelumnya, varian BA.4 dan BA.5 punya daya penularan yang lebih tinggi.Selain itu, mengutip dari Healthline, orang yang sudah divaksin ataupun yang pernah terpapar COVID masih dapat tertular oleh sub varian baru ini. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/dari-delta-sampai-kappa-yuk-ketahui-varian-varian-virus-corona-1631196231344" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Dari Delta Sampai Kappa, Yuk Ketahui Varian-varian Virus Corona</a> 
<h2>Sudah Masuk ke Indonesia</h2>Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI pada 6 Juni 2022, kasus pertama sudah ditemukan di Indonesia, dan sejauh ini ditemukan empat orang yang terinfeksi BA.4 dan BA.5.Faktanya mengejutkannya, keempat orang yang terinfeksi ternyata sudah melakukan vaksin lengkap sesuai anjuran pemerintah.Belajar dari gelombang COVID sebelumnya saat varian Omicron mewabah, sebaiknya kita jangan lengah dalam menerapkan protokol kesehatan, ya. Tetap jaga kondisi kesehatan seluruh anggota keluarga dan selalu gunakan masker saat bepergian keluar rumah. Sedangkan buat Anda yang belum mendapatkan vaksinasi COVID secara lengkap, baik yang primer maupun booster, segera daftarkan diri melalui aplikasi maupun website AlteaCare.Sehat selalu, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Juni 2022. New Sub-Variants of Omicron Detected: What to Know About BA.4 and BA.5</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Juni 2022. Sub Varian Baru Omicron BA.4 dan BA.5 Terdeteksi di Indonesia, Tingkat Kesakitan Rendah</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juni 2022. New Omicron sub variants are spreading: Should we worry?</li><li>
WHO Africa. Diakses pada Juni 2022. Botswana, South Africa deepen probe into new Omicron sub-variants</li></ul>

Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor!

Keluhan rambut rontok juga dapat dialami oleh para penyintas COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Efek virus corona ternyata bisa sampai berpengaruh pada pertumbuhan rambut, lo! Bahkan, sebagian orang mengeluhkan rambut rontok setelah terinfeksi COVID-19.Ya, masalah kerontokan rambut justru terjadi setelah orang yang terkena COVID dinyatakan sembuh. Keluhan ini menambah panjang daftar efek long COVID. Mengutip Healthline, sebuah survei yang dilakukan grup di Facebook bernama Survivor Corps mendapati bahwa sepertiga responden mengalami kerontokan rambut setelah sembuh COVID. Grup Survivor Corps ini beranggotakan para penyintas Covid-19.Lalu, apa yang jadi penyebab rambut rontok setelah COVID-19? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini!<h2>Penyebab Rambut Rontok Setelah COVID-19</h2>Hingga kini, para ahli masih berusaha mencari tahu penyebab rambut rontok setelah COVID-19. Namun, sebagian besar ahli menyoroti adanya faktor stres di balik kerontokan rambut yang dialami oleh para penyintas. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa berkaitan dengan masalah rambut rontok dan infeksi virus corona:<h4>1. Kondisi Telogen Effluvium</h4>Telogen effluvium (TE) adalah salah satu jenis kerontokan rambut yang diduga para ahli berhubungan dengan COVID-19. TE terjadi akibat tubuh mengalami stres atau tekanan yang berat, yang bisa berkaitan dengan mental maupun fisik.Normalnya, siklus pertumbuhan rambut memiliki tiga fase. Pertama, fase pertumbuhan atau anagen. Kedua, fase transisi atau katagen. Ketiga, fase telogen atau istirahat.Pada akhir fase telogen, rambut akan rontok secara alami. Lalu, siklus rambut kembali ke awal atau fase anagen.Nah, adanya pemicu stres yang kuat bisa membuat fase telogen terjadi lebih cepat sehingga jumlah rambut yang rontok pun terlihat lebih banyak.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-alergi-catat-ya-1647876446727" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Cara Membedakan Gejala COVID-19 dengan Alergi. Catat, ya!</a> 
