Memperbanyak asupan sayur dan buah bisa mengatasi sembelit pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

Susah buang air besar atau sembelit tentu akan mengganggu aktivitas anak. Ia pun pasti akan lebih rewel daripada biasanya. Tidak heran kalau banyak orangtua bingung mencari cara mengatasi sembelit pada anak.Sebenarnya, sebelum mencoba tips yang diberikan keluarga atau teman supaya anak bisa buang air besar, terlebih dulu kita perlu mengenali tanda-tandanya. Biasanya, anak sembelit akan berkurang frekuensi buang air besarnya. Selain itu, mereka mungkin bisa mengeluh kalau kotorannya susah dikeluarkan. Atau, rasanya sakit saat mengejan untuk mengeluarkan. Kotorannya pun tampak keras, kering, dan kecil-kecil.Ada beberapa hal yang bisa membuat si Kecil mengalami kondisi ini. Untuk penjelasan lengkapnya, yuk, simak uraian lengkap di bawah ini!<h2>Penyebab Sembelit Pada Anak</h2>Beberapa hal berikut bisa menjadi penyebab sembelit pada anak:<ul><li>Jarang atau tidak pernah mengonsumsi makanan berserat, semisal buah dan sayur</li><li>
Kurang minum</li><li>
Jarang bergerak</li><li>
Terbiasa menahan buang air besar</li><li>
Stres, khawatir, atau cemas karena perubahan dalam hidupnya, seperti baru pindah rumah, baru masuk sekolah, atau baru punya adik</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mudah-dilakukan-inilah-cara-mengatasi-perut-kembung-1632284089051" target="_blank">Mudah Dilakukan, Inilah Cara Mengatasi Perut Kembung</a> 
<h2>6 Cara Mengatasi Sembelit pada Anak</h2>Sebaiknya orangtua tidak meremehkan keluhan susah buang air besar yang disampaikan anak. Sebab, bila si Kecil terbiasa sembelit, hal ini bisa terus berlanjut hingga besar. Bukan mustahil juga ia dapat mengalami gangguan kesehatan lain, seperti misalnya ambeien. Supaya si Kecil tidak lagi sembelit, orangtua bisa mencoba beberapa solusi berikut ini:<h3>1. Usahakan anak makan lebih banyak serat</h3>Jika sehari-hari anak jarang makan sayur dan buah, coba mulai memperkenalkannya pelan-pelan.Upayakan si Kecil makan sayur, buah, dan kacang-kacangan setiap hari. Di samping itu, Anda juga bisa memberi probiotik, semisal yogurt, untuk membantu proses pencernaan makanan.<h3>2. Perhatikan asupan air</h3>Cara mengatasi sembelit pada anak yang paling efektif adalah banyak minum. Menurut riset yang dimuat di European Journal of Nutrition, asupan air putih dapat meningkatkan frekuensi buang air besar.Hal ini dikarenakan air mineral mengandung magnesium sulfat. Jenis mineral ini dapat mempercepat waktu transit makanan di usus. Dengan begitu, anak bisa buang air besar lebih lancar.<h3>3. Atur jadwal makannya</h3>Kebiasaan makan pada jam yang sama setiap hari bisa membuat sistem pencernaan tubuh anak bekerja dengan lebih teratur. Ini bisa membuat anak terbiasa buang air besar pada jam-jam tertentu. Orangtua pun bisa mengamati, kapan anak biasanya akan merasa ingin buang air besar.<h3>4. Usahakan si Kecil buang air besar teratur 
</h3>Bila jadwal makan sudah terbentuk, biasanya akan mudah untuk mendorong si Kecil buang air besar. Mengingat anak terkadang menahan keinginan buang air besar karena sedang asyik bermain atau menonton, orangtua bisa mengingatkan.Anda bisa buat semacam jadwal buang air besar. Misalnya, pagi hari setelah sarapan. Jangan lelah untuk terus mengingatkan, ya. Karena dengan begitu, anak akan menganggap buang air besar adalah bagian dari rutinitas.<h3>5. Dorong anak lebih banyak bergerak</h3>Salah satu penyebab sembelit adalah kurangnya aktivitas fisik. Nah, untuk itu Anda bisa mengajaknya lebih banyak bergerak. Misalnya, bersepeda bersama atau joging santai di komplek rumah.Saat aktivitas fisinya meningkat, diharapkan pencernaannya lebih lancar dan urusan buang air besar jadi gampang.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-ciri-ciri-gerd-dan-menu-makanan-yang-harus-dihindari-1637657751073" target="_blank">Kenali Ciri-ciri GERD dan Hindari Menu Makanan Ini!</a> 
<h3>6. Beri obat untuk melunakkan kotoran</h3>Saat anak mengalami sembelit karena kotorannya keras dan sulit dikeluarkan, Anda bisa memberikan obat pelunak feses yang dijual secara bebas.Namun, Anda perlu berhati-hati dengan dosis maupun frekuensi pemberiannya. Sebaiknya diskusikan dengan dokter spesialis anak agar bisa mendapat rekomendasi yang tepat.Itulah sejumlah cara mengatasi sembelit pada anak yang bisa dilakukan di rumah.Jika anak Anda memiliki masalah dengan saluran pencernaan, Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>National Health Service. Diakses pada Maret 2022. Constipation in children</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Maret 2022. Constipation in children</li><li>
Bothe, G., Coh, A., &amp; Auinger, A. (2017). Efficacy and safety of a natural mineral water rich in magnesium and sulphate for bowel function: a double-blind, randomized, placebo-controlled study. European journal of nutrition, 56(2), 491-499.</li><li>
Web MD. Diakses pada Maret 2022. Treatments for Constipation in Children</li><li>
Kids Health. Diakses pada Maret 2022. Constipation</li></ul>

6 Cara Mengatasi Sembelit pada Anak. BAB Langsung Lancar!

Latihan peregangan dapat membantu membentuk postur tubuh anak yang baik - AlteaCare | Foto: Envato

Postur tubuh yang baik penting dibentuk selama masa pertumbuhan anak. Tentu Anda sebagai orangtua tidak ingin si Kecil punya badan cenderung membungkuk saat dewasa, bukan?Salah satu manfaat memiliki postur tubuh yang baik adalah untuk melindungi struktur tulang belakang dan persendian. Keduanya mengalami perkembangan yang pesat selama masa pertumbuhan.Maka dari itu, saat melihat postur tubuh anak tidak ideal, orangtua tidak boleh tinggal diam.Yuk, simak sejumlah cara membentuk postur tubuh anak yang baik berikut ini!Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/manfaat-olahraga-buat-tumbuh-kembang-anak-1645430762008" target="_blank">Manfaat Olahraga Buat Tumbuh Kembang Anak</a> 
<h2>7 Cara Membentuk Postur Tubuh Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan kalau Anda ingin anak punya postur tubuh yang tegak dan sehat:<h3>1. Perhatikan isi tasnya</h3>Para ortu yang punya anak sekolah, coba intip isi tasnya. Di masa modern ini, cara pertama untuk membentuk postur tubuh anak adalah dengan menyeimbangkan beban yang sering dibawa di tas sekolahnya.Beban berlebih di dalam tas dapat menyebabkan rasa nyeri di sekitar pundak, leher, dan punggung. 
Kondisi nyeri tersebut juga berakibat pada posisi tulang dan postur tubuh. Maka dari itu, mulai dari sekarang Anda harus memperhatikan barang apa saja yang dibawa anak saat berangkat sekolah. Selain itu, pilihkan juga jenis tas ransel yang ukurannya sesuai proporsi tubuhnya. Jadi, si Kecil bisa menggendongnya dengan nyaman.<h3>2. Siapkan kursi dan meja belajar yang ergonomis</h3>Posisi duduk anak saat belajar di rumah juga penting diperhatikan. Meja yang terlalu pendek bisa membuat anak cenderung menunduk saat belajar. Lama-lama, hal ini bisa menyebabkan nyeri pada pundak dan leher serta mengurangi suplai darah. Tubuh dan punggung bawah si Kecil pun akan terasa kaku.Sementara itu, kebiasaan duduk di kursi tanpa sandaran akan membuat si Kecil cenderung membungkukkan badannya. Lambat laun ini bisa membebani diskus atau cakram punggung bawah, sehingga menyebabkan nyeri.Membiarkan kondisi ini dalam jangka panjang bisa mengubah bentuk tulang belakang dan postur anak.<h3>3. Ajari cara duduk yang benar</h3>Keasyikan bikin tugas di laptop atau main gim, anak jadi sering tak sadar kalau badannya merunduk ke depan. Posisi ini juga bisa mengubah bentuk tulang punggung dan postur.Maka dari itu, kita sebagai orang tua harus mengajarkan cara duduk yang benar. Pastikanlah anak duduk tegak ketika sedang belajar atau bermain gim. Jangan lupa ingatkan terus kalau Anda melihatnya mulai membungkuk lagi.Ketelatenan orangtua akan membantu anak untuk terbiasa duduk dalam posisi yang benar, sehingga membantu tulang membentuk postur tubuh yang ideal.<h3>4. Ajak lakukan latihan peregangan</h3>Salah satu cara membentuk postur tubuh anak agar menjadi ideal adalah melakukan latihan peregangan.Berikut beberapa latihan yang dapat dilakukan anak di rumah:<h4>a. Menarik dagu</h4>Angkat dagu ke atas hingga posisi leher bagian belakang jadi lurus, lalu tahan selama 10 detik. 
Ulangi latihan ini 10 kali sehari<h4>b. Menggerakkan bahu</h4>Naikkan posisi bahu ke arah atas, tahan 10 detik, dan turunkan. Ulangi sebanyak 10 kali.<h4>c. Push-up berdiri</h4><ul><li>	Berdiri menghadap dinding. </li><li>
	Tempelkan telapak tangan ke dinding, sejajar dada. </li><li>
	Tekuk siku sambil dorong posisi tubuh ke arah dinding, posisi kaki tidak berubah. </li><li>
	Dorong kembali badan ke posisi awal, lalu ulangi gerakan sebanyak 10 kali.</li></ul><h4>d. Posis&nbsp;Bridge </h4><ul><li>	Berbaring telentang dengan posisi kaki ditekuk, telapak kaki di dekat bokong dan kedua tangan di samping tubuh. </li><li>
	Angkat pinggul ke atas dan tahan lima detik, lalu kembali ke posisi semula. </li><li>
	Ulangi gerakan 10 kali sehari.</li></ul><h4>e. Superman</h4><ul><li>	Ambil posisi seperti mau merangkak, posisi tangan di bawah bahu. </li><li>
	Angkat dan rentangkan tangan kanan dan kaki kiri bersama-sama. Tahan 10 detik, kembali ke posisi awal. </li><li>
	Sekarang ganti rentangkan tangan kiri dan kaki kanan. Tahan selama 10 detik, kembali ke posisi awal. </li><li>
	Ulangi gerakan sebanyak lima kali.</li></ul><h3>5. Jangan biarkan anak mager</h3>Di sela-sela belajar, menonton acara favorit, atau bermain gawai, kita perlu minta anak jeda sejenak. Cari cara supaya dia bisa bergerak sebentar setiap 30 menit.Anda bisa minta si Kecil pergi ke dapur untuk minum, mengambilkan barang, atau cari udara segar di halaman. Atau, bermain bersama temannya atau binatang peliharaan. Ini dapat mengalihkan fokus anak sekaligus memperbaiki postur tubuhnya. Sebab, saat berdiri dan berjalan, tulangnya juga akan terbiasa untuk tegak. Postur tubuhnya pun jadi lebih baik.Baca Juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank"> Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?	</a> 
<h3>6. Ayo, menari!</h3>Bila anak punya postur tubuh yang buruk, tidak ada salahnya jika Anda mendaftarkannya ikut kelas menari atau gimnastik. Efek menari terhadap perkembangan postur telah diteliti oleh Ukrainian Research and Academic Network dan dipublikasikan pada 2020. Menurut hasil penelitian, anak yang rajin latihan menari terbukti memiliki perkembangan tulang belakang lebih baik.<h3>7. Pilates</h3>Cara membentuk postur tubuh anak yang terakhir adalah dengan latihan pilates. Latihan ini terbukti efektif membentuk postur tubuh yang tegak pada anak-anak, menurut penelitian di Environmental Research and Public Health pada 2020.Dalam studi yang dilakukan terhadap anak-anak yang setiap hari bermain alat musik gesek, seperti biola, viola, cello, atau bas. Aktivitas ini ternyata bisa membuat postur tubuh anak tidak ideal. Dan, posisi alat musik yang diletakkan di bahu bisa menimbulkan cedera pada pemain biola dan viola. 
Latihan pilates disertai terapi medis dapat membantu mengurangi nyeri pada anak-anak pemain musik ini. Selain itu, latihan pilates juga memperbaiki postur tubuh mereka. Itulah beberapa cara membentuk postur tubuh anak.Untuk info lebih lanjut, Anda bisa lakukan telekonsultasi terkait postur tubuh maupun perkembangan anak dengan dokter spesialis di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Rai, A., Agarwal, S., Bharti, S., &amp; Ambedakar, B. B. R. (2013). Postural effect of back packs on school children: its consequences on their body posture. Int J Health Sci Res, 3(10), 109-16.</li><li>
Spine Health. Diakses pada Maret 2022. Is Poor Posture Causing Your Back Pain?</li><li>
Today's Parent. Diakses pada Maret 2022. 6 ways to fix your kid’s bad posture</li><li>
Body and Posture. Diakses pada Maret 2022. 6 Easy Ways to Improve Your Child's Posture</li><li>
Grygus, I., Nesterchuk, N., Hrytseniuk, R., Rabcheniuk, S., &amp; Zukow, W. (2020). Correction of posture disorders with sport and ballroom dancing. Медичні перспективи, 25(1), 174-184.</li><li>
Poncela-Skupien, C., Pinero-Pinto, E., Martínez-Cepa, C., Zuil-Escobar, J. C., Romero-Galisteo, R. P., &amp; Palomo-Carrión, R. (2020). How does the execution of the pilates method and therapeutic exercise influence back pain and postural alignment in children who play string instruments? A randomized controlled pilot study. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7436.</li></ul>

7 Cara Membentuk Postur Tubuh Anak yang Baik

Ajarkan si Kecil untuk tetap mengenakan masker dan melakukan protokol kesehatan agar terhindar dari hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya - AlteaCare | Foto: Envato

Baru saja kasus penularan COVID-19 mereda, dunia sudah dihebohkan kembali dengan penemuan kasus hepatitis misterius. Agar dapat mengantisipasi, kita harus mengetahui gejalanya terlebih dulu.Hingga 10 Mei 2022, WHO telah mencatat 348 kasus probable untuk hepatitis berat di 21 negara di dunia. Penyakit misterius ini menyerang anak-anak, dengan kisaran usia satu bulan hingga 16 tahun. Di Indonesia, sudah ditemukan sebanyak 15 kasus hepatitis akut pada anak. Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan investigasi untuk mengetahui faktor risiko penyakit ini.Melansir dari laman Kementerian Kesehatan RI, hasil investigasi kontak memperlihatkan bahwa anak yang meninggal datang ke fasilitas kesehatan pada kondisi stadium lanjut. Akibatnya, tenaga kesehatan hanya punya sedikit waktu untuk melakukan tindakan pertolongan.Dari sini, para orangtua dapat satu pesan penting. Penting sekali untuk mengenali gejala dan tidak menunda-nunda untuk membawa si Kecil ke fasilitas layanan kesehatan.Yuk, simak sejumlah fakta mengenai hepatitis akut pada anak yang perlu diketahui.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hepatitis-1648626865016" target="_blank">Hepatitis</a> 
<h2>5 Fakta Tentang Hepatitis Akut Pada Anak</h2>Pahami hal-hal penting terkait dengan hepatitis akut pada anak berikut ini:<h3>1. Dialami oleh anak-anak</h3>Hingga hari ini penyakit hepatitis akut ditemukan pada kelompok anak-anak. Sejumlah anak juga dilaporkan harus melakukan transplantasi hati.Bila ditelusuri, hepatitis akut ini diduga berkaitan dengan kasus di Alabama, Amerika Serikat, pada Oktober 2022-Februari 2022 lalu. DalamMorbidity and Mortality Weekly Report yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention pada 6 Mei 2022 lalu, dalam kurun waktu tersebut sebanyak 9 anak dirawat di rumah sakit Children’s of Alabama, dengan indikasi hepatitis berat.<h3>2. Penyebabnya misterius</h3>Penyakit hepatitis akut ini disebut misterius karena penyebabnya masih belum diketahui. Sangat penting bagi orangtua untuk mencermati adanya tanda-tanda hepatitis akut pada si Kecil.Melansir dari Kementerian Kesehatan, secara umum gejala awal hepatitis akut pada anak adalah:<ul><li>	Mual</li><li>
	Muntah-muntah</li><li>
	Sakit perut</li><li>
	Diare</li><li>
	Kadang dapat disertai demam ringan</li></ul>Jika kondisi anak memburuk, gejala yang dialami dapat berupa urine berwarna pekat seperti teh, feses atau BAB berwarna putih pucat, dan kulit berubah menjadi kuning. Segera bawa anak ke fasilitas layanan kesehatan supaya bisa mendapat diagnosis awal.Orangtua harus segera bertindak agar anak tidak sampai mengalami perburukan hingga si Kecil mengalami penurunan kesadaran. Ini menunjukkan bahwa kondisi infeksi hepatitis sudah sangat berat, yang disebut juga oleh dokter sebagai hepatitis fulminan. Pada tahap ini, kesempatan dokter untuk menolong anak menjadi semakin kecil.<h3>3. Tidak ditemukan keberadaan virus hepatitis</h3>Meski menyerang jaringan hati, dalam kasus penyakit ini tidak tidak ditemukan virus hepatitis.Mengutip Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI Tentang Kewaspadaan Terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya No.: HK.02.02/C/2515/2022, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan virus hepatitis tipe A, B, C, dan E. Beberapa jenis virus justru ditemukan pada beberapa kasus. WHO mencatat, dalam 74 kasus ditemukan adenovirus dalam tubuh pasien. Sementara itu, pada sebanyak 11,3% kasus di Inggris ditemukan adanya paparan SARS-CoV-2. Sejumlah kasus juga mendeteksi infeksi SARS-CoV-2 sekaligus adenovirus.Kasus hepatitis berat pada anak yang dilaporkan di Morbidity and Mortality Weekly Report pun menemukan adanya paparan adenovirus. Namun, dalam kasus ini tidak ditemukan adanya paparan virus SARS-CoV-2.Di Indonesia sendiri, hasil pemeriksaan pada tiga kasus awal juga tidak menemukan adanya virus SARS-CoV-2. <h3>4. Diduga berkaitan dengan adenovirus</h3>Dari banyak kasus yang terjadi di seluruh dunia, satu kesamaan yang muncul adalah temuan adenovirus tipe 41. Secara umum, virus adenovirus utamanya menyerang saluran cerna dan saluran pernapasan. Adenovirus dapat menyebar melalui kontak dengan orang lain. Sementara adenovirus tipe F41 biasanya menyebar melalui transmisi fekal-oral, atau dari kotoran atau feses yang tersentuh tangan, kemudian masuk ke mulut. Hal ini bisa membuat anak mengalami gejala seperti diare, muntah, demam, dan terkadan juga diikuti dengan gangguan pernapasan atas. 
Adenovirus tipe F41 juga sering jadi penyebab hepatitis pada anak yang punya gangguan imun (imunokompromais). Namun, para ahli masih belum bisa memastikan bahwa adenovirus punya peran pasti dalam fenomena hepatitis akut pada anak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bayi-kuning-bisa-dialami-bayi-baru-lahir-ini-alasannya-1645430286073" target="_blank">Bayi Kuning Bisa Dialami Bayi Baru Lahir, Ini Alasannya	</a> 
<h3>5. Menjaga kebersihan bisa mencegah penularan</h3>Sementara para ahli bekerja keras untuk menemukan titik terang dari hepatitis akut yang menyerang anak, WHO mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan sebagai langkah perlindungan diri.Beberapa hal ini bisa Anda lakukan bersama seluruh keluarga, terutama anak-anak, untuk mencegah penularan hepatitis akut:<ul><li>	Ajari anak untuk rajin mencuci tangan menggunakan sabun</li><li>
	Ingatkan anak untuk tidak berbagi alat makan dengan orang lain</li><li>
	Pastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi matang</li><li>
	Jauhkan anak dari kontak dengan orang sakit agar tidak ikut terpapar</li><li>
	Perhatikan pengolahan sampah dan kotoran di rumah</li><li>
	Jaga kebersihan rumah agar tidak menjadi sarang virus</li></ul>Cegah juga penularan hepatitis akut melalui saluran pernapasan dengan selalu menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Ajak anak untuk disiplin pakai masker, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas yang tidak perlu. 
Itulah sejumlah fakta tentang hepatitis akut pada anak.Jika si Kecil mengalami gejala yang mengarah pada penyakit misterius ini, Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>supaya bisa segera buat janji dengan dokter andalan! 
 Sumber:<ul><li>Medscape. Diakses pada Mei 2022. Mysterious Hepatitis in Kids: What We Know and Don't Know Now</li><li>
Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI Tentang Kewaspadaan Terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya No.: HK.02.02/C/2515/2022</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Mei 2022. Pemerintah Lakukan Investigasi Kontak 3 kasus Hepatitis Akut Pada Anak</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Mei 2022. Hepatitis Akut Menular Lewat Saluran Cerna dan Saluran Pernafasan, Begini Cara Mencegahnya</li><li>
Baker, J. M. (2022). Acute Hepatitis and Adenovirus Infection Among Children—Alabama, October 2021–February 2022. MMWR. Morbidity and Mortality Weekly Report, 71.</li><li>
Kompas.com. Diakses pada Mei 2022. Menkes Sebut 15 Kasus Hepatitis Akut Terdeteksi di Indonesia</li></ul>

5 Fakta Tentang Hepatitis Akut Pada Anak. Cermati Gejalanya!

Rubella atau campak jerman sering dialami oleh anak-anak - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Rubella</h2>Rubella, atau yang juga dikenal sebagai campak jerman, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus. 
Rubella atau campak jerman tidak sama dengan campak biasa. Namun, keduanya memiliki gejala yang mirip, seperti ruam merah pada kulit. 
Infeksi virus rubella pada anak-anak dan orang dewasa biasanya hanya menyebabkan demam dan ruam. Tetapi pada wanita hamil, terutama pada trimester pertama, infeksi tersebut dapat menyebabkan keguguran, kematian janin, hingga stillbirth (bayi lahir dalam kondisi meninggal). Atau, bayi dapat lahir dengan kelainan bawaan lahir (malformasi kongenital), yang dikenal sebagai congenital rubella syndrome (CRS). 
 <h2>Penyebab Rubella</h2>Rubella atau campak jerman disebabkan oleh virus rubella. 
Virus rubella menyebar lewat droplet yang berasal dari batuk atau bersin orang yang terkena rubella. Anda bisa ikut terinfeksi jika melakukan kontak dengan orang yang sedang sakit rubella. Atau memegang barang yang terkontaminasi droplet orang yang terinfeksi, kemudian memegang mulut, mata, atau hidung. 
Infeksi rubella juga dapat terjadi lewat berbagi makanan atau minuman dengan orang yang terinfeksi rubella. 
 <h2>Faktor Risiko Rubella</h2>Semua orang bisa terinfeksi rubella jika tidak pernah mendapat vaksinasi dan terpapar dengan virus rubella. 
Wanita hamil akan menghadapi risiko yang sangat serius jika terinfeksi rubella. Sebab infeksi ini bisa menimbulkan sejumlah komplikasi pada janin saat kehamilan. 
 <h2>Gejala Rubella</h2>Sekitar 25-50% orang yang terinfeksi rubella tidak merasakan gejala apa pun. Gejala Rubella Pada AnakPada anak yang mengalami gejala, keluhannya biasanya ringan. Hanya beberapa tanda yang dapat dilihat, umumnya berupa ruam merah. Ruam merah awalnya muncul di wajah lalu menyebar ke seluruh tubuh. Gejala ruam bertahan selama kurang lebih 3 hari. 
Keluhan lainnya yang mungkin dirasakan sekitar 1-5 hari sebelum ruam muncul antara lain:<ul><li>
	Demam ringan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Mata merah ringan atau mata terlihat sedikit bengkak</li><li>
	Rasa kurang nyaman pada tubuh</li><li>
	Pembengkakan kelenjar limfa atau kelenjar getah bening</li><li>
	Batuk</li><li>
	Pilek</li></ul>
Gejala Rubella Pada DewasaMayoritas orang dewasa yang terinfeksi rubella umumnya juga bergejala ringan. Seperti demam ringan, nyeri tenggorokan, serta ruam yang muncul dari wajah dan menyebar ke seluruh tubuh. 
Sebagian juga bisa mengalami sakit kepala, mata merah (pink eye), dan tidak enak badan sebelum ruam muncul. <h2>Diagnosis Rubella</h2>Diagnosis rubella bisa dilihat dari timbulnya ruam yang khas dan pembengkakan kelenjar getah bening. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik. 

Adanya antibodi IgM spesifik ini menunjukkan adanya infeksi rubella yang baru terjadi. Sedangkan adanya antibodi IgG spesifik menandakan Anda sudah memiliki imunitas terhadap rubella. 

Rubella kongenital pada bayi baru lahir juga didiagnosis dengan cara isolasi dari virus rubella atau pemeriksaan serologi. Halaman selanjutnya: Pengobatan, Pencegahan, dan Kapan Harus ke Dokter

Rubella

Kebiasaan kurang minum dapat jadi penyebab usus buntu pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

Gangguan usus buntu bisa dialami anak berusia 6-11 tahun. Orangtua perlu cermat mengamati keluhan yang disampaikan anak. Selain itu, bekali juga diri dengan informasi seputar faktor risiko dan penyebab usus buntu pada anak.Menurut dr. Ruankha Bilommi, Sp, BA (K), dokter spesialis bedah anak dari Rumah Sakit Mitra Keluarga, faktor risiko gangguan usus buntu pada anak bisa beragam. Namun, katanya lagi, orangtua tidak perlu terlalu khawatir. Selama gejalanya segera diketahui, lalu penanganannya juga cepat, si Kecil bisa lekas pulih.<h2>Apa yang menyebabkan radang usus buntu?</h2>Usus buntu adalah organ yang terdapat di pencernaan kita. Bentuknya seperti cacing dan sebenarnya peranannya pun tidak terlalu signifikan untuk tubuh kita. "Peranan penting usus buntu hanya 2% untuk imun tubuh. Walau usus buntu diambil, kita bisa tetap hidup normal," kata dr. Ruankha saat menjadi narasumber dalam live streaming AlteaTalk Episode 20 di Instagram @alteacare.id, pada Kamis, 31 Maret 2022.Lalu, apa saja yang dapat menjadi penyebab usus buntu pada anak? <h3>1. Ada kotoran yang terjebak</h3>Secara umum, penyebab usus buntu pada anak dan dewasa sama saja. Namun, menurut dr. Ruankha, usus buntu pada anak biasanya disebabkan fekalit. Fekalit adalah feses atau kotoran yang menggumpal dan mengeras. Jika fekalit masuk ke usus buntu dan tidak bisa keluar, ini bisa membuat anak merasa sakit pada perutnya."Fekalit seharusnya dibuang, tapi malah stuck di usus buntu. Akibatnya terjadi infeksi," kata dr. Ruankha. 
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/7-gejala-usus-buntu-pada-anak-yang-harus-diwaspadai-1649042446988" target="_blank">7 Gejala Usus Buntu Pada Anak Yang Harus Diwaspadai</a> 
<h3>2. Ukuran usus buntu </h3>Ukuran usus buntu yang lebih panjang daripada normal bisa menjadi salah satu faktor risiko penyebab usus buntu. Dokter Ruankha mencontohkan salah satu pasiennya yang berusia enam bulan. Pada usia tersebut, sang bayi memiliki ukuran usus buntu sepanjang 10 cm. Padahal, ukuran normalnya adalah sekitar 3-4 cm.Dengan ukuran usus buntu yang lebih panjang, kemungkinan fekalit terjebak di usus buntu pun akan lebih besar.<h3>3. Kurang minum</h3>Penyebab usus buntu pada anak lainnya adalah kebiasaan malas minum. Ternyata, ini bisa memicu terjebaknya fekalit di usus buntu, lo!“Kurang minum bisa menyebabkan beberapa masalah. Fesesnya jadi keras, buang air besar pun jadi sulit. Lalu, kalau balik lagi jadi fekalit yang bulat-bulat seperti batu, bisa masuk ke lubang usus buntu,” jelas dr. Ruankha.Nah, untuk itu pastikan si Kecil rajin minum, ya! Anak usia 6-11 tahun harus minum setidaknya 1.000 cc hingga 1.500 cc atau antara 4-6 gelas per hari. 
<h2>Begini cara mengobati usus buntu!</h2>Saat si Kecil mengeluhkan gejala yang bisa mengarah ke usus buntu, kita akan membawanya ke dokter untuk diperiksa. Dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan penunjang, untuk memastikan kondisi yang sebenarnya dialami oleh si Kecil.Kalau anak Anda diduga mengalami radang usus buntu, beberapa langkah ini dapat diambil oleh dokter spesialis anak:<h3>1. Pemeriksaan USG abdomen</h3>Ini adalah pemeriksaan pertama untuk melihat kondisi usus buntu anak. Hasil USG abdomen akan memperlihatkan seberapa parah pembengkakan usus buntu si Kecil."Kita cari usus buntunya, jika pembengkakannya kurang dari 0,6 cm, itu normal," kata dr. Ruankha. Orangtua pun bisa memilih, apakah sebaiknya dilakukan tindakan operasi atau diatasi dengan pemberian obat dulu.Namun, jika pembengkakannya lebih dari 0,6 cm, dokter akan menyarankan operasi untuk mencegah risiko usus buntu tersebut pecah.<h3>2. Apendikogram</h3>Terkadang pemeriksaan USG tidak selalu bisa menemukan usus buntu, karena posisinya bisa tersembunyi di bawah kolon atau usus besar.Untuk itu, dokter dapat menyarankan pemeriksaan apendikogram. Pemeriksaan ini menggunakan cairan barium sulfat yang dimasukkan secara oral atau melalui anus. Setelahnya, akan dilihat apakah cairan tersebut masuk ke usus buntu. Bila masuk, berarti usus tidak tersumbat. Namun bila tidak, bisa jadi usus buntu mengalami pembengkakan.<h3>3. Periksa Darah</h3>Periksa darah dilakukan untuk melihat CRP dan leukosit anak. Bila si Kecil tidak mengalami penyakit lain, namun leukositnya naik dan merasakan sakit perut, berarti dia mengalami peradangan usus buntu.<h3>4. Pemberian Obat</h3>Menurut dr. Ruankha, usus buntu yang ringan masih bisa diatasi dengan obat. “Rasa nyeri dirasakan anak karena usus buntunya bengkak. Setelah diobati, bengkaknya hilang dan anak tidak akan sakit lagi,” katanya. Meski begitu, lanjutnya, obat tersebut tidak dapat menghilangkan fekalit yang terjebak di usus buntu. Dengan begitu, rasa sakit bisa dirasakan lagi dalam beberapa bulan atau setahun mendatang.Karena rasa sakitnya bisa hilang untuk sementara, orangtua punya waktu untuk merencanakan pengobatan ke depannya.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/gangguan-pencernaan-ini-bisa-berkaitan-dengan-kolik-1632986943890" target="_blank">Gangguan Pencernaan Ini Bisa Berkaitan Dengan Kolik	</a> <h3>5. Operasi</h3>Bila gejala yang dialami anak sudah parah, dokter akan menganjurkan tindakan secepat mungkin untuk mengatasinya. Umumnya, ada dua jenis tindakan yang dilakukan dokter, yaitu laparoskopi dan laparotomi.<ul><li>Laparoskopi adalah tindakan operasi tanpa melakukan pembedahan perut dengan sayatan besar.Ini bisa dilakukan jika radang usus buntu pada tingkat ringan hingga sedang. Tindakan ini lebih nyaman bagi anak dan tidak menghasilkan sayatan besar sehingga secara kosmetik atau estetika hasilnya terlihat lebih baik. </li><li>
	Laparatomi adalah tindakan operasi yang membuka dinding perut, sehingga dokter dapat melakukan tindakan, dalam hal ini mengangkat usus buntu yang bermasalah. Tindakan ini dilaukukan jika infeksi sudah menyebar. “Kalau nanahnya sudah menyebar ke seluruh tubuh, dokter perlu bersihkan semua usus dalam perut. Agak berisiko kalau menggunakan laparaskopi,” jelas dr. Ruankha.</li></ul><h3>6. Perawatan pascaoperasi</h3>Setelah melakukan tindakan laparaskopi, anak sudah boleh pulang dalam waktu 24 jam. Sementara bila menjalani laparatomi, si Kecil perlu dirawat lebih lama di rumah sakit. Penting bagi para orangtua untuk menjaga asupan makanan si Kecil setelah menjalani operasi. Mengingat radang usus buntu adalah gangguan pada sistem pencernaan, dalam masa pemulihan pun sebaiknya tidak diberi beban berat.Berikut ini adalah tips dr. Ruankha seputar pemberian makan dan aktivitas anak setelah operasi usus buntu:<ul><li>	Hindari makanan yang terlalu pedas, asam, makanan siap saji, dan jajanan tidak sehat lainnya setidaknya dalam satu minggu setelah tindakan</li><li>
	Hindari juga makanan yang bisa memicu si Kecil batuk-batuk, seperti keripik, es krim, dan lain-lain. Ini bisa membuat perutnya terasa sakit.</li><li>
	Ingatkan anak untuk tidak beraktivitas berat selama dua minggu, seperti berolahraga, main sepeda, atau lompat-lompat. Ini bisa menyebabkan cedera pada perut dan menimbulkan trauma pada luka operasi.</li></ul>Nah, itulah sejumlah penyebab usus buntu pada anak dan pengobatannya.Jika si Kecil mengeluh perutnya sangat sakit sampai sering membungkuk-bungkuk, lebih baik konsultasikan hal ini dengan dokter spesialis anak di AlteaCare.Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan dokter andalan!