<h4>2. Bagian Dari Long COVID</h4>Studi yang dimuat di jurnal The Lancet menemukan bahwa kerontokan rambut menjadi salah satu keluhan yang dialami oleh para penyintas COVID-19. Studi mencatat, sebanyak 22% responden mengalami rambut rontok dalam kurun waktu 6 bulan setelah terinfeksi virus corona.Gangguan lain yang dialami antara lain adalah rasa lelah atau otot yang lemah, sulit tidur nyenyak, hingga rasa cemas atau depresi. Para responden studi ini terutama berasal dari kelompok orang dengan gejala cukup berat sehingga harus menjalani perawatan di rumah sakit.<h4>3. Dampak Infeksi COVID-19</h4>Menurut American Academy of Dermatology, kerontokan rambut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, usia, hormon, gangguan kesehatan lain, pengobatan, serta paparan stres. Menurut ahli, kondisi demam tinggi yang dialami saat terpapar COVID-19 juga bisa membuat rambut menjadi rontok. Selain itu, faktor penurunan berat badan, yang sering kita jumpai pada orang yang baru sembuh dari COVID, juga dapat berpengaruh pada kerontokan rambut.Belum lagi ditambah dengan kondisi stres yang dialami orang dengan COVID selama sakit. Mereka harus menjalani isolasi mandiri dalam waktu lama, tidak dapat bertemu keluarga, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain.<h2>Cara Mengatasi Rambut Rontok Setelah COVID-19</h2>Kerontokan rambut yang berkaitan dengan telogen effluvium tidak seperti yang kita alami dalam kondisi normal.Kerontokan akibat TE terjadi pada seluruh permukaan kulit kepala, bukan hanya di mahkota kepala.Ini menyebabkan kita bisa kehilangan lebih dari 50-100 helai rambut setiap harinya. Biasanya, kerontokan rambut terlihat saat kita mandi atau keramas.Berikut ini beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi rambut rontok setelah COVID-19:<h4>1. Beri Waktu </h4>Rontoknya rambut akibat sakit atau stres biasanya akan berkurang sejalan dengan waktu. Anda hanya perlu memberi waktu agar rambut kembali tumbuh secara normal. Biasanya, pertumbuhan rambut orang yang baru sembuh dari sakit akan kembali normal sekitar enam hingga sembilan bulan setelah kerontokan terjadi.<h4>2. Santap Makanan yang Sehat</h4>Anda juga dapat merangsang pertumbuhan rambut dengan mengonsumsi menu makanan sehat.Pilih bahan makanan yang mengandung protein, antioksidan, dan vitamin untuk membantu pertumbuhan rambut.Contohnya seperti bayam, telur, ikan salmon, kentang manis, alpukat, kacang-kacangan, biji-bijian, kerang, udang, dan lain-lain.<h4>3. Gunakan Suplemen</h4>Bila perlu, Anda juga dapat mengonsumsi suplemen untuk merangsang pertumbuhan rambut.Carilah jenis suplemen yang mengandung nutrisi dan vitamin yang dibutuhkan rambut, antara lain: <ul><li>	Protein</li><li>
	Zat besi</li><li>
	Vitamin D</li><li>
	Vitamin C</li><li>
	Zink</li><li>
	Asam folat</li><li>
	Vitamin B12</li></ul><h4>4. Berkonsultasi Dengan Ahli</h4>Apabila penyebab kerontokan rambut Anda setelah COVID-19 lebih banyak berhubungan dengan stres psikologis, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi dengan ahlinya.Anda bisa menjadwalkan waktu konsultasi atau kalau perlu terapi dengan psikolog atau dokter spesialis kejiwaan secara rutin. Para ahli ini akan mendampingi Anda dalam mencari solusi untuk meredakan stres. Dengan demikian, proses pemulihan siklus pertumbuhan rambut juga lancar.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!</a> 
Itulah penyebab rambut rontok setelah COVID-19 dan solusinya.Bila Anda masih mengalami keluhan setelah sembuh dari COVID, jangan ragu untuk melakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare </a>sekarang dan buat janji dengan dokter andalan! 
 Sumber:<ul><li>Huang, C., Huang, L., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Gu, X., ... &amp; Cao, B. (2021). 6-month consequences of COVID-19 in patients discharged from hospital: a cohort study. The Lancet, 397(10270), 220-232.</li><li>
WebMD. Diakses pada Juni 2022. Hair Loss an Unexpected COVID Misery for Many</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. Covid-19 Survivors Are Losing Their Hair — Here’s Why</li><li>
Everyday Health. Diakses pada Maret 2022. Is COVID-19 the Reason You’re Losing Hair?</li><li>
American Academy of Dermatology Association. Diakses pada Maret 2022. Can Covid-19 Cause Hair Loss?</li><li>
Malkud, S. (2015). Telogen effluvium: a review. Journal of clinical and diagnostic research: JCDR, 9(9), WE01.</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. The 14 Best Foods for Hair Growth</li><li>
GoodRx Health. Diakses pada Maret 2022. Can You Experience Hair Loss After Having COVID-19?</li></ul>

Penyebab Rambut Rontok Setelah COVID-19 dan Solusinya

Vaksinasi umumnya dapat menyebabkan kejadian ikutan pasca imunisasi atau efek samping tertentu - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah kita divaksin, ada reaksi yang sering dirasakan. Secara umum, istilah yang digunakan adalah KIPI atau kejadian ikutan pasca imunisasi. Namun, orang lebih seringnya menyebutnya efek samping vaksin COVID-19.Efek samping vaksin COVID-19 bisa berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang mengaku tidak merasakan apa-apa, ada pula yang merasa sakit.Ada beragam faktor yang memengaruhi efek dari vaksin yang kita terima, baik itu vaksin primer atau juga booster. Bisa dari jenis vaksinnya, daya tahan tubuh kita, ataupun faktor lainnya.Lalu, apa saja efek samping vaksin COVID-19 yang mungkin kita alami? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!<h2>Efek Samping Vaksin COVID-19</h2>Seperti ini reaksi yang mungkin kita alami setelah menerima vaksin COVID-19: <h3>1. Efek Samping Vaksin Secara Umum</h3>Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ada beberapa gejala umum yang dialami hampir semua orang setelah divaksin:<ul><li>	Nyeri di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kulit kemerahan</li><li>
	Memar</li><li>
	Kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Menggigil</li><li>
	Demam</li><li>
	Mual</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!</a> 
Sebagian orang bisa mengalami beberapa gejala sekaligus, atau hanya salah satunya saja. Namun, tidak tertutup kemungkinan ada orang yang sama sekali tidak merasakan efek samping setelah divaksin.<h3>2. Efek Samping Vaksin Berdasarkan Jenis Vaksin</h3>Beda vaksin, beda juga efek sampingnya. Berikut ini adalah beberapa efek samping yang umum dialami oleh penerima vaksin jenis tertentu:<h4>a. Vaksin Sinovac (CoronaVac)</h4>Kebanyakan orang yang menerima vaksin Sinovac tidak mengalami efek samping atau KIPI. Namun, sebagian orang dapat mengalami keluhan tertentu.Menurut jurnal&nbsp;the Lancet Infectious Disease, KIPI ini mungkin dialami oleh penerima vaksin Sinovac dalam tujuh hari setelah penyuntikan:<ul><li>	Kemerahan dan memar di sekitar titik suntik</li><li>
	Batuk-batuk</li><li>
	Demam</li><li>
	Reaksi alergi</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Diare</li><li>
	Merasa kelelahan</li><li>
	Mual</li></ul>KIPI ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, menurut studi jumlah orang mengalami demam pasca imunisasi relatif rendah.<h4>b. Vaksin AstraZeneca</h4>Vaksin jenis ini juga banyak digunakan di Indonesia. Beberapa KIPI yang biasa dialami penerima vaksin AstraZeneca antara lain adalah:<ul><li>	Nyeri di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kemerahan dan memar di sekitar titik suntikan</li><li>
	Merasa kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Mual</li><li>