3 Penyebab Usus Buntu Pada Anak. Begini Cara Mengobatinya!

Selain sakit perut, ada ciri-ciri lain yang diperlihatkan anak saat terkena radang usus buntu - AlteaCare | Foto: Envato

Kalau si Kecil mengeluh perutnya sakit, jangan dianggap sepele. Sebab, bisa jadi itu adalah pertanda atau gejala usus buntu pada anak. Sayangnya, banyak orangtua tidak sampai menduga ke arah sana. Ini dikarenakan anak kerap tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Maka dari itu, orangtua pun menyangka anaknya sakit perut biasa.Padahal, gangguan usus buntu juga bisa dialami oleh anak dan balita. Menurut dr. Ruankha Bilommi, Sp.BA (K), spesialis bedah anak RS Mitra Keluarga, ada beberapa gejala yang bisa diamati untuk mengetahui apakah anak mengalami usus buntu atau tidak."(Penyakit usus buntu) Dikarenakan si organ usus buntu meradang atau infeksi. Bisa terjadi pada anak karena setiap manusia punya usus buntu. (Penyakit ini) dialami anak mulai usia 6 tahun sampai 11 tahun," kata dr. Ruankha saat menjadi narasumber dalam sesi live streaming AlteaTalk Episode 20 (@alteacare.id).Dalam episode bertajuk "Anak Mengalami Gejala Usus Buntu? Tangani Bersama Dokter Bedah Anak" pada Kamis, 31 Maret 2022 lalu, dr. Ruankha mengupas tuntas gejala penyakit usus buntu pada anak. Yuk, simak penjelasan dr. Ruankha di bawah ini!<h2>Apa itu penyakit usus buntu?</h2>Penyakit usus buntu adalah kondisi peradangan yang terjadi di organ pencernaan, tepatnya di usus buntu atau appendix. Sementara usus buntu adalah usus yang berbentuk seperti tabung atau cacing, yang keluar dari usus besar, di area kanan bawah perut.Organ ini sebenarnya tidak punya fungsi vital di dalam tubuh. Menurut dr. Ruankha, usus buntu hanya punya peran 2% terhadap imun tubuh. "(Kalau usus buntu diambil) Tetap bisa hidup normal, karena (perannya) tidak terlalu bermanfaat," ujarnya.Namun, saat meradang usus buntu bisa pecah. Akibatnya, bakteri maupun feses (tinja) bisa tumpah ke rongga perut. Maka dari itu, anak yang radang usus buntu harus segera dirawat dan ditangani dengan benar.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/gastroenteritis-1645073804519" target="_blank">Gastroenteritis</a> 
 <h2>7 Gejala Usus Buntu pada Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa keluhan dan tanda yang sering dialami anak ketika usus buntunya meradang: <h3>1. Nyeri pada ulu hati atau lambung</h3>Anak dapat mengeluh sakit di sekitar ulu hati atau lambung saat sakit usus buntu. "(Awalnya) nyeri di epigastrium (ulu hati) atau di lambung. Bukan di bagian perut kanan bawah," kata dr. Ruankha. Namun, seiring waktu, rasa nyeri bisa berpindah ke bagian kanan bawah perut.<h3>2. Badan terasa panas</h3>Keluhan lainnya setelah merasa nyeri di area perut adalah badan yang terasa panas. "Nyeri pada lambung yang berpindah ke kanan bawah (perut), disertai panas badan, itu dikatakan nyeri trias yang sudah pasti atau harus curiga usus buntu," ujar dr. Ruankha.<h3>3. Tidak nafsu makan</h3>Gejala lain yang sering dialami anak yang radang usus buntu adalah enggan makan. Nah, orangtua perlu perhatikan selera makan si Kecil. Jika biasanya dia makan dengan lahap lalu tiba-tiba tidak mau makan, segera waspada. Apalagi bila anak lalu mengeluh sakit perut. Jangan-jangan dia mengalami usus buntu.<h3>4. Anak memegangi perut bagian bawahnya</h3>Nyeri yang dirasakan saat mengalami usus buntu sering tidak tertahankan. Maka dari itu, banyak anak yang mencoba meredam rasa nyeri dengan memegangi perut bagian bawah. "Teorinya, kalau usus buntu, dia ada rangsangan pada peritonium. Kalau dia (anak) bergerak, dia merasakan nyeri," kata dr. Ruankha. Peritonium adalah lapisan yang melindungi organ di dalam perut.<h3>5. Berjalan sambil membungkuk</h3>Rasa sakit di perut bagian bawah juga membuat postur tubuh si Kecil berbeda saat berjalan. Bila di kala sehat dia bisa berjalan tegak dan berlari, saat mengalami radang usus buntu ia cenderung membungkuk. Bila diminta untuk menegakkan badan, si Kecil bisa mengeluh merasa sakit di bagian perutnya. Ini karena sikap tubuh tegak ini merangsang peritonium, sehingga menimbulkan nyeri."Jadi, responnya, dia membungkukkan badan agar peritoniumnya tidak terangsang lagi. Kalau dia membungkuk, jadi enggak sakit lagi," ujar dr. Ruankha.<h3>6. Tiba-tiba jadi banyak diam</h3>Ciri-ciri usus buntu pada anak lainnya adalah pada perubahan aktivitasnya. Anak yang semula aktif berolahraga atau bermain, mendadak hanya diam termenung. Bahkan, mereka bisa seharian tidur di kamar. Hal ini bisa disebabkan mereka merasakan nyeri tidak tertahankan.<h3>7. Gangguan pencernaan</h3>Radang usus buntu juga bisa membuat organ pencernaan pun akan terganggu. Tak heran bila anak kemudian merasa mual, muntah, dan mencret.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mudah-dilakukan-inilah-cara-mengatasi-perut-kembung-1632284089051" target="_blank">Mudah Dilakukan, Inilah Cara Mengatasi Perut Kembung</a> 
Meski anak telah mengalami gejala-gejala yang mengarah ke radang usus buntu, saat memeriksa dokter tidak bisa langsung mendiagnosis tersebut tanpa melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.Berikut adalah beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan dokter sebelum melakukan tindakan:<ul><li>	USG abdomen (perut)</li><li>
	Apendikogram (radiografi untuk memeriksa usus buntu)</li><li>
	Pemeriksaan darah</li></ul>Berdasarkan hasil pemeriksaan, dokter akan memberikan diagnosis dan merekomendasikan cara penanganannya.Nah, itulah sejumlah gejala usus buntu pada anak yang wajib Anda waspadai.Jika si Kecil mengeluh sakit perut, tidak ada salahnya jika Anda segera lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare! Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan Anda!

7 Gejala Usus Buntu Pada Anak Yang Harus Diwaspadai

Menurut riset, ada perbedaan kondisi pada bayi yang lahir di masa pandemi - AlteaCare | Foto: Envato

Lain dulu, lain sekarang. Dilahirkan di masa pandemi, bayi dapat mengalami kondisi khusus. Inilah yang membedakannya dengan bayi yang lahir sebelum pandemi. Sebagai orang tua, kita pun perlu cermat dalam merawat dan memberi nutrisi yang tepat untuk sang buah hati.Pandemi membuat kita harus banyak beradaptasi. Tidak hanya protokol kesehatan, soal perawatan anak pun perlu paradigma baru. Ada sejumlah kondisi yang bisa dialami oleh bayi yang lahir di masa pandemi, akibat keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan maupun berkurangnya dukungan bagi ibu selama hamil. Untuk itu, orangtua perlu memahami perbedaan kondisi bayi yang lahir saat pandemi. Dengan begitu, orangtua bisa lebih perhatian dalam mengasuh bayinya.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank">Anak Rentan Terhadap Omicron, Ortu Perlu Lakukan Ini</a> 
<h2>Seperti apa kondisi bayi yang lahir saat pandemi?</h2>Yuk, simak uraian lengkapnya di bawah ini!<h3>1. Perkembangan motoriknya rendah </h3>Sebuah studi yang dipublikasikan di JAMA Network pada 2022 menyebutkan, sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara keterlambatan perkembangan sosial dan motorik bayi dengan paparan virus COVID-19.Meski begitu, bayi yang lahir saat pandemi, baik dari ibu yang terkena COVID-19 maupun tidak, memperlihatkan keterlambatan dalam perkembangan motorik kasar dan halus pada usia 6 bulan. Ini bila dibandingkan dengan bayi yang lahir di masa sebelum pandemi.Untuk itu orangtua dapat membantu merangsang perkembangan motorik bayinya. Misalnya:<ul><li>	Meletakkannya dalam posisi tengkurap sehingga bisa belajar mengangkat kepala dan dadanya</li><li>
	Menaruh mainan agak jauh sehingga memancing bayi mengangkat kepala dan tangannya mencoba meraih mainan</li><li>
	Memberi mainan yang bisa digenggam dengan mudah</li></ul><h3>2. Jarang berinteraksi sosial 
</h3>Selama pandemi, keseharian anak dan bayi lebih banyak dihabiskan di rumah. Untuk anak yang sudah agak besar, pembatasan ini membuat aktivitasnya di luar jadi berkurang. Apalagi jika si Kecil sebelumnya sudah masuk preschool atau sering playdate dengan teman-teman sebayanya. Kegiatan seperti ini mengajarkan anak berinteraksi sosial dengan orang lain. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Medrxiv, berkurangnya interaksi sosial juga bisa berdampak pada perkembangan bahasa dan perkembangan sosial emosional si Kecil. Namun, hal ini masih butuh penelitian lebih lanjut lagi.<h3>3. Kurang mendapat asupan ASI</h3>Asupan air susu ibu (ASI) di masa pandemi dapat membantu melindungi bayi dari paparan berbagai penyakit. Menurut penelitian yang dimuat di jurnal Clinical Immunology, ASI mengandung nutrisi yang penting, semisal protein, karbohidrat, dan lemak, serta zat-zat yang bisa membantu pembentukan sistem imun tubuh bayi.Sayangnya, menurut survei UNICEF Inggris, terdapat indikasi menurunkan jumlah ibu yang memberikan ASI di masa pandemi. Hal ini berkaitan dengan kurangnya dukungan dari keluarga dan teman kepada ibu menyusui untuk memberikan ASI eksklusif pada anaknya.Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Berdasarkan survei Health Collaborative Center (HCC), angka ASI eksklusif Indonesia malah meningkat hingga mencapai 89,4%. Yang perlu dicermati, sisa sekitar 11% responden mengaku tidak menyusui dengan berbagai alasan. Mulai dari soal pekerjaan, minimnya akses ke fasilitas kesehatan untuk berkonsultasi soal ASI, serta minimnya dukungan dari keluarga, termasuk suami.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a> 
<h3>4. Jumlah kelahiran bayi dengan berat badan rendah menurun</h3>
Ini kabar baik. Selama masa pandemi, jumlah bayi yang lahir dengan berat badan rendah ternyata berkurang. Hal ini diungkap dalam penelitian yang dipublikasikan di BMC Pregnancy and Childbirth pada 2021.Menurut penelitian, jumlah bayi yang lahir dengan berat badan rendah atau sangat rendah pada masa pandemi lebih sedikit dibanding sebelum masa pandemi. Sementara penelitian lain yang dimuat di jurnal BMJ Global Health menyebutkan, ada beberapa faktor yang bisa berpengaruh: <ul><li>	Adanya kesempatan bagi ibu bekerja dari rumah</li><li>
	Berkurangnya stres akibat pekerjaan</li><li>
	Berkurangnya ketegangan fisik akibat pekerjaan dan perjalanan</li><li>
	Tidur yang lebih optimal dan berkualitas</li><li>
	Pasangan juga lebih sering di rumah dan memberi dukungan</li><li>
	Berkurangnya paparan infeksi di luar rumah</li><li>
	Nutrisi tercukupi</li><li>
	Meningkatnya kesempatan untuk berolahraga</li><li>
	Berkurangnya paparan polusi udara</li></ul>
<h3>5. Turunnya tingkat imunisasi dasar</h3>Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, tingkat imunisasi dasar lengkap untuk bayi pada 2021 cukup rendah. Tercatat, cakupan imunisasi dasar baru mencapai 58,4% dari target 79,1%. Imunisasi dasar tersebut di dalam termasuk imunisasi hepatitis B, polio, DPT, HiB, MR, dan campak.Padahal, imunisasi dasar tersebut sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan anak. Sebab, bayi baru lahir umumnya sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Imunisasi berguna untuk mencegah penyebaran penyakit dan terjadinya komplikasi yang bisa membahayakan bayi. 
Jadi, Sobat Altea yang punya bayi jangan sampai melewatkan imunisasi dasar untuk anak, ya! Anda juga bisa membuat janji untuk imunisasi anak lewat AlteaCare, lo! Caranya adalah dengan terlebih dulu melakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak. Manfaatkan juga kemudahan telekonsultasi ini bila bayi Anda mengalami keluhan kesehatan lainnya. Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di ponsel dan segera buat janji dengan dokter andalan Anda! 
 
 Sumber: <ul style=""><li style="">
Shuffrey, L. C., Firestein, M. R., Kyle, M. H., Fields, A., Alcántara, C., Amso, D., ... &amp; Dumitriu, D. (2022). Association of Birth During the COVID-19 Pandemic With Neurodevelopmental Status at 6 Months in Infants With and Without In Utero Exposure to Maternal SARS-CoV-2 Infection. JAMA pediatrics, e215563-e215563.</li><li style="">
Deoni, S., Beauchemin, J., Volpe, A., &amp; D'Sa, V. (2021). Impact of the COVID-19 pandemic on early child cognitive development: Initial findings in a longitudinal observational study of child health. Medrxiv.</li><li style="">
Kloc, M., Ghobrial, R. M., Kuchar, E., Lewicki, S., &amp; Kubiak, J. Z. (2020). Development of child immunity in the context of COVID-19 pandemic. Clinical Immunology, 217, 108510.</li><li style="">
Kementerian Kesehatan. Diakses pada Februari 2022. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Baru 58,4%, Kemenkes Dorong Pemda Kejar Target</li><li style="">
National Institute of Health. Diakses pada Februari 2022. Why Are Immunizations Important For My Infant’s Health?</li><li style="">
Badran, E. F., Darwish, R. M., Khader, Y., AlMasri, R., Al Jaberi, M., AlMasri, M., ... &amp; al-Badaineh, N. (2021). Adverse pregnancy outcomes during the COVID-19 lockdown. A descriptive study. BMC pregnancy and childbirth, 21(1), 1-8.</li><li style="">
Philip, R. K., Purtill, H., Reidy, E., Daly, M., Imcha, M., McGrath, D., ... &amp; Dunne, C. P. (2020). Unprecedented reduction in births of very low birthweight (VLBW) and extremely low birthweight (ELBW) infants during the COVID-19 lockdown in Ireland: a ‘natural experiment’allowing analysis of data from the prior two decades. BMJ global health, 5(9), e003075.</li></ul>

Perbedaan Kondisi Bayi yang Lahir saat Pandemi. Wajib Dicatat!

Autisme sering keliru dianggap sebagai gangguan kejiwaan - AlteaCare | Foto: Envato

Pertama kali melihat anak dengan gangguan autisme, apa yang Anda pikirkan? Aneh, atau gila? Atau, terbelakang? Ternyata semua ini tidak benar. Autisme bukanlah gangguan kepribadian, kejiwaan, ataupun kecerdasan.Gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder) adalah gangguan yang berkaitan dengan fungsi sistem neurologis (saraf) dan otak. Mengutip dari jurnal Paediatrica Indonesiana, autisme ditandai oleh gangguan pada kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi, serta perilaku yang cenderung diulang-ulang. Pada 2020, sekitar 16% anak di seluruh dunia mengalami gangguan autisme, dengan jumlah anak laki-laki tiga kali lebih besar daripada anak perempuan. Di Indonesia sendiri belum ada data yang pasti, namun diperkirakan gangguan ini dialami oleh sekitar 2,4 juta orang.Gejala autisme umumnya mulai terlihat saat anak berusia 3 tahun dan semakin jelas saat masuk usia sekolah. Namun, studi menyebutkan munculnya gejala autisme sudah dapat dilihat saat masih anak berusia 6-18 bulan. Misalnya, anak tidak merespons saat diajak berinteraksi. Masih kurangnya pemahaman masyarakat seputar gangguan yang satu ini menyebabkan munculnya banyak salah pemahaman maupun mitos tentang autisme. Apa saja itu?Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a> 
 <h2>Mitos seputar gangguan autisme pada anak</h2>Berikut ini adalah beberapa mitos dan miskonsepsi yang beredar seputar gangguan spektrum autisme:<h3>1. Anak jadi autis karena vaksin</h3>Miskonsepsi ini berawal dari sebuah penelitian yang tidak sesuai kaidah ilmiah pada tahun 1998, bahwa vaksin MMR bisa menyebabkan autisme. Vaksin MMR adalah jenis vaksin untuk mencegah penyakit measles (campak), mumps (gondong), dan rubella (campak jerman) pada anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia menegaskan bahwa vaksinasi MMR tidak berhubungan dengan autisme, serta tidak menyebabkan kemunduran pada perkembangan anak. Faktanya, hingga kini para ahli masih belum menemukan penyebab pasti gangguan autisme. Namun, melansir dari jurnal Paediatrica Indonesiana, ada sejumlah faktor yang bisa berpengaruh pada gangguan autisme, antara lain: <ul><li>	Faktor keturunan, seperti memiliki saudara kandung yang autistik </li><li>
	Usia orangtua cukup lanjut saat anak dilahirkan</li><li>
	Lahir dengan berat badan lahir rendah</li><li>
	Paparan zat teratogenik (bisa berasal dari logam berat dan racun lainnya) terutama pada masa awal kehamilan sang ibu </li><li>
	Ibu punya riwayat pernah terpapar infeksi virus saat&nbsp;hamil</li><li>
	Ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu selama kehamilan</li></ul><h3>2. Anak dengan autisme cenderung agresif</h3>Mengutip dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, gejala autisme dapat berkaitan dengan dua gangguan: <ul><li>	Komunikasi dan interaksi sosial. Tidak merespons saat diajak bicara atau ditanya, serta sulit menjalin hubungan sosial-emosional secara timbal balik dengan orang lain.</li><li>
	Pola perilaku atau aktivitas yang terbatas dan berulang. Misalnya, mengepakkan tangan, berputar, dan berlari bolak-balik. Aktivitas sehari-hari dianggap sebagai ritual yang dilakukan secara kaku, tidak boleh berubah sedikit pun. </li></ul>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, kurangnya reaksi anak autistik terhadap rangsangan dari luar membuatnya dapat bereaksi berlebihan atau tidak wajar. Terutama jika ada rangsangan nyeri, suhu, suara, atau tekstur benda. 
Gejala ini dapat mengganggu anak dalam berinteraksi sosial, bermain, maupun dalam aktivitas lainnya. Tak heran bila orang melabelinya sebagai anak agresif.<h3>3. Paparan gadget atau TV bisa menyebabkan autisme</h3>Anak yang terlalu sering bermain gadget bisa memperlihatkan perilaku yang mirip dengan anak autistik. Misalnya saja, anak jadi tidak responsif saat diajak berkomunikasi oleh orangtuanya. Namun, bukan berarti anak yang sering main gadget atau nonton TV lantas bisa mengalami autisme. Dan, bukan berarti juga gadget adalah penyebab autisme. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank">Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?</a> 
<h3>4. Anak autis bisa sangat cerdas atau punya gangguan kecerdasan</h3>Sebagian anak autisme dikenal memiliki keterampilan splinter atau splinter skill. Keterampilan ini membuatnya menonjol dalam bidang tertentu, seperti daya ingat, membaca, seni, musik, matematika, atau olahraga. Misalnya, bisa menyebut angka dari satu hingga satu juta pada usia 5 tahun atau mengingat daftar nama tumbuhan. Pada anak autistik, memiliki keterampilan splinter tidak berarti ia memahami apa yang dikuasai. Anak mungkin bisa membaca pada usia 3 tahun, tapi belum tentu paham arti kata yang dibacanya. <h3>5. Autisme adalah gangguan mental</h3>Autisme berkaitan dengan gangguan neurologis, tepatnya kelainan pada struktur otaknya. Karena, gangguan ini tidak bisa ditangani dengan pemberian obat, melainkan dalam bentuk terapi. Beberapa jenis terapi yang bisa diberikan pada anak autistik antara lain adalah:<ul><li>	Terapi perilaku</li><li>
	Terapi lewat permainan</li><li>
	Terapi okupasi</li><li>
	Terapi fisik</li><li>
	Terapi bicara</li></ul>Orangtua perlu bekerjasama dengan dokter spesialis anak, psikolog, serta terapis terkait supaya anak autistik bisa berkembang dengan baik. Bila Anda punya pertanyaan seputar autisme pada anak atau ingin berkonsultasi seputar kondisi si Kecil, coba lakukan telekonsultasi lewat AlteaCare. Di sini Anda bisa terhubung dengan berbagai dokter spesialis berpengalaman. Yuk, download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Aditya, C. J., Dahliana, J. K., Widodo, A. D., &amp; Sekartini, R. (2021). Autism spectrum disorder screening in children aged 16-30 months using the Modified Checklist for Autism in Toddlers-Revised (M-CHAT-R). Paediatrica Indonesiana, 61(5), 247-52.</li><li>
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Diakses pada Maret 2022. Hari Peduli Autisme Sedunia: Kenali Gejalanya, Pahami Keadaannya</li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. Everything You Need to Know About Autism Spectrum Disorder (ASD)</li><li>
Autism Association Western Australia. Diakses pada Februari 2022. What Are The Common Misconceptions Of Autism?</li><li>
Verywell Health. Diakses pada Februari 2022. 8 Things That Don't Cause Autism Autism isn't contagious</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Maret 2022. Autisme: Adakah harapan?</li><li>
Verywell Health. Diakses pada Maret 2022. What Are Splinter Skills in Autism?</li></ul>

5 Mitos Tentang Autisme Pada Anak. Vaksin Salah Satunya!

Anak-anak lebih berisiko terhadap penyakit campak - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Campak</h2>Campak dikenal juga dengan sebutan measles, morbili, atau rubella (rubeola). Gangguan ini disebabkan oleh virus dan terbilang serius serta bersifat sangat menular. 
Penyakit campak hampir selalu bisa dicegah dengan vaksinasi. Sebab bila tidak dapat berakibat fatal pada anak kecil. 
 <h2>Penyebab Campak</h2>Campak disebabkan oleh virus dari keluarga paramyxovirus dan penyebaran terjadi lewat kontak langsung dan udara (airborne). Virus campak bisa hidup sampai dua jam di udara bebas setelah orang yang terinfeksi tidak lagi di tempat itu. 
Cara penularannya bisa digambarkan seperti ini: <ul><li>Seseorang yang terinfeksi cacar berpapasan dengan Anda, lalu batuk dan bersin. </li><li>Anda menghirup udara yang telah terkontaminasi atau memegang permukaan benda yang disentuh oleh orang tersebut, misalnya meja. </li><li>Bila setelah itu Anda tidak mencuci tangan, malah memegang mata, hidung, atau mulut, Anda dapat terinfeksi.</li></ul>
Saking sangat menularnya campak, bila ada satu orang yang terinfeksi, sekitar 90% orang di sekitarnya yang tidak memiliki imunitas akan terinfeksi. Orang yang terinfeksi bisa menyebarkan virus campak dalam jangka waktu sejak 4 hari sebelum hingga 4 hari sesudah ruam campak muncul. 
 <h2>Faktor Risiko Campak</h2>Beberapa kelompok ini memiliki risiko tinggi untuk terkena campak:<ul><li>
	Anak-anak yang belum mendapat vaksinasi campak. Tak hanya terhadap campak, komplikasinya juga berbahaya bagi anak, bahkan bisa menyebabkan kematian.</li><li>
	Orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap campak. Baik karena tidak pernah divaksin atau sudah vaksin tetapi kekebalan tubuh tidak terbentuk.</li><li>
	Ibu hamil yang belum divaksin campak</li></ul>
Campak masih sangat sering ditemukan di negara-negara berkembang, terutama pada sebagian wilayah Afrika dan Asia. Hampir lebih dari 95% kematian akibat campak terjadi pada negara dengan pendapatan per kapita rendah dan sistem infrastruktur kesehatan yang lemah. Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Campak

Campak

Kegiatan rutin seperti memasak dan makan bersama anak bisa membentuk pola makan anak - AlteaCare | Foto: Envato

Memastikan anak selalu sehat, makan bergizi tiap hari, aktif bermain dan belajar, serta cukup tidur adalah tanggung jawab orangtua. Untuk itu, ibu dan ayah perlu memantau pola makan sang buah hati, sebab apa yang disantapnya dapat berpengaruh pada tumbuh kembangnya.Tahukah Sobat Altea, ternyata orangtua punya peranan besar dalam membentuk persepsi dan perilaku anak terhadap makanan? Menurut studi di jurnal Nutrients, lingkungan sekitar anak, terutama orangtua yang dijumpainya setiap hari, punya peran aktif dalam membentuk pola makannya hingga besar nanti. Pengalaman menikmati berbagai rasa dan aroma bisa mendorong anak memiliki pilihan makan yang lebih sehat. Uniknya, pengalaman ini juga dibangun lewat interaksi si Kecil saat makan bersama kedua orangtuanya. Dan, semua itu berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan. Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank"> Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan	</a> 
<h2>Bedanya pengalaman makan bersama ibu dan ayah</h2>Sebagian orangtua bisa kompak punya pola asuh yang sama untuk anak-anaknya. Tapi, sebagian lain bisa berbeda. Misalnya, ibu cenderung banyak aturan, sementara ayah lebih permisif. Nah, perbedaan pola asuh ini ternyata juga bisa terbawa saat orangtua harus memberi makan anak-anaknya. Apalagi kalau si Kecil sudah punya tendensi makan secara berlebihan atau makan menuruti emosinya. Saat makan bersama&nbsp;ibu:<ul><li>	Buat ibu, makan adalah aktivitas mengisi perut sehingga ia berfokus memastikan anaknya makan dengan benar.</li><li>
	Ibu memberi jenis dan porsi makanan yang sesuai dengan anak. Bila ada dua anak, porsi dan jenis makanan untuk anak yang suka makan dan yang picky eater bisa berbeda.</li><li>
	Selama makan, ibu cermat memantau apa yang masuk ke dalam mulut anaknya. Kalau ada satu jenis makanan dianggap sudah berlebih, anak bisa diminta berhenti makan, apalagi bila dia terbilang kegemukan.</li></ul>Saat makan bersama&nbsp;ayah:<ul><li>	Ayah memandang kegiatan makan sebagai interaksi sosial, yang memungkinkannya untuk bonding dan mendengar cerita pengalaman anak pada hari itu sementara sang ayah bekerja.</li><li>
	Ayah jarang memantau apa yang dimakan dan porsi makan anaknya, namun cenderung memaksa anaknya untuk makan.</li><li>
	Saat anaknya meminta jenis makanan tertentu, ayah cenderung memanjakan dan mengabulkan karena tidak mau ribut dan repot.</li></ul><h2>Apa yang memengaruhi anak dalam memilih makanan?</h2>Orangtua bisa punya pengaruh, tapi anak pun punya preferensinya sendiri. Berikut ini adalah hal-hal yang berperan dalam pilihan makan si Kecil:<ul><li>	Jenis makanan yang tersedia. Anak cenderung makan apa yang ada di sekitarnya. Bila di sekitar rumah banyak restoran cepat saji, mereka bisa saja sesekali minta makanan dari sana. Kalau porsi makannya sudah terbiasa banyak, ia akan selalu makan berlebihan.</li><li>
	Rutinitas makan. Kesibukan bekerja bisa bikin orangtua kesulitan menyediakan makanan yang bergizi dan makan bersama anak secara terjadwal. Anak jadi tak punya waktu makan yang pasti, sehingga bisa bikin ngemilnya jadi tak terkendali.</li><li>
	Kebiasaan atau ritual makan. Ada keluarga yang biasa menyantap buah sebagai penutup waktu makan. Atau, memasak makanan tinggi lemak di hari raya. Kebiasaan maupun ritual yang dibentuk oleh keluarga, agama, maupun budaya ini berpengaruh pada anak di kemudian hari. </li><li>
	Iklan. Melihat snack dan minuman manis di televisi bisa bikin si Kecil jadi korban iklan. Banyak studi menyebutkan kaitan antara marketing merek camilan dengan tingginya angka obesitas pada anak. </li><li>
	Emosi. Rasa bosan atau stres yang dialami anak sering berujung pada kebiasaan makan yang buruk atau emotional eating. </li></ul>
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/emosi-bikin-lapar-dan-makan-berlebihan-ini-penyebabnya-1642088680433" target="_blank">Emosi Bikin Lapar dan Makan Berlebihan? Ini Penyebabnya!</a><h2>Cara mengubah pola makan anak</h2>Terlepas dari perbedaan pola asuh antara ayah dan ibu, orangtua perlu menanamkan kebiasaan makan yang baik pada anak. Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan: <ul><li>	Periksa kulkas dan dapur. Sediakan hanya bahan makanan yang sehat di rumah dan hindari menyimpan makanan instan maupun camilan tinggi gula.</li><li>
	Dorong anak makan lebih sehat. Awali waktu makan dengan menu sayuran. Menurut penelitian, trik ini bisa bikin anak makan 47% lebih banyak sayuran. Sajikan juga makanan anak secara khusus agar ia tertarik untuk makan.</li><li>
	Sering makan bersama. Jadikan setidaknya waktu makan malam bersama setiap sebagai momen keluarga. Matikan TV dan gadget selama makan supaya bisa fokus pada kegiatan makan.</li><li>
	Beri teladan pada anak. Si Kecil cenderung mengikuti apa yang dilakukan orangtua. Jadi, kalau orangtua ingin anak makan sayur, beri contoh dan jangan cuma bicara.</li><li>
	Pantau pola makannya. Bila si Kecil kerap cari makanan saat sedang stres atau emosi, jangan abaikan. Orangtua perlu mengenali pemicu stres anak, serta mengajarinya untuk mengenali emosinya.</li></ul> Buat SobatAltea yang masih bingung bagaimana membentuk pola makan anak yang baik, yuk coba lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat janji konsultasi sekarang, ya! 
 Sumber:<ul><li>Scaglioni, S., De Cosmi, V., Ciappolino, V., Parazzini, F., Brambilla, P., &amp; Agostoni, C. (2018). Factors Influencing Children's Eating Behaviours. Nutrients, 10(6)</li><li>
Harris, H. A., Jansen, E., &amp; Rossi, T. (2020). ‘It's not worth the fight’: Fathers' perceptions of family mealtime interactions, feeding practices and child eating behaviours. Appetite, 150, 104642</li><li>
Food Facts for Healthy Choices. Diakses pada Februari 2022. Parental Influence On Children’s Eating Habits</li><li>
University of Michigan Health. Diakses pada Februari 2022. Healthy Eating in Children: Things That Influence Food Choices</li></ul>

Pola Makan Anak Berantakan? Ortu Ternyata Punya Pengaruh

Bentuk kebiasaan makan yang sehat sejak kecil agar anak tidak ngemil berlebihan - AlteaCare | Foto: Envato

Kalau Anda termasuk orangtua yang suka membujuk anak menangis dengan makanan, sebaiknya stop sebelum terlambat. Begitu juga kalau Anda sering melarang makanan tertentu sebagai hukuman buat si Kecil. Pola asuh ini mungkin efektif bikin anak menurut. Tapi, dampaknya bisa negatif bagi si Kecil. Dia akan terbiasa mencari makanan saat sedang bad mood. Ujung-ujungnya, si Kecil bisa alami emotional eating. 
Sobat Altea mungkin pernah dengar dampak emotional eating saat dewasa. Ternyata, kebiasaan ini bisa berawal sejak kecil. Mengutip dari jurnal Eating and Weight Disorders-Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity, gangguan emotional eating pada anak berkaitan dengan kebiasaan makan berlebihan serta menyantap makanan berkalori tinggi. Selain itu, hobi ngemil, terutama yang tinggi kalori dan rendah gizi, juga kerap dijumpai pada anak yang emotional eating. Akibatnya, anak berisiko mengalami overweight, bahkan obesitas. Plus, ia juga lebih rentan terhadap gangguan kesehatan kronis, seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes.Emotional eating bisa dicegah sejak kecil agar tidak berlanjut hingga dewasa. Caranya? Orangtua perlu cek dulu pola asuh. Sebab, gaya parenting orangtua ternyata berkaitan dengan pola makan anak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/pola-makan-pembasmi-emotional-eating-perlu-ditiru-1643366563940" target="_blank">Pola Makan Pembasmi Emotional Eating, Perlu Ditiru!</a><h2>Yuk, kenal lebih dekat dengan “food parenting”!</h2>Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ngemil, asal tahu batasnya dan dikontrol. Nah, di sinilah peran orangtua. Baik ibu dan ayah perlu paham cara memberi makanan yang tepat untuk si Kecil supaya tidak sampai makan berlebihan. Praktik ini disebut ahli sebagai food parenting.Dilansir dari penelitian di The International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, food parenting berkaitan dengan perilaku serta strategi yang digunakan orangtua saat memberi makan anaknya.Sementara penelitian di Frontiers in Psychology menyebutkan, tujuan food parenting adalah memberikan aturan yang jelas dan konsisten seputar jenis dan jumlah makanan yang boleh dimakan anak. Selain itu, anak juga perlu diberi pemahaman seputar makanan yang sehat dan tidak sehat. <h2>Seperti apa food parenting yang tepat?</h2>Konsep food parenting sebenarnya berangkat dari konsep parenting umum yang sudah berlaku, yaitu tipe atau gaya pengasuhan anak yang bertujuan membentuk perilaku dan karakter sang buah hati. Ternyata, ini juga bisa memengaruhi pola makan serta pilihan makanan si Kecil.Secara umum pola asuh dapat dibagi menjadi empat, yaitu:<ol><li>	Otoriter (authoritarian). Orangtua tipe ini cenderung tidak bersikap hangat dan suportif pada anaknya. Mereka mengharapkan anak patuh dan berperilaku baik.</li><li>
	Suportif (authoritative). Orangtua tipe ini biasanya dekat dengan anak, suportif dalam kegiatan anaknya, tapi tegas dalam menerapkan aturan perilaku. </li><li>
	Permisif (permissive). Orangtua yang satu ini dekat dengan anak karena apa saja diperbolehkan. Mereka sangat responsif terhadap anaknya, tapi cenderung melonggarkan peraturan. </li><li>
	Tidak peduli (neglectful). Orangtua yang terakhir ini tidak dekat dan tidak peduli terhadap anaknya. Mereka sama sekali tidak terlibat dalam keseharian anaknya.</li></ol>Berdasarkan empat tipe orangtua ini, ada beberapa pola makan yang bisa dimiliki oleh anak-anaknya:<ul><li>	Anak yang dibesarkan dengan kehangatan, kedekatan, dan dukungan orangtua cenderung punya pola makan yang sehat, serta banyak makan sayur dan buah. </li><li>
	Anak dengan orangtua yang tegas dalam menerapkan aturan juga cenderung punya pola makan sehat. Mereka jarang mengonsumsi camilan maupun minuman manis yang tidak sehat.</li><li>
	Anak yang dibesarkan tanpa dukungan dan perhatian, serta tidak ada aturan yang jelas di rumah cenderung dapat mengalami emotional eating. Begitu juga jika ia memiliki orangtua yang mengekangnya secara psikologis. </li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/begini-cara-lakukan-responsive-feeding-untuk-mpasi-bayi-1640936159119" target="_blank">Begini Cara Lakukan Responsive Feeding Untuk MPASI Bayi</a> 
<h2>Tips supaya anak tidak ngemil berlebihan</h2>Sebagai orangtua, Anda tentunya tidak mau anak sampai kelebihan berat badan karena kebanyakan ngemil. Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan supaya anak bisa belajar makan sehat:<ol><li>	Bentuk pola makannya sejak kecil. Perkenalkan dengan berbagai jenis makan dan jelaskan kenapa ia perlu memakannya. Minta anak untuk mencoba satu gigitan bila ada jenis makanan baru. Bila tidak suka, tidak perlu dipaksa. </li><li>
	Jangan jadikan makanan manis sebagai hadiah. Sesekali makan kukis atau permen tak masalah. Tapi jangan jadikan sogokan supaya anak mau menghabiskan makanan utamanya. Makanan bukan “obat” saat mereka sedang sedih ataupun ungkapan kasih sayang dari orangtua.</li><li>
	Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Tanamkan pemahaman bahwa makanan yang disantap setiap hari memberi energi dan gizi untuk tubuh, sehingga makan secukupnya saja. </li><li>
	Beri teladan. Anak akan meniru bila Anda sendiri selalu makan dan ngemil dengan cara yang wajar dan sehat. Sediakan camilan bernutrisi di rumah, biasakan makan bersama di meja makan, dan jangan lewatkan jadwal makan.</li></ol>
Buat Sobat Altea yang merasa Si Kecil aktif banget ngemil dan butuh saran dokter supaya Si Kecil tidak makan berlebihan, manfaatkan layanan telekonsultasi di AlteaCare. Yuk, download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang dan atur jadwal konsultasi sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Rhee, K. E., Boutelle, K. N., Jelalian, E., Barnes, R., Dickstein, S., &amp; Wing, R. R. (2015). Firm maternal parenting associated with decreased risk of excessive snacking in overweight children. Eating and Weight Disorders-Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity, 20(2), 195-203</li><li>
Blaine, R. E., Kachurak, A., Davison, K. K., Klabunde, R., &amp; Fisher, J. O. (2017). Food parenting and child snacking: a systematic review. The international journal of behavioral nutrition and physical activity, 14(1), 146</li><li>
Di Pasquale, R., &amp; Rivolta, A. (2018). A conceptual analysis of food parenting practices in the light of self-determination theory: Relatedness-enhancing, competence-enhancing and autonomy-enhancing food parenting practices. Frontiers in Psychology, 2373</li><li>
KidsHealth. Diakses pada Februari 2022. Kids and Food: 10 Tips for Parents</li></ul>

Anak Ngemil Berlebihan, Orangtua Perlu Cek Pola Asuh

Perubahan besar dalam hidup juga bisa bikin anak mengompol - AlteaCare | Foto: Envato

Anak ngompol saat tidur memang merepotkan. Harus mengajaknya ganti baju, ganti seprai, bahkan ganti selimut ikut kena basah. Besoknya, harus cuci seprai dan jemur kasur. Ribet banget. Saat si Kecil masih berusia di bawah tiga tahun, Anda berpikir kebiasaan ini akan segera berlalu setelah dia besar. Tapi, tenyata ada, lo, anak yang masih suka mengompol padahal sudah cukup besar usianya!Sebagai orangtua, Anda mungkin khawatir bercampur jengkel. Meski begitu, Anda jangan memarahi si Kecil, ya. Sebab, dia mengompol bukan karena sengaja. Jadi, pastinya dia merasa bersalah, malu, bahkan minder.<h2>Kenapa si Kecil mengompol?</h2>Sebenarnya, ngompol di malam hari adalah masalah yang dialami banyak anak. Bahkan dapat dianggap sebagai bagian dari tahap tumbuh kembang yang normal. Hanya saja, ada batas usia rata-rata anak stop ngompol. Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab anak mengompol:<ul><li>	Faktor keturunan dalam keluarga. Mengutip dari Urology Care Foundation, separuh dari anak yang punya masalah mengompol memiliki salah satu orangtua yang juga dulunya suka mengompol. Kalau kedua orangtua punya riwayat yang sama, risiko anak juga mengalaminya meningkat hingga 75%.</li><li>	Faktor hormonal. Tubuh anak tidak menghasilkan cukup hormon antidiuretik, padahal hormon ini berfungsi mengurangi jumlah urine yang dihasilkan ginjal saat anak tidur. </li><li>	Perkembangan sistem saraf pusat anak cenderung lambat sehingga memengaruhi kemampuan tubuhnya dalam menghentikan pengosongan kandung kemih pada malam hari.</li><li>	Stres. Misalnya, baru pindah rumah atau sekolah, ada masalah keluarga (orangtua berpisah atau ada orang terdekat meninggal), atau peristiwa besar lain yang bikin anak syok. Yang paling sering terjadi adalah baru punya adik.</li><li>	Anak sulit bangun kalau sudah tidur. Ini membuat dia tetap tidur meski otak sudah memberi sinyal bahwa kandung kemih sudah penuh.</li><li>	Ada kondisi kesehatan tertentu. Anak memiliki gangguan seperti ADHD (attention-deficit/hyperactivity disorder) dan infeksi saluran kemih. Kelainan pada katup uretra pada anak laki-laki atau pada ureter pada anak perempuan atau laki-laki serta kelainan pada sumsum tulang belakang juga bisa jadi penyebab anak mengompol.</li></ul>




Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/seperti-apa-pola-asuh-yang-tepat-untuk-anak-adhd-1632297601254" target="_blank">Seperti Apa Pola Asuh Yang Tepat Untuk Anak ADHD?</a> 
<h2>Kapan mengompol bisa dianggap tidak normal?</h2>Kebiasaan mengompol anak bisa dianggap normal apabila usianya masih di bawah 7 tahun. Menurut American Academy of Pediatrics, sekitar 90% anak stop ngompol begitu masuk usia 7 tahun. Selain itu anak juga wajar mengompol bila memang ada faktor keturunan dalam keluarga. Atau, di siang hari dia tidak mengompol. Sejauh tidak ada gejala lain yang mencurigakan, orangtua tidak perlu terlalu cemas.Masalahnya, terkadang anak ngompol karena ada gangguan kesehatan lainnya. Untuk itu, sebaiknya orangtua segera berkonsultasi dengan dokter apabila si Kecil mengalami hal berikut:<ul><li>	mengompol pada malam hari setelah lama tidak pernah ngompol</li><li>	mengompol pada siang hari, padahal sebelumnya tidak pernah</li><li>	sering kebelet kencing</li><li>	sering kehausan</li><li>	merasakan nyeri atau sensasi terbakar setiap kali buang air kecil</li><li>	urinenya berbau tidak sedap, berwarna agak pink, atau disertai noda darah pada celana dalamnya</li><li>	mengalami sembelit</li><li>	sedang demam hingga 38 derajat Celsius atau lebih</li><li>	terdapat ruam atau iritasi pada kulit di sekitar alat kelamin anak</li></ul>








<h2>Cara Bantu Anak Stop Ngompol</h2>Butuh waktu untuk latih anak supaya stop ngompol. Yang pasti orang tua harus sabar karena prosesnya memang tidak instan. Ini tips yang bisa Anda coba:<ul><li>	Ubah pola tidurnya dengan memintanya tidur lebih awal atau jangan biarkan dia melek hingga terlalu malam.</li><li>	Ajak anak buang air kecil menjelang waktu tidur malamnya.</li><li>	Biasakan anak minum lebih banyak di siang hari, dan lebih sedikit di sore dan malam hari. </li><li>	Ingatkan anak untuk buang air kecil setiap 2–3 jam sekali. Normalnya, anak buang air kecil 4–7 kali dalam sehari.</li><li>	Hindari membangunkan anak di malam hari untuk buang air kecil. Ini hanya akan mengganggu pola tidurnya dan malah bisa bikin anak kurang tidur. </li><li>	Jangan menghukum anak mengompol karena tidak bisa menghentikan kebiasaan ini.</li><li>	Bila anak mengompol karena stres, temukan pemicunya dan segera atasi supaya anak stop ngompol. </li></ul>






Bila anak Anda masih belum bisa stop mengompol, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi dengan ahlinya, seperti dokter spesialis anak atau dokter spesialis urologi. Bila anak masih malu atau enggan diajak ke dokter, tawarkan dia untuk ngobrol langsung dengan dokter lewat aplikasi AlteaCare. Telekonsultasi dari rumah bisa membuatnya lebih nyaman bercerita dan bertanya kepada dokter. Yuk, segera unduh AlteaCare hari ini! 