	Demam</li><li>
	Menggigil</li><li>
	Tidak enak badan</li><li>
	Nyeri pada persendian</li></ul>Sebagian kecil dapat mengalami beberapa hal berikut:<ul><li>	Pembesaran kelenjar getah bening</li><li>
	Nyeri pada lengan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nafsu makan menurun</li><li>
	Sakit perut</li><li>
	Reaksi alergi</li></ul><h4>c. Vaksin Pfizer dan Moderna</h4>Kedua vaksin ini adalah jenis vaksin mRNA. Keduanya memiliki efek mirip, antara lain:<ul><li>	Rasa sakit di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Demam dan menggigil</li><li>
	Nyeri pada persendian</li><li>
	Memar di sekitar ketiak</li><li>
	Rasa tidak nyaman di dada</li><li>
	Demam</li><li>
	Flu</li><li>
	Pembengkakan kelenjar getah bening</li><li>
	Sesak napas</li></ul>Tidak semua orang mengalami gejala-gejala seperti di atas. Sebagian hanya mengalami gejala ringan, seperti pegal-pegal atau nyeri di sekitar titik suntikan.<h3>3. Reaksi Alergi Khusus</h3>Selain mengalami gejala-gejala yang umum, sebagian orang dapat mengeluhkan reaksi alergi yang khusus setelah menerima vaksin.Reaksi ini hanya terjadi pada sebagian kecil orang, antara lain berupa: <ul><li>	Kesulitan bernapas</li><li>
	Penurunan tekanan darah</li><li>
	Memar pada lidah dan tenggorokan</li><li>
	Ruam atau gatal-gatal pada kulit</li></ul><h3>4. Anafilaksis atau Reaksi Alergi Berat</h3>Melansir laman Kementerian Kesehatan, anafilaksis adalah syok akibat mengalami reaksi alergi berat. Semua yang divaksin bisa mengalami anafilaksis. Namun, menurut Komnas KIPI, Dr. dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed, reaksi ini sangat jarang terjadi. Diperkirakan, peluangnya hanya satu atau dua kasus dari satu juta dosis vaksin.Selain akibat vaksin, anafilaksis juga bisa terjadi akibat antibiotik, kacang, nasi, zat kimia, dan lain-lain. Sejauh ini, pemerintah sudah telah menyiapkan alat kesehatan dan obat untuk penanganan syok anafilaksis.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/7-hal-penting-seputar-vaksin-gotong-royong-1630839808639" target="_blank">7 Hal Penting Seputar Vaksin Gotong Royong</a> 
<h2>Kapan Harus Menemui Dokter?</h2>Jika efek samping vaksin COVID-19 terbilang berat dan mengganggu aktivitas, segera berkonsultasi dengan dokter.Terutama bila Anda mengalami hal ini: <ul><li>●	Memar di sekitar titik penyuntikan semakin parah setelah 24 jam</li><li>
●	KIPI tidak menghilang selama beberapa hari</li><li>
●	Mengalami reaksi alergi dalam waktu empat jam setelah menerima vaksin</li><li>
●	Terjadi reaksi anafilaksis</li><li>
●	Mengalami ruam dalam beberapa hari setelah vaksin</li></ul>
 Itulah sejumlah efek samping vaksin COVID-19 yang bisa dialami semua orang.Jika mengalami masalah setelah menerima vaksin, Anda bisa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat atau lakukan telekonsultasi di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. Possible Side Effects After Getting a COVID-19 Vaccine</li><li>
WHO. Diakses pada Maret 2022. Evidence Assessment: Sinovac/CoronaVac Covid-19 Vaccine</li><li>
Zhang, Y., Zeng, G., Pan, H., Li, C., Hu, Y., Chu, K., ... &amp; Zhu, F. (2021). Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18–59 years: a randomised, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial. The Lancet infectious diseases, 21(2), 181-192. </li><li>
Australian Government Department of Health. Diakses pada Maret 2022. After your COVID-19 Vaccine AstraZeneca</li><li>
New Zealand Ministry of Health. Diakses pada Maret 2022. COVID-19: Pfizer vaccine side effects and reactions</li><li>
Kementerian Kesehatan. Diakses pada Maret 2022. Belum Ditemukan Reaksi Anafilaktik dalam Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19</li></ul>

Begini Efek Samping Vaksin COVID-19. Kapan Harus ke Dokter?

Perbedaan pandemi dan endemi terletak pada sejauh mana virus sudah dapat dikendalikan - AlteaCare | Foto: Envato

Dengan semakin landainya jumlah kasus aktif COVID-19 di negeri kita, harapan semakin besar untuk masuk ke kondisi new normal. Perbedaan pandemi dan endemi akan terasa dalam keseharian kita. Kita tahu, wabah ini sudah mengubah banyak hal dalam hidup, termasuk gaya hidup, cara bekerja, cara bertahan hidup, dan lain-lain. Bahkan, beberapa negara sempat memberlakukan kebijakan lockdown total, yang berakibat pincangnya perekonomian masyarakat.Kabar baiknya, penyebaran virus COVID-19 sudah mulai bisa dikendalikan. Majunya teknologi dalam pembuatan vaksin juga berkontribusi terhadap pengendalian virus corona ini.Pemerintah pun sedang menyusun protokol untuk menyambut perubahan status dari "pandemi" menjadi "endemi".Sebenarnya, apa perbedaan pandemi dan endemi?Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/aturan-yang-berubah-karena-omicron-isoman-salah-satunya-1645069308658" target="_blank">Aturan Yang Berubah Karena Omicron, Isoman Salah Satunya</a> 
<h2>Ini Dia Perbedaan Pandemi dan Endemi</h2>Secara umum, kita mengenal ada tiga jenis wabah berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan penyebarannya. Dimulai dari yang paling rendah adalah endemi, epidemi, kemudian pandemi.Yuk, kita lihat satu per satu.<h3>1. Endemi</h3>Endemi adalah tingkat pertama dari suatu wabah, yang terjadi pada suatu wilayah atau populasi tertentu. Ciri-ciri endemi adalah:<ul><li>
	Penyebaran penyakitnya relatif stabil dan terprediksi dari waktu ke waktu</li><li>
	Virus tetap hidup di tengah masyarakat, namun penyebarannya terkendali</li><li>
	Contoh: penyakit influenza di masa sekarang, malaria, demam berdarah, dan hepatitis B</li></ul>Penentuan status endemi dilihat berdasarkan indikator, yang mengacu pada angka reproduksi virus COVID-19.<h3>2. Epidemi</h3>Pada tingkatan selanjutnya adalah epidemi, yaitu kondisi ketika suatu penyakit menyebar dengan sangat cepat dan tidak terduga, pada beberapa wilayah atau populasi.Ciri-ciri epidemi adalah:<ul><li>	Bila pada kondisi endemi penyakit terkendali, pada epidemi jumlah orang yang terkena penyakit tersebut meningkat cepat </li><li>
	Epidemi juga bisa terjadi saat muncul satu penyakit baru di suatu daerah atau kelompok tertentu</li><li>
	Epidemi tidak harus berkaitan dengan penyakit menular. Meningkatnya angka obesitas juga bisa dianggap sebagai epidemi</li><li>
	Contoh: virus zika, virus ebola, dan cacar</li></ul><h3>3. Pandemi</h3>Tingkat penyebaran penyakit paling tinggi atau paling parah adalah pandemi. Saat terjadi pandemi, penyakit menyebar hingga melintasi berbagai negara dan benua.Ciri-ciri pandemi adalah:<ul><li>	Penyebaran dengan sangat cepat dan peningkatan jumlah kasus baru signifikan setiap harinya</li><li>
	Angka kematian meningkat dan karantina massal bisa terjadi</li><li>
	Dampaknya terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik</li><li>
	Orang mengalami perubahan gaya hidup, misalnya jadi enggan pergi ke tempat kerja, tidak bisa datang ke acara yang bisa menimbulkan kerumunan</li></ul>Pandemi COVID-19 bukanlah pandemi pertama yang terjadi di dunia. Sejak ratusan tahun lalu, terjadi beberapa pandemi yang menewaskan jutaan orang.Beberapa pandemi yang pernah terjadi antara lain adalah black death pada 1346-1353 di Eropa, Asia, dan Afrika, serta flu spanyol pada 1918-1919.Baca Juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/10-cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-penyakit-lain-1651155705247" target="_blank"> 10 Cara Membedakan Gejala COVID-19 Dengan Penyakit Lain</a> 