 Sumber:<ul><li>American Academy of Family Physicians. Diakses pada Maret 2022. Why Does My Child Wet the Bed?.</li><li>
Cleveland Clinic. Diakses pada Maret 2022. How To Help Your Child Stop Wetting the Bed.</li><li>
Baby Center. Diakses pada Maret 2022. Bed-wetting in kids: Why it happens and what to do.</li><li>
Baby Center. Diakses pada Maret 2022. Bed-wetting: What's normal and what's not.</li><li>
HealthyChildren.org. Diakses pada Maret 2022. Bedwetting in Children &amp; Teens: Nocturnal Enuresis.</li></ul>

Sudah Besar Anak Masih Ngompol, Apa Penyebabnya?

Jangan sepelekan demam pada anak, apalagi bila sudah berhari-hari-AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orangtua cemas ketika anaknya demam, tapi tidak sedikit yang cenderung anggap sepele dan tidak ambil pusing. Mereka berpikir demam akan hilang dengan sendirinya, karena anak kepanasan sehabis bermain di luar. Atau, karena bayi lagi tumbuh gigi. Anda juga mungkin sering dapat tips mengatasi anak demam dari keluarga, teman, atau kerabat. Tapi, bisa jadi tips tersebut tidak dianjurkan oleh dokter.Nah, biar tahu dengan jelas cara mengatasi anak demam, simak infografik ini!<h2><img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1647495614515-INFOGRAFIK-4%20Cara%20Mengatasi%20Anak%20Demam.%20Jangan%20Dianggap%20Remeh-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"> 

</h2> <h2>Fakta penting seputar demam pada anak</h2>Berikut ini adalah beberapa hal penting terkait demam pada anak:<h3>1. Demam bukan penyakit melainkan kondisi</h3>Hampir semua anak pernah demam. Dan, demam sebenarnya merupakan respons normal terhadap kondisi dalam tubuhnya. Anak bisa dikatakan demam apabila suhu tubuhnya mengalami peningkatan. Pada umumnya, suhu tubuh normal seseorang berada pada kisaran 36,1º-37,2º Celcius. Bila suhu tubuh si Kecil sudah mencapai 38º Celcius, berarti dia mengalami demam.<h3>2. Kriteria demam dapat berbeda-beda</h3>Setiap orang punya suhu tubuh berbeda-beda, sehingga kriteria demamnya pun tidak sama. Beberapa hal yang memengaruhi suhu tubuh seseorang antara lain:<ul><li>	Waktu pengukuran suhu: cenderung rendah di pagi hari dan lebih tinggi menjelang sore</li><li>
	Faktor usia: bayi dan anak-anak cenderung memiliki suhu tubuh lebih tinggi daripada remaja dan dewasa</li><li>
	Lain-lain: Level aktivitas, makanan, hingga siklus menstruasi (pada perempuan)</li></ul><h3>3. Infeksi adalah penyebab utama demam</h3>Selain akibat peradangan, beberapa penyakit akibat virus dan bakteri bisa menyebabkan anak mengalami demam. Contohnya seperti batuk-pilek, gastroenteritis, infeksi telinga, croup, atau infeksi saluran kemih. Pemberian imunisasi juga dapat menimbulkan kejadian ikutan berupa demam. Di masa pandemi seperti sekarang, kondisi demam anak juga bisa mengindikasikan paparan virus corona penyebab COVID-19.Yang perlu diperhatikan terkait penyebab demam:<ul><li>	Tidak seperti anggapan umum, hingga kini belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung bahwa proses tumbuh gigi pada bayi bisa menyebabkan demam. Seperti dilansir di WebMD, proses tumbuh gigi memang dapat meningkatkan suhu tubuh bayi, tapi hanya sedikit. </li><li>	Kebiasaan membedong atau membungkus bayi berusia di bawah tiga bulan dengan selimut bisa membuat badannya cenderung hangat seperti demam. </li></ul>
<h3>4. Cara memastikan demam pada anak</h3>Jangan ukur dengan menempelkan tangan ke dahi, leher, ataupun ketiak si Kecil. Anda perlu gunakan alat pengukur suhu atau termometer. Saat ini sudah tersedia berbagai jenis termometer, mulai dari termometer air raksa, digital, sensor inframerah, hingga termometer telinga digital maupun yang dimasukkan ke dalam telinga.Cara melakukan pengukurannya adalah:<ul><li>	Dimasukkan ke mulut. Bisa dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, yang sudah bisa menahan termometer dalam mulutnya. Pastikan si Kecil tidak habis minum yang panas atau dingin setidaknya 30 menit sebelumnya. Setelah digunakan, bersihkan dengan air dan sabun, lalu keringkan dan simpan dalam tempat yang aman.</li><li>
	Dijepit di ketiak. Untuk bayi atau anak yang belum bisa menahan termometer di mulut, pengukuran suhu bisa dilakukan di ketiak. Kondisi ketiak sebaiknya kering dan Anda perlu menekan siku si Kecil ke arah dadanya hingga beberapa menit atau sampai berbunyi tanda suhu sudah terukur.</li><li>
	“Ditembak” ke telinga. Termometer telinga bisa digunakan pada bayi dan anak. Tarik sedikit daun telinga anak, masukkan termometer ke lubang telinganya, tahan hingga hasilnya keluar. Bila menggunakan yang digital, cukup arahkan sensornya ke lubang telinga. Hasil pengukuran termometer telinga tidak seakurat termometer yang dimasukkan ke mulut. </li></ul><h3>5. Pantau terus kondisi demam anak</h3>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, demam pada sebagian besar anak dapat dirawat di rumah. Namun, orangtua perlu terus memantau dan segera membawa anak demam ke dokter bila mengalami kondisi seperti berikut:<ul><li>	Bila berusia di bawah 3 bulan: seperti apa pun kondisinya harus segera ke dokter</li><li>
	Bila berusia 3-36 bulan: mengalami demam lebih dari 3 hari atau terdapat tanda bahaya, atau saat suhu tubuhnya termasuk tinggi ≥39ºCelcius</li><li>
	Untuk semua usia: saat suhu tubuhnya sudah lebih dari 40ºCelcius, mengalami demam disertai kejang, atau mengalami demam berulang selama 7 hari meski demam hanya beberapa jam </li><li>
	Bila memiliki kondisi penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, lupus, maupun ginjal</li><li>
	Bila anak mengalami demam disertai ruam</li></ul>Waspadai tanda bahaya saat anak demam, misalnya menangis terus, gelisah, atau sulit bernapas. Atau, anak tidak merespons, lalu bibir, lidah, dan kukunya tampak kebiruan. Manfaatkan layanan telekonsultasi di <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>untuk dapat petunjuk penanganan kondisi darurat demam sambil Anda bersiap menuju rumah sakit terdekat. 
 Sumber:<ul><li>Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Demam: Kapan Harus ke Dokter?</li><li>
Barbi, E., Marzuillo, P., Neri, E., Naviglio, S., &amp; Krauss, B. S. (2017). Fever in children: pearls and pitfalls. Children, 4(9), 81.</li><li>
UpToDate. Diakses pada Februari 2022. Patient education: Fever in children (Beyond the Basics)</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022. Fever</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022.Can Teething Cause a Fever?</li></ul>

INFOGRAFIK: 4 Cara Mengatasi Anak Demam. Jangan Dianggap Remeh!

Olahraga bermanfaat untuk fisik maupun jiwa anak - AlteaCare | Foto: Envato

Selama pandemi, ortu mungkin sudah “pasrah” lihat anaknya banyak main gadget atau nonton televisi di rumah. Awalnya, sih, supaya si Kecil tidak ketularan virus corona di luar dan betah di rumah. Tapi, ternyata keputusan ini jadi bumerang bagi Anda. Si Kecil malah keasyikan di rumah, jadi mager dan jarang bergerak. Duh, sayang, ya. Padahal, aktivitas fisik ini berdampak positif bagi proses tumbuh kembang anak. Di mata orangtua, mungkin anak hanya sekadar gerak-gerak cari keringat. Tapi, ternyata permainan simpel seperti menendang bola, memanjat pohon, atau lari berkejaran dengan temannya punya begitu banyak manfaat buat si Kecil.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-hobi-makan-kebiasaan-ini-bisa-bikin-anak-gemuk-1639050424026" target="_blank">Selain Hobi Makan, Kebiasaan Ini Bisa Bikin Anak Gemuk</a><h2>Apa saja manfaat olahraga buat anak?</h2>Beberapa keuntungan yang bisa didapat melalui aktivitas fisik anak antara lain adalah: <h3>1. Manfaat untuk fisiknya</h3><ul><li>	Menyehatkan jantung</li><li>	Menjaga tekanan darah, gula darah, lemak dalam darah, hingga resistensi insulin </li><li>	Menguatkan tulang dan otot</li><li>	Membuat tidurnya lebih nyenyak</li><li>	Membentuk kebiasaan hidup sehat</li></ul>



<h3>2. Manfaat buat mentalnya</h3><ul><li>	Meningkatkan kemampuan kognitif </li><li>	Menghindarkan si Kecil dari stres maupun depresi</li><li>	Membuat si Kecil lebih percaya diri</li><li>	Membentuk body image yang positif</li></ul>



Sebaliknya, minimnya aktivitas fisik dan olahraga bisa membuat anak kelebihan berat badan sehingga lebih berisiko terhadap berbagai penyakit, contohnya saja diabetes. Anak yang jarang berolahraga juga cenderung terlihat lesu, kurang energik, dan mudah sakit. Tidak hanya itu, mereka juga jadi gampang marah, stres, cemas, bahkan depresi. Kondisi ini bisa jadi sering Anda dapati pada anak selama pandemi ini. 
<h2>Bagaimana supaya anak mau aktif bergerak?</h2>Badan kesehatan dunia WHO menganjurkan agar anak usia balita hingga remaja dibiasakan melakukan aktivitas fisik minimum 60 menit setiap hari. Kegiatannya perlu dipilihkan yang berintensitas sedang hingga berat, sehingga ia jadi segar dan berkeringat. Nah, mengingat anak sudah kelewat mager selama pandemi ini, Anda perlu trik khusus supaya mereka mau bergerak lagi. Ini tips yang bisa Anda lakukan:<ul><li>	Jangan terlalu ambisius. Pilihannya bisa berupa aktivitas bebas, seperti lari-lari keliling komplek bersama anjing peliharaan, melompat-lompat, atau naik-turun tangga. Atau, kegiatan yang lebih terstruktur seperti menari, berenang, dan bersepeda.</li><li>	Jadikan rutinitas. Anda bisa jadwalkan si Kecil untuk jalan pagi setiap akhir minggu. Atau, berenang dua kali seminggu, bersepeda setiap sore, atau jalan santai sejenak di sekitar rumah sebelum bersekolah sambil menghirup udara pagi yang masih segar. Ini bisa membangun semangatnya untuk beraktivitas.</li><li>	Anggap sebagai permainan. Misalnya, tantang anak berlari keliling komplek selama 10 menit. Atau, berlomba siapa yang bisa lompat tali paling lama. Bisa juga latihan keseimbangan dengan melakukan pose pesawat terbang atau bangau. </li><li>	Selipkan kegiatan spesial. Di akhir pekan, coba ajak si Kecil ke taman kota. Jadi, dia tidak bosan berolahraga di sekitar rumah terus. Bebaskan anak untuk mengeksplorasi taman kota sambil tetap ingatkan untuk menjaga protokol kesehatan. </li><li>	Libatkan dalam tugas rumah tangga. Memberi anak tanggung jawab dalam menjaga kebersihan rumah punya manfaat dobel: mereka jadi mandiri sekaligus aktif bergerak. Beri dia tugas yang sederhana, seperti membantu mengangkat jemuran, memasukkan baju ke lemari, mencuci piringnya sendiri setiap selesai makan, atau membereskan mainannya setiap habis digunakan.</li></ul>




Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank">Sekolah dan Belajar Online, Apa Dampaknya Buat Anak?</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank"> 
</a>Kunci utama supaya anak mau aktif bergerak ada pada orangtua. Kenapa? Karena anak pada dasarnya akan meniru orangtuanya. Kalau Anda suka berolahraga, anak pun akan tertarik untuk berolahraga. Sebaliknya, kalau Anda di rumah kerjanya lebih banyak rebahan, anak pun tidak bakal tertarik untuk berolahraga. Jadi, daripada Anda capek mengajak si Kecil lebih banyak bergerak, lebih baik Anda yang mulai lebih dulu. Keluarkan sepeda Anda dan miliknya, lalu ajak bersepeda bersama. Atau, ajak si Kecil jalan sore sekalian pergi ke warung yang letaknya cukup jauh dari rumah. Jadwalkan juga kegiatan kemping bersama keluarga saat liburan. Manfaat sehat pun bisa dirasakan oleh seluruh keluarga! 

 Sumber:<ul><li>American Heart Association. Diakses pada Januari 2022. American Heart Association Recommendations for Physical Activity in Adults and Kids.</li><li>
WHO. Diakses pada Januari 2022. Physical activity.</li><li>
Ha, A.S., Ng, J.Y.Y., Lonsdale, C. et al. Promoting physical activity in children through family-based intervention: protocol of the “Active 1 + FUN” randomized controlled trial. BMC Public Health 19, 218 (2019). </li><li>
About Kids Health. Diakses pada Januari 2022. Physical activity: Benefits of exercise for health and wellbeing.</li><li>
The Conversation. Diakses pada Februari 2022. We asked children why they don’t get enough exercise – here’s what they said.</li></ul>

Manfaat Olahraga Buat Tumbuh Kembang Anak

Bayi kuning dapat menjalani perawatan fototerapi untuk turunkan kadar bilirubinnya - AlteaCare | Foto: Envato

Buat Sobat Altea yang baru saja melahirkan tidak perlu panik jika bayi tampak kekuningan. Sebab, kondisi bayi kuning atau jaundice biasa dialami oleh bayi baru lahir. Tanda-tandanya mudah dikenali dari warna kulit serta bagian putih mata si Kecil. Warna kekuningan bisa muncul dalam 2-4 hari setelah lahir, mulai dari wajah, lalu ke dada, perut, dan kaki bayi. Saat Anda menekan sedikit bagian kulit si Kecil, area tersebut akan terlihat kekuningan. Puncaknya terjadi pada hari ke-3 hingga 7 setelah lahir. Kabar baiknya, kondisi ini akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu sekitar 2-3 minggu. Anda mungkin penasaran, kenapa bayi bisa kuning? Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, kondisi kuning ditemukan pada sekitar 60% bayi baru lahir yang sehat, yang dilahirkan saat usia kehamilan ibu lebih dari 35 minggu. Sekitar 60 dari 100 bayi sehat bisa mengalami kuning. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/penting-1000-hari-pertama-dalam-tahap-perkembangan-bayi-1632555028546" target="_blank">Penting, 1.000 Hari Pertama Dalam Tahap Perkembangan Bayi</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/penting-1000-hari-pertama-dalam-tahap-perkembangan-bayi-1632555028546" target="_blank"> 
</a><h2>Alasan bayi baru lahir mengalami kuning</h2>Berikut adalah faktor penyebab bayi kuning:<h3>1. Kadar bilirubin dalam tubuh bayi tinggi</h3>Bayi baru lahir biasanya memiliki kadar bilirubin yang tinggi dalam tubuhnya. Bilirubin adalah pigmen berwarna kuning yang dihasilkan saat terjadi penguraian sel darah merah. Pada bayi yang lebih besar ataupun orang dewasa, organ hati akan memroses bilirubin lalu mengeluarkannya dari tubuh melalui usus. Masalahnya, organ hati pada bayi baru lahir belum cukup matang. Jadi, butuh waktu berhari-hari untuk mengeluarkan bilirubin dari tubuh, seiring dengan perkembangan organ hati dan diterimanya asupan ASI dari ibu. Selain warna kulit, gejala lain yang dialami oleh bayi kuning adalah:<ul><li>	Lemas dan banyak tidur</li><li>	Kesulitan menyusu</li><li>	Feses bayi berwarna lebih terang sedangkan warna urinnya lebih keruh dari normal</li></ul>


<h3>2. Kondisi saat lahir</h3>Beberapa penyebab bayi baru lahir bisa mengalami kuning lainnya adalah:<ul><li>	lahir prematur atau sebelum usia kehamilan ibu 37 minggu</li><li>	mengalami perdarahan internal atau memar dalam proses kelahirannya</li><li>	memiliki gangguan pada organ hatinya </li><li>	terpapar infeksi virus atau bakteri, maupun infeksi dalam darahnya (sepsis)</li><li>	terdapat kelainan pada sel darah merah bayi sehingga pemecahannya terjadi sangat cepat</li></ul>



<h3>3. Beda golongan darah dengan ibu</h3>Bayi yang lahir dengan golongan darah tidak sama dengan ibunya bisa mengalami kuning. Ini dikarenakan bayi menerima antibodi dari ibu melalui plasenta, yang kemudian menghancurkan sel darah merah bayi. Akibatnya, terjadi lonjakan tiba-tiba pada level bilirubinnya. Tidak semua bayi dari ibu yang berbeda golongan darah lantas mengalami kuning. Ini hanya terjadi jika sang ibu memiliki golongan darah O, sedangkan bayinya A atau B. Selain itu, bayi kuning juga bisa disebabkan oleh kondisi inkompatibilitas rhesus, yaitu ketika rhesus ibu negatif, sedangkan rhesus bayi positif.<h3>4. Air susu ibu (ASI)</h3>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, bayi kuning juga dapat dipengaruhi oleh air susu ibu (ASI). Yang pertama disebut breastmilk jaundice, yang berhubungan dengan adanya kandungan ASI tertentu yang mencegah terbentuknya protein dalam organ liver bayi yang bertugas memecah bilirubin. Akibatnya, bayi mengalami kuning selama beberapa minggu.Sementara yang kedua disebut breastfeeding jaundice, yang disebabkan oleh kurangnya asupan air susu ibu (ASI) yang masih sedikit pasca persalinan. Itu sebabnya pada hari ke-2 atau 3 bayi bisa mengalami kuning karena kekurangan cairan.Kondisi seperti ini tidak perlu diatasi dengan cara memberikan air putih ataupun pada bayi. Yang perlu ibu lakukan adalah menyusui bayi lebih sering, agar isapan bayi dapat merangsang keluarnya kolostrum, sehingga pelan-pelan kebutuhan cairan dapat terpenuhi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/menyusui-investasi-terbaik-bagi-si-buah-hati-1639977136588" target="_blank">Menyusui, Investasi Terbaik Bagi Si Buah Hati</a><h2>Bagaimana cara mengatasi bayi kuning?</h2>Kondisi kuning bisa ringan dan akan hilang dengan sendirinya, terutama bila bayi kuning lahir cukup bulan dan dalam kondisi sehat. Lain cerita bila bayi lahir prematur dan punya kondisi lain, misalnya beda golongan darah dengan ibunya. Untuk itu, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh dokter untuk mengatasi kondisi bayi kuning:<ul><li>	Melakukan pemeriksaan. Dokter bisa melakukan tes untuk memeriksa kadar bilirubin, baik tes darah atau menggunakan alat khusus yang ditempelkan di permukaan kulit bayi.</li><li>
	Bila menurut hasil tes kadar bilirubin sangat tinggi, dokter akan menganjurkan si Kecil dirawat di NICU agar bisa dipantau dengan lebih cermat.</li><li>
	Selama perawatan bayi dapat menjalani fototerapi, yang bertujuan memecah struktur bilirubin sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.</li><li>
	Jika fototerapi tidak berhasil, dokter dapat merekomendasikan transfusi darah khusus (exchange transfusion) pada bayi. Darah bayi diambil sedikit kemudian diganti dengan darah donor yang kadar bilirubinnya normal. </li></ul>Usahakan untuk tetap memberikan ASI eksklusif bagi bayi selama menjalani perawatan. Ketika bayi sudah boleh pulang, tetap pantau kondisinya. Segera hubungi dokter bila si Kecil terlihat semakin kuning dan areanya makin melebar, atau mengalami demam maupun rewel. Kondisi kuning parah yang dibiarkan terlalu lama bisa membuat bayi mengalami kondisi kernicterus, yaitu kerusakan pada otak. Kondisi ini antara lain bisa menyebabkan hilangnya pendengaran maupun gangguan penglihatan.Anda bisa lakukan telekonsultasi di AlteaCare menggunakan fasilitas video call agar dokter spesialis anak bisa langsung mengamati kondisi bayi. Segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>hari ini dan jadwalkan konsultasi bayi kesayangan Anda dengan dokter andalan kami! 
 Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Februari 2022. Understanding Newborn Jaundice</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Bayi Saya Kuning, Berat Badannya Turun. Apa Yang Harus Saya Lakukan?</li><li>
Kids Health. Diakses pada Januari 2022. Jaundice in Newborns.</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Februari 2022. Infant jaundice</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning</li><li>
MSD Manual. Diakses pada Januari 2022. Quick Facts: Jaundice in Newborns.</li></ul>

Bayi Kuning Bisa Dialami Bayi Baru Lahir, Ini Alasannya

Sering dialami bayi dan anak, intoleransi laktosa menyebabkan diare saat mengonsumsi susu dan produk olahannya - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Intoleransi Laktosa</h2>Intoleransi laktosa adalah gangguan pencernaan yang terjadi karena tubuh tidak dapat mencerna laktosa. Sementara laktosa adalah sejenis gula yang terutama ditemukan dalam susu dan produk susu. 
Orang dengan intoleransi laktosa sering mengalami diare dan perut terasa kembung setelah makan atau minum produk olahan susu. Intoleransi laktosa sering juga disebut malabsorpsi laktosa. Kondisi ini umumnya tidak berbahaya, tetapi keluhan yang dialami bisa membuat Anda merasa tidak nyaman. 
 <h2>Penyebab Intoleransi Laktosa</h2>Intoleransi laktosa biasanya disebabkan oleh tubuh yang tidak memproduksi cukup laktase. Laktase adalah zat enzim (protein yang menyebabkan reaksi kimia) yang biasanya diproduksi di usus kecil, yang digunakan untuk mencerna laktosa . 

Penyebab intoleransi laktosa terbagi empat, yakni:<h3>1.	Intoleransi laktosa primer</h3>Disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan dalam keluarga. Seringnya terjadi pada kelompok usia di atas 2 tahun sampai dewasa. <h3>2.	Intoleransi laktosa sekunder</h3>Disebabkan oleh adanya gangguan di usus halus. Hal ini terjadi pada bayi sampai dewasa, sebagai akibat dari kondisi beberapa penyakit. Seperti penyakit celiac, penyakit Crohn, atau infeksi usus. Penyebab lainnya adalah efek dari kemoterapi, operasi usus kecil, atau minum obat tertentu.<h3>3.	Intoleransi laktosa bawaan (congenital lactose intolerance)</h3>Tipe yang satu ini sangat jarang terjadi. Kondisi ini terjadi akibat adanya intoleransi yang diturunkan dari orangtua kepada anaknya. Akibatnya, anak tidak memiliki enzim laktase sama sekali.<h3>4.	Intoleransi masa perkembangan (developmental lactose intolerance)</h3>Jenis intoleransi ini biasanya dialami oleh bayi yang lahir prematur. Produksi enzim laktase baru dimulai pada akhir kehamilan, ketika usia kehamilan mencapai 34-37 minggu. Sementara bila bayi lahir prematur, ususnya mungkin belum berkembang secara sempurna. 
Intoleransi laktosa juga dapat disebabkan oleh makanan yang mengandung laktosa, seperti: <ul><li>	Semua jenis susu sapi</li><li>	Susu kambing</li><li>	Keju (baik keju bertekstur keras maupun lunak)</li><li>	Es krim</li><li>	Yogurt</li><li>	Mentega</li></ul>





Selain itu, makanan terbuat dari olahan susu berikut juga mungkin juga mengandung laktosa:<ul><li>	Sereal </li><li>
	Sup dan saus instan</li><li>
	Susu bubuk</li><li>
	Roti, kue, dan biskuit</li><li>
	Makanan olahan seperti sosis atau nuget</li><li>
	Cokelat atau permen </li><li>Whey protein (susu protein)</li><li>
	Keju</li><li>
	Susu malt </li></ul>
	 <h2>Faktor Risiko Intoleransi Laktosa</h2>Faktor-faktor yang dapat membuat Anda atau anak Anda lebih rentan terhadap intoleransi laktosa:<ul><li>	Bertambahnya usia. Intoleransi laktosa biasanya muncul di usia dewasa. Kondisi ini jarang terjadi pada bayi dan anak kecil.</li><li>	Etnis.&nbsp;Intoleransi laktosa paling umum terjadi pada orang keturunan India, Afrika, Asia, Hispanik, dan Amerika.</li><li>	Lahir prematur.&nbsp;
Bayi yang lahir prematur mungkin mengalami penurunan kadar laktase. Ini karena usus kecil janin tidak mengembangkan sel penghasil laktase sampai kehamilan Ibu mencapai akhir trimester ketiga.</li><li>	Gangguan pada usus halus.&nbsp;Pertumbuhan bakteri dalam usus halus yang berlebihan dapat menyebabkan intoleransi laktosa. Begitu juga bila Anda menderita penyakit celiac atau penyakit Crohn.</li><li>	Sedang dalam pengobatan kanker.&nbsp;Mereka yang pernah menjalani terapi radiasi untuk kanker di perut atau mengalami komplikasi usus akibat kemoterapi biasanya lebih berisiko mengalami intoleransi laktosa.</li></ul>Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Intoleransi Laktosa

Intoleransi Laktosa

Ajak anak membaca dan membahas info seputar menstruasi dari sumber tepercaya - AlteaCare | Foto: Envato

Anak perempuan Anda sudah mau puber? Pubertas pada anak perempuan biasa terjadi usia 10-15 tahun. Sekitar usia 12 tahun, ia akan mengalami haid pertamanya. Usia tidak bisa jadi ukuran pasti karena datangnya haid pertama tiap anak bisa beda-beda. Namun, menurut ahli ada kaitan antara waktu pubertas anak perempuan dengan ibunya. Jika ibunya dulu termasuk cepat dapat haid pertama, kemungkinan besar anaknya pun akan demikian. Begitu juga bila ibunya dulu telat dapat haid pertama, anak perempuannya pun juga bisa terlambat. 
<h2>Kenali tanda-tanda anak mau haid</h2>Ada beberapa tanda yang diperlihatkan putri Anda saat mau haid pertama, antara lain:<ul><li>	mulai tumbuh rambut di bagian ketiak dan organ intimnya</li><li>	payudara mulai membesar</li><li>	pertambahan tinggi dan pertumbuhan badannya semakin pesat</li></ul>

Momen haid pertama adalah peristiwa terpenting dalam hidup anak. Jadi, sebaiknya ortu mencermati tanda-tanda perubahan yang dialami anak perempuannya. Selanjutnya, bantu bekali anak dengan berbagai informasi yang benar seputar kesehatan reproduksi perempuan. Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-hal-yang-penting-dilakukan-saat-menstruasi-1644311308040" target="_blank"> 5 Hal Yang Penting Dilakukan Saat Menstruasi</a> 
<h2>Ajak anak bicara soal menstruasi</h2>Idealnya, ortu perlu sering meluangkan untuk mengajak anak perempuannya bicara seputar menstruasi pertama dan masa pubertas. Jangan berharap anak akan dapat bekal lewat seminar seksualitas di sekolah. Justru orangtua perlu jadi orang pertama yang menjelaskan seksualitas pada anak perempuannya. Tidak perlu ngobrol serius seperti mau ujian sekolah. Ambil satu topik berikut dan bahas secara santai bersama anak:<h3>1. Kenapa perempuan menstruasi?</h3>Beritahu anak bahwa haid atau menstruasi adalah peristiwa yang secara alami terjadi pada setiap perempuan. Menstruasi dialami saat anak perempuan memasuki pubertas, ketika ia akan mengeluarkan darah keluar dari vaginanya. Darah haid keluar karena tubuh sudah menghasilkan sel telur. Karena tidak terjadi pembuahan, tubuh secara alami “membuang” sel telur tersebut. Caranya dengan meluruhkannya dari dinding rahim, lalu keluar lewat vagina bersama darah.<h3>2. Seperti apa siklus haid itu? </h3>Jelaskan bahwa haid berlangsung antara 2-10 hari. Setelah itu, haid akan datang lagi secara berkala. Jarak antara hari haid pertama pada bulan ini dengan hari haid pertama berikutnya adalah 21–45 hari. Tekankan juga bahwa jarak siklus haid bisa berubah-ubah, tergantung kondisi tubuhnya. Dengan begitu, anak paham bahwa ia mungkin tidak akan haid setiap tanggal 3, misalnya. Juga bahwa dalam waktu dua tahun ke depan ada kemungkinan haidnya datang tidak beraturan. <h3>3. Apa yang harus dilakukan saat haid?</h3>Sampaikan pada anak hal-hal penting yang perlu dilakukan selama menstruasi:<ul><li>	Cara menggunakan pembalut yang benar. Sebagai sesama perempuan, mungkin sang ibu bisa berbagi tips supaya pembalut tidak bocor dan menodai pakaian. </li><li>	Rajin mengganti pembalut. Volume haid bisa cukup banyak pada hari-hari pertama, sehingga anak perlu sering ganti pembalut. Disiplin juga untuk ganti pembalut setiap 4 jam meski tidak banyak yang keluar, agar area intimnya tetap bersih, tidak lembap, dan terhindar dari keputihan</li><li>	Cara membasuh organ intimnya baik saat haid maupun di luar haid, yaitu satu arah dari depan ke belakang. </li></ul>

<h3>4. Apa itu pembuahan?</h3>Pembuahan atau ovulasi adalah saat sel telur dan sperma bertemu dan menghasilkan sel baru yaitu janin. Pembuahan terjadi melalui hubungan seksual antara pria dan perempuan. Sampaikan juga pandangan Anda seputar hubungan seksual, misalnya hanya boleh dilakukan orang dewasa yang sudah menikah. Atau, perlu dilakukan secara bertanggung jawab karena risikonya besar. Terangkan juga dampak dari hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja. <h3>5. Apa itu pre-menstrual syndrome (PMS)? </h3>Haid biasanya satu paket dengan pre-menstrual syndrome (PMS), yang dialami sebelum mens. Ciri-cirinya mulai dari jerawat, kram perut, nyeri di payudara, sakit pinggang, sembelit, mudah capek, bad mood, gampang marah, sampai menangis tanpa sebab. Beri tips pada anak untuk meredakan gejala PMS, seperti: 
<ul><li>Menaruh kantung atau botol air hangat di perut bagian bawah</li><li>	Berbaring menyamping, lalu tekuk lutut dan turunkan dagu hingga hampir bersentuhan</li><li>	Memberi pijatan lembut di perut bagian bawah</li><li>	Minum yang hangat-hangat, seperti teh, susu, air jeruk</li></ul>



Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/6-cara-mengatasi-nyeri-haid-tanpa-minum-obat-1632548173996" target="_blank">6 Cara Mengatasi Nyeri Haid Tanpa Minum Obat</a>
Bila anak mengalami nyeri PMS maupun nyeri haid yang berlebihan, sebaiknya ajak dia berkonsultasi dengan dokter. Anda bisa coba telekonsultasi di AlteaCare dengan dokter spesialis kandungan menggunakan fitur video call, supaya anak juga bisa berkenalan dengan dokternya. Setelahnya, Anda bisa tambahkan profil anak ke dalam profil keluarga. Ayo, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> hari ini! 
 Sumber:<ul><li>Kids Health. Diakses pada Januari 2022. All About Periods.</li><li>
BBC News. Diakses pada Januari 2022. Genetic clues to age of first period.</li><li>
Science Daily. Diakses pada Januari 2022. Age at which women experience their first period is linked to their sons' age at puberty</li><li>
Raising Children. Diakses pada Januari 2022. Suitable for 9-15 years: Periods.</li><li>
Kids Health. Diakses pada Januari 2022. Can I Wear the Same Pad All Day?</li><li>
Kids Health. Diakses pada Februari 2022. Irregular Periods</li><li>
Healthline. Diakses pada Januari 2022. What to Expect from Your First Period (Menarche).</li><li>
MedicineNet. Diakses pada Januari 2022. What Should I Do When My Daughter Starts Her Period?</li></ul>

5 Tips Siapkan Anak Perempuan Menghadapi Haid Pertamanya

Meski gejalanya mirip, alergi susu tidak sama dengan intoleransi laktosa - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Alergi Susu Sapi</h2>Alergi susu adalah respons abnormal dari sistem kekebalan tubuh terhadap susu dan produk yang mengandung susu. Alergi susu merupakan salah satu jenis alergi makanan yang paling umum dialami anak-anak. Sementara itu, susu sapi adalah penyebab umum alergi susu. Namun, susu dari mamalia lain, seperti domba, kambing, dan kerbau, juga dapat menyebabkan reaksi alergi. 
Banyak orang sering salah mengartikan alergi susu dengan intoleransi laktosa, karena gejala yang dialami mirip, seperti sakit perut atau kembung. Namun, sebenarnya keduanya tidak berhubungan. Alergi susu adalah masalah yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Sementara intoleransi laktosa berhubungan dengan sistem pencernaan yang tidak menghasilkan cukup enzim yang dibutuhkan untuk memecah gula dalam susu. 
 <h2>Penyebab Alergi Susu Sapi</h2>Ada dua protein utama dalam susu sapi yang dapat menyebabkan reaksi alergi:<ul><li>	Kasein, ditemukan di bagian padat (dadih) susu yang mengental</li><li>	Whey, ditemukan di bagian cairan susu yang tersisa setelah susu mengental</li></ul>

Jenis protein ini mungkin sulit dihindari karena banyak ditemukan dalam beberapa makanan olahan. Seseorang dapat alergi hanya terhadap salah satu protein susu atau keduanya. Kebanyakan orang yang bereaksi terhadap susu sapi akan bereaksi terhadap susu kambing dan kerbau. Ada juga orang yang alergi susu sapi sekaligus alergi terhadap susu kedelai, namun ini termasuk jarang terjadi. 
Sementara itu, penyebab alergi terhadap protein susu sapi yang dialami bayi antara lain dapat dipengaruhi oleh:<ul><li>Faktor genetik.&nbsp;Sebanyak 40% bayi yang lahir dari ibu penderita alergi kemungkinan akan mengalami alergi pula</li><li>Paparan bahan penyebab alergi. Baik yang dikonsumsi oleh bayi secara langsung maupun yang dikonsumsi oleh ibu saat menyusui</li><li>Faktor lain.&nbsp;Misalnya polusi udara, asap rokok, hewan piaraan, dan cuaca</li></ul>	

	

 <h2>Faktor Risiko Alergi Susu Sapi</h2>Beberapa hal ini dapat menjadi faktor risiko terhadap alergi susu sapi:<ul><li>	Memiliki alergi jenis lainnya.</li><li>	Punya masalah dermatitis atopik</li><li>	Ada riwayat keluarga. Risiko alergi makanan seseorang meningkat jika salah satu atau kedua orangtuanya juga punya alergi makanan atau jenis alergi lain. Atau, penyakit alergi seperti demam, asma, gatal-gatal, atau eksim.</li><li>	Usia. Alergi susu lebih sering terjadi pada anak-anak. Seiring bertambahnya usia, sistem pencernaan mereka semakin matang, dan tubuh mereka cenderung tidak bereaksi terhadap susu</li></ul> Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Alergi Susu Sapi

Alergi Susu Sapi

Alergi makanan bisa menyebabkan kulit jadi gatal-gatal - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Alergi Makanan</h2>Alergi makanan adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang terjadi setelah kita menyantap makanan tertentu. Meski hanya makan sedikit, makanan dapat memicu tanda dan gejala alergi, seperti masalah pencernaan, gatal-gatal, atau tertutupnya jalan napas. 
Alergi makanan dapat timbul secara tiba-tiba, tetapi juga dapat bersifat kronis atau berlangsung dalam waktu yang lama. 
 <h2>Penyebab Alergi Makanan</h2>Alergi makanan terjadi saat sistem kekebalan tubuh keliru mengidentifikasi makanan atau zat tertentu dalam makanan sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuh. 
Sebagai respons, tubuh memicu sel untuk melepaskan antibodi yang dikenal sebagai imunoglobulin E (IgE) untuk menetralkan makanan penyebab alergi (alergen). Sehingga ketika seseorang kembali mengonsumsi makanan tersebut walau hanya sedikit, IgE akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan senyawa kimia yang disebut histamin ke aliran darah. Histamin inilah yang menyebabkan timbulnya gejala alergi. 
Pada orang dewasa, sebagian besar alergi makanan dipicu oleh protein tertentu, seperti:<ul><li>	Udang, lobster, kepiting dan kerang</li><li>	Kacang-kacangan</li><li>	Jenis kacang pohon, seperti kenari dan pecan</li><li>	Ikan</li></ul>



Sedangkan pada anak-anak, alergi makanan biasanya dipicu oleh protein, seperti:<ul><li>	Kacang-kacangan</li><li>	Jenis kacang pohon</li><li>	Telur</li><li>	Susu sapi</li><li>	Gandum</li><li>	Kedelai</li></ul>





Kita sering salah mengartikan reaksi terhadap makanan yang disantap sebagai alergi makanan. Padahal, yang dialami bukanlah alergi makanan namun terkait dengan beberapa masalah kesehatan. 
Yang tidak termasuk alergi makanan adalah sebagai berikut: <ul><li>	Keracunan makanan yang menyebabkan diare atau muntah. Biasanya ini disebabkan oleh bakteri dalam makanan yang basi atau makanan yang kurang matang.</li><li>	Efek bahan tertentu, seperti kafein dalam soda atau permen, dapat membuat anak menjadi gemetar atau gelisah.</li><li>	Iritasi kulit yang seringkali disebabkan oleh asam yang ditemukan dalam makanan, misalnya jus jeruk atau produk tomat.</li><li>	Diare yang dialami oleh anak kecil akibat terlalu banyak asupan gula, misalnya dari jus buah.</li></ul>



 <h2>Faktor Risiko Alergi Makanan</h2>Faktor risiko alergi makanan meliputi:<ul><li>Riwayat keluarga.&nbsp;Anda berisiko tinggi mengalami alergi makanan jika ada anggota keluarga lain yang punya masalah asma, eksim, gatal-gatal, atau alergi </li><li>Memiliki alergi lainnya.&nbsp;Jika Anda sudah alergi terhadap satu makanan, risiko untuk mengalami alergi terhadap jenis makanan lain jadi lebih tinggi</li><li>Usia.&nbsp;Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak-anak, terutama balita dan bayi. Seiring bertambahnya usia, sistem pencernaan Anda semakin matang dan tubuh cenderung tidak menyerap makanan atau komponen makanan yang memicu alergi.</li><li>Mengidap asma.&nbsp;Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersamaan. Jika demikian, gejala alergi makanan dan asma lebih mungkin menjadi parah.</li></ul> Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Alergi Makanan

Alergi makanan

Dorong anak rajin makan buah dan sayuran hijau agar terhindar dari anemia akibat kekurangan zat besi - AlteaCare | Foto: Envato

Saat jumlah sel darah merah kita di bawah normal, kita mengalami kondisi yang disebut anemia. Tidak hanya dewasa, anak-anak dan remaja pun bisa mengalami anemia. Ciri-ciri utamanya adalah tubuh terasa lemas dan wajah terlihat pucat.Ada beberapa jenis anemia, salah satunya adalah anemia akibat kekurangan zat besi atau microcytic anemia. Jenis anemia ini yang paling sering dialami oleh anak dan remaja. Rendahnya cadangan zat besi dalam tubuh menyebabkan produksi sel darah merah jadi berkurang. Padahal, di dalam sel darah merah terdapat hemoglobin, yang salah satu tugasnya mengantar oksigen ke seluruh sel dalam tubuh.Pada kelompok remaja, perempuan lebih rentan mengalami anemia akibat kekurangan zat besi. Ini mengingat remaja perempuan mengalami haid setiap bulannya. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anemia-defisiensi-besi-1644396259752" target="_blank">Anemia Defisiensi Besi</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/anemia-defisiensi-besi-1644396259752" target="_blank"> </a>
 
<h2>Apa tanda anak mengalami anemia? </h2>Anak yang kekurangan zat besi ringan biasanya tidak memperlihatkan tanda-tanda khusus. Tapi, bila kurangnya zat besi cukup berat dan sampai memicu anemia, anak bisa mengalami kondisi seperti berikut: <ul><li>	Kulit terlihat pucat atau kuning</li><li>
	Pipi dan bibir terlihat pucat</li><li>
	Rewel</li><li>
	Lemah, mudah lelah, gampang tertidur</li><li>
	Pertumbuhannya lambat</li></ul>Selain itu, anak yang mengalami anemia berat juga bisa mengalami hal berikut ini:<ul><li>	Sesak napas</li><li>	Detak jantungnya cepat</li><li>	Tangan dan kakinya bengkak</li><li>	Pusing atau sakit kepala </li><li>	Pingsan</li><li>	Restless leg syndrome (gangguan yang membuat anak sering terdorong menggerakkan atau menghentakkan kaki)</li></ul>




Untuk memastikan apakah si Kecil mengalami anemi atau tidak, Anda perlu membawanya berkonsultasi dengan dokter. Dokter akan menyarankan tes darah. Bila hasilnya memperlihatkan kadar hemoglobin anak di bawah normal, dokter akan melakukan tes lanjutan untuk mencari tahu penyebabnya dan menentukan jenis anemianya. 
<h2>Kok, anak saya bisa anemia?</h2>Ada beberapa faktor yang membuat seorang anak bisa mengalami anemia, antara lain adalah: <ul><li>	Kondisi saat lahir. Bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah lebih berisiko mengalami anemia dalam masa pertumbuhannya. </li><li>	Asupan susu. Pemberian susu sapi atau susu kambing saat si Kecil belum berusia satu tahun bisa jadi penyebab anemia. Juga bila dalam satu hari ia bisa minum susu sapi, susu kambing, atau susu soya hingga lebih dari setengah liter. </li><li>	Pola makan. Bayi yang tidak diberikan makanan pendamping ASI (MPASI) saat berusia 6 bulan rentan mengalami anemia. Begitu juga dengan anak yang pola makannya kurang mengandung zat besi, sepert sayuran hijau, daging merah, hati ayam, dan biji-bijian.</li><li>	Berat badan. Anak yang punya berat badan berlebih atau mengalami obesitas juga bisa mengalami anemia. </li></ul><h2>Cara mencukupi kebutuhan zat besi anak</h2>Kabar baiknya, anemia akibat kekurangan zat besi bisa diatasi dengan memastikan anak mendapat asupan zat besi cukup setiap hari. Nah, hal-hal berikut ini yang bisa dilakukan oleh para ortu:<h3>Untuk bayi:</h3><ul><li>	Berikan ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan.</li><li>	Berikan MPASI yang mengandung zat besi saat bayi berusia 6 bulan. Bayi sudah bisa makan daging sapi dan ikan sejak usia 6 bulan. Anda bisa memberinya bubur nasi dicampur daging sapi tanpa lemak, ikan tanpa tulang, hati ayam, telur, atau sayuran hijau yang sudah dihancurkan. </li><li>	Terus berikan ASI saat bayi sudah mengonsumsi MPASI hingga ia berusia 2 tahun, sesuai anjuran WHO.</li><li>	Berikan bubur buah yang kaya akan zat besi, seperti pisang, apel (dikukus dulu), semangka, dan pepaya. </li></ul>



Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/siapkan-makanan-bayi-6-bulan-tidak-perlu-bingung-ini-tipsnya-1640858869864" target="_blank">Siapkan Makanan Bayi 6 Bulan Tidak Perlu Bingung, Ini Tipsnya!</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/siapkan-makanan-bayi-6-bulan-tidak-perlu-bingung-ini-tipsnya-1640858869864" target="_blank"> 
</a><h3>Untuk anak dan remaja:</h3><ul><li>	Sajikan menu harian yang dilengkapi lauk sumber zat besi, seperti daging sapi, hati ayam, ikan laut, dan telur.</li><li>	Biasakan anak makan sayur setiap hari. Selain sayuran hijau, tomat dan kentang juga mengandung zat besi.</li><li>	Batasi konsumsi susu sapi, terutama pada balita. </li><li>	Biasakan anak mengonsumsi buah yang kaya vitamin C setiap hari untuk membantu penyerapan zat besi.</li><li>	Berikan roti dan sereal yang telah difortifikasi zat besi.</li></ul>



Penelitian membuktikan, kekurangan zat besi bisa mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi anak, termasuk pada kemampuan kognitifnya. Bila Anda ingin tahu lebih lanjut bagaimana cara memenuhi asupan nutrisi dan zat besi si Kecil agar terhindar dari anemia, coba lakukan telekonsultasi di AlteaCare. Anda bisa berdiskusi dengan dokter spesialis anak maupun dokter spesialis gizi, agar bisa dapat rekomendasi jenis makanan yang tepat. Ayo, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan jadwalkan janji konsultasi untuk si Kecil hari ini! 
 Sumber:<ul><li>American Family Physician. Diakses pada Februari 2022. Iron Deficiency Anemia: Evaluation and Management </li><li>
Healthy Children. Diakses pada Januari 2022. Anemia in Children and Teens: Parent FAQs.</li><li>
Stanford Childrens. Diakses pada Januari 2022. Diagnosing Anemia in Children.</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Januari 2022. Iron deficiency in children: Prevention tips for parents.</li><li>
Dept. of Health, State of Queensland. Diakses pada Januari 2022. Iron rich foods for babies and growing children.</li><li>
Pediatric Nutrition, Golisano Children's Hospital. Diakses pada Januari 2022. High Iron Diet.</li><li>
Healthy Children. Diakses pada Januari 2022. Pump Up the Diet with Iron.</li><li>
Mantey, A., Annan, R., Lutterodt, H., &amp; Twumasi, P. (2021). Iron status predicts cognitive test performance of primary school children from Kumasi, Ghana. PLOS ONE, 16(5), e0251335</li></ul>

Mengenali dan Mencegah Anemia Pada Anak dan Remaja

Anak sehat bukan dilihat dari berat badan, tapi kecukupan nutrisinya - AlteaCare | Foto: Envato

Rasanya gemas, ya, melihat balita berbadan gemuk dan berpipi chubby. Tapi, ternyata mudah makan dan berbadan gemuk bukan jaminan si Kecil sehat.“Banyak orang menganggap anak berbadan gemuk pasti sehat, karena makannya banyak. Tapi, sebenarnya bisa saja anak gemuk mengalami kekurangan gizi,” kata dr. Christin Santun Sriati Lumbantobing, M.Gizi, Sp.GK, FINEM, dokter spesialis gizi klinik RS Mitra Keluarga, saat bicara di live streaming AlteaTalk Episode 12, pada 27 Januari 2021 lalu.Prita Apresianti, Head of Content Orami juga menambahkan bahwa banyak ibu yang salah fokus saat memberi makan anaknya. “Yang penting ada isinya, yang penting sudah makan. Tapi terkadang tidak jelas isinya apa,” tuturnya. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-hobi-makan-kebiasaan-ini-bisa-bikin-anak-gemuk-1639050424026" target="_blank">Selain Hobi Makan, Kebiasaan Ini Bisa Bikin Anak Gemuk</a><h2>Ukuran sehat bukan cuma dari berat badan</h2>Menurut dr. Christin, ada beberapa parameter yang digunakan untuk melihat apakah anak punya status gizi yang baik. “Pertama berat badan dan tinggi badan, apakah sudah sesuai dengan usianya. Kemudian, perlu dilihat kurva perbandingan berat badan dan tinggi badan saat itu, apakah sudah proporsional atau belum. Perlu diperhatikan, ada anak yang memang secara genetik tinggi atau pendek karena faktor keturunan dari orangtuanya,” katanya.Selama sudah sesuai dengan parameter ini, sebenarnya orangtua tidak perlu cemas kalau si Kecil terlihat kurus. Sementara kalau si balita punya berat badan di atas rata-rata untuk usianya, serta tidak proporsional dengan tinggi badannya, orangtua perlu perbaiki pola makannya. “Kalau anak gemuk sejak kecil, efeknya akan terasa 10 tahun lagi saat besar. Ada banyak gangguan kesehatan yang bisa dialami dan berkaitan dengan pola makan sejak kecil. Dan, sekarang ini anak-anak usia belasan pun bisa mengalami hipertensi maupun stroke,” kata dr. Christin.<h2>Tips pola makan sehat untuk anak</h2>Lantas bagaimana caranya supaya anak bisa tumbuh sehat tapi tidak sampai kegemukan? Kuncinya adalah membenahi pola makan si Kecil. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa dilakukan:<h3>1. Pastikan kebutuhan gizi anak lengkap</h3>Dalam sekali makan, satu porsi piring anak sudah lengkap mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Banyak orangtua cenderung lebih banyak menjejali anaknya dengan karbohidrat. “Persepsinya, jangan sampai si Kecil tidak makan sama sekali. Akhirnya asupan makanannya cenderung tinggi karbohidrat dan lemak, sementara vitamin dan mineral tidak cukup. Dari sinilah muncul masalah kegemukan,” kata dr. Christin.<h3>2. Perhatikan jadwal makannya</h3>Menurut dr. Christin, banyak orangtua kurang teliti soal jadwal makan anak. Yang penting makan dan lengkap tiga kali sehari. “Ketika anaknya tidak mau makan, ortu langsung panik. Padahal, sebelumnya si Kecil baru saja jajan makanan yang agak berat, jadi otomatis dia akan kenyang hingga satu jam ke depan,” katanya. Sebaiknya, beri jarak waktu antar jadwal makan. Atur agar si Kecil bisa mendapatkan tiga kali makan utama dan diselingi dengan dua kali camilan. “Selain soal jenis makanan, perhatikan juga supaya porsi makan si Kecil tidak berlebihan,” tambah dr. Christin.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank">Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank"> 
</a><h3>3. Memberi vitamin sesuai kebutuhan</h3>Pada dasarnya, vitamin dalam bentuk suplemen adalah pelengkap. Artinya, kalau dari segi makanan sudah cukup, tidak perlu lagi diberikan suplemen vitamin. Kalaupun tujuan memberikan suplemen vitamin supaya imunitas anak bagus, terutama di masa pandemi, sebenarnya menurut dr. Christin ini bisa dipertimbangkan lagi.“Modal imunitas adalah nutrisi yang cukup. Kalau si Kecil makannya sudah bagus, setidaknya makan buah dua kali sehari, asupan vitaminnya sudah cukup,” katanya. “Kecuali kalau anak kurang makan sayur atau buah. Atau, baru sembuh dari sakit. Dalam kondisi ini, vitamin dapat membantu.”<h3>4. Jadikan makan sebagai kegiatan menyenangkan</h3>Memberi makan si Kecil bukan hanya untuk mengenyangkan perutnya. “Kebiasaan dan budaya makan di rumah juga harus disesuaikan. Anak-anak perlu menikmati makan. Jangan sampai makan menjadi rutinitas yang dipaksakan,” kata dr. Christin. Selain itu, tambahnya, orangtua juga perlu meluangkan waktu untuk makan bersama anak-anak setidaknya sehari sekali. “Kegiatan makan harus jadi pengalaman yang menyenangkan. Jangan sampai anak malah trauma untuk makan. Orangtua bisa cari tahu variasi makanan yang disukai, sehingga anak tidak susah makan,” saran Prita. Kalau anak sudah telanjur gemuk, sebaiknya tidak disuruh diet karena ia masih bertumbuh. Sebaiknya konsultasikan kondisi si Kecil pada dokter ahli agar bisa dapat solusi yang tepat. Anda bisa ajak si Kecil telekonsultasi dengan dokter spesialis andalan di AlteaCare. <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">Download </a>AlteaCare hari ini, buat jadwal, dan langsung konsultasi dengan dokter kesayangan keluarga!

Anak Gemuk Bisa Saja Kekurangan Gizi, Ketahui Solusinya

Ingatkan anak untuk disiplin jalankan protokol kesehatan selama sekolah tatap muka - AlteaCare | Foto: Envato

Sekolah tatap muka sudah mulai dibuka. Sebagian orangtua mungkin cemas, karena situasi pandemi belum berakhir. Di sisi lain, tak sedikit orang tua yang risau karena selama pembelajaran jarak jauh anaknya tidak bisa belajar dengan optimal. Menurut Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pandemi COVID-19 yang terjadi telah menimbulkan dampak sosial negatif yang berkepanjangan, termasuk pada anak. Selain terancam putus sekolah, terjadi kesenjangan capaian belajar dan “learning loss” akibat diterapkannya pembelajaran jarak jauh. Studi menemukan, pembelajaran di kelas bisa membuat pencapaian akademik lebih baik daripada pembelajaran jarak jauh. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank">Sekolah dan Belajar Online, Apa Dampaknya Buat Anak?</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank"> 
</a><h2>Bagaimana cara anak bisa sekolah tatap muka dengan aman?</h2>Informasi tentang kapan sekolah tatap muka dimulai pada semester ini sudah dibagikan di sekolah masing-masing. Sebagian anak mungkin juga sudah sempat ikut uji coba di sekolahnya. Kini, orangtua tinggal membantu anak supaya siap untuk kembali ke sekolah dan melakukan pembelajaran tatap muka, baik 50% maupun 100%. Anak butuh transisi yang mulus supaya bisa maksimal di sekolah, setelah lama belajar online di rumah. Kalau anak Anda akan jalani sekolah tatap muka untuk pertama kali, beberapa hal ini bisa dipersiapkan: 
<h3>1. Ajak anak kunjungi sekolah</h3>Ini penting jika anak selama ini belum pernah datang ke sekolah sama sekali, misalnya baru masuk SD atau SMP. Bila tidak memungkinkan sampai masuk ke dalam, setidaknya dia bisa lihat sekolahnya dari luar. Langkah ini juga bisa bikin anak familiar dengan rute berangkat dan pulang sekolah. <h3>2. Latih keterampilan sosialnya </h3>Lebih dari setahun sekolah online bisa bikin anak gugup dan canggung saat nanti harus dan tidak berinteraksi dengan kawan sebaya maupun guru di sekolah. Tidak ada salahnya Anda asah lagi&nbsp;keterampilan sosial anak. Misalnya, ajak anak main ke rumah sepupunya yang sebaya. Atau, atur playdate dengan teman Anda yang punya anak seumuran dengan anak Anda. <h3>3. Cari tahu apa dia sudah siap mental</h3>Pancing dia untuk ungkapkan perasaannya saat harus kembali sekolah tatap muka. Apa yang bikin dia semangat, apa yang bikin dia takut, dan sebagainya. Katakan padanya bahwa wajar kalau ada rasa takut atau enggan pergi ke sekolah. Tenangkan dia dengan mengingatkan bahwa Anda akan mengantarnya ke sekolah dan guru pun sudah siap mendampingi kalau ada masalah. <h3>4. Ceritakan pengalaman Anda sendiri</h3>Ceritakan bagaimana perasaan Anda atau pasangan saat harus kembali work from office setelah berbulan-bulan work from home. Jadi, anak tahu bahwa rasa khawatir saat harus ketemu banyak orang di sekolah juga dialami orangtuanya saat harus masuk kantor lagi.<h3>5. Bangun kembali rutinitas bersekolah</h3>Mulai dari menyiapkan seragam dan peralatan sekolah pada malam sebelumnya, tidur lebih awal, bangun lebih pagi, hingga sarapan sehat. Pembiasaan ini bisa dilakukan setidaknya dua minggu sebelum anak masuk sekolah tatap muka. <h3>6. Ajari anak untuk taat protokol</h3>Beritahu seperti apa protokol kesehatan yang dilakukan saat anak sampai di sekolah, selama belajar, saat beristirahat, hingga saat pulang. Pastikan anak bisa menjaga kesehatan dan keamanan dirinya sendiri, terlepas dari adanya guru yang mengawasi di sekolah. Seperti cara pakai masker yang benar, mencuci tangan dengan air atau hand sanitizer, menjaga jarak aman dengan orang lain, hingga cara batuk dan bersin yang benar. 
<h2>Ortu juga perlu persiapan!</h2>Seiring dengan munculnya varian baru COVID-19, orangtua perlu lebih cepat tanggap dengan situasi pandemi terkini. Ini yang bisa Anda lakukan:<ul><li>	Pantau persiapan sekolah menghadapi pembelajaran tatap muka, pengaturan protokol kesehatan, prosedur pengantaran dan penjemputan, hingga pembagian jadwal sekolah. </li><li>	Kerjasama dengan guru agar anak bisa belajar dengan optimal dan semangat selama di sekolah. </li><li>	Cari tahu berita dan informasi terkini seputar COVID-19 dan penularannya. Jangan lelah mengingatkan anak soal protokol kesehatan dan cara melindungi diri selama di sekolah. </li><li>	Segera vaksinasi anak bila sudah berusia 6 tahun. Anak berpotensi jadi pembawa virus COVID-19, sehingga bisa menimbulkan klaster baru di sekolah maupun di rumah. Vaksin dapat melindungi anak agar tidak mudah tertular COVID-19 dan tidak menularkannya kepada orang lain. </li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-sekolah-dasar-sudah-bisa-vaksinasi-ini-tips-buat-ortu-1641782801653" target="_blank">Anak Sekolah Dasar Sudah Bisa Vaksinasi, Ini Tips Buat Ortu</a>Tidak perlu stres atau cemas berlebihan menyambut kapan sekolah tatap muka dimulai lagi. Hal terpenting dalam situasi pandemi ini adalah bersikap fleksibel tapi tetap waspada. Monitor terus&nbsp;kondisi kesehatan anak dan pastikan dia dalam kondisi fit saat pergi ke sekolah. Bila ada keluhan selama sekolah tatap muka, jangan tunda dan segera konsultasi dengan dokter. Manfaatkan kemudahan konsultasi dari rumah dengan AlteaCare untuk bicara dengan dokter spesialis anak yang berpengalaman.&nbsp;Ayo, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang dan mulai telekonsultasi! 

 Sumber:<ul><li>Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (2021). Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi</li><li>Child Mind Institute. Diakses pada Januari 2022. Preparing Your Child to Go Back to School In-Person.</li><li>Mental Health Foundation. Diakses pada Januari 2022. Tips for parents and caregivers – preparing your child to return to school.</li><li>Rise and Shine. Diakses pada Januari 2022. Helping your student transition back to in-person learning.</li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Januari 2022. Kejar Target, Vaksinasi Merdeka Anak 6-11 Tahun Digelar Serentak di 30 Provinsi.</li></ul>

Tips Siapkan Anak Jalani Sekolah Tatap Muka

Kendala teknis bisa jadi hambatan anak dalam belajar online - AlteaCare | Foto: Envato

Pandemi belum juga berakhir. Meski sebagian sekolah sudah membuka pembelajaran tatap muka, Sobat Altea mungkin termasuk yang masih minta anak tetap belajar online di rumah. Belajar online dari rumah ada plus-minusnya. Di satu sisi, anak bisa tetap sehat dan aman di rumah. Bila Anda bisa dampingi selama proses belajarnya, mungkin anak relatif kurang mengalami kendala selama bersekolah. Tapi, bagaimana jika anak selama ini banyak bergantung pada aktivitas belajar di sekolah? Ditambah Anda juga harus bekerja dari rumah atau kantor. Ia pun jadi tidak dapat pendampingan yang memadai. <h2>Kesulitan yang dihadapi anak saat belajar online </h2>Menurut Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, salah satu dampak sosial negatif akibat sekolah online adanya turunnya capaian belajar. Turunnya capaian belajar bisa dikarenakan adanya perbedaan akses dan kualitas selama belajar online. Akibatnya, anak dapat mengalami “learning loss”, yaitu hilangnya pengetahuan dan keterampilan atau mundurnya proses akademik.Berikut ini adalah beberapa kesulitan yang dialami anak saat ikut pembelajaran jarak jauh: 
<h3>1. Sulit memahami pelajaran </h3>Sebelum pandemi, anak bisa langsung tanya pada guru di sekolah kalau ada yang tidak dimengerti. Lain halnya saat belajar online. Tak hanya dalam materi, anak juga kesulitan memahami akibat kendala teknis. Misalnya, sinyal lemah, kuota internet habis, atau suara guru putus-putus saat menjelaskan. Sebaliknya, guru juga sulit memantau seluruh siswa, baik saat pembelajaran maupun dalam pengumpulan tugas. Akibatnya, guru tidak bisa tahu secara detail siswa mana yang mengalami hambatan dalam belajar. <h3>2. Tidak ada kedekatan antara anak dan guru</h3>Interaksi langsung di sekolah membentuk relasi antara guru dan murid. Adanya kedekatan ini bisa memotivasi anak dalam belajar, berperilaku baik, dan mendengarkan penjelasan guru di kelas. Sistem belajar online tidak memungkinkan anak menjalin kedekatan emosional dengan gurunya. Ini mengingat mereka mungkin&nbsp;tidak pernah saling kenal dan berinteraksi secara tatap muka. <h3>3. Suasana tidak kondusif</h3>Faktor lingkungan sangat mendukung anak selama belajar dari rumah. Misalnya, ruang untuk belajar yang nyaman dan tenang bisa bantu anak fokus belajar.Sayangnya, hal ini tidak bisa dicapai semua anak, misalnya karena suasana rumah yang ramai. Belum lagi jika orangtua tidak bisa dampingi anak belajar. Tak heran kalau anak jadi sering lupa materi yang diajarkan, tidak buat tugas, kadang malah lupa jam pelajaran berikutnya.<h3>4. Ancaman “zoom fatigue”</h3>Menurut studi yang dimuat di jurnal Technology, Mind, and Behavior, penggunaan aplikasi telekonferensi seperti Zoom, termasuk dalam proses belajar online, dapat membuat kita merasa lelah, baik secara mental maupun fisik. Para ahli pun menyodorkan satu istilah baru, yaitu zoom fatigue.Secara singkat, ada empat hal yang bisa jadi penyebab munculnya zoom fatigue, yaitu:<ul><li>	Terlalu lama menatap wajah orang lain dari jarak dekat (close-up)</li><li>	Otak bekerja keras untuk memahami materi serta ekspresi orang yang bicara tanpa bertemu langsung</li><li>	Terlalu lama melihat diri sendiri di layar bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan stres</li><li>	Badan lelah karena harus duduk lama di depan layar.</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-jarang-bergerak-ini-dampak-pakai-gadget-pada-anak-1641361770167" target="_blank">Selain Jarang Bergerak, Ini Dampak Pakai Gadget Pada Anak</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-jarang-bergerak-ini-dampak-pakai-gadget-pada-anak-1641361770167" target="_blank"> 
</a><h2>Tips agar anak nyaman belajar online </h2>Ketika belajar online masih jadi pilihan Anda untuk anak, apa yang bisa dilakukan supaya ia bisa belajar dengan sehat dan nyaman? <h3>1. Rutinitas harian yang baik</h3>Pada dasarnya, anak perlu rutinitas supaya mereka nyaman dan tenang. Biasakan anak tidur dan bangun di jam yang sama setiap hari. Begitu juga dengan jadwal makannya. Rutinitas ini berdampak positif bagi tubuh sehingga anak dapat belajar online maupun tatap muka dengan lebih nyaman. <h3>2. Aktif bergerak </h3>Anak dan remaja perlu aktivitas fisik sedang hingga berat minimal 60 menit per hari. Rutinitas ini bisa menyehatkan jantung, mencegah kegemukan, menguatkan tulang dan otot, meredakan stres setelah berjam-jam harus duduk diam belajar online, dan bikin anak tidur nyenyak di malam hari. <h3>3. Batasi penggunaan gadget</h3>Memakai gawai selama belajar memang keharusan. Tapi di luar itu, batasi penggunaannya. Contoh: mau nonton film anak di Youtube? Boleh, tapi hanya 30 menit. Setelah itu, gadget disimpan.Supaya anak tidak tergantung pada gadget, orangtua perlu sisihkan waktu untuk berinteraksi dengan anak. Mulai dari ngobrol santai, masak bersama, hingga nonton bareng. 
Jika kegiatan belajar online bikin anak jadi sering murung, bosan, atau tidak semangat melakukan kegiatan lainnya, tidak ada salahnya untuk bicara dengan ahli. Ajak anak untuk telekonsultasi bersama dengan psikolog atau psikiater di AlteaCare. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare, lalu daftar dan buat janji hari inI! 
 


Sumber:<ul><li>	Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (2021). Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi</li><li>	Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Diakses pada Desember 2021. Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat. </li><li>	American Psychological Association. Diakses pada Januari 2022. Improving Students' Relationships with Teachers to Provide Essential Supports for Learning.</li><li>	Maryville University. Diakses pada Desember 2021. Impact of Online Education on Families: Understanding the Transition to Remote Learning.</li><li>	Bailenson, J. N. (2021). Nonverbal Overload: A Theoretical Argument for the Causes of Zoom Fatigue. Technology, Mind, and Behavior, 2(1).</li><li>	Verywell Family. Diakses pada Desember 2021. The Impact of Distance Learning on Kids.</li><li>	Center on PBIS-Center for Parent Information &amp; Resources. Diakses pada Januari 2022. Supporting Families with PBIS at Home.</li><li>	Valley Health System. Diakses pada Desember 2021. Remote learning: Can it affect your child's sleep?</li><li>	Centers for Disease Prevention and Control. Diakses pada Januari 2022. Physical Activity Facts.</li><li>	UNICEF. Diakses pada Januari 2022. Ten tips for cutting down on screen time during the COVID-19 pandemic.</li></ul>

Sekolah dan Belajar Online, Apa Dampaknya Buat Anak?

Ajari anak pakai gadget dengan sehat agar tidak kesepian namun tak sampai abaikan orang lain - AlteaCare | Foto: Envato

Meski bisa jadi sarana belajar, gadget juga bisa berdampak buruk buat kesehatan mental anak. Apalagi di masa pandemi ini banyak anak kesepian di rumah karena tidak bisa bertemu langsung dengan temannya. Gadget dan sosmed pun jadi pelarian emosionalnya.Banyak ahli menyebutkan, ketika anak makin sering main gadget dan buka sosmed supaya tidak kesepian, ia makin jarang berinteraksi dengan keluarga. Namun, hidup tanpa gadget sulit diwujudkan. Apalagi kalau anak sudah bersekolah. Lebih baik kita pahami penyebab anak sampai main gadget tanpa kenal waktu. Lalu, bagaimana cara mengatasinya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-jarang-bergerak-ini-dampak-pakai-gadget-pada-anak-1641361770167" target="_blank">Jarang Bergerak, Pakai Gadget Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-jarang-bergerak-ini-dampak-pakai-gadget-pada-anak-1641361770167"> </a><h2>Korelasi antara main gadget dan rasa kesepian anak</h2>Inilah beberapa penyebab anak menjadikan gadget dan segala kemudahannya sebagai teman bermain sehari-hari. <h3>1. Stres karena terisolasi</h3>Bagi anak, sekolah adalah rumah kedua. Mereka bisa bertemu teman, bermain dan belajar bersama. Di sekolah juga ada sistem pendukung, yang bantu anak saat alami masalah, mulai dari tugas sekolah sampai masalah emosional.Bayangkan ketika sistem pendukung ini hilang. Anak jadi stres dan sulit bersosialisasi, meski masih bisa ngobrol dengan teman di sosmed. Belum lagi kalau orangtuanya juga stres akibat pandemi, misalnya masalah pekerjaan atau ekonomi. Anak makin kesepian dan terisolasi di rumah. Gadget pun jadi jawaban.<h3>2. Pengaruh media sosial</h3>Selama pandemi, anak sering melawan bosan dengan melihat sosmed alias media sosial. Terutama anak pra remaja dan remaja. Tapi ternyata, terlalu sering lihat sosmed juga bisa bikin anak gampang cemas. Kenapa semua teman tahu atau punya ini dan itu, tapi saya tidak? Kok, saya beda sendiri? Anak pun mengalami kesepian di tengah pergaulan dunia virtual, juga perasaan takut ketinggalan dibanding yang lain. Inilah yang sering disebut dengan FOMO atau fear-of-missing-out. Menurut penelitian di International Journal of Environmental Research and Public Health, FOMO menyebabkan para remaja mengecek sosmed sepanjang waktu. Perilaku ini menimbulkan masalah lainnya, yaitu phubbing. Ketika anak kelewat fokus mengikuti update media sosial di ponsel, sampai mengabaikan orang di dekatnya. <h3>3. Gangguan emosional dan atensi</h3>Bila remaja rentan alami FOMO, anak yang lebih kecil lain lagi. Terlalu lama menonton TV, bahkan seharian, bisa pengaruhi kesehatan mentalnya. Menurut ahli, anak kecil menjadikan teknologi dan televisi sebagai sarana untuk menghindari emosi negatif, termasuk kesepian yang banyak dialami selama pandemi. Padahal, anak perlu belajar mengatur emosi, agar tidak gampang alami cemas dan depresi. Studi dari University of Alberta menemukan, anak usia 5 tahun yang menonton lebih dari dua jam sehari berpeluang lebih besar didiagnosis mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Ini dibandingkan anak yang waktu nontonnya kurang dari 30 menit sehari. ADHD adalah gangguan yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian dan memiliki perilaku yang hiperaktif.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank">Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank"> </a><h2>Cara pastikan anak gunakan gadget dengan sehat</h2>Beberapa hal ini bisa dilakukan orangtua supaya anak bisa jalin hubungan lebih positif dengan gadget-nya:<h3>1. Perbanyak interaksi dalam keluarga</h3><ul><li>	Atasi stres akibat kesepian di rumah dengan menyediakan waktu untuk temani anak. Saat anak sedang jeda antar pelajaran sekolah online, Anda juga istirahat sejenak dari kesibukan WFH, sekadar untuk mengobrol dengannya.</li><li>	Sediakan aktivitas bebas gadget, seperti bermain puzzle atau menggambar. Anda juga bisa minta anak membantu menyirami tanaman, memberi makan binatang peliharaan, atau membereskan kamarnya.</li></ul><h3>2. Pantau penggunaan sosmed anak </h3><ul><li>	Tidak perlu larang anak punya akun sosmed, karena media ini bisa bermanfaat bagi mereka. Lebih baik Anda jadi follower mereka supaya bisa memantau. </li><li>	Bekali anak dengan etika gunakan media sosial yang sehat. Ingatkan bahwa media sosial bukan satu-satunya tempat bersosialisasi.</li></ul><h3>3. Batasi waktunya</h3><ul><li>	Sejak dini, ajari anak untuk tidak bergantung pada televisi. Biasakan mereka tidak berlama-lama menonton, cukup 30 menit sehari saja kalau menurut ahli.</li><li>	Buat remaja yang suka main game di gadget, ahli menyarankan pilih jenis game yang interaktif dan bisa dimainkan bersama teman secara online. Ini lebih efektif mengusir kesepian dibanding main game sendirian. </li></ul><h3>4. Lebih terlibat</h3><ul><li>	Temani anak saat main gadget atau nonton TV. </li><li>Pancing mereka bercerita apa saja yang dilihat di sosmed. </li><li>	Mau ikut main game bersama mereka? Kenapa tidak? </li></ul>Amati mood anak. Apakah ada perubahan, seperti berhenti melakukan kegiatan yang disukai, atau pola tidur atau pola makannya terganggu. Jika perubahannya cukup signifikan, minta saran dari ahli.Anda bisa ajak anak lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan atau psikolog di AlteaCare. Konsultasi dari rumah buat anak nyaman bicarakan rasa kesepian dan pengalaman pakai sosmed dengan ahlinya. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare, daftarkan diri Anda dan anak, dan pilih jadwal dokter yang diinginkan! 
 Sumber:<ul><li>Regis College. Diakses pada Desember 2021. Effects of Technology on Children During a Pandemic</li><li>Franchina, V., Vanden Abeele, M., van Rooij, A. J., Lo Coco, G., &amp; De Marez, L. (2018). Fear of Missing Out as a Predictor of Problematic Social Media Use and Phubbing Behavior among Flemish Adolescents. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(10), 2319</li><li>ABC News. Diakses pada Januari 2022. More screen time linked to higher risk of ADHD in preschool-aged children: Study</li><li>Healthline. Diakses pada Januari 2022. After Facebook and Instagram Bombshells, Should Parents Keep Kids Off Social Media?</li><li>Healthline. Diakses pada Januari 2022. Interactive Gaming Can Help Children, Teens Battle Loneliness During Pandemic, Experts Say</li></ul>

Penyebab Anak Kesepian Sehingga Pakai Gadget Berlebihan

Sekolah online juga jadi faktor anak jarang bergerak selama pandemi - AlteaCare | Foto: Envato

Sekarang gadget sudah bukan barang asing buat anak. Apalagi, masa pandemi bikin mereka makin lengket dengan gawai. Adanya PPKM bikin kesempatan anak buat bergerak bebas di luar pun makin berkurang.Menurut data, sekitar 1,5 miliar anak terpaksa “dirumahkan” pada akhir April 2020. Keterbatasan bergerak dan tidak bisa ke sekolah bisa bikin anak bosan. Televisi dan gadget pun jadi hiburan. <h2>Dampak gadget pada kesehatan anak</h2>Sobat Altea sering mengeluh si Kecil main gadget terus? Kadang tak habis pikir, ya. Apa saja, sih, yang dilakukan anak dengan gawainya?Menurut survei perusahaan digital independen Qustodio, selama dua bulan awal pandemi tahun 2020, anak menghabiskan rata-rata selama 97 menit buat nonton Youtube. Angka ini dua kali lipat dibanding frekuensi selama satu tahun sebelumnya. Wow! Itu baru Youtube. Belum media sosial atau aplikasi game. Siapa sangka, gadget yang dikira bisa jadi “obat” bosan anak di tengah pandemi, ternyata bisa berefek sebaliknya. Ini dia pengaruhnya bagi kesehatan fisik si Kecil:<h3>1. Kurang bergerak dan olahraga</h3>Sebenarnya, tanpa ada COVID pun anak sudah minim gerak. Laporan bertajuk “Natural Childhood” yang dikeluarkan oleh National Trust, Inggris menyebutkan, sebagian besar waktu anak dihabiskan untuk nonton TV dan aktivitas online. Semakin besar, anak semakin tergantung pada gawai dan makin jarang beraktivitas di luar rumah. Padahal, seperti dilansir dari Kementerian Kesehatan RI, aktivitas fisik dapat menstimulasi gerak kasar dan gerak halus, serta penting untuk kekompakan tulang anak.Setiap hari, anak dianjurkan banyak gerak, baik itu lompat, loncat, lempar, dan lari. Keempatnya bagus untuk kepadatan tulang. Lakukan ini: <ul><li>Izinkan anak bergerak dan bermain di luar rumah sekitar 60 menit sehari. </li><li>	Khawatirkan virus corona? Ajari dia protokol kesehatan yang benar dan ingatkan untuk tidak lepas masker selama di luar. </li><li>	Ajak dia main bersama, mulai dari main petak umpet, kuda-kudaan, lompat tali, hingga bersepeda atau bulutangkis</li></ul><h3>2. Kegemukan</h3>Selain korelasi antara penggunaan gadget dengan kurangnya aktivitas gerak anak, peneliti juga menemukan adanya kaitan antara nonton TV dan pakai komputer dengan obesitas. Riset memperlihatkan, anak sering makan yang tidak sehat sambil melewatkan berjam-jam di depan layar TV atau komputer. Para ahli khawatir, kebiasaan malas bergerak dan makan tak terkontrol ini bisa bikin anak jadi obesitas. Lakukan ini: <ul><li>	Batasi waktu nonton TV, yaitu kurang dari satu jam untuk anak usia 2-5 tahun, dan tidak lebih dari dua jam untuk anak usia 5 tahun ke atas. </li><li>	Jangan biasakan anak makan sambil menonton. </li><li>	Siapkan kegiatan lain setelah sekolah online, agar si Kecil tidak terus berkutat di komputernya.</li></ul><h3>3. Gangguan penglihatan</h3>Terlalu sering menatap layar gawai atau TV yang terang bisa bikin mata anak lelah, gampang kering, dan teriritasi. Apalagi kalau si Kecil sering curi-curi main gadget tengah malam tanpa menyalakan lampu kamar. Studi menyebutkan, anak sebaiknya lebih sering bergerak di luar rumah karena paparan sinar alami di luar baik untuk kesehatan matanya. Anak yang jarang keluar rumah lebih besar kemungkinannya mengalami rabun jauh atau miopia. Lakukan ini:<ul><li>Ajari si Kecil istirahatkan matanya setelah 20 menit main gadget dan melihat benda yang berjarak jauh selama 20 detik. Lalu, ingatkan juga untuk sering berkedip. </li><li>	Untuk sekolah online, lebih baik pakai gadget dengan layar ukuran besar, misalnya laptop atau tablet alih-alih ponsel. </li><li>	Periksa secara berkala tingkat kecerahan di layar gawai anak. Turunkan hingga level yang nyaman untuk matanya. </li></ul><h3>4. Sulit tidur</h3>Selain jarang bergerak, keseringan pakai gadget juga pengaruhi kualitas tidur anak. Menurut Sleep Foundation, pancaran sinar biru dari layar, terutama di malam hari, bisa pengaruhi produksi hormon melatonin. Akibatnya, otak akan dikondisikan seolah-olah masih siang, padahal sudah malam. Otomatis, pola tidur pun ikut berubah. Lakukan ini:<ul><li>	Setop pakai gadget di malam hari, paling lambat satu jam sebelum tidur. Banyak studi menunjukkan, pemakaian gawai bisa memundurkan jam tidur dan bikin anak kurang tidur. </li><li>	Jangan biarkan anak tidur bersama gadget. Biasakan anak kumpulkan semua gawai di kamar tidur orangtua, sehingga ia bisa tidur pulas semalaman.</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank">Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?</a> 
Demikianlah dampak kesehatan yang dialami anak jika main gadget berlebihan. Sebagai orangtua, Anda juga harus beri teladan dan rajin ajak si Kecil banyak bergerak supaya lepas dari gawai. Bila ada masalah kesehatan lain yang dialami si Kecil selama pandemi, lakukan telekonsultasi lewat video call dengan dokter spesialis anak maupun psikolog di AlteaCare. Ayo, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">unduh </a>AlteaCare dan daftarkan diri serta anggota keluarga Anda! 
 Sumber:<ul><li>Regis College. Diakses pada Desember 2021. Effects of Technology on Children During a Pandemic</li><li>Qustodio. Diakses pada Desember 2021. Connected More than Ever: Qustodio 2020 Annual Report on Children's Digital Habits. </li><li>Moss, S. (2012). Natural Childhood. National Trust, 2012.</li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Desember 2021. Ayo Bergerak, Sehat di Mulai dari Diri Sendiri</li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Desember 2021. Kegiatan Apa Saja yang Dapat Dilakukan Agar Tetap Aktif Bergerak Di Rumah?</li><li>Better Health. Diakses pada Januari 2022. Overweight children - healthy lifestyle tips</li><li>Children's Hospital of Philadelphia. Diakses pada Desember 2021.&nbsp;How Too Much Screen Time Affects Kids’ Eyes</li><li>Sleep Foundation. Diakses pada Desember 2021. How Blue Light Affects Kids’ Sleep</li><li>Sleep Foundation. Diakses pada Januari 2022. Technology in the Bedroom</li></ul>

Selain Jarang Bergerak, Ini Dampak Pakai Gadget Pada Anak

Kondisikan bayi nyaman agar responsive feeding bisa lancar - AlteaCare | Foto: Envato

Memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) pada bayi berusia 6 bulan itu susah-susah gampang. Tidak jarang, si Kecil menolak disuapi. Nah, ternyata ada satu trik yang bisa dicoba supaya acara makan lebih menyenangkan. Yuk, kita pelajari yang namanya responsive feeding! Seperti dilansir oleh UNICEF Inggris, responsive feeding terjadi ketika ibu menyusui maupun memberikan makanan berdasarkan respons dari bayinya. Tujuan dari responsive feeding bukan semata-mata demi nutrisi, tapi juga menciptakan kedekatan antara bayi dan ibu. Interaksi ibu dan bayi selama makan baik untuk kesehatan buah hati hingga besar nanti. Seperti disebutkan di jurnal Current Developments in Nutrition, responsive feeding bisa bantu anak punya preferensi makanan dan minuman yang sehat. Plus, anak terbiasa makan secara mandiri sejak kecil.Anak juga terhindar dari berbagai gangguan kesehatan seperti malnutrisi maupun obesitas, karena sejak usia dini sudah bisa mengontrol nafsu makan. <h2>Kapan saatnya memperkenalkan MPASI pada bayi?</h2>Badan Kesehatan Dunia WHO menyebutkan ada empat hal yang perlu diperhatikan saat orangtua mengenalkan MPASI pada buah hatinya: 
<ul><li>Tepat waktu: MPASI diperkenalkan ketika ASI saja tidak cukup dan bayi perlu sumber energi dan gizi lainnya, yaitu saat ia berusia 6 bulan</li><li>	Adekuat: makanan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan energi, protein, dan mikronutrien si Kecil</li><li>	Aman: bahan makanan disimpan, dipersiapkan, dan disajikan dengan cara sehigienis mungkin</li><li>	Diberikan secara responsif: si Kecil diberi makan saat lapar dan berhenti saat ia kenyang. </li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/siapkan-makanan-bayi-6-bulan-tidak-perlu-bingung-ini-tipsnya-1640858869864" target="_blank">Siapkan Makanan Bayi 6 Bulan Tidak Perlu Bingung, Ini Tipsnya!</a>

<h2>Cara terapkan responsive feeding untuk bayi</h2>Sobat Altea mau coba responsive feeding atau pemberian makan secara aktif/responsif saat berikan MPASI buat si Kecil? Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan:<h3>1. Pelajari sinyal laparnya</h3>“Pasti dia lapar, deh. Soalnya nangis.”Eh, tunggu dulu. Bayi menangis, banyak alasannya. Lapar adalah salah satunya. Nah, itu sebabnya orangtua perlu belajar membedakan, tangisan bayi seperti apa yang menandakan dia lapar. Menurut American Academy of Pediatrics, tangisan karena lapar itu biasanya muncul belakangan. Bisa jadi, sebelumnya sudah ada beberapa tanda lain yang diperlihatkan oleh si Kecil, misalnya:<ul><li>	Kepalanya mendekati makan dan membuka mulutnya</li><li>	Terlihat senang saat melihat makanan</li><li>	Matanya fokus mengikuti arah makanan</li></ul><h3>2. Kondisikan untuk makan</h3>Sediakan waktu khusus dan tempat nyaman untuk responsive feeding, biar bayi menikmati aktivitas makannya. Kurangi gangguan agar si Kecil fokus selama makan. Matikan televisi, komputer, tablet, atau gawai selama waktu makan. Ini juga berlaku bagi Ibu atau pengasuh. Jangan sambil telepon atau kirim pesan Whatsapp.<h3>3. Interaksi dua arah</h3>Tatap mata dan ajak bayi bicara selama responsive feeding. Sikap Ibu yang hangat, perhatian, dan penuh kasih sayang selama makan MPASI akan berdampak positif bagi bayi.Ingat, waktu makan tak sebatas untuk makan, namun juga untuk berkomunikasi dengan anak. Kebiasaan ini dapat menguatkan relasi dalam keluarga.<h3>4. Hadapi penolakan</h3>Sulit makan dan menolak makan MPASI sering terjadi pada bayi. Wajar kalau Ibu kesal karena setelah menyiapkan ternyata si Kecil tidak mau makan. Tapi jangan lupa, responsive feeding adalah tentang menciptakan pengalaman makan positif. Coba lakukan ini:<ul><li>	Ajak bicara dengan sabar dan dorong terus bayi untuk makan</li><li>	Tawarkan makanan berkali-kali, terutama untuk jenis makanan yang baru, yang terkadang butuh ditawarkan 10-15 kali supaya dimakan oleh anak</li><li>	Sajikan jenis makanan baru bersama dengan yang disukai si Kecil</li><li>	Hindari berasumsi anak tidak akan suka dengan jenis makanan tertentu. </li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank">Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan</a> 
<h3>5. Tak perlu memaksa makan</h3>Prinsip utama responsive feeding adalah ibu menyediakan makanan, anak memutuskan untuk makan. Anak tahu berapa banyak makanan yang ia butuhkan. Jadi, jika ia tidak mau atau tidak menghabiskan makanannya, jangan ambil kendali. Misalnya, terus menyuapi MPASI ke mulutnya padahal si Kecil sudah memalingkan wajah. Memaksa anak untuk makan dapat mengganggu kemampuan alaminya untuk mengetahui tanda-tanda lapar dan kenyang<h3>6. Tahu sinyal kenyangnya</h3>Tanda-tanda ini umumnya diperlihatkan bayi saat kenyang:<ul><li>	Mengeluarkan makanan dari mulutnya</li><li>	Mulai tidak fokus </li><li>	Menutup mulut sewaktu disuapi</li><li>	Memalingkan kepala saat diberi makan</li><li>	Mulai memainkan makanan di piring</li></ul>Kalau sudah begini, silakan sudahi acara makan dan jangan lupa berikan pujian buat si Kecil. Jangan pernah lelah untuk konsisten melakukan responsive feeding saat memberikan MPASI buat bayi Anda. Bila Sobat Altea butuh saran seputar jenis makanan bergizi untuk si Kecil, coba lakukan telekonsultasi dari rumah dengan dokter spesialis andalan di AlteaCare. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang! 

Sumber: <ul style=""><li style="font-size: 12px;">
UNICEF, UK. (2016). Reponsive feeding: Supporting close and loving relationships.</li><li style="">
Pérez-Escamilla, R., Jimenez, E. Y., &amp; Dewey, K. G. (2021). Responsive Feeding Recommendations: Harmonizing Integration into Dietary Guidelines for Infants and Young Children. Current Developments in Nutrition, 5(6), nzab076. </li><li style="font-size: 12px;">
WHO. Diakses pada Desember 2021. Complementary Feeding</li><li style="font-size: 12px;">
American Academy of Pediatrics. Diakses pada Desember 2021. Responsive Feeding — Set Your Baby Up for Healthy Growth and Development!</li><li style="font-size: 12px;">
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 41 tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang</li><li style="font-size: 12px;">
Ikatan Dokter Indonesia. Diakses pada Desember 2021. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)</li></ul>

Begini Cara Lakukan Responsive Feeding Untuk MPASI Bayi

Sering masukkan tangan ke mulut bukan berarti bayi sudah siap untuk diberi MPASI pertama - AlteaCare | Foto: Envato

Idealnya, bayi mulai dapat makanan pendamping ASI atau MPASI pertama pada usia 6 bulan. Namun, banyak ibu sudah mulai memberikannya saat si Kecil berusia 4 bulan.Alasannya beragam. Bisa karena si Kecil sudah merespons dengan buka mulut ketika sendok didekatkan. Atau ternyata dia bisa memindahkan makanan dari sendok ke mulut. Tapi, baik Kementerian Kesehatan maupun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sepakat, MPASI pertama tetap harus diberikan pada usia 6 bulan. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/menyusui-investasi-terbaik-bagi-si-buah-hati-1639977136588" target="_blank">Menyusui, Investasi Terbaik Bagi si Buah Hati</a> 
<h2>Kenapa tunggu sampai usia 6 bulan?</h2>Karena kebutuhan energi dan nutrisi bayi usia 4-6 bulan masih dapat terpenuhi seluruhnya oleh air susu ibu (ASI). Pemberian MPASI diberikan kalau ASI sudah tidak cukup memenuhi kebutuhan bayi, yaitu ketika ia berusia sekitar 6 bulan. Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 41 tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang, pada usia 6-12 bulan ASI hanya menyediakan separuh atau lebih dari kebutuhan gizi bayi. Sementara pada usia 12-24 bulan, ASI hanya menyediakan sepertiga dari kebutuhan gizinya. Itu sebabnya, MPASI pertama diberikan mulai bayi berusia 6 bulan.Dampak memberikan MPASI terlalu awal pada bayi, yaitu pada usia di bawah 6 bulan adalah:<ul><li>	Menggantikan asupan ASI, sehingga kebutuhan zat gizi bayi sulit terpenuhi</li><li>	Bila makanan yang diberikan berbentuk cair, seperti sup dan bubur encer, kandungan zat gizinya rendah</li><li>	Bayi berisiko terkena penyakit karena kurangnya faktor perlindungan dari ASI</li><li>	Dari sisi higienitas, MPASI tidak sebaik ASI</li><li>	MPASI tidak mudah dicerna seperti ASI dan dapat meningkatkan risiko alergi</li><li>	Ibu pun berisiko untuk hamil lagi jika frekuensi pemberian ASI berkurang</li></ul><h2>5 miskonsepsi terkait dengan pemberian MPASI pada bayi</h2>Hingga kini, di luaran masih banyak mitos maupun miskonsepsi terkait pemberian MPASI pertama. Yuk, kita luruskan miskonsepsi ini: 
<h3>1. Sering masukkan tangan ke mulut berarti siap makan</h3>Perilaku ini sering dianggap tanda bayi lapar. Tapi, lihat dulu. Apakah selain tertarik memasukkan jari ke mulut, si Kecil juga sudah bisa mengunyah dan menelan. Dan, apakah dia sudah bisa duduk dengan posisi leher tegak.Bila belum, bayi belum siap untuk dapat MPASI. Memasukkan tangan ke mulut bisa jadi adalah perkembangan normal, bukan pertanda ingin makan. 
<h3>2. Diblender saja biar halus!</h3>Meski bayi usia 6 bulan belum punya gigi, Ibu tidak perlu bikin MPASI pertama buatnya sampai sehalus mungkin. Cukup lumatkan atau saring halus saja makanannya, Bu! Kalaupun masih ada yang kasar sedikit, tidak masalah. Karena bayi punya refleks untuk mengemut makanannya. 
<h3>3. Makanan bayi rasanya harus hambar</h3>Melansir dari situs IDAI, makanan anak di bawah 1 tahun boleh saja diberikan gula dan garam, namun sesedikit mungkin dan dengan tujuan supaya mau makan.Kalau Ibu mau memulai MPASI si Kecil tanpa tambahan gula dan garam, silakan. Sejalan dengan usia, perkenalkan juga bayi dengan cita rasa lainnya, misalnya dari kaldu dan sedikit bumbu lainnya.<h3>4. Makanan harus dihabiskan</h3>Saat bayi masih beradaptasi dengan MPASI pertama, sebaiknya ibu sabar dan banyak memberikan dorongan. Porsi makan untuk bayi usia 6-9 bulan adalah 3 sendok makan hingga setengah mangkuk ukuran 250ml. Tapi, jangan paksakan kalau bayi tidak sanggup makan sebanyak itu. Lagi pula, pada usia 6-9 bulan bayi masih mendapatkan ASI di samping makanan padat. <h3>5. Ikan dan telur nanti dulu kalau sudah usia setahun</h3>Siapa bilang ikan dan telur tidak boleh jadi menu MPASI si Kecil? Menurut IDAI, sebenarnya tidak ada urutan tertentu dalam pemberian MPASI, misalnya karbohidrat dulu, lalu setelah 3 bulan baru daging. Makanan mengandung karbohidrat, protein (daging, ayam, telur, dan ikan), sayuran, dan buah-buahan bisa diberikan sejak usia 6 bulan. Menunda pemberikan ikan dan telur sampai usia satu tahun ternyata juga tidak berguna untuk mencegah alergi. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/penting-1000-hari-pertama-dalam-tahap-perkembangan-bayi-1632555028546" target="_blank">Penting, 1.000 Hari Pertama Dalam Tahap Perkembangan Bayi</a> 
 
Meskipun bayi sudah mulai makan MPASI pertama, bukan berarti Ibu setop memberikan ASI, ya. Tetap teruskan hingga si Kecil berusia 2 tahun, sebab pemberian ASI bisa menjaga kesehatan dan kekuatannya.Sobat Altea masih belum tahu jenis makanan untuk jadi MPASI pertama sang buah hati? Ayo, konsultasikan dengan dokter spesialis anak. Lakukan telekonsultasi dari rumah saja untuk bertemu dengan dokter andalan di AlteaCare. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare dan booking dokter kesayangan Anda! 
 Sumber:<ul><li>Ikatan Dokter Indonesia. Diakses pada Desember 2021. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)</li><li>Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 41 tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang</li><li>Today's Parent. Diakses pada Desember 2021. Feeding baby: 5 first-food myths</li><li>Ikatan Dokter Indonesia. Diakses pada Desember 2021. Memberi Makan pada Bayi: Kapan, Apa, dan Bagaimana?</li></ul>

Miskonsepsi Ini Bikin Ibu Buru-buru Berikan MPASI Pertama Bayi

Makanan bayi 6 bulan bisa diawali dengan yang lumat dan bertekstur halus - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, Ibu perlu menyiapkan makanan bayi 6 bulan. Misi yang satu ini perlu trik khusus supaya si Kecil suka dan kegiatan makan jadi menyenangkan. Makanan bayi 6 bulan begitu spesial, karena ini adalah makanan padat pertama bayi. Ibu pun perlu pintar mengolah agar makanan tersebut bisa memenuhi kebutuhan nutrisi si Kecil.Manfaat lain yang didapat selama proses pemberian MPASI adalah:<ul><li>bayi belajar cara makan dan mengunyah, serta mengenal macam-macam tekstur dan rasa makanan. </li><li>	kegiatan makan dapat mendukung pertumbuhan rahang dan gigi bayi, yang nantinya akan berkaitan dengan perkembangan bicaranya. </li><li>	orangtua punya momen khusus bersama anak, sehingga relasi keduanya bisa semakin dekat.</li></ul><h2>Tanda-tanda bayi siap makan</h2>Melansir dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), makanan bayi 6 bulan sudah boleh diberikan apabila si kecil sudah memperlihatkan tanda-tanda berikut:<ul><li>	sudah dapat mengangkat kepalanya sendiri hingga posisi leher tegak tanpa bantuan</li><li>	sudah dapat duduk tegak dengan bantuan</li><li>	senang memperhatikan orang makan</li><li>	selalu mencoba meraih makanan orang lain</li><li>	selalu membuka mulut jika disodori sendok atau makanan</li><li>	tetap lapar mesti sudah rutin diberi ASI </li></ul>Sebaiknya ibu tidak gampang terpengaruh saran orang lain, yang sebagian besar didasarkan pada tradisi atau kebiasaan. Misalnya, percaya bahwa bayi sudah berkurang minum ASI sehingga perlu makanan pendamping. Atau, merasa berat badan bayi tidak naik sesuai harapan sehingga perlu ditambah makanan pendamping. Miskonsepsi ini bisa bikin Ibu memutuskan memberikan makanan bayi 6 bulan sebelum waktunya. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/miskonsepsi-ini-bikin-ibu-buru-buru-berikan-mpasi-pertama-bayi-1640923986198" target="_blank">Miskonsepsi Ini Bikin Ibu Buru-buru Berikan MPASI Pertama Bayi</a><h2>Tips menyiapkan makanan pendamping ASI</h2>Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 41 tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang, makanan pendamping ASI berupa makanan padat atau cair diberikan secara bertahap, sesuai usia dan kemampuan pencernaan bayi. Beberapa hal ini perlu jadi perhatian Ibu saat membuat makanan pertama si Kecil: 
<h3>1. Bentuk makanannya</h3>Saat mulai makan, bayi 6 bulan biasanya diberikan makanan lumat. Komposisinya bisa berupa sayuran, daging atau ikan atau telur, tahu atau tempe, serta buah yang dilumatkan atau disaring. Menu makanannya tetap seperti ini sampai si Kecil masuk usia 9 bulan.Contoh menu makanan bayi 6 bulan: tomat saring, pisang lumat halus, pepaya lumat, air jeruk manis, bubur susu, dan bubur ASI. 
<h3>2. Variasi makanan bisa apa saja</h3>Jangan cuma berikan bubur beras saja, Bu! Si Kecil juga boleh merasakan macam-macam makanan lain, selama bentuknya lumat. Mau sayuran dan buah? Boleh banget!Begini triknya variasikan makanan si Kecil:<ul><li>	Kenalkan jenis makanan satu per satu. </li><li>	Tunggu antara tiga hingga lima hari sebelum memberikan jenis makanan baru. Bayi butuh waktu untuk terbiasa pada rasa makanan tersebut.</li><li>	Perkenalkan secara bertahap, sambil amati reaksi bayi terhadap makanan yang diperkenalkan.</li></ul><h3>3. Bahan lokal, yang penting bergizi</h3>Tidak perlu berburu bahan makanan impor demi mencukupi gizi si Kecil. Makanan bayi 6 bulan juga bisa dibuat dari bahan pangan lokal dengan harga terjangkau, seperti ikan gurame, nila, kakap, hingga tahu-tempe.Saat si Kecil berusia 9 bulan, Ibu bahkan bisa modifikasi menu harian dengan dibuat lembik atau disaring kasar. Harapannya, masuk usia 1 tahun dia sudah bisa makan bersama keluarga. Pada saat itu, si Kecil sudah terbiasa dengan rasa makanan rumahan.<h3>4. Garam, gula? Tahan dulu </h3>Mengingat ini kali pertama si Kecil berkenalan dengan makanan padat, biarkan ia mengenal rasa asli makanan. Setelahnya, Ibu boleh saja tambahkan gula atau garam ke makanan bayi 6 bulan, tapi harus sesedikit mungkin. Itu juga dengan tujuan supaya mau makan. Bubuk penyedap buatan? No way. Lebih baik Ibu buat kaldu sendiri saja, ya.<h3>5. Jangan “eksperimen”</h3>Menurut rekomendasi IDAI, jenis makanan ini tidak cocok untuk anak berusia di bawah 1 tahun:<ul><li>	Telur, daging, ikan yang mentah atau setengah matang. Berikan dalam kondisi benar-benar matang.</li><li>	Jus buah</li><li>	Madu (berikan setelah si Kecil berusia 1 tahun)</li><li>	Makanan dengan kadar lemak tinggi, pemanis, dan penyedap rasa tambahan</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/penting-1000-hari-pertama-dalam-tahap-perkembangan-bayi-1632555028546" target="_blank">Penting, 1.000 Hari Pertama Dalam Tahap Perkembangan Bayi</a> 
Nah, sekarang Ibu sudah tahu cara siapkan makanan pertama buat bayi 6 bulan. Selanjutnya, pastikan makanan diberikan sesuai kebutuhannya. Bayi usia 6-9 bulan boleh diberi makanan utama 2-3 kali sehari, ditambah 1-2 kali makanan selingan. Porsi makannya antara 3 sendok makan hingga setengah mangkuk ukuran 250 ml.Bila punya pertanyaan seputar makanan bayi 6 bulan, Sobat Altea bisa coba telekonsultasi lewat video call dengan dokter di AlteaCare. Anda bisa pilih salah satu dari banyak dokter spesialis anak berpengalaman yang ada di AlteaCare. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download</a><a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">&nbsp;</a>sekarang! 
Sumber:<ul style="font-size: 12px;"><li style="">
Raising Children. Diakses pada Desember 2021. Introducing solids: why, when, what and how.</li><li style="">IDAI. Diakses pada Desember 2021. Memberi Makan pada Bayi: Kapan, Apa, dan Bagaimana?.</li><li style="">Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 41 tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang</li><li style="">Mayo Clinic. Diakses pada Desember 2021. Solid foods: How to get your baby started</li><li style="">Ikatan Dokter Indonesia. Diakses pada Desember 2021. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)</li></ul>

Siapkan Makanan Bayi 6 Bulan Tidak Perlu Bingung, Ini Tipsnya!

Memberikan gadget untuk anak harus sesuai usia dan kebutuhannya - AlteaCare | Foto: Envato

Di zaman digital sepertinya sulit kalau Sobat Altea bercita-cita tinggal di rumah yang bebas gadget. Apalagi di masa pandemi ini, semua kegiatan harus dilakukan di rumah saja, mulai dari anak sekolah hingga orangtua yang bekerja. Melihat anak sehari-hari tak lepas dari&nbsp;gadget, tidak sedikit orangtua jadi gemas tapi tak berdaya. “Tantangannya besar saat sekolah online seperti sekarang. Anak selalu pakai gadget. Ketemu teman juga online,” kata Novita Angie, Editor-in-Chief Mother &amp; Beyond.“Di sinilah orangtua harus berperan. Harus ada momen tanpa gadget di rumah, yang disepakati bersama,” katanya saat bicara di acara live streaming AlteaTalk Episode ke-8, 23 Desember 2021 lalu. Episode kali ini mengangkat tema “Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis”.<h2>Seperti apa efek gadget terhadap anak?</h2>Menurut Psikolog Anak Samantha Elsener, terbiasa diberi gadget tanpa diajak berinteraksi oleh orangtua bisa bikin anak usia di bawah 2 tahun mengalami gangguan perilaku. “Perilakunya mirip dengan gangguan spektrum autisme,” katanya.Samantha memaparkan, ganggguan spektrum autisme pada dasarnya memiliki tiga masalah utama. Pertama, gangguan komunikasi. Kedua, gangguan interaksi sosial. Dan terakhir, gangguan perilaku. Sementara bila pada anak berusia 5 tahun, paparan gadget bisa berdampak seperti ini:<ul><li>	Bila digunakan hingga 3 jam sehari: anak akan terlambat dalam perkembangan bahasanya serta rentang atensinya juga terganggu. Anak jadi kurang fokus.</li><li>	Bila digunakan lebih dari 3 jam sehari: anak mengalami gangguan perkembangan bahasa, rentang atensi berkurang, dan hiperaktif. Anak tidak bisa diam dan tidak bisa tenang. </li></ul>“Kenapa bisa demikian? Karena penggunaan gadget berkaitan dengan perubahan di otak. Akibatnya, perkembangan anak, baik motorik, sensorik, maupun kognitifnya terhambat,” jelas Samantha. Pada usia 1-5 tahun, si Kecil diharapkan bisa berkembang pesat. Harus banyak bergerak, banyak berinteraksi dengan sekitarnya. “Sebanyak 95% perkembangan otak anak terjadi pada lima tahun pertama. Sisanya, lima persen, akan maksimal di usia dewasa,” tambah Samantha.<h2>Yuk, jadi orangtua yang proaktif!</h2>Sewaktu gangguan spektrum autisme pertama kali muncul, dunia belum serba digital. Belum ada televisi canggih, smartphone, ataupun internet. “Sampai sekarang pun penyebab autisme masih belum diketahui jelas. Dan, untuk mendeteksi autisme tidak bisa hanya dari satu-dua faktor. Ada ceklisnya.Tapi, penggunaan gadget bisa jadi salah satu faktornya,” urai Samantha. Supaya anak tidak sampai kecanduan, Sobat Altea sebagai orangtua perlu pintar-pintar cari cara mengurangi waktu penggunaan gadget di rumah. Berikut ini adalah tips dari Angie dan Samantha:<h3>1. Jauhkan gadget ketika anak tidur</h3>“Pertama kali memberikan ponsel untuk anak-anak, saya dan suami berikan syarat dan ketentuan. Pertama, orangtua harus tahu password agar bisa memonitor. Kedua, setiap malam semua ponsel harus di-charge di kamar orangtua. Tidak boleh ditaruh di kamar sendiri,” tutur Angie.Tujuannya sederhana. Supaya anak-anak bisa tidur malam tanpa gangguan. <h3>2. Biasakan makan tanpa gadget</h3>Menurut Samantha, anak tidak bisa makan tanpa gadget karena dia sudah dikondisikan demikian. “Dalam pemahaman anak, ada korelasi antara gadget dengan kegiatan makan,” jelasnya.Untuk mengatasinya, anak perlu diberi pengkondisian baru. “Ganti gadget dengan barang yang menarik lain. Korelasinya sama, yaitu mendatangkan rasa senang. Pertama, sandingkan barang itu bersama gadget. Semakin lama, barang tersebut lebih sering muncul. Pelan-pelan, gadget pun dihilangkan. Harus bertahap,” saran Samantha.<h3>3. Perkenalkan aktivitas tanpa gadget</h3>Angie mengaku sering mengajak anak-anaknya melakukan aktivitas yang bebas gadget. “Misalnya jalan-jalan ke luar melihat pepohonan, bermain monopoli bersama, atau nonton film bareng,” katanya. “Ciptakan rumah sebagai tempat menyenangkan, di mana anak bisa bermain tanpa gadget. Kuncinya ada di orangtua yang mau aktif siapkan permainan. Ini juga bagus untuk bonding dengan anak.”<h3>4. Main gadget boleh, tapi….</h3>Menurut Samantha, anak sudah boleh diberi gadget kalau sudah bisa lancar bicara satu kalimat lengkap dan sudah bisa bermain dengan anak lain. “Ini tercapai pada usia sekitar 3-4 tahun, tergantung perkembangan setiap anak. Di bawah 3 tahun, sebaiknya tidak diberi gadget,” katanya. Aturan untuk lama penggunaan gadget juga perlu disesuaikan dengan usianya. Bila si Kecil sampai terlambat bicara karena sudah telanjur terpapar gadget sejak kecil atau sering tantrum saat gadget-nya diambil, sebaiknya minta bantuan ahli. Sobat Altea bisa konsultasi dengan dokter spesialis tumbuh kembang anak maupun psikolog anak. Dengan AlteaCare, Anda bisa jadwalkan telekonsultasi melalui video call dengan dokter ahli supaya bisa dapat rekomendasi dan terapi yang tepat. Yuk, segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare di ponsel Anda!

Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?

Jajanan snack yang manis perlu dibatasi supaya anak sehat - AlteaCare | Foto: Envato

Kalau si Kecil semangat makan, orangtua senang. Tapi kalau semangatnya jajanan snack manis-manis? Tunggu dulu. Ini justru bisa merugikan anak. Sebenarnya, anak cuma butuh gula sekitar 25 gram atau 6 sendok teh setiap hari. Kalau terlalu banyak, misalnya seperti dari jajanan snack yang manis, ia jadi lebih rentan terhadap gangguan kesehatan seperti diabetes dan obesitas. Bukan hanya itu. Asupan gula yang tinggi juga bisa pengaruhi mood dan perilaku anak. Banyaknya gula dalam tubuh bikin si Kecil super energik dan cenderung hiperaktif. Tapi, jangan senang dulu. Sebab setelahnya, insulin akan bereaksi dan menurunkan kadar gula yang melonjak di tubuhnya. Si Kecil pun jadi rewel dan susah fokus, termasuk untuk belajar. Sobat Altea pasti tidak mau buah hatinya kecanduan snack manis. Supaya bisa mengerem, nomor satu yang perlu dikoreksi adalah jajanannya. Berikut ini cara mengurangi kebiasaan jajan si Kecil! 
<h2>Cara agar anak kurangi jajanan snack manis</h2>Empat perubahan ini bisa Anda lakukan supaya anak tidak sampai kecanduan jajanan snack yang manis-manis: <h3>1. Ke warung? Mini market? Nanti dulu</h3>Anda termasuk orangtua yang sering ajak anaknya mampir ke warung atau mini market di dekat rumah? Di satu sisi, mengajak si Kecil berbelanja ada sisi positifnya. Menurut studi, melibatkan anak saat berbelanja bisa mengurangi kebiasaan pilih-pilih makanan. Sebab, mereka bisa melihat langsung apa yang dibeli. Dengan sendirinya, pola makannya pun bisa jadi lebih sehat. Tapi itu kalau belanjanya bahan makanan sehat. Pertanyaannya, kalau ke warung belinya apa, ya? Kalau orangtua terbiasa membelikan snack yang banyak gula, tentu anak akan selalu minta diajak ke sana lagi. Nah, ini yang harus dikurangi. Apalagi, jajanan snack yang sering dikonsumsi si Kecil umumnya adalah makanan olahan yang kurang bergizi, serta tinggi gula dan garam. Setelah makan jajanan, biasanya anak jadi cepat lapar lagi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank">Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan</a><h3>2. Sediakan snack sehat di rumah</h3>Selain dari makanan utama, kebutuhan gizi si Kecil juga berasal dari snack yang dimakan di sela-sela waktu makan. Jadi, sebenarnya menyediakan jajanan buat anak boleh-boleh saja. Pilih yang punya kandungan nutrisi tinggi agar bisa mendukung pertumbuhan anak. Ada beberapa jenis camilan sehat yang bisa disetok di rumah. Contohnya, buah, yogurt, kacang, keju, sereal rendah gula, atau puding. Sobat Altea bisa sediakan lebih dari satu jenis jajanan agar anak terlatih memilih sendiri snack sehat yang disukai.Sementara, jajanan snack manis-manis atau terlalu gurih ini perlu dibatasi: biskuit, permen, donat, kue kering, keripik, dan segala minuman kemasan yang manis.<h3>3. Bikin sendiri saja!</h3>Cari resep jajanan yang sering dimakan si Kecil, lalu ajak dia untuk bikin sendiri di rumah. Studi menyebutkan, melibatkan anak saat menyiapkan makanan bisa membuatnya lebih tahu soal bahan makanan dan kandungan gizinya. Ini bisa jadi momen pas buat orangtua buat mengajarinya soal makanan sehat.Memasak bersama orangtua juga pasti bakal jadi pengalaman seru buat si Kecil. Anda pun jadi punya kesempatan untuk bonding dengan anak. Jadwalkan secara berkala biar anak tambah semangat! Beberapa jenis jajanan snack yang bisa dikreasikan di rumah adalah pancake, waffle, croffle, donat, soft cookies, puding, es loli, es krim, sampai churros. <h3>4. Mau jajan? Sarapan dulu, yuk!</h3>Membiasakan anak sarapan tidak sebatas agar ia punya energi yang cukup untuk belajar dan beraktivitas. Sarapan juga bisa mengurangi kemungkinan anak jajan di luar rumah. Termasuk membeli jajanan yang tidak higienis, berkadar gula tinggi, dan mengandung zat-zat berbahaya seperti formalin, boraks, rhodamin B, dan sebagainya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-hobi-makan-kebiasaan-ini-bisa-bikin-anak-gemuk-1639050424026" target="_blank">Selain Hobi Makan, Kebiasaan Ini Bisa Bikin Anak Gemuk</a> 
Mengubah kebiasaan jajan anak tidak mudah dan butuh waktu. Orangtua harus rajin-rajin kasih “pesan sponsor” setiap kali menemani anak jajan. Juga, tidak lelah menawarkan pilihan yang lebih sehat. Selain itu, orangtua juga perlu jadi teladan buat si Kecil.Bila kebiasaan&nbsp;beli jajanan snack bikin anak jadi malas makan atau malah jadi semakin gemuk, sebaiknya jangan dibiarkan. Anda bisa diskusi dengan dokter spesialis anak untuk mendapat saran untuk mengatasi kebiasaan makan tidak sehat anak. Coba lakukan telekonsultasi&nbsp;via video call dari rumah pakai AlteaCare. Ajak si Kecil ikut sesi konsultasi. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare di ponsel Anda! 

 Sumber:<ul><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Desember 2021. What to Do When Your Child Eats Too Much Sugar.</li><li>Washington Post. Diakses pada Desember 2021. How to teach your kids about sugar.</li><li>Healthy Children. Diakses pada Desember 2021. Choosing Healthy Snacks for Kids.</li><li>National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. Diakses pada Desember 2021.</li><li>Helping Your Child: Tips for Parents and Other Caregivers.</li><li>Badan POM RI. Diakses pada Desember 2021. Pedoman Pangan Jajanan Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang </li><li>Julia Broad, Laura Forbes, Gerarda Darlington, David W.L. Ma, and Jess Haines. Child involvement in meal preparation and grocery shopping is associated with lower levels of food fussiness among young children. Applied Physiology, Nutrition, and Metabolism. 46(12): 1559-1562.</li></ul>

Tips Cegah Anak Kecanduan Jajanan Snack Manis

Ketika ibu menyusui, ibu menjalin kontak emosional dengan buah hati - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea baru melahirkan? Selamat, ya! Setelah persalinan, Anda pasti dapat pesan supaya memberikan ASI eksklusif. Bisa jadi, Anda malah sudah mantap bulat mau jadi ibu menyusui sejak masih hamil.Menurut anjuran Kementerian Kesehatan, sebaiknya ibu menyusui bayi secara eksklusif. Tidak perlu diberi makanan atau minuman lainnya dan minimum selama 6 bulan penuh. Setelah 6 bulan, jangan berhenti. ASI harus jalan terus sampai si kecil berusia 2 tahun. Sebab, ASI adalah makanan terbaik bagi bayi yang tidak dapat tergantikan oleh asupan apa pun.Memberikan ASI eksklusif mendukung si Kecil tumbuh dan berkembang secara optimal, serta mudah tidak sakit. Aktivitas menyusui juga bisa eratkan ikatan emosional antara ibu dan anak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/menyusui-investasi-terbaik-bagi-si-buah-hati-1639977136588" target="_blank">Menyusui, Investasi Terbaik Bagi Si Buah Hati</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/menyusui-investasi-terbaik-bagi-si-buah-hati-1639977136588" target="_blank"> 
</a><h2>Manfaat menyusui bagi ibu</h2>Menjadi ibu menyusui adalah pengalaman membahagiakan. Ternyata, ini bukan sekadar perasaan saja. Ada juga peranan dari duet maut hormon ini: <ul><li>Hormon prolaktin memberikan sensasi rasa damai, sehingga Anda bisa rileks dan fokus pada bayi</li><li>	Hormon oksitosin alias hormon cinta yang menumbuhkan kedekatan antara ibu dan bayi</li></ul>Berikut ini adalah manfaat pemberian ASI eksklusif lainnya buat kesehatan ibu:<h3>1. Sehat secara fisik</h3>Menyusui bayi secara eksklusif memberikan sejumlah manfaat berikut:<ul><li>	Berat badan ibu lebih cepat turun meskipun ibu makan banyak selama menyusui</li><li>	Menstimulasi rahim untuk berkontraksi dan kembali ke ukuran semula</li><li>	Mengurangi perdarahan pasca bersalin</li><li>	Menurunkan risiko infeksi salurah kemih</li><li>	Mengurangi terjadinya anemia</li></ul>Tak hanya itu, ibu menyusui juga lebih rendah risikonya mengalami gangguan penyakit kronis seperti:<ul><li>	Kanker payudara</li><li>
	Kanker ovarium</li><li>
	Gangguan autoimun seperti rheumatoid arthritis dan lupus</li><li>
	Endometriosis</li><li>
	Osteoporosis</li><li>
	Diabetes</li><li>
	Hipertensi</li><li>
	Penyakit jantung</li></ul><h3>2. Sehat secara emosional</h3>Memberikan ASI juga baik untuk kesehatan mental, lho! Ini dia yang bisa ibu dapatkan: 
<ul><li>Menumbuhkan perasaan positif. Produksi duo hormon bisa meredakan stres. Suasana hati lebih positif dan ibu jadi lebih percaya diri. Menurut riset, ibu yang menyusui lebih jarang merasa cemas dibandingkan ibu yang memberikan susu formula.</li><li>Menurunkan risiko depresi pasca persalinan (postpartum depression). Menurut studi, menyusui secara eksklusif selama lebih dari 3 bulan bisa turunkan risiko depresi. Ini adalah hasil pengamatan mulai trimester ketiga kehamilan hingga tiga bulan pasca melahirkan. Penurunan risikonya dianggap signifikan bila dibandingkan dengan ibu yang memberikan ASI selama kurang dari 3 bulan.</li><li>Mempererat ikatan ibu dan bayi. Ibu menyusui cenderung lebih sensitif terhadap kebutuhan bayinya. Riset memaparkan, ibu yang menyusui cenderung lebih sering menyentuh dan melakukan kontak mata dengan bayinya. Sementara rasa aman yang dirasakan bayi bisa memupuk rasa percayanya. Ia pun cenderung lebih tenang dan tidak gampang menangis.</li></ul>
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a><h2>Yuk, siapkan diri berikan ASI eksklusif!</h2>Beberapa hal berikut bisa jadi bekal persiapan ibu:<ul><li>	Sejak hamil, sampaikan rencana mau menyusui pada dokter. Dokter akan memberi panduannya dan akan membantu bila Anda punya kondisi kesehatan tertentu yang membutuhkan konsumsi obat secara rutin. Misalnya, menganjurkan jenis obat lain yang tidak mengganggu program menyusui.</li><li>	Buat jadwal dengan konsultan laktasi, yang akan mengajarkan ibu menyusui dengan benar dan membantu jika mengalami kesulitan dalam menyusui.</li><li>	Perkaya wawasan seputar menyusui. Ikuti kelas, pelatihan, maupun seminar yang berkaitan dengan menyusui. Bergabung juga dengan komunitas ibu menyusui supaya Anda bisa curhat dengan sesama ibu.</li><li>	Lakukan inisiasi menyusui dini (IMD). Dilakukan dalam waktu 30 menit hingga 1 jam setelah bayi lahir, tujuan IMD adalah menciptakan kontak kulit antara ibu dan bayi, dan bayi dapat menerima kolostrum dari ibu. Kolostrum adalah ASI yang keluar pertama dan berwarna kekuningan, yang mengandung banyak antibodi penting buat bayi. </li></ul>Memberikan ASI dalam dua tahun pertama kehidupan bayi sepintas terlihat melelahkan, namun ini bisa jadi perjalanan tak terlupakan bagi ibu menyusui maupun bayinya. Sobat Altea yang ingin dapat kiat-kiat menyusui&nbsp;juga bisa lakukan telekonsultasi via video call dengan konsultan laktasi AlteaCare agar lebih praktis dan privat. Yuk, langsung <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang! 
Sumber:<ul><li>Kementerian Komunikasi dan Informatikan RI. Diakses pada Desember 2021. Berikan ASI untuk Tumbuh Kembang Optimal</li><li>Healthy Children. Diakses pada Desember 2021. Benefits of Breastfeeding for Mom</li><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Desember 2021. The Benefits of Breastfeeding for Baby &amp; for Mom</li><li>Krol, K. M., &amp; Grossmann, T. (2018). Psychological effects of breastfeeding on children and mothers. Psychologische Effekte des Stillens auf Kinder und Mütter. Bundesgesundheitsblatt, Gesundheitsforschung, Gesundheitsschutz, 61(8), 977–985</li><li>WebMD. Diakses pada Desember 2021. Breastfeeding</li><li>Infodatin: Situasi dan Analisis ASI Eksklusif (2014). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI</li></ul>

Inilah Manfaat Yang Didapat Bila Ibu Menyusui

ASI eksklusif punya banyak manfaat buat ibu dan bayi - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea yang sedang hamil atau baru memiliki bayi, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk sang buah hati. Dan, hal terbaik yang bisa diberikan pada hari-hari pertama kehidupan bayi tidak lain adalah air susu ibu atau ASI.Pemerintah maupun dokter kerap menganjurkan para ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif minimal selama enam bulan pertama dan hingga usia 2 tahun. Tapi, tetap saja masih banyak ibu yang ragu-ragu. Tapi, masih saja ada ibu yang ragu untuk memberi ASI eksklusif. Seringkali hambatan yang dialami berakar pada ketidaktahuan ibu baru akan manajemen ASI yang benar. Hal ini diungkap oleh dr. Maharani Bayu, M.I.Kom., IBCLC, Sp. Rad, Konsultan Laktasi dari RS Mitra Keluarga Bintaro.Bersama Adisty Titania dari the Asian Parent, AlteaTalk Episode 7 kali ini mengangkat tema “InvestASI Terbaik Bagi Si Buah Hati” dan membahas seputar tips pemberian ASI yang benar.<h2>Kunci utama dalam menyusui</h2>Banyak ibu kurang percaya diri untuk menyusui bayinya dan mudah menyerah ketika dalam beberapa hari pertama belum bisa memberikan ASI secara optimal. “Ketika ASI hanya keluar beberapa tetes, rasanya khawatir. Belum lagi pihak keluarga yang lantas menganjurkan untuk memberikan susu formula,” tutur Adisty. Menurut dr. Maharani, periode 3-13 hari pertama setelah bayi lahir sangat krusial bagi perkembangannya nanti. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan saat mulai menyusui bayi.<h3>1. Adanya kontak skin-to-skin antara ibu dan bayi</h3>Kontak antara kulit ibu dan bayi perlu diupayakan sejak awal melahirkan dan tidak boleh diabaikan. “Kalaupun ASI belum keluar, tidak masalah. Yang penting ada kontak dengan bayi,” kata dr. Maharani. “Lakukan benar-benar kulit ke kulit, buka baju bayi di bagian dada, lalu tempelkan ke dada ibu yang tidak mengenakan bra. Lalu, baru tutupi badan ibu dan bayi dengan kain,” jelasnya lagi.Menurut dr. Maharani, kontak&nbsp;skin-to-skin dapat membantu menstabilkan suhu tubuh bayi. Selain itu, kontak kulit juga membuat proses latch atau perlekatan bayi ke payudara lebih mudah. Kontak&nbsp;skin-to-skin dapat merangsang hormon pada ibu, sehingga membantuk proses pemulihan serta rasa sakit setelah melahirkan. <h3>2. Perlekatan (latch) yang benar</h3>Posisi perlekatan yang benar adalah bayi menghadap ke arah ibu. Perut bayi menempel ke perut ibu, kemudian saat menyusu seluruh atau sebagian areola (area kehitaman di payudara) masuk ke dalam mulut bayi. 
“Kalau bayi tidak melekat dengan benar, umumnya mulut bayi hanya menempel di puting payudara ibu. Saat menyusu terdengar suara berdecap-decap,” kata dr. Maharani. Ini bisa membuat banyak udara masuk ke mulut, sehingga bayi lebih banyak gumoh dan kembung. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank"> 
</a><h3>3. Pemberian ASI yang tepat</h3>Pada bayi baru lahir, ASI dapat diberikan setiap 1,5-2 jam sekali. Ibu perlu proaktif dalam pemberian ASI secara teratur dan cukup. Pada dasarnya, menurut dr. Maharani, produksi ASI akan mengikuti kebutuhan bayi. Pada hari-hari pertama, mungkin bayi memang masih sedikit minum karena ukuran lambungnya juga masih kecil. Sejalan dengan waktu, kebutuhannya akan meningkat. Jika pada hari-hari pertama ASI ibu belum keluar, tidak perlu khawatir karena alaminya bayi dilahirkan dengan cadangan lemak, sehingga bisa bertahan hingga 72 jam pertama meski ibu belum dapat memberikan ASI. “Namun, ibu tetap harus berusaha untuk memberikan ASI. Lakukan kontak skin-to-skin, minimum 30 menit setiap 2 jam sekali. Atau, posisikan bayi dengan metode kanguru. Semua ini harus diusahakan dalam kurun waktu 1-14 hari pertama agar selanjutnya lancar,” kata dr. Maharani. 
<h2>Bagaimana mengusir rasa khawatir tidak bisa menyusui?</h2>Agar ibu bisa lebih siap menyusui, dr. Maharani memberikan sejumlah tips untuk dipraktikkan:<ul><li>Semangat dalam menyusui. Ibu terlebih dulu harus sepakat bahwa ASI adalah investasi yang terbaik untuk sang buah hati. </li><li>Bekali diri dengan informasi yang tepat. Banyaknya informasi dari luar yang tidak dapat diolah dan disimpulkan sering menjadi penghalang dalam menyusui.</li><li>Mintalah dukungan dari keluarga. “Ibu ASI pada dasarnya tidak bisa berjuang sendiri. Jadi, sangat membutuhkan dukungan pasangan dan keluarga dekat,” kata dr. Maharani. </li><li>Upayakan manajemen ASI yang benar pada hari-hari pertama bayi. Mulai dari kontak skin-to-skin, perlekatan yang benar, hingga pemberian ASI sesuai kebutuhan bayi.</li></ul>Bila ada masalah dalam pemberian ASI bagi bayi, jangan ragu berkonsultasi dengan konsultan laktasi. Sobat Altea bisa melakukan telekonsultasi dengan dr. Maharani melalui AlteaCare untuk bertanya seputar kiat menyusui. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang juga!

Menyusui, Investasi Terbaik Bagi Si Buah Hati

Sajikan camilan sehat saat anak sekolah online agar tidak mudah gemuk - AlteaCare | Foto: Envato

Masalah badan gemuk dan obesitas bukan cuma dialami orang dewasa. WHO mencatat, jumlah anak dan remaja usia 5–19 tahun di dunia yang mengalami kegemukan dan obesitas mencapai lebih dari 340 juta pada 2016. Sementara Kementerian Kesehatan menyebutkan, sebanyak 18,8% anak usia 5–12 tahun kelebihan berat badan dan 10,8% mengalami obesitas.Data ini mengkhawatirkan, mengingat berat badan berlebih atau gemuk sering menjadi faktor pemicu beberapa penyakit, seperti gangguan jantung, stroke, diabetes, radang sendi, hingga kanker.Kondisi kegemukan yang dialami anak cenderung bertahan hingga dewasa. Mengalami kelebihan berat badan juga membuat anak lebih berisiko terhadap berbagai penyakit sejak usia muda, seperti diabetes dan gangguan kardiovaskular. Ini bisa berpengaruh pada prestasi belajar, karena si Kecil jadi sering tidak masuk sekolah akibat sering sakit.Tak hanya itu, kondisi tubuh seperti ini juga berdampak buruk terhadap aspek psikologis, kehidupan sosial, percaya diri, dan emosional anak. 
<h2>Kebiasaan yang bikin anak jadi gemuk</h2>Pengaruh gaya hidup di masa modern ini ternyata turut memengaruhi semakin bertambahnya jumlah anak yang kelebihan berat badan. Beberapa hal ini bisa bikin anak mudah gemuk:<h3>1. Sering makan junk food</h3>Anak butuh beragam nutrisi dalam jumlah tertentu untuk mendukung pertumbuhannya. Junk food umumnya mengandung kalori kosong. Artinya, makanan itu hanya mengenyangkan, tetapi tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan. Si Kecil juga berisiko jadi makin kegemukan bila ia juga jarang makan buah dan sayuran yang kaya vitamin, mineral, dan serat.Tips: Jika Sobat Altea tidak mau anak jadi overweight, beri contoh pola makan yang baik. Sebab, kalau orang tua sering makan junk food, anak pun akan meniru. Begitu pula bila Anda suka jajan makanan dan minuman kekinian, seperti roti, donat, minuman dengan bobba, dan sebagainya.<h3>2. Sekolah online</h3>Pembelajaran jarak jauh juga bisa bikin anak makin gemuk. Akibat pandemi, semua pembelajaran dilakukan secara online dan sejumlah aktivitas fisik yang biasa dilakukan di sekolah, seperti bermain, berolahraga, atau ekstra kurikuler, tidak lagi bisa dilakukan. Anak jadi makin jarang bergerak dan lebih banyak duduk sambil belajar menggunakan gadget.Tips: Jadwalkan waktu beraktivitas fisik untuk anak. Misalnya, mengajaknya ke taman kota atau bersepeda bersama setelah sekolah selesai. Jangan lupa ingatkan si Kecil untuk taat protokol kesehatan dan menjaga jarak selama di luar rumah, ya.<h3>3. Bosan di rumah terus</h3>Rasa bosan akibat harus banyak beraktivitas di dalam rumah bisa membuat anak stres, kemudian melampiaskannya dengan banyak mengonsumsi makanan cepat saji yang tinggi kalori dan gula. Ini bisa bikin mereka lebih berisiko untuk jadi gemuk dan obesitas.Tips: Ajak si Kecil siapkan makanan bersama di rumah. Libatkan dalam menentukan menu makanan sambil ajari mereka seputar kandungan nutrisi yang sehat dalam bahan makanan. Anak terhindar dari rasa bosan sekaligus lebih sadar soal pentingnya menyantap makanan sehat.<h3>4. Sering main gadget</h3>Penelitian membuktikan, kebiasaan main gadget dapat menyebabkan obesitas pada anak dan remaja. Selama pandemi, penggunaan gadget pada anak dilaporkan meningkat hingga lima jam sehari dibandingkan sebelum pandemi. Anak menggunakan gadget untuk main game, menonton video, dan tayangan lain di platform online. Anak pun makin sering ngemil sehingga jadi semakin gemuk.Tips: Sulit untuk membatasi waktu penggunaan gadget karena anak sekarang juga mengaksesnya untuk belajar. American Academy of Pediatrics kini menganjurkan orangtua untuk menetapkan waktu khusus untuk mematikan semua gadget dan alat elektronik. Bisa setiap hari atau seminggu sekali. Luangkan waktu berkualitas bersama keluarga, sehingga si Kecil terlepas dari kebiasaan bermain sambil ngemil. <h3>5. Sering begadang</h3>Anak usia 6–12 tahun umumnya membutuhkan waktu tidur antara 9–12 jam per hari. Bila kebutuhan itu tidak dipenuhi, anak bisa mengalami gangguan kesehatan. Kurang tidur pada anak dapat meningkatkan level insulin dan sensitivitas terhadap insulin. Akibatnya, tubuhnya tidak dapat memproses insulin dan gula dengan baik sehingga bisa bikin gemuk.Tips: Pastikan si Kecil tidur secara teratur dan tidak kekurangan tidur setiap harinya. Kondisikan ruang kamarnya senyaman mungkin agar ia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bukan-cuma-mendengkur-kenali-6-jenis-gangguan-tidur-1637567080166" target="_blank">Bukan Cuma Mendengkur, Kenali 6 Jenis Gangguan Tidur</a>Orangtua punya peran sangat penting dalam mencegah kegemukan dan obesitas pada anak. Bila Sobat Altea cemas akan kondisi anak yang semakin gemuk dan memiliki pola makan kurang sehat, coba konsultasi dari rumah saja dengan dokter spesialis di AlteaCare. Medical Advisor akan membantu mengarahkan Anda pada dokter yang tepat dan berpengalaman. Yuk, langsung <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare di ponsel Anda! 


Sumber:<ul><li>WHO. Diakses pada November 2021. Obesity and overweight. </li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2021. Epidemi Obesitas.</li><li>Sahoo, K., Sahoo., B., Choudhury, A., Sofi, N., Kumar, R. &amp; Bhadoria, S. (2015). Childhood obesity: causes and consequences. Journal of Family Medicine and Primary Care 4(2), 187–192.</li><li>Browne, N. T., Snethen, J. A., Greenberg, C. S., Frenn, M., Kilanowski, J. F., Gance-Cleveland, B., Burke, P. J., &amp; Lewandowski, L. (2021). When Pandemics Collide: The Impact of COVID-19 on Childhood Obesity. Journal of Pediatric Nursing, 56, 90–98. </li><li>Cuschieri, S. &amp; Grech, S. (2020). COVID-19: a one-way ticket to a global childhood obesity crisis?. Journal of Diabetes and Metabollic Disorders 19(2), 2027–2030.</li><li>Robinson, T., Banda, J., Hale, L., Lu, A., Fleming-Milici, F., Calvert, S. &amp; Wartella, E. (2017). Screen Media Exposure and Obesity in Children and Adolescents. Pediatrics 140 (Supplement_2), S97–S101.</li><li>Very Well Family. Diakses pada Desember 2021. How Much Should You Limit Kids' Screen Time and Electronics Use?</li><li>Healthy Children. Diakses pada November 2021. Healthy Sleep Habits: How Many Hours Does Your Child Need?</li><li>Healthline. Diakses pada Desember 2021. Late Bedtime Linked to Obesity in Children. Here's What Parents Can Do</li></ul>

Selain Hobi Makan, Kebiasaan Ini Bisa Bikin Anak Gemuk

Faktor alergi terhadap susu sapi dapat jadi penyebab bayi menangis karena kolik - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika bayi kesayangan menangis tanpa alasan yang jelas, secara instingtif Anda sebagai orangtua akan memeriksa kondisinya. Bila si Kecil sehat-sehat saja—tidak demam, tidak diare, bahkan popoknya pun masih kering—Anda dapat mengira dia hanya sedang rewel saja. 

 

Namun jika bayi yang sehat bisa menangis berjam-jam setiap hari dan ini berlangsung selama berhari-hari, sebenarnya si Kecil bisa jadi mengalami kolik. Kolik adalah kondisi yang dialami oleh bayi baru lahir antara usia 2 minggu hingga 4 bulan. <h2>Apa bedanya bayi menangis karena rewel atau kolik? </h2>Bayi yang rewel biasanya bisa segera ditenangkan setelah digendong atau dielus-elus punggungnya. 

 

Namun, kolik pada bayi bisa membuatnya menangis tiada henti dan sulit dibujuk. Saat bayi menangis, Anda bisa perhatikan kalau kedua tangan dan kakinya terangkat ke atas, lalu tangannya mengepal. Wajahnya pun dapat kemerahan seperti sedang kesakitan. 

 

Gangguan kolik membuat si Kecil jadi punya jadwal menangis. Setiap hari, kira-kira pada waktu yang sama, dia akan menangis. Terkadang, akibat banyak udara yang masuk ke mulutnya saat menangis, si Kecil akan berhenti menangis setelah bayi kentut atau buang air besar.<h2>Penyebab kolik pada bayi bisa multifaktor </h2>Para ahli masih belum menemukan penyebab pastinya, namun ada banyak faktor yang bisa membuat bayi menangis karena kolik. Jika si Kecil tidak mendapat ASI dan mengonsumsi susu formula, posisi saat minum susu botol yang kurang tepat dapat menimbulkan kolik. 

 

Selain itu, ada juga teori yang menyebutkan, salah satu yang bisa menyebabkan kolik adalah ketika bayi mendapatkan stimulasi otak yang berlebihan. Ini bisa terjadi ketika bayi terlalu lelah setelah bermain bersama Ibu atau Ayah, atau karena ketakutan atau terkejut. 

 

Beberapa teori lain mengaitkan gangguan pada pencernaan dengan keluhan kolik pada bayi. Antara lain adalah refluks asam lambung, alergi susu sapi, maupun intoleransi laktosa. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bayi-menangis-karena-kolik-penyebab-dan-cara-mengatasinya-1633051239197" target="_blank">Bayi Menangis Karena Kolik: Penyebab dan Cara Mengatasinya</a> <h2>Gangguan pencernaan yang bisa berkaitan dengan kolik </h2>Beberapa gangguan pencernaan yang bisa sebabkan bayi mengalami kolik adalah sebagai berikut: <h3 style="margin-left: 30px;">1. Refluks asam lambung </h3>Seperti dilansir dari situs Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), refluks asam lambung dapat dialami bayi karena katup antara kerongkongan dan lambungnya belum berfungsi sempurna. Waktu pengosongan lambung pun masih lamban. 

 

Saat lambung terisi susu, katup tetap terbuka sehingga mudah terjadi aliran balik dari lambung ke kerongkongan. Dan, jika cukup banyak, aliran balik ini bisa keluar melalui mulut, seperti yang sehari-hari kita kenal dengan istilah gumoh. Ketika asam lambung ini mengenai selaput lendir kerongkongan, akan terjadi iritasi dan menimbulkan rasa sakit. Inilah yang membuat bayi menangis. 

 

Sementara itu paparan ahli yang dimuat di jurnal Australian Prescriber menyebutkan, refluks asam lambung memang sering berkaitan dengan kolik pada bayi, yang membuat bayi rewel dan menangis. Namun, belum ada studi yang benar-benar memperlihatkan kaitan antara refluks asam lambung dengan kejadian menangis pada bayi berusia kurang dari 3 bulan. Apalagi bila tidak ada keluhan seperti muntah biasa, muntah darah, atau pertambahan berat badan yang rendah.Solusi: Bila refluks asam lambung membuat bayi menangis, trik manjur untuk cegah kolik adalah memerhatikan posisi kepala si Kecil saat menyusu. Seperti disarankan di situs IDAI, bayi yang baru saja minum susu sebaiknya dipancing untuk sendawa dulu. Jangan langsung ditidurkan. Namun, bila si Kecil sudah telanjur tertidur, baringkan dengan posisi kepala agak tinggi, sekitar 30-45 derajat. <h3 style="margin-left: 30px;">2. Alergi terhadap protein susu sapi</h3>Sejumlah penelitian lawas yang dimuat di jurnal Pediatrics menyebutkan bahwa kolik pada bayi dapat berkaitan dengan alergi terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Pada bayi yang masih mendapatkan ASI, pemicu alergi dapat berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh sang Ibu saat menyusui. 

 

Menurut Australian Prescriber, faktor alergi protein susu sapi dapat jadi penyebab bayi menangis atau rewel, hanya 5% saja yang berkaitan dengan kolik. 

 

Orangtua boleh curiga bahwa kolik pada bayi mereka berkaitan dengan alergi protein susu sapi, apabila selain keluhan menangis juga ada masalah saat pemberian ASI atau susu formula. Misalnya, bayi mengalami muntah, diare, serta gangguan pada kulit yang terkait dengan alergi. Dan, keluhan ini hilang setelah Ibu berhenti mengonsumsi susu sapi maupun turunannya. Solusi: Bila ada dugaan alergi, sebaiknya ibu yang masih menyusui tidak mengonsumsi susu sapi maupun produk olahannya. Misalnya, yogurt, mentega, keju, atau makanan lain yang mengandung susu. Sementara bila bayi minum susu formula, cobalah beralih ke produk susu formula hipoalergenik sementara waktu.<h3 style="margin-left: 30px;">3. Intoleransi laktosa </h3>Menurut IDAI dalam situsnya, gejala yang sering menyertai intoleransi laktosa pada bayi kolik adalah sering buang air besar, dengan feses encer berbau asam, kulit di sekitar bokong yang kemerahan, serta perut kembung dan berbunyi kerocok. 

 

Intoleransi laktosa yang berhubungan dengan kolik pada bayi dapat terkait perkembangan organ pencernaan yang belum sempurna. Kadar enzim laktase dalam ususnya yang belum optimal membuat laktosa tidak dapat dicerna dengan baik. 

 

Selain itu, asupan laktosa susu yang berlebihan atau terlalu tinggi juga bisa menyebabkan intoleransi laktosa. Kondisi ini biasanya disebabkan waktu menyusui bayi yang sebentar-sebentar, sehingga yang diterimanya adalah ASI dengan kandungan laktosa tinggi. Solusi: Perbaiki cara pemberian ASI dengan memastikan bayi menyusu lebih lama. Sesuai anjuran IDAI, bayi sebaiknya menyusu selama 15 menit. Pada lima menit pertama ASI mengandung laktosa tinggi, lalu pada lima menit kedua kandungan gizinya seimbang. Pada lima menit terakhir, bayi mendapatkan kandungan lemak tinggi sehingga ia kenyang dan berhenti menyusu. 

 

Untuk mencegah kolik pada bayi yang minum susu formula, dianjurkan untuk sementara waktu beralih pada produk yang bebas laktosa. 

 

Anda merasa tidak yakin apakah si Kecil mengalami kolik? Atau tidak tahu apakah kolik adalah penyebab bayi menangis atau murni karena gangguan pencernaan? Tidak ada salahnya untuk segera hubungi dokter.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/penting-1000-hari-pertama-dalam-tahap-perkembangan-bayi-1632555028546" target="_blank">Penting, 1.000 Hari Pertama Dalam Tahap Perkembangan Bayi</a>Sekarang, konsultasi dari rumah saja bisa dilakukan dengan mudah dengan AlteaCare. Melalui fitur video call, Anda bisa terhubung dengan dokter anak berpengalaman yang sudah bergabung di AlteaCare. Dokter akan memeriksa kondisi si Kecil dengan saksama, kemudian memberikan saran yang diperlukan. Yuk, langsung download AlteaCare di ponsel Anda! 

 

Sumber: <ul><li>

Family Doctor. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

Pediatrics in Review. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Kolik Pada Bayi (Bagian 2) </li><li>

Australian Prescriber. Diakses pada 2021. Infantile Colic </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Kolik Pada Bayi (Bagian 1) </li></ul>

Gangguan Pencernaan Ini Bisa Berkaitan Dengan Kolik 

Melihat bayi kecilnya yang sedang kolik, takkan ada yang tega. Baik orangtua, anggota keluarga lain, hingga dokter dan perawat. Semua pasti ingin si Kecil segera sehat kembali. 

 

Segala jalan akan ditempuh orangtua agar tidak perlu lagi bayi menangis semalam-malaman. Yang mungkin kurang disadari, dalam perjalanan menuju kesembuhan bukan hanya bayi yang perlu jadi perhatian. Orangtua pun terkadang sampai habis-habisan berjuang dan kelelahan. 

 

Sejumlah penelitan banyak menyoroti betapa beratnya beban yang dialami oleh orangtua saat bayinya terkena kolik. Perlu diingat, kolik adalah gangguan kesehatan tidak dapat sembuh dalam 1-2 hari. Bayi menangis pun tidak sebentar. 

 

Menurut standar yang dibuat American Academy of Pediatrics, kolik pada bayi berkaitan dengan kondisi menangis lebih dari tiga jam sehari, lebih dari tiga hari per minggu, selama total 3 minggu. Meski menangis terus-menerus dan sulit dibujuk untuk tenang, bayi sebenarnya dalam kondisi sehat.<h2>Bagaimana orangtua menghadapi bayi yang kolik? </h2>Sangat penting bagi para orangtua untuk memahami bahwa kolik adalah kondisi yang kerap dialami oleh bayi baru lahir. Diperlukan strategi yang tepat dalam menghadapi kondisi ini. Untuk itu, orangtua perlu memupuk keyakinan dan percaya diri. Sebab, semakin berat gejala yang dialami sang bayi, semakin besar juga dukungan yang dibutuhkan oleh Ibu dan Ayah. 

 

Kolik menjadi pelik karena penyebab yang jelas masih belum ditemukan. Berbagai faktor dapat berperan, mulai dari sistem pencernaan dan saraf bayi yang belum berkembang sempurna, hingga stimulasi yang berlebihan. Selain itu, faktor alergi terhadap susu sapi maupun intoleransi laktosa juga dapat berpengaruh. 

 

Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/gangguan-pencernaan-ini-bisa-berkaitan-dengan-kolik-1632986943890" target="_blank"> Gangguan Pencernaan Ini Bisa Berkaitan Dengan Kolik</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/gangguan-pencernaan-ini-bisa-berkaitan-dengan-kolik-1632986943890" target="_blank"> </a>

 Peranan orangtua amat menentukan dalam mengatasi gangguan kolik pada bayi. Dalam pemaparan ahli pada jurnal Australian Prescriber terdapat sejumlah langkah yang dapat secara efektif mengatasi bayi menangis akibat kolik. 

 

Beberapa langkah yang dapat dilakukan orangtua untuk mengatasi kolik adalah:<h3>1. Sebisanya hindari penggunaan obat </h3>Beberapa jenis obat dapat membantu mengatasi kolik dan keluhan bayi menangis, tetapi punya efek samping yang kurang baik. Itu sebabnya, obat-obatan tersebut tidak direkomendasikan untuk bayi di bawah 6 bulan. 

 

Jenis obat yang sering diberikan untuk mengatasi kolik adalah simethicone. Penggunaan obat ini bertujuan untuk mengurangi keluhan perut kembung atau rasa tidak nyaman akibat adanya gas berlebihan. Namun hasil penelitian memperlihatkan obat jenis ini ternyata tidak efektif untuk mengatasi kolik pada bayi. <h3>2. Pilih pendekatan yang lebih alami seperti probiotik </h3>Penelitian yang dimuat di jurnal American Family Physician memperlihatkan manfaat probiotik jenis lactobacillus reuteri (strain DSM 17938) dalam meredakan gejala kolik. Probiotik jenis L. reuteri DSM 17938 direkomendasikan sebagai salah satu alternatif terapi yang efektif untuk bayi yang mengonsumsi ASI. 

 

Sayangnya, probiotik ini tidak disarankan untuk bayi yang minum susu formula. Pada penelitian yang lebih baru, yang dimuat di jurnal Pediatrics, disebutkan bahwa penyebabnya adalah komposisi mikrobiota usus yang berbeda antara bayi yang mengonsumsi ASI dan susu formula. 

 

Komposisi mikrobiota usus pada bayi yang mendapatkan ASI lebih didominasi oleh bifidobacteria. Sementara bayi yang mengonsumsi susu formula memiliki mikrobiota usus yang lebih beragam. 

 

Para ahli menduga, uniknya komposisi ASI turut berperan pada efektivitas pemberian probiotik pada bayi. Sementara itu, beberapa jenis kandungan dalam susu formula justru dapat mengurangi efektivitas probiotik. <h3>3. Mengubah pola makan </h3>Menurut jurnal Pediatrics in Review, salah satu cara mengurangi keluhan bayi kolik adalah dengan menghilangkan beberapa jenis makanan tertentu dalam menu makanan ibu menyusui. Kendati demikian, kiat ini belum efektif untuk mengatasi semua keluhan kolik pada bayi. 

 

Cara ini tidak ada salahnya untuk dicoba. Terutama bila bayi mengalami masalah dalam pemberian ASI atau susu formula dan sering muntah. Ditambah lagi bila si Kecil juga sulit bertambah berat badannya, lalu dalam keluarga ada riwayat alergi. 

 

Ibu yang sedang sedang menyusui perlu mempertimbangkan menu makanan yang bebas dari produk olahan susu. Atau, memilih susu formula yang hipoalergenik, demikian dilansir di jurnal Australian Prescriber. Bila strategi ini berhasil menghilangkan kolik pada bayi, lanjutkan. <h3>4. Dapatkan dukungan emosional </h3>Sebenarnya, yang juga perlu dikhawatirkan saat bayi mengalami kolik adalah orangtuanya. Bayi yang mengalami kolik akan dapat sembuh bila orangtua tetap berpikiran positif dan optimis dalam mencari solusi. 

 

Namun, kolik pada bayi dapat berdampak pada orangtua, terutama sang Ibu. Beberapa penelitian menemukan adanya kaitan antara kolik dengan sejumlah masalah ini: <ul><li>

Ibu berisiko lebih tinggi mengalami depresi pasca persalinan </li><li>

Ibu dapat menghentikan pemberian ASI pada bayi </li><li>

Orangtua dapat diliputi rasa bersalah, sangat lelah, marah, atau frustasi karena tidak bisa menenangkan si Kecil </li></ul>

 Stres akibat tidak bisa menenangkan bayi menangis terus-menerus terkadang bisa membuat orangtua tanpa sadar mengayun atau menimang bayi terlalu keras. Ini dapat membuat tubuh bayi baru lahir yang masih ringkih jadi terguncang, sehingga kesehatannya pun dapat terganggu. 

 

Dukungan dari orang sekitar sangat penting untuk menjaga kesehatan mental dan emosional orangtua, terutama ibu yang sedang menyusui. Dukungan dapat berupa: <ul><li>

Memberi sugesti atau menanamkan keyakinan pada orangtua bahwa kolik adalah kondisi dapat hilang sejalan dengan waktu. Dan, bayinya normal dan sehat, meski sering menangis. </li><li>

Mendengarkan ketika orangtua berkeluh kesah tentang masalah serta kekhawatirannya, juga perasaan marah, frustrasi, atau lelah yang dialaminya. </li><li>

Mendorong orangtua untuk berkonsultasi dengan ahli profesional, yang akan membekali orangtua dengan sejumlah strategi untuk tetap tenang saat harus menangani keluhan kolik pada bayi. </li><li>

Mengingatkan orangtua untuk tidak melupakan kesehatannya sendiri. </li><li>

Membantu dalam mengasuh bayi, misalnya memberi susu botol, menggendong saat menangis, dan menjaganya saat tidur. Kesempatan ini bisa digunakan orangtua untuk sejenak beristirahat. </li></ul>

 Bila Anda termasuk salah satu orangtua yang sedang resah karena bayi menangis terus-menerus akibat kolik, jangan ragu untuk hubungi ahli yang profesional di bidangnya. 

 

Segeralah berkonsultasi bila si Kecil mengalami keluhan seperti demam, lesu atau tidur terus-menerus. Selain itu, perutnya terlihat kembung dan bila diraba terasa tegang dan keras. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/bu-begini-cara-mengatasi-anak-susah-makan-1632553230924" target="_blank">Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan</a>

 

Konsultasi dari rumah saja menggunakan AlteaCare dapat menghubungkan Anda dengan dokter spesialis anak maupun psikolog berpengalaman. Fitur video call memungkinkan dokter atau psikolog untuk melihat langsung kondisi Anda maupun si Kecil, serta memberikan rujukan maupun saran. 

 

Segera download AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a> dan nikmati kemudahan berkonsultasi dari rumah. Semoga si Kecil segera sehat! 

 

 Sumber: <ul><li>

American Family Physician. Diakses pada 2021. Infantile Colic </li><li>

Pediatrics. Diakses pada 2021. Lactobacillus reuteri to Treat Infant Colic </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

Pediatrics in Review. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

Australian Prescriber. Diakses pada 2021. Infantile Colic </li></ul>

Peran Penting Orangtua Dalam Tangani Bayi Kolik 

Kolik tidak akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak di kemudian hari - AlteaCare | Foto: Freepik

Kehadiran bayi kecil yang baru lahir pasti menambah kebahagiaan orangtua dan seluruh keluarga. Namun, ketika sang bayi menangis tiada henti, rasa cemas mungkin muncul di hati Ibu dan Ayah. 

 

Penyebabnya langsung dicari, tapi tidak ditemukan. Demam tidak, lapar tidak, popoknya juga baru diganti. Bahkan kondisi di kamar pun tidak membuatnya kegerahan. Lantas, ada apa? 

 

Menangis terus-menerus tanpa alasan yang jelas dan tidak bisa dibujuk untuk lekas tenang sering terjadi pada bayi baru lahir. Kondisi ini disebut juga dengan istilah kolik. Terkadang, bayi bisa tenang setelah dibujuk, tapi tidak lama kembali menangis. Dan, ini bisa terjadi sepanjang malam.<h2>Kapan bayi bisa disebut mengalami kolik? </h2>Sebagian orangtua mungkin tidak bisa membedakan antara bayi yang sedang rewel dan mengalami kolik. Merujuk pada the American Academy of Pediatrics, kolik adalah kondisi ketika bayi menangis padahal berada dalam kondisi sehat, dengan durasi: <ul><li>

Lebih dari tiga jam sehari, </li><li>

Lebih dari tiga hari dalam seminggu, </li><li>

Selama total 3 (tiga) minggu. </li></ul>

Sebenarnya, Ibu dan Ayah tidak perlu terlalu khawatir karena kondisi ini dialami oleh 10-40% bayi di seluruh dunia. Artinya, kolik pada bayi lazim terjadi dan mungkin dialami juga oleh bayi Anda.&nbsp;Dalam situs Ikatan Dokter Anak Indonesia disebutkan bahwa bayi mengalami kolik antara usia 2 minggu hingga 4 bulan, Itu sebabnya, dokter sering menyebutnya sindrom 4 bulan. 

 

Yang perlu diketahui kolik yang dialami oleh bayi baru lahir tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin maupun urutan kelahiran (anak sulung, tengah, atau bungsu). Selain itu, baik anak yang mendapat ASI ataupun minum susu formula sama-sama dapat mengalami kolik. Kejadian ini juga tidak akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak di kemudian hari. <h2>Ciri-ciri bayi menangis akibat kolik </h2>Secara detail, tanda-tanda yang diperlihatkan saat bayi mengalami kolik adalah: <ul><li>Bayi menangis tanpa alasan yang jelas. </li><li>

Setiap hari akan menangis pada waktu yang kira-kira sama. Misalnya, menjelang waktu tidur di malam hari. </li><li>

Saat menangis, kedua kaki dan tangannya terangkat ke atas perut dan tangannya mengepal. </li><li>

Wajahnya tampak kemerahan dan orangtua dapat mengira dia menangis karena kesakitan. </li></ul>



Saat menangis, banyak udara masuk lewat mulut si Kecil sehingga perutnya mungkin jadi kembung. Tangisannya mungkin akan reda setelah bayi kentut atau buang air besar. <h2>Penyebab kolik pada bayi </h2>Hingga kini, masih belum diketahui dengan pasti apa yang dapat menyebabkan kolik pada bayi. 

 

Beberapa teori yang sudah ada terkait dengan penyebab kolik adalah sebagai berikut: <ul><li>Sistem pencernaan dan sistem saraf yang sedang bertumbuh, sehingga dapat menyebabkan tegang pada dinding perut bayi. </li><li>

Penyebab kolik adalah faktor hormon yang membuat si Kecil jadi rewel atau sakit perut. </li><li>

Kolik juga dapat berhubungan dengan stimulasi berlebihan, sehingga dapat membuat bayi ketakutan, frustrasi, atau kelewat bersemangat. </li><li>

Gangguan kesehatan lain dapat membuat bayi menangis seperti sedang kolik. Contohnya infeksi, gangguan pencernaan, peradangan, hingga adanya cedera pada tulang, otot, maupun jemarinya.</li></ul>



 Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/gangguan-pencernaan-ini-bisa-berkaitan-dengan-kolik-1632986943890" target="_blank">Gangguan pencernaan ini bisa berkaitan dengan kolik</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/gangguan-pencernaan-ini-bisa-berkaitan-dengan-kolik-1632986943890" target="_blank"> </a>

Orangtua perlu cermati apabila sebenarnya ada kondisi lain yang membuat si Kecil tampak seperti mengalami kolik. Misalnya, dia makan terlalu sedikit atau terlalu banyak, ataupun sensitif terhadap kandungan yang ada dalam susu formula. 

 

Sementara bila bayi masih menyusui, kandungan nutrisi dalam ASI tidak pernah menyebabkan alergi dan merupakan nutrisi terbaik untuk bayi. Namun, kandungan makanan yang Ibu santap selama menyusui itulah yang mungkin kurang cocok dengan bayi. <h2>Cara mengatasi bayi kolik </h2>Kolik adalah gangguan yang sifatnya sementara dan tidak akan menimbulkan dampak yang berkelanjutan pada kesehatan bayi. Namun, orangtua perlu memiliki pemahaman yang baik, agar dapat tetap tenang ketika bayi mengalami kolik. 

 

Beberapa tips singkat yang dapat membantu orangtua mengatasi bayi kolik adalah sebagai berikut: <ol><li>Periksa kondisi si Kecil. Bayi menangis bukan karena sedang lapar, tidak nyaman akibat popok belum diganti, atau karena gangguan kesehatan lain, misalnya demam. </li><li>Bila ibu masih menyusui bayi: </li></ol><ul><li style="margin-left: 10px;">Perhatikan apa yang Ibu makan atau minum, karena ini dapat disalurkan ke bayi melalui ASI</li><li style="margin-left: 10px;">Hindari jenis makanan atau minuman yang dapat menstimulasi si Kecil maupun memicu reaksi alergi</li><li style="margin-left: 10px;">Bila sedang mengonsumsi obat, tanyakan pada dokter apakah kandungan obat tersebut dapat jadi penyebab kolik pada bayi.</li></ul>3. Bila si Kecil minum susu formula:<ul><li style="margin-left: 10px;">Coba ganti merek susu formulanya. Ada kemungkinan bayi sensitif terhadap kandungan protein dari susu formula tersebut</li><li style="margin-left: 10px;">
Berikan susu sedikit-sedikit namun lebih sering</li><li style="margin-left: 10px;">
Perhatikan lubang pada dot yang digunakan si Kecil, jika terlalu besar bayi akan cenderung minum lebih cepat dan terlalu banyak. Ganti dengan dot berlubang lebih kecil agar waktu pemberian susu bisa lebih lama</li><li style="margin-left: 10px;">
Berikan susu formula dalam kondisi hangat sesuai suhu tubuhnya. Saat memberikan susu, posisikan kepala si Kecil sedikit lebih tinggi</li></ul>4. Bila memungkinkan, gendong bayi dalam posisi agak tegak dan menempel ke dada, lalu usap-usap punggungnya agar tenang. 5. Hal penting lain yang bisa dilakukan orangtua untuk mengatasi kolik adalah bersikap tenang. Ciptakan suasana damai di kamar dengan menyanyikan lagu untuk si Kecil. Atau, putar lagu yang lembut dan ayun si Kecil pelan-pelan seiring irama lagu.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/peran-penting-orangtua-dalam-tangani-bayi-kolik-1633006804771" target="_blank">Peran Penting Orangtua Dalam Tangani Bayi Kolik</a> 

 

Bila kolik yang membuat bayi menangis ini membuat Anda resah atau disertai dengan gejala lain seperti demam, muntah, atau diare, segera hubungi dokter. Anda bisa lakukan konsultasi dari rumah saja dengan menggunakan AlteaCare. Dampingan dari medical advisor dan fitur video call memungkinkan dokter melihat kondisi si Kecil dengan lebih saksama. 

 Ayo, segera unduh AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, lalu buat jadwal dengan dokter spesialis anak andalan! 

 

Sumber: <ul><li>

Pediatrics in Review. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

American Family Physician. Diakses pada 2021. Infantile Colic </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Kolik Pada Bayi (Bagian 1) </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Colic in Babies </li><li>

Family Doctor. Diakses pada 2021. Colic </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Colic </li></ul>

Bayi Menangis Karena Kolik: Penyebab dan Cara Mengatasinya 

Imunisasi bayi sangat penting dalam perkembangannya - AlteaCare | Foto: Envato

Pernah dengan istilah periode emas tumbuh kembang bayi? Ternyata, faktor kecerdasan dan kesehatan tidak dimulai saat bayi baru lahir, namun harus dipersiapkan jauh sebelumnya. Yaitu, sejak ibu mulai mengandung. 

 

Seluruh proses yang terjadi mulai saat kehamilan, kelahiran, sampai bayi berusia 2 tahun amat penting bagi perkembangan bayi dan masa depannya. Sebab, dalam periode inilah terjadi otak bayi berkembang dengan sangat pesat, sehingga dapat mendukung pertumbuhannya secara sempurna. 

 

Lalu, apa saja yang harus dilakukan dalam kurun waktu 1.000 hari pertama ini? Secara garis besar, kesehatan ibu dan bayi, baik selama masa kehamilan maupun setelah bayi lahir, harus jadi fokus utama. Berikut ini adalah berbagai hal yang penting yang harus diperhatikan:&nbsp;<h2>1. Menjaga kesehatan ibu selama hamil </h2>Saat berada dalam kandungan, bayi mengalami perkembangan otak yang sangat pesat. Dari hanya seukuran biji kopi ketika usia kehamilan 5 bulan, otak bayi kemudian semakin bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Sehingga ketika lahir, otak bayi sudah memiliki bentuk yang struktur yang lengkap. 

 

Supaya perkembangan bayi, terutama otaknya dapat berlangsung optimal selama di kandungan, ibu hamil memerlukan sejumlah nutrisi yang penting. Antara lain adalah protein, asam lemak tidak jenuh ganda, zat besi, zink, folat, serta vitamin B6 dan B12. 

 

Suplemen zat besi dan asam folat dapat membantu mencegah anemia selama kehamilan dan bayi dapat lahir dalam kondisi sehat, memiliki berat badan yang normal, serta mengalami proses tumbuh kembang yang baik. Selain itu, konsumsi garam beryodium dapat mencegah terjadinya keguguran serta gangguan perkembangan otak pada janin dalam kandungan. 

 

Lakukan ini: <ul><li>

Pastikan Ibu mendapat asupan nutrisi yang seimbang dan juga tambahan suplemen dan vitamin selama masa kehamilan. </li><li>

Periksa kehamilan secara rutin untuk memantau kondisi kesehatan ibu dan bayi.</li></ul><h2>2. Melakukan inisiasi menyusui dini segera setelah bayi lahir </h2>Segera setelah sang buah hati lahir, sebaiknya Ibu langsung memberikan ASI. Inisiasi menyusui dini (IMD), yaitu tindakan memberikan ASI dalam waktu 30 menit hingga 1 jam setelah bayi dilahirkan, sangat direkomendasikan agar perkembangan bayi optimal. 

 

Inisiasi menyusui dini masuk dalam salah satu standar emas dalam strategi Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Di samping itu adalah pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI (MP-ASI), dan melanjutkan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih. 

 

Seperti dilansir oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan RI, ada beberapa tujuan dari IMD. Antara lain adalah mengurangi perdarahan dan terjadinya anemia pada ibu setelah melahirkan. Selain itu, pada saat IMD bayi akan menelan bakteri baik dari kulit ibu, yang akan membentuk koloni di kulit dan usus bayi sebagai perlindungan diri. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a><h2>3. Memberikan ASI eksklusif untuk bayi </h2>Pada masa-masa awal perkembangan bayi setelah lahir ke dunia, penting sekali bagi orangtua untuk memastikan si Kecil mendapatkan asupan nutrisi yang baik. Tidak ada cara yang paling baik selain melalui pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif. 

 

Kolostrum, yaitu air susu pertama yang berwarna kekuningan dan kental dan dikeluarkan ibu pada hari-hari pertama masa menyusui, dapat melindungi si Kecil dari infeksi. 

 

Sedangkan pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan dapat mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi bayi Anda. Sejumlah penelitian menyebutkan, zat kekebalan dalam ASI dapat melindungi bayi dan anak dari berbagai penyakit infeksi seperti diare. Selain itu, ASI juga dapat menurunkan kemungkinan bayi terkena infeksi telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. 

 

Studi yang dimuat di jurnal PLOS ONE ikut menambahkan daftar manfaat ASI bagi perkembangan bayi. Menurut temuan ahli, pemberian ASI pada bayi dalam bulan pertama dapat berpengaruh terhadap kecerdasan anak pada usia 24 bulan. Hal ini berkaitan dengan kandungan karbohidrat oligosaccharide yang terdapat dalam ASI. 

 

Lakukan ini: Para ibu sebaiknya memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama usia bayi. Yang dimaksud dengan ASI eksklusif adalah tanpa disertai pemberian makanan atau minuman lain, termasuk air putih. <h2>4. Menyiapkan makanan bergizi pendamping ASI </h2>Setelah si Kecil berusia 6 bulan, ASI hanya dapat memenuhi 2/3 kecukupan gizinya. Untuk itu, orangtua perlu memberikan makanan pendamping atau tambahan. 

 

Jenis makanan pendamping untuk si Kecil dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan usianya. Mulai dari makanan yang lunak, agak padat, dan akhirnya padat. Saat mulai memperkenalkan MP-ASI pada bayi, pemberian ASI harus tetap dilanjutkan. 

 

Seiring dengan perkembangan bayi, orangtua juga perlu menyajikan lebih banyak variasi makanan yang sehat dan bergizi. Sertai dengan mengajarkan pola hidup sehat, seperti mencuci tangan dan menjaga kebersihan. 

 

Lakukan ini: Siapkan makanan pendamping ASI untuk bayi sesuai dengan kriteria berikut: <ul><li>

Tepat waktu: diberikan saat kebutuhan energi dan gizi bayi melebihi yang dapat diberikan oleh ASI. </li><li>

Kandungannya lengkap: di dalam makanan harus terdapat cukup energi, protein, dan zat gizi mikro lainnya. </li><li>Aman: Makanan disiapkan dan disimpan secara higienis sebelum akhirnya diberikan pada bayi. </li><li>

Diberikan secara tepat: disesuaikan dengan nafsu makan dan tanda lapar yang diperlihatkan oleh bayi. Frekuensi dan cara pemberiannya pun disesuaikan dengan usia si Kecil. </li></ul>

<h2>5. Memantau kesehatan dan memastikan imunisasi yang lengkap</h2>Hal yang tidak boleh terlupakan dalam tahap perkembangan bayi adalah pemeriksaan kesehatan secara rutin dan program imunisasi. Saat berkonsultasi, Anda bisa menyampaikan hal-hal terkait kesehatan si Kecil dan dokter dapat memberikan berbagai saran terkait tumbuh kembangnya. 

 

Pemberian imunisasi yang lengkap juga penting supaya si Kecil terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya, serta mencegah penularan ke saudara kandung maupun orang terdekat lainnya. Pada kunjungan pertama ke dokter, Anda biasanya akan mendapatkan kartu atau buku berisi jadwal imunisasi dasar. Pastikan bayi mendapatkan imunisasi tepat waktu dan sesuai usianya. 

 

Lakukan ini: Untuk mendapatkan layanan imunisasi rutin untuk anak tanpa harus berlama-lama di ruang tunggu, Anda bisa coba layanan imunisasi drive thru.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/tak-perlu-marah-marah-begini-cara-atasi-anak-yang-tantrum-1632363564733" target="_blank">Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum</a>Layanan ini memungkinkan si Kecil mendapatkan imunisasi sesuai jadwal, tanpa harus datang ke rumah sakit. Imunisasi bisa dilakukan di dalam kendaraan dan setelahnya bayi bisa segera pulang ke rumah. 

 

Bila Anda tinggal di Jakarta, layanan imunisasi drive thru dapat dilakukan dengan aplikasi AlteaCare. Caranya, daftarkan anak untuk telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare. Lalu, sampaikan bahwa si Kecil akan melakukan imunisasi drive thru pada Medical Advisor. Setelah melakukan telekonsultasi, Anda bisa membuat jadwal untuk imunisasi, kemudian tinggal datang ke lokasi yang ditentukan. 

 

Mudah dan praktis, kan! Yuk segera unduh AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore </a>atau <a href=" https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore! </a> 

 

Sumber: <ul><li>

UNICEF. Diakses pada 2021. The first 1,000 days of life: The brain’s window of opportunity </li><li>

UNICEF India. Diakses pada 2021. Nutrition: The First Two Years Are Forever </li><li>

Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Begini Cara Pemberian ASI yang Benar </li><li>

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Situasi dan Analisis ASI Eksklusif </li><li>

PLOS ONE. Diakses pada 2021. Human milk oligosaccharide 2’-fucosyllactose links feedings at 1 month to cognitive development at 24 months in infants of normal and overweight mothers </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Imunisasi penting untuk mencegah penyakit berbahaya </li></ul>

Penting, 1.000 Hari Pertama Dalam Tahap Perkembangan Bayi 

Salah satu kondisi anak susah makan yakni terlalu banyak memilih makanan - AlteaCare | Foto: Envato

Melihat anak aktif bermain setiap hari, tentu membuat hati orangtuanya senang. Tapi, ketika waktu makan tiba, orangtua kerap harus putar otak mencari cara mengatasi anak susah makan. Soalnya, si Kecil sering melakukan gerakan tutup mulut alias menolak saat disuapi. 

 

Anak susah makan adalah masalah klasik yang sering dialami oleh banyak orangtua. Butuh perjuangan sendiri bagi Ibu untuk memastikan ada makanan yang masuk ke dalam mulut si Kecil. Dengan begitu, si Kecil bisa dapat asupan nutrisi yang cukup untuk tubuhnya, supaya bisa mengimbangi energi yang dikeluarkan saat beraktivitas. 

 

Beberapa keluhan kerap dilontarkan oleh orangtua mengalami kesulitan sewaktu memberi makan anaknya. Mulai dari mogok makan, pilih-pilih makan, hanya mau makanan yang itu-itu saja, hingga takut pada jenis makanan tertentu. 

 

Perilaku anak yang sulit makan juga kerap bikin orangtua gemas. Ada anak yang malah main-main dengan makanannya, bukannya memakannya. Atau berlari ke sana-sini sehingga Ibu harus mengejar untuk menyuapinya. Waktu makan jadi semakin lama, akhirnya si Kecil pun terkadang hanya makan sedikit atau tidak sama sekali. <h2>Berbagai kondisi yang membuat anak susah makan</h2>Ada beberapa kondisi yang melatari kenapa anak susah makan. Kondisi ini dapat membantu para orangtua dalam mencari tahu cara mengatasi anak susah makan. 

 

 Secara umum, aksi menolak makan yang dilakukan oleh si Kecil bisa dikarenakan tiga hal ini: <h3 style="margin-left: 30px;">1. Tidak nafsu makan </h3>Apa Anda termasuk yang dibikin pusing karena si Kecil seperti tidak pernah lapar dan hanya sibuk bermain? 

 

Kondisi ini sering dialami ketika anak berusia antara 6 bulan hingga 3 tahun. Pada masa ini, buah hati Anda mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI, kemudian dilanjutkan dengan makanan lunak dan padat. 

 

Namun, perlu diingat bahwa masa ini adalah waktunya si Kecil mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Dia tidak lagi berfokus pada makanan atau ASI seperti waktu usianya lebih kecil. Itu sebabnya, ketika Ibu mengajaknya makan sementara si Kecil sedang sibuk bermain, dia pun menolak. <h3 style="margin-left: 30px;">2. Pilih-pilih jenis makanan</h3>Sebagian anak bisa punya indra perasa dan penciuman yang lebih sensitif daripada anak lain, sehingga akan menolak beberapa jenis makanan tentu. Terutama, jenis makanan dengan rasa, tekstur, atau aroma tertentu. 

 

Mereka langsung menampik sayur-sayuran yang memilih bau khas seperti brokoli. Atau, ketika mencium aroma makanan tertentu mereka seperti mau muntah. Sebagian anak cenderung lebih suka jenis makanan yang garing, ambil contoh saja kerupuk atau kulit ayam goreng. Sementara mereka cenderung menolak makanan yang berkuah seperti sop. 

 

Cara penyajian makan di piring, seperti dibentuk seperti wajah atau diberi hiasan, dapat menjadi salah satu cara mengatasi anak susah makan. Kalau kelihatan menarik, mereka mau makan. Dan, kalau jenis makanannya sesuai dengan selera, mereka akan makan banyak. Masalahnya, tidak semua yang disukainya itu adalah makanan yang bergizi. Akibatnya, si Kecil bisa kekurangan gizi.<h3 style="margin-left: 30px;">3. Takut makan </h3>Anak susah makan juga bisa karena trauma terhadap kegiatan makan. Misalnya, si Kecil pernah tersedak ketika makan. Atau, mengalami muntah-muntah setelah menyantap makanan tertentu. 

 

Anak yang pernah mengalami kejadian tidak nyaman terkait kegiatan makan ini biasanya akan menolak makan. Reaksi pertama yang diperlihatkan saat melihat piring makanan atau didudukkan di kursi untuk makan adalah stres dan takut. Bila Ibu memaksa menyuapkan, makanan tersebut akan ditahan di dalam mulut dan tidak dikunyah. 

 

Bila masih minum susu botol, ada anak yang lebih memilih minum susu dan tidak mau makanan padat. Sementara itu, ada juga yang benar-benar menolak makanan padat dan susu botol, tapi mau minum apabila susu botol diberikan saat dia tertidur. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-cara-mengatasi-bayi-susah-bab-1632368483455" target="_blank">4 Cara Mengatasi Bayi Susah BAB</a><h2>Cara mengatasi anak susah makan </h2>Setelah membaca seputar jenis gangguan susah makan, orangtua dapat mengetahui kondisi yang dialami oleh si Kecil dan memikirkan solusinya. Terkadang, orangtua perlu mengerahkan kreativitas dalam mencari cara mengatasi anak susah makan. 

 

Nah, beberapa hal berikut ini bisa jadi pegangan buat Ibu dan Ayah: <ul><li>Buat jadwal makan untuk si Kecil, yang terdiri dari tiga kali makan besar dan diselingi pemberian camilan. Atur jarak pemberian makanan sekitar 3 jam. Ini dapat membantu membangun siklus lapar dan kenyang, sehingga anak akan makan cukup saat waktunya makan. </li><li>Berikan jenis makanan yang sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan makannya. Untuk anak yang masih kecil, Anda bisa memberikan dalam potongan-potongan kecil supaya mudah dikunyah dan ditelan. </li><li>

Untuk anak yang sering tidak nafsu makan, biarkan dia terlebih dulu melihat makanannya. Sekitar 15 menit kemudian, baru ajak dia makan. Batasi waktu makan maksimal sekitar 20-30 menit saja. Bila anak tidak mau makan atau tidak habis, angkat atau simpan piring makannya. Hindari menawari si Kecil makan snack atau minum jus sebagai pengganti makanan yang tidak habis. </li><li>

Cara mengatasi anak susah makan bila usianya sudah agak besar adalah dengan mendorong dia makan sendiri. Anda bisa membuatnya lebih semangat dengan menyiapkan sendok khusus untuknya. Siapkan juga kursi yang sesuai dengan ukuran badan si Kecil agar bisa makan dengan nyaman. </li><li>

Bila Ibu ingin memperkenalkan jenis makanan baru, berikan sedikit demi sedikit dan tawarkan sekitar 5-15 kali. Kalau dia masih belum mau mencoba, tidak perlu dipaksa. </li><li>

Untuk si Picky Eater, selain penyajian makanan orangtua juga perlu pintar-pintar menata makanan, supaya tak langsung kelihatan. Misalnya, masukkan potongan sayuran di dalam nasi atau tutupi dengan saus yang disukainya. </li><li>

Saat makan jauhkan si Kecil dari hal-hal yang bisa mengganggu, seperti televisi, ponsel, game, mainan, atau buku. </li><li>

Cara mengatasi anak susah makan akibat trauma bisa dengan menciptakan suasana makan yang tenang. Ibu bisa membuatnya nyaman dengan memperlihatkan sikap yang tenang saat membantunya makan. Ini dapat mengurangi rasa takutnya. </li></ul>



 

 

 Masalah anak susah makan perlu segera diatasi agar si Kecil dapat bertumbuh kembang secara optimal. Kesulitan makan yang dialaminya dapat membuat berat badannya turun dan ia pun dapat kekurangan gizi. Pada akhirnya, aktivitas sehari-hari anak dan keluarga pun akan terdampak. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a> 

 

Bila Anda mengalami masalah dalam memberi makan si Kecil, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare. Dengan telekonsultasi melalui panggilan video dari rumah saja, Anda bisa menyampaikan keluhan yang dialami dan mendapatkan solusi cara mengatasi anak susah makan dari dokter yang berpengalaman. Segera unduh aplikasi AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, daftarkan diri, lalu pilih jadwal konsultasi yang diinginkan! 

 

Sumber: <ul><li>

The Royal Children's Hospital Melbourne. Diakses pada 2021. What is a feeding difficulty? </li><li>

Korean Journal of Pediatrics. Diakses pada 2021. How to approach feeding difficulties in young children </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Penanganan Kesulitan Makan (Feeding Difficulty) pada Si Kecil </li><li>

Golisano Children's Hospital, Developmental and Behavioral Pediatrics. Diakses pada 2021. Feeding Disorders </li></ul>

Bu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan 

Pneumonia pada anak lebih sering disebabkan oleh virus terutama virus RSV - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika si Kecil demam dan batuk-batuk, banyak orangtua berpikir ini tanda-tanda dia kena flu. Nanti juga akan sembuh sendiri. Atau, orangtua yang sigap langsung memberi anaknya obat flu. Tapi ternyata batuk yang dialami tidak kunjung berhenti, malah semakin hebat. Bisa jadi, batuk-batuk itu bukanlah karena flu melainkan pneumonia. 

 

Pneumonia adalah salah satu gangguan kesehatan yang sering dialami oleh anak-anak. Data dari badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, sekitar 15% balita di dunia meninggal akibat pneumonia pada 2017. Gangguan pneumonia yang sering juga disebut paru-paru basah ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur. Pneumonia pada anak lebih sering disebabkan oleh virus, terutama oleh respiratory syncytial virus (RSV) atau virus RSV. Sementara jenis bakteri penyebab pneumonia yang paling sering dialami anak, terutama bayi usia 1-3 bulan, adalah streptococcus pneumoniae.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-penting-seputar-flu-singapura-yang-dialami-anak-1630833934992" target="_blank">4 Fakta Penting Seputar Flu Singapura yang Dialami Anak</a> 

 

Selain itu, bakteri lainnya yang sering jadi penyebab pneumonia adalah haemophilus influenzae tipe b (Hib). Virus lain seperti virus corona, yang menjadi salah satu sumber pandemi terbesar di dunia, juga dapat menyebabkan pneumonia. 

 

Sekarang ini sudah ada banyak pengobatan untuk mengatasi gejala pneumonia, termasuk pada anak. Namun, untuk melindungi kesehatan si Kecil, para orangtua perlu melakukan pencegahan. Salah satunya dengan mengenali gejala khas gangguan kesehatan yang satu ini. 

 

Sehari-hari, banyak orangtua yang keliru mengartikan keluhan yang dialami anak. Gejala pneumonia sering dianggap sama seperti tanda-tanda batuk, pilek, atau flu biasa. Coba baca penjelasan ini supaya tidak salah lagi, ya. <h2>1. Awalnya kelihatan seperti batuk </h2>Gejala pneumonia pada anak dapat dilihat berdasarkan usia. Pada bayi baru lahir, tanda-tanda yang sering terlihat adalah rewel dan sulit makan. Napasnya cepat dan terlihat ada tarikan di dada disertai rintihan. Ini dikarenakan si Kecil mengalami kekurangan oksigen (hipoksik). 

 

Sementara bila si Kecil sudah berusia di atas 1 bulan, keluhan batuk umum terlihat. Pada anak-anak yang lebih besar serta remaja, batuk bisa berdahak atau tidak berdahak, disertai dengan demam, nyeri pada dada, dehidrasi, bahkan lemas. 

 

Orangtua dapat mengamati gangguan pernapasan yang terlihat pada anak dengan mencoba menghitung berapa kali dia mengambil napas dalam satu menit. Panduan standar yang diberikan oleh WHO adalah: <ul><li>Anak berusia di bawah 2 bulan: 60 kali atau lebih</li><li>Anak berusia 2-12 bulan: 50 kali atau lebih</li><li>Anak berusia 1-5 tahun: 40 kali atau lebih</li></ul><h2>2. Mengalami demam </h2>Ketika si Kecil sedang flu, keluhan yang dirasakan adalan demam, badan lemas, disertai batuk kering. Sepintas, ini mirip dengan yang dialami ketika si Kecil terkena pneumonia. Pneumonia pada anak juga dapat membuat si Kecil demam dan cenderung lemas. 

 

Tetapi, ada beberapa perbedaan penting yang perlu jadi pegangan orangtua saat memantau kondisi anak: <ul><li>Flu biasanya muncul tiba-tiba, akibat paparan virus pada saluran penapasan atas. Sementara, pneumonia adalah gangguan infeksi yang muncul setelah paru-paru dipenuhi oleh cairan dalam kurun waktu tertentu.</li><li>Keluhan flu dapat disertai dengan sakit kepala atau nyeri pada tubuh. Sementara gejala pneumonia banyak terfokus pada masalah pernapasan. Seperti batuk, terasa sakit sewaktu menarik napas, dan sulit bernapas. Selain itu, pada anak napas juga terdengar cepat dan berbunyi.</li><li>Pada anak-anak yang lebih besar, gejala pneumonia juga dapat disertai dengan sakit pada perut.</li></ul><h2>3. Sebagian anak lebih berisiko mengalami pneumonia </h2>Sebenarnya pneumonia dapat dialami oleh semua anak. Namun, ada beberapa kondisi yang membuat anak tertentu lebih rentan terhadap pneumonia. Antara lain adalah: <ul><li>

Sistem kekebalan tubuh yang rendah, yang bisa diakibatkan kondisi kurang gizi, terutama pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. </li><li>

Memiliki gangguan sistem pernapasan lainnya, seperti misalnya asma. </li><li>

Ada gangguan kesehatan lainnya, seperti paparan virus HIV atau sedang sakit campak. </li><li>

Menurut UNICEF, sekitar separuh dari angka kematian anak akibat pneumonia disebabkan oleh polusi udara. Polusi udara bisa berasal dari luar rumah maupun dalam rumah, seperti penggunaan bahan bakar untuk memasak yang menimbulkan asap serta paparan asap rokok. </li></ul>

 Pengobatan pneumonia pada anak dapat dilakukan sesuai faktor penyebab serta gejala pneumonia yang menyertai. Pastikan si Kecil cukup beristirahat dan kebutuhan cairannya terpenuhi supaya bisa segera pulih. Selain itu, ajarkan juga kebiasaan mencuci tangan dan menjaga kebersihan. 

 

Yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan anak mendapatkan vaksinasi yang tepat untuk mencegah pneumonia. Saat ini, jenis vaksin yang telah tersedia untuk mencegah pneumonia pada anak adalah: <ul><li>

Vaksin PCV (pneumococcal conjugate vaccine), yang dapat memberi perlindungan terhadap 13 strain bakteri pneumococcal. Vaksin ini dapat diberikan pada anak berusia di bawah 59 bulan (atau sebelum 5 tahun). </li><li>

Vaksin PPV (pneumococcal polysaccharide vaccine), yang dapat melindungi anak dari 23 strain bakteri pneumococcal. Vaksin ini dapat diterima oleh anak mulai usia 2 tahun. </li></ul>

 Studi yang dimuat di jurnal The Lancet Regional Health menegaskan manfaat vaksin PCV dalam mencegah pneumonia pada anak. Hasil studi ini memaparkan bahwa pemberian vaksin PCV dapat menurunkan jumlah anak yang mengalami gangguan dengan gejala pneumonia sangat berat di Laos. 

 

Selain vaksin PCV, terdapat dua jenis vaksin lainnya yang bisa mencegah pneumonia dan sudah masuk dalam program imunisasi rutin nasional untuk anak. Pertama adalah vaksin campak, yang selain untuk mencegah campak juga bisa melindungi si Kecil dari pneumonia. Sedangkan yang kedua adalah vaksin HiB yang melindungi anak dari pneumonia akibat infeksi bakteri HiB (Haemophilus influenzae type b). Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a> 

 

Bila si Kecil belum pernah mendapatkan vaksinasi pneumonia, sebaiknya Anda segera berkonsultasi dengan dokter anak. Anda juga bisa mencoba fasilitas vaksinasi anak drive thru untuk mengurangi waktu tunggu di rumah sakit, dengan menggunakan AlteaCare. 

 

Segera unduh aplikasi AlteaCare di<a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank"> Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, kemudian temukan cara berkonsultasi yang efektif, aman, dan tepercaya dengan dokter spesialis andalan. Semua bisa dilakukan dari rumah saja! 

 

Sumber: <ul><li>

WHO. Diakses pada 2021. Pneumonia </li><li>

Nemours Kids Health. Diakses pada 2021. Pneumonia </li><li>

Medscape. Diakses pada 2021. Pediatric Pneumonia </li><li>

NCBI. Diakses pada 2021. Pediatric Pneumonia </li><li>

UNICEF. Diakses pada 2021. Childhood pneumonia: Everything you need to know </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. Everything You Need to Know About Pneumonia </li><li>

National Health Service. Diakses pada 2021. Pneumococcal vaccine overview </li><li>

The Lancet Regional Health - Western Pacific. Diakses pada 2021. The effectiveness of the 13-valent pneumococcal conjugate vaccine against hypoxic pneumonia in children in Lao People's Democratic Republic </li><li>

Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Indonesia Tegaskan Komitmen Pencegahan Pneumonia di Forum Internasional </li></ul>

Berbeda Dengan Flu, Seperti Ini Gejala Pneumonia Pada Anak 

Penyebab cacar air disebabkan oleh virus varicella zoster - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika anak terkena cacar air, seisi rumah mungkin panik. Mulai dari anak yang rewel karena merasa tidak nyaman dan gatal, lalu orangtua yang bingung mencari obat cacar yang manjur, sampai adik atau kakak yang ketakutan tertular. Pokoknya heboh. 

 

Belum lagi ditambah pertanyaan-pertanyaan lain terkait cara perawatan. Atau, apakah bekas cacar air yang dialami bisa hilang. Meski sudah dianggap sebagai salah satu gangguan yang umum dialami anak-anak, cacar air atau chicken pox tetap tidak mudah dihadapi. 

 

Mengetahui seluk-beluk gangguan cacar air pada anak bisa membantu Anda merawat si Kecil atau sebagai persiapan kalau-kalau ada anak yang terkena. Simak beberapa fakta penting seputar cacar air yang perlu diketahui orangtua berikut ini. <h2>1. Cacar air sangat menular </h2>Penyebab cacar air adalah virus varicella zoster. Virus ini bisa menular melalui droplet yang keluar saat seseorang yang terinfeksi batuk atau bersin. Selain itu, virus juga menular saat menyentuh langsung luka cacar di tubuh orang yang sedang sakit. 

 

Bila si Kecil belum pernah terkena cacar air, ada kemungkinan dia akan tertular. Biasanya, gejala cacar air muncul sekitar 2-3 minggu setelah terpapar virus. Anak yang sudah pernah mendapat vaksin cacar air pun masih dapat tertular. Hanya saja, gejala yang dialami lebih ringan atau bentol-bentol cacar yang muncul lebih sedikit. Lamanya sakit pun lebih sebentar dibandingkan yang belum pernah divaksin. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-list" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a><h2>2. Memiliki ciri dan gejala yang khas </h2>Cacar air pada anak, seperti halnya pada dewasa, diawali dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit. Bintik-bintik ini kemudian membesar menjadi bentol dan berisi cairan. Bentol-bentol ini terasa gatal dan apabila pecah akan menjadi luka. 

 

Bentol-bentol berisi air mula-mula bisa muncul di bagian dada, punggung, dan wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh, termasuk di dalam mulut, kelopak mata, hingga kelamin. Biasanya, luka akan mengering dalam waktu satu minggu dan menjadi koreng. 

 

Beberapa gejala lain yang mungkin dirasakan sekitar 1-2 hari sebelum muncul ruam merah di kulit adalah: <ul><li>

Demam </li><li>

Rasa lelah </li><li>

Hilang nafsu makan </li><li>

Sakit kepala </li></ul><h2>3. Pengobatannya mudah</h2>Sebenarnya, tidak ada obat cacar khusus. Tindakan pertama yang harus dilakukan orangtua saat terjadi cacar air pada anak adalah memisahkannya dalam kamar sendiri. Ini membantu agar cacar air tidak menular pada anggota keluarga lain, terutama yang belum pernah terinfeksi sebelumnya. 

 

Sementara apabila si Kecil mengalami demam, Anda bisa memberikan obat penurun demam seperti parasetamol. Hindari pemberian obat mengandung ibuprofen atau aspirin untuk menurunkan demam pada akibat cacar air pada anak. Sebab, kandungan kedua jenis obat ini bisa berpengaruh buruk pada kondisi si Kecil.<h2>4. Perawatan tepat bisa meredakan rasa gatal </h2>Keluhan utama saat anak terkena cacar air adalah rasa gatal, terutama pada bentol maupun daerah sekitar bentol. Untuk meredakannya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan: <ul><li>Oleskan salep antigatal atau losion mengandung calamine pada daerah yang gatal. </li><li>Anda bisa minta saran pada dokter untuk memberikan obat yang bisa membantu meredakan rasa gatal, seperti misalnya obat antihistamin. </li><li>Potong pendek kuku jari si kecil. Hal ini dapat mencegah terjadi infeksi kulit apabila anak tidak sengaja menggaruk bentol cacarnya sampai pecah. </li><li>Anak yang agak besar bisa diajarkan untuk tidak menggaruk area yang terasa gatal. Sementara yang masih kecil bisa dipakaikan sarung tangan agar tidak menggaruk langsung ke kulit.</li></ul>

<h2>5. Cegah melalui vaksinasi </h2>Setelah sembuh dari infeksi akibat cacar air, virus varicella masih akan bertahan di dalam tubuh dalam kondisi laten atau tidak aktif. Dalam sekitar 10-20% kasus, virus ini bisa aktif kembali dan menimbulkan penyakit seperti herpes zoster atau sering juga disebut cacar api. Gangguan ini bisa dialami orang yang mengalami gangguan imunitas atau yang berusia di atas 50 tahun. 

 

Bila anak Anda ada yang belum mendapatkan vaksinasi cacar air, sebaiknya bawa ke dokter untuk segera divaksin. Centers for Disease Control and Prevention menyebutkan, dua dosis vaksin cacar air bisa 90% efektif mencegah cacar air. 

 

Ikatan Dokter Anak Indonesia telah memasukkan vaksin cacar air ke dalam program imunisasi nasional untuk anak. Dosis pertama diberikan setelah anak berusia di atas satu tahun sebanyak satu kali. Setelahnya, vaksin cacar air kembali diberikan setelah anak berusia di atas 13 tahun dalam dua kali dosis dengan jarak 4-8 minggu.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-fakta-seputar-impetigo-yang-dialami-anak-1631155181806" target="_blank"> 3 Fakta Seputar Impetigo yang Dialami Anak</a> 

 

Di samping pemberian vaksinasi cacar air pada anak, tersedia juga vaksin cacar air untuk orang dewasa. Jadi, bila Anda belum pernah mendapat vaksin ini, silakan hubungi dokter untuk mengatur jadwal konsultasi. 

 

Gunakan fasilitas telekonsultasi di AlteaCare untuk bertemu dengan dokter spesialis dari rumah saja. Caranya mudah, cukup unduh lalu daftarkan diri. Setelahnya, silakan pilih dokter yang diinginkan dan mulai berkonsultasi menggunakan panggilan video. Sumber: <ul><li>Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Chickenpox </li><li>

CDC. Diakses pada 2021. Chickenpox (Varicella) </li><li>

American Academic of Dermatology Association. Diakses pada 2021. How to Care for Children with Chickenpox </li><li>

WHO. Diakses pada 2021. Varicella </li><li>

standardization/varicella </li><li>

CDC. Diakses pada 2021. Chickenpox (Varicella) - Vaccination </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Melengkapi/ Mengejar Imunisasi (Bagian III) </li></ul>

5 Fakta Penting Seputar Cacar Air Pada Anak 

Pemberian ASI bisa mengeratkan hubungan ibu dan anak - AlteaCare | Foto: Envato

Menyusui bayi sejak baru dilahirkan memberi begitu banyak manfaat bagi proses tumbuh kembangnya. Di dalam air susu ibu (ASI) terdapat begitu banyak sumber makanan yang berkualitas, sehingga tidak heran bila badan kesehatan dunia maupun pemerintah selalu mendorong para ibu untuk menyusui anaknya. 

 

Pemberian ASI eksklusif tanpa disertai pemberian makanan lainnya selama 6 bulan pertama kehidupan bayi dapat berdampak positif bagi perkembangan otaknya. Riset yang dimuat di jurnal Jerman Bundesgesundheitsblatt menyebutkan, pemberian ASI eksklusif berkaitan erat dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, perkembangan otak yang baik, serta perilaku bersosialisasi yang positif pada anak. 

 

Sayangnya, banyak ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Selain alasan yang terkait dengan faktor kesehatan sang ibu, kegagalan menyusui juga diakibatkan ibu kurang paham cara menyusui bayi yang benar. 

 

Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam situsnya, kegagalan menyusui dapat disebabkan oleh kesalahan dalam memosisikan bayi saat menyusui. 

 

Akibatnya, bayi tidak melekat dengan baik dan ibu pun merasa tidak nyaman saat menyusui. Area puting payudara yang lecet membuat ibu jadi segan menyusui, sehingga dengan sendiri produksi ASI berkurang dan bayi pun malas menyusu. <h2>Apa yang membuat ibu berhasil menyusui? </h2>Pemberian ASI eksklusif diawali dengan apa yang disebut inisiasi menyusui dini, yang dilakukan segera setelah bayi lahir. 

 

Sang bayi diletakkan di dada ibunya sehingga terjadi kontak kulit. Kemudian, bayi akan mulai merangkak mencari puting ibu dan mengisapnya. Kontak kulit dengan kulit akan merangsang aliran ASI, sekaligus membentuk ikatan (bonding) antara ibu dan bayi. 

 

Inisiasi menyusui dini akan menjadi langkah awal yang baik untuk memudahkan proses menyusui. Sementara itu, keberhasilan menyusui selanjutnya bergantung pada langkah dan cara menyusui bayi yang benar. 

 

Langkah-langkah menyusui bayi yang perlu dilakukan ibu adalah: <ul><li>

Biasakan untuk mencuci tangan terlebih dulu di bawah air bersih yang mengalir. </li><li>

Perah sedikit ASI, lalu oleskan ke sekitar area puting dan areola. Ini bermanfaat sebagai disinfektan dan menjaga kelembapan puting susu. </li><li>

Ibu mencari posisi menyusui yang nyaman. Jika ibu ingin menyusui sambil duduk, sebaiknya kaki tidak menggantung. </li><li>

Posisikan bayi dengan benar agar bisa menyusu dengan tenang. </li><li>

Rangsang bibir bayi dengan puting itu sehingga terbuka lebar, lalu segera dekatkan kepala bayi ke payudara. Saat menyusu, puting dan areola terlihat masuk ke dalam mulut bayi. </li><li>

Periksa apakah sudah terjadi perlekatan yang benar. </li><li>

Susui bayi sesuai kebutuhannya. Yaitu, sampai dia puas dan dengan sendirinya melepaskan mulut dari puting ibu. </li></ul>

 Ibu perlu selalu yakin bahwa ASI yang dimiliki cukup untuk bayi. Tanamkan keyakinan bahwa ASI adalah makanan satu-satunya yang terbaik untuk bayi dan tidak perlu memberikan makanan lain. Pemberian makanan lain akan mengganggu produksi ASI dan dapat meningkatkan risiko infeksi pada bayi.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-cara-mengatasi-bayi-susah-bab-1632368483455" target="_blank">&nbsp;4 Cara Mengatasi Bayi Susah BAB</a> <h2>Cara menyusui bayi yang benar </h2>Bila bayi melekat dengan benar saat menyusu, dengan sendirinya ia merasa nyaman dan tidak rewel. Tanda-tanda sudah ada perlekatan yang benar adalah: <ul><li>

Mulut bayi terbuka lebar </li><li>

Dagu dan hidung menempel di dada </li><li>

Bayi tidak hanya mengisap puting tetapi juga bagian areola </li><li>

Bibir bayi terlipat keluar dan pipinya tidak kempot ke arah dalam </li><li>

Ibu bisa mendengar suara bayi menelan. Bila terdengar berdecak, berarti si kecil kurang melekat </li><li>

Ibu tidak kesakitan baik selama maupun setelah menyusui </li></ul>

 Ada beberapa posisi yang bisa dicoba untuk mendapatkan cara menyusui bayi yang benar. Posisi menyusui yang tepat akan membuat bayi dapat melekat dengan baik. Temukan yang paling nyaman untuk ibu dan juga bayi: 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">1. Posisi duduk bersandar </h3>Posisi ini dapat dilakukan oleh ibu yang baru melahirkan atau yang memiliki payudara berukuran kecil. 

 

Duduk di tempat tidur atau sofa dengan santai dan bersandar pada bantal di bagian belakang. Letakkan bayi, posisi perutnya menempel ke tubuh ibu dan kepalanya di dekat payudara. Pastikan posisi mulutnya melekat ke area puting dan areola dengan baik dan dagunya tidak menengadah. Bila ia terlihat agak rewel saat menyusu, berarti posisi ini kurang nyaman untuknya. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">2. Posisi berbaring menyamping </h3>Bagi para ibu yang tidur bersama bayinya, posisi ini dapat dilakukan ketika si Kecil terbangun di malam hari. 

 

Anda cukup berbaring menyamping kemudian miringkan juga si Kecil sedikit agar menghadap Anda. Bila bayi masih terlalu kecil, sangga kepalanya dengan lengan, lalu sesuaikan posisi ibu lebih merunduk ke arahnya agar puting payudara dapat masuk ke mulutnya. 

 

Jika Anda ingin menyusui dalam posisi berbaring menyamping, pastikan kasur tempat tidur tidak terlalu empuk. Sebab ini akan membuat bayi akan “terbenam” dalam kasur dan tidak bisa bernapas. Hindari juga melakukannya di sofa yang yang empuk atau memiliki banyak bantal. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">3. Posisi menggendong </h3>Posisi ini adalah posisi paling mudah dan sering dilakukan oleh para ibu. Anda bisa lakukan ini sambil duduk nyaman. 

 

Ambil posisi duduk yang nyaman, lalu posisikan bayi menyamping menghadap ibu. Kepala dan lehernya disangga oleh lekukan siku bagian dalam, sementara badannya menempel ke perut ibu. Anda bisa meletakkan bantal di bawah lengan untuk menopang siku yang menahan kepala si Kecil. 

 

Rilekskan bahu dan punggung Anda selama menyusui, agar nantinya tidak terasa kaku. Posisi ini mungkin kurang nyaman untuk bayi yang baru lahir atau yang berukuran kecil. Anda bisa juga menyangga lengan bawah yang menggendong si Kecil dengan bantal di bagian bawah supaya posisinya tidak bergeser-geser saat menyusu. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">4. Posisi dengan kain gendongan </h3>Kebiasaan menggendong bayi dengan kain yang dilakukan oleh ibu-ibu kita sejak dulu juga dapat ditiru. Terutama bila si bayi sudah agak besar dan bisa nyaman digendong. 

 

Dengan posisi badan bayi ditopang oleh kain, Ibu bisa menyusui sambil berdiri atau berjalan, dan melakukan kegiatan ringan lainnya. 

 

Sisa kain yang panjang juga bisa digunakan untuk menutupi bayi bila Ibu harus menyusui di tempat umum. Pastikan kepala anak tidak terlalu menempel dan tertekan saat menyusui, sehingga dia bisa bernapas dengan baik. 

 

Bila saat ini Anda masih belum bisa melakukannya dengan baik, tidak perlu khawatir. Baca juga:&nbsp; <a href="https://alteacare.com/article-detail/tak-perlu-marah-marah-begini-cara-atasi-anak-yang-tantrum-1632363564733" target="_blank">Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum</a> 

 

Cara menyusui bayi yang benar bisa dipelajari sejalan dengan perkembangannya. Anda bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis anak apabila si Kecil mengalami masalah dalam menyusu, berat badannya tidak bertambah, atau jarang buang air kecil. 

 

Jadwalkan konsultasi dengan dokter spesialis pilihan melalui aplikasi AlteaCare. Telekonsultasi menggunakan video call akan mudahkan Anda saat menyampaikan keluhan pada dokter. Segera unduh AlteaCare di ponsel Anda, melalui <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore. </a> 



Sumber: <ul><li>

Bundesgesundheitsblatt. Diakses pada 2021. Psychological effects of breastfeeding on children and mothers. </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Posisi dan Perlekatan Menyusui dan Menyusu yang Benar </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Manajemen Laktasi </li><li>

Healthy Children. Diakses pada 2021. A Breastfeeding Checklist: Are You Nursing Correctly. </li><li>

What to Expect. Diakses pada 2021. Breastfeeding Positions. </li><li>

National Health Service UK. Diakses pada 2021. How to breastfeed. </li><li>

Medela. Diakses pada 2021. 11 different breastfeeding positions. </li></ul>

Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal 

Memberi pijatan yang lembut pada bayi Anda bisa membantu mengatasi susah BAB - AlteaCare | Foto: Envato

Saat bayi susah BAB (buang air besar), ia akan terlihat lebih rewel dan tak jarang menangis kesakitan. Normalnya, bayi bisa BAB beberapa kali dalam sehari. Tapi kalau si Kecil ternyata tidak buang air besar seperti biasa, bisa jadi ada yang mengganggunya. 

 

Setiap anak memiliki pola BAB-nya sendiri, baik dari segi frekuensi maupun waktu. Bayi yang diberikan ASI eksklusif, misalnya, umumnya segera buang air setelah menyusui. Frekuensinya pun bisa lebih sering daripada bayi yang minum susu formula. 

 

Bayi dikatakan susah BAB apabila dia mengalami tanda-tanda berikut: <ul><li>

frekuensi buang air besarnya berkurang dari biasanya </li><li>

feses yang dikeluarkan cenderung lebih keras dan besar </li><li>

rasa nyeri yang dirasakan oleh bayi membuatnya menangis, begitu juga jika dia harus mengejan terlalu lama </li><li>

bila diraba perutnya akan terasa keras </li><li>

si Kecil juga terlihat kurang nafsu makan dan cenderung agak rewel. </li></ul>

 <h2>Penyebab bayi susah BAB </h2>Masalah bayi susah BAB atau sembelit adalah masalah yang umum dialami oleh bayi dan anak-anak. Saat mencari cara mengatasi bayi susah BAB, hal utama yang perlu dilakukan adalah mengetahui apakah ada perubahan dalam pola makannya. Bayi yang baru mulai makan padat biasanya mengalami konstipasi. Begitu juga jika ia baru beralih dari ASI ke susu formula. 

 

Selain itu, kurang seimbangnya asupan cairan dengan aktivitas bayi dapat menyebabkan sembelit. Begitu juga jika menu makanan pendamping ASI-nya kurang mengandung serat. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-penting-seputar-flu-singapura-yang-dialami-anak-1630833934992" target="_blank">4 Fakta Penting Seputar Flu Singapura yang Dialami Anak</a><h2>Cara mengatasi bayi susah BAB </h2>Berikut ini adalah beberapa tips yang bisa Anda coba untuk mengatasi sembelit dan memancing si Kecil untuk buang air besar. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">1. Ubah menu makanan </h3>Bayi yang diberi ASI umumnya jarang mengalami sembelit dibandingkan bayi yang minum susu formula. Ini karena dalam ASI terdapat komposisi nutrisi yang membuat feses cenderung lebih lembek. 

 

Jika bayi masih menerima ASI Eksklusif, mungkin Ibu yang perlu meneliti lagi jenis makanan apa saja yang disantapnya. Cari tahu dan ingat jenis makanan apa yang bila Ibu makan cenderung membuat bayi susah BAB, dan mana yang punya efek sebaliknya. 

 

Sementara jika bayi yang diberikan susu formula, sebaiknya orangtua berkonsultasi dengan dokter untuk mendiskusikan jenis susu formula lain. Ada kemungkinan, faktor alergi terhadap susu sapi membuat si Kecil mengalami konstipasi saat mengonsumsi susu formula. 

 

Di samping itu, ketika mulai makan padat, bayi perlu diperkenalkan dengan makanan yang tinggi serat, seperti sayuran brokoli, oatmeal, apel, buah plum, pir, dan sebagainya. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">2. Perbanyak cairan </h3>Sampai usia 6 bulan, bayi sebenarnya tidak butuh tambahan cairan selain ASI dari ibu ataupun susu formula. Namun, setelah mulai makan padat, asupan cairan penting untuk diperhatikan. Misalnya dengan memberikan air putih. 

 

Pemberian jus buah juga dapat membuat si kecil terhidrasi dan terhindar dari konstipasi. Anda bisa berikan jus apel atau pir pada si kecil saat usianya menginjak 6 bulan. Kandungan serat dalam jus buah dapat membantu mengatasi sembelit pada bayi dan anak, yang pencernaannya belum berfungsi sempurna. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">3. Mandi air hangat </h3>Cara mengatasi bayi susah BAB lain yang mudah untuk dilakukan adalah memandikan bayi dengan air hangat. Air hangat bisa membantu melemaskan otot perut dalam pencernaan bayi. Sehingga, bayi pun tidak perlu mengejan terlalu kuat dan lebih mudah buang air besar. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">4. Memberi pijatan </h3>Pijatan yang lembut di bagian bawah perut bayi bisa merangsang si kecil untuk buang air besar. Anda bisa mengoleskan minyak terlebih dulu di perutnya, lalu mengusap-usapnya dengan gerakan memutar searah jarum jam. Diharapkan melalui pijatan ini bisa membantu pergerakan usus bayi susah BAB agar kembali lancar. 

 

Cara lain adalah mengajaknya sedikit bergerak sambil bermain. Angkat kedua kaki ke arah perutnya, lalu turunkan, lalu gerak-gerakan kedua kakinya secara bergantian seperti sedang mengayuh sepeda. Sesekali ajak si Kecil bercanda agar dia tertawa dan teralih sejenak dari rasa tidak nyaman akibat sembelit. 

 

Orangtua adalah orang yang paling mengenal anaknya, sehingga dapat segera mengetahui apabila ada yang tidak beres, termasuk ketika bayi sedang sembelit. Setelah melakukan berbagai cara mengatasi bayi susah BAB di atas ternyata tidak ada perubahan, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tak-perlu-marah-marah-begini-cara-atasi-anak-yang-tantrum-1632363564733" target="_blank">Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum</a> 

 

Layanan telekonsultasi via video call akan memudahkan orangtua saat menyampaikan gangguan yang dialami oleh si Kecil. Dokter akan dapat meneliti kondisi bayi Anda dan memberi saran-saran yang dibutuhkan. Segera temukan jadwal dokter spesialis anak berpengalaman yang sudah bergabung di aplikasi AlteaCare. Unduh AlteaCare di ponsel Anda melalui <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore </a>dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, lalu daftarkan diri dan mulai berkonsultasi. 

 

Sumber: <ul><li>

Pediatric Gastroenterology, Hepatology &amp; Nutrition. Diakses pada 2021. Diets for Constipation </li><li>

Medical News Today. Diakses pada 2021. The best home remedies for baby constipation. </li><li>

Public Health England Start4Life. Diakses pada 2021. Breastfeeding challenges. </li><li>

First Cry Parenting. Diakses pada 2021. Home Remedies for Constipation in Infants. </li><li>

Pregnancy Birth &amp; Baby. Diakses pada 2021. Constipation in babies. </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. The Best Remedies for Your Baby’s Constipation. </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Sembelit (Konstipasi) pada Anak </li></ul>

4 Cara Mengatasi Bayi Susah BAB  

Reaksi yang diperlihatkan anak saat tantrum merujuk pada suatu kondisi - AlteaCare | Foto: Envato

Luapan emosi berlebihan, seperti berteriak marah, menjerit-jerit, atau menangis, sering diperlihatkan oleh anak yang sedang tantrum. Buat orangtua yang punya anak berusia di bawah tiga tahun, bisa jadi ini adalah pemandangan sehari-hari. Tapi, sejauh mana tantrum itu wajar bagi anak seusia itu? 

 

Dari sudut pandangan orang dewasa, tantrum adalah tindakan yang tidak beralasan yang dilakukan oleh anak demi cari perhatian atau disengaja untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Misalnya, menangis histeris ingin mainan saat di toko mainan. Atau marah karena sudah waktunya tidur siang. 

 

Namun, ada apa sebenarnya di benak seorang anak yang sedang tantrum? Menurut R. Douglas Fields, seorang ahli saraf sekaligus penulis buku Why We Snap: Understanding the Rage Circuit in Your Brain, ada dua bagian otak yang bekerja saat anak mengalami tantrum. <blockquote>“Pertama adalah amigdala, yang utamanya berfungsi untuk memproses emosi, seperti rasa takut atau marah. Kedua, adalah hipotalamus, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi tubuh, seperti detak jantung atau suhu tubuh,” katanya seperti dilansir dalam situs New York Times. 

 

Ibaratnya, kalau amigdala itu seperti pendeteksi asap yang menandakan adanya api, maka hipotalamus berperan untuk menentukan apakah akan menyiram air atau malah minyak ke api tersebut. Jadi, kalau si Kecil mendadak mengamuk ketika diminta untuk tidur sendiri di kamarnya, itu bukan berarti dia sengaja mau mengganggu. Namun, itu karena amigdalanya mendeteksi adanya bahaya, sehingga hipotalamus kemudian membuatnya menjadi mengamuk. </blockquote><h2>Kenapa anak alami tantrum? </h2>Menurut riset yang dimuat di Journal of Pediatric Nursing Reaksi yang diperlihatkan anak saat tantrum pada dasarnya merujuk pada satu kondisi. Yaitu bahwa saat itu anak sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Perilaku yang diperlihatkan mencerminkan dua jenis emosi. Berteriak, menjerit, atau mengamuk menandakan si Kecil sedang marah. Sementara menangis berarti kesedihan. 

 

Riset ini juga mendapati bahwa tantrum lebih sering dialami oleh anak berusia di bawah tiga tahun. Hal ini mungkin dikarenakan anak-anak yang lebih besar itu sudah lebih mandiri, lebih sadar akan diri sendiri, dan bisa mengendalikan apa yang ada di sekitarnya. 

 

Hubungan antara orangtua dan anak turut memengaruhi kebiasaan tantrum. Anak yang kurang mendapatkan dukungan dari orangtuanya cenderung menggunakan tantrum untuk memaksa orangtua menuruti keinginannya. Bukan berarti Anda lantas bukan orangtua yang baik. Namun, ada masanya anak belum pandai mengendalikan emosinya, sehingga akhirnya membuat emosi anak meledak menjadi tidak terkendali. Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/seperti-apa-pola-asuh-yang-tepat-untuk-anak-adhd-1632297601254" target="_blank"> Seperti Apa Pola Asuh Yang Tepat Untuk Anak ADHD?</a><h2>Bagaimana cara mengatasi tantrum pada anak? </h2>Tantrum adalah luapan emosi yang umumnya terkait dengan keseharian anak. Studi memperlihatkan bahwa kegiatan-kegiatan rutin kegiatan makan, tidur, dan memakai pakaian dapat menjadi waktu terjadinya tantrum. 

 

Ketika mereka merasa lelah, tidak nyaman atau sakit, kelaparan, merasa diabaikan, atau butuh rasa aman, kemudian kegiatan rutin itu tidak bisa berjalan dengan baik, saat itulah mereka akan tantrum. Dengan begitu, perhatian orangtua akan tertuju padanya dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka. 

 

Strategi terbaik yang bisa dilakukan orangtua dalam menghadapi anak yang sedang tantrum adalah dengan mengendalikan diri terlebih dulu. Setelahnya, barulah memberi tanggapan pada perilaku si Kecil. 

 

Yang bisa Anda lakukan: <ul><li>

Bersikap tenang, tidak panik, atau malah balik memarahi anak. Berikan rasa nyaman kepada si Kecil. </li><li>

Pahami kondisi yang membuat anak menjadi marah, mengamuk, atau menangis. </li><li>

Jika perlu dan memungkinkan, tinggalkan anak sejenak. Tenangkan emosi Anda agar nantinya dapat menanggapi perilaku anak dengan lebih positif. </li></ul>

 Saat memberikan tanggapan pada anak: <ul><li>Bersikaplah fleksibel. Ada kalanya tantrum yang diperlihatkan anak bisa diatasi justru dengan mengabaikannya. Setelah dia tenang, barulah ajak dia bicara. </li><li>

Berbicaralah dengan tenang, hangat, dan empatik. Emosi positif yang Anda perlihatkan akan dipahami oleh benak si Kecil sebagai tanda bahwa tidak ada bahaya di sekitarnya. Dengan sendirinya, dia juga akan memberi respons positif. </li><li>

Fokus pada tindakan, bukannya kata-kata. Ingat, anak bisa merasakan emosi Anda lewat postur tubuh, intonasi suara, dan ekspresi wajah. Mungkin lebih baik Anda tak banyak bicara, cukup duduk di sampingnya dan mengelus-elus punggung atau kepalanya. </li><li>

Saat berinteraksi dengan si Kecil, membungkuklah sedikit dan tatap matanya. Ini menandakan Anda mendengarkan dan berempati padanya. </li><li>

Jika si Kecil sedang kesal-kesalnya sehingga menolak saat dipegang atau diajak berinteraksi, tidak perlu ditanggapi. Beri dia ruang untuk sendiri dulu. </li><li>

Begitu juga ketika tantrum membuat anak melukai diri mereka sendiri atau orang lain, sebaiknya bawa dia ke tempat yang lebih aman dantenang. </li><li>

Rangsang sensoriknya dengan memberikan mainan yang bisa dipegang-pegang. Atau minta dia menarik napas panjang dan mengembuskannya. </li><li>

Studi yang dimuat di jurnal Family Relation menemukan bahwa para ibu yang bisa mengendalikan emosinya cenderung untuk bisa memberi tanggapan yang lebih lembut pada anaknya. Pola asuh yang minim kata-kata negatif atau kasar dapat membuat masalah perilaku pada anak dapat lebih tertanggulangi dengan baik, termasuk untuk masalah tantrum. </li></ul>

 Setelah tantrum reda dan si Kecil sudah bisa diajak bicara dengan tenang, duduklah bersamanya dan minta dia mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Alih-alih mengoreksi perilakunya, cukup katakan padanya bahwa Anda bisa mengerti kenapa dia marah, mengamuk, atau menangis. Tegaskan padanya bahwa bagaimanapun juga, orangtua akan selalu ada dan menyayanginya. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/ortu-wajib-tahu-7-hal-penting-soal-down-syndrome-pada-anak-1632296450874" target="_blank">Ortu Wajib Tahu, 7 Hal Penting Soal Down Syndrome Pada Anak</a> 

 

Saat sedang terjadi, tantrum adalah problem yang sulit untuk dihadapi orangtua. Anda bisa mendiskusikan masalah ini dengan dokter spesialis anak apabila tantrum yang dialami sampai mengganggu kesehatannya. Lakukan konsultasi dengan dokter dari rumah saja melalui aplikasi AlteaCare. Unduh aplikasinya melalui <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau <a href=" https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore,</a> kemudian daftar dan jadwalkan konsultasi Anda. 

 

Sumber: <ul><li>

New York Times. Diakses pada 2021. The Science Behind Your Child’s Tantrums. </li><li>

Journal of Pediatric Nursing. Diakses pada 2021. Assessment of Temper Tantrums Behaviour Among Preschool Children in Jordan </li><li>

Cleveland Clinic. Diakses pada 2021. Temper Tantrums </li><li>

Kids Health. Diakses pada 2021. Temper Tantrums </li><li>

Family Relation. Diakses pada 2021. The Interface of Maternal Cognitions and Executive Function in Parenting and Child Conduct Problems. </li></ul>

Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum 

Campak pada anak diawali dengan demam, disusul dengan munculnya ruam kemerahan pada kulit - AlteaCare | Foto: Envato

Jika ditanya soal gangguan kesehatan khas yang sering dialami anak, para orangtua pasti fasih menyebutkan. Dan, campak adalah salah satu yang melintas di ingatan. Anda pun mungkin pernah terkena campak semasa kecil, yang dulu sering disebut dengan nama “sakit tampek”. 

 

Campak adalah gangguan infeksi yang sangat mudah menular. Berawal dari infeksi pada saluran pernapasan, virus dari kelompok paramyxovirus ini kemudian menyebabkan munculnya ruam-ruam kemerahan pada kulit. Umumnya, campak dialami oleh anak-anak. Namun, tidak tertutup kemungkinan orang dewasa juga terkena. Karena sudah terbiasa mendengar soal campak, mungkin kita jadi cenderung kurang waspada. Begitu juga ketika anak terkena campak, kita mungkin hanya fokus pada demam yang dialami. Lalu, selama sakit dia masih bebas bermain di rumah bersama saudaranya. Padahal, anak yang terkena campak harus dipisahkan dari saudaranya, agar tidak tertular. Ini hanya salah satu salah paham yang kurang disadari oleh para orangtua. Ada juga mitos-mitos lain yang berkaitan dengan campak, yang mungkin juga pernah Anda dengar. Apa saja itu? Yuk, simak! 

 

<h2>1. Campak itu penyakit biasa. Tidak usah kuatir! </h2>“Anak-anak itu pasti akan kena campak, sama seperti cacar air. Nanti juga sembuh sendiri”. Ungkapan seperti ini memberi kesan bahwa campak adalah gangguan kesehatan yang remeh. Bisa jadi begitu. Gejala awal campak adalah demam yang mungkin disertai dengan hidung meler, batuk, dan mata yang berair. Kalau melihat bagian dalam pipi si Kecil, Anda mungkin akan temukan bintik-bintik kecil berwarna putih. Setelah beberapa hari akan muncul ruam-ruam kemerahan, biasanya di wajah dan leher atas, lalu menyebar hingga tangan dan kaki. Jika buah hati Anda punya daya imunitas tubuh yang baik, ia akan dapat lebih cepat pulih dari campak dengan menjalani pengobatan yang disarankan dokter. Masalahnya, tidak semua anak memiliki kekebalan tubuh serta mendapat asupan nutrisi yang baik. Kondisi ini membuat gangguan campak dapat disertai dengan komplikasi serius, ini bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani oleh dokter.Sebagai informasi, hingga saat ini campak masih merupakan tantangan kesehatan yang pelik di negeri kita. Seperti dilansir di jurnal The Lancet, campak sempat menjadi kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah, sementara vaksinasi campak masih belum mencapai target yang diharapkan. Faktor malnutrisi dan minimnya akses ke fasilitas layanan kesehatan menjadi penyebab tingginya angka kematian anak akibat campak di Indonesia. Menurut data dari European Centre for Disease Prevention and Control, risiko komplikasi akibat infeksi campak bisa mencapai 30%. Bisa berupa infeksi telinga, diare, atau dehidrasi, hingga infeksi pernapasan berat