<h2>Transisi Pandemi ke Endemi, Apa yang Berubah?</h2>Untuk bisa masuk ke status endemi, ada beberapa kondisi yang perlu terpenuhi. Menurut jurnal Immunity, beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masa transisi menuju endemi adalah:<ul><li>	Terjadi penurunan jumlah infeksi dan angkanya stabil</li><li>
	Vaksinasi dapat memberi perlindungan imunitas dari infeksi</li><li>
	Program vaksinasi massal dapat membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) sehingga penyebaran virus dapat ditekan</li><li>
	Jika virus tidak bisa dihilangkan, terdapat upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap infeksi atau pengurangan tingkat keparahan gejala</li></ul>Dalam transisi dari pandemi ke endemi COVID-19, salah satu perubahan yang terlihat adalah semakin dilonggarkannya beberapa kebijakan. Antara lain adalah kebijakan tentang penggunaan masker dan skrining untuk pelaku perjalanan dalam dan luar negeri.Dalam Pernyataan Pers Presiden RI terkait Pelonggaran Penggunaan Masker, Istana Kepresidenan Bogor, 17 Mei 2022 lalu, ada beberapa hal yang bisa kita catat:1.	Penggunaan masker<ul><li>	Saat beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka tidak padat orang, kita diperbolehkan tidak menggunakan masker</li><li>
	Saat berada di ruangan tertutup dan transportasi publi , kita tetap menggunakan masker</li><li>
	Mereka yang termasuk kategori rentan, lansia, atau memiliki penyakit komorbid tetap menggunakan masker saat beraktivitas</li><li>
	Saat mengalami gejala batuk dan pilek, kita diminta tetap pakai masker saat beraktivitas</li></ul>2.	Pelaku perjalanan dalam dan luar negeri yang sudah mendapat vaksinasi COVID-19 lengkap tidak perlu lagi melakukan tes swab PCR maupun antigenItulah perbedaan pandemi dan endemi.Jika Anda mengalami keluhan kesehatan, termasuk gejala yang berkaitan dengan COVID-19, segera lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare. Selain itu, Anda juga dapat mendaftar untuk vaksinasi primer dan&nbsp;booster&nbsp;COVID-19.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Medical News Today. Diakses pada April 2022. What is the difference between pandemic, endemic, and epidemic?</li><li>
Kompas.com. Diakses pada April 2022. Rencana Pemerintah Ubah Pandemi ke Endemi Dikhawatirkan Hanya demi Kepentingan Politik-Ekonomi</li><li>
Mailman School of Public Health, Columbia University. Diakses pada Mei 2022. Epidemic, Endemic, Pandemic: What are the Differences?</li><li>
Madhav, N., Oppenheim, B., Gallivan, M., Mulembakani, P., Rubin, E., &amp; Wolfe, N. (2017). Pandemics: Risks, impacts, and mitigation. Disease control priorities: Improving health and reducing poverty. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washington DC: The World Bank.</li><li>
Antia, R., &amp; Halloran, M. E. (2021). Transition to endemicity: Understanding COVID-19. Immunity, 54(10), 2172-2176.</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada Mei 2022. Pemerintah Longgarkan Kebijakan Pemakaian Masker bagi Masyarakat</li></ul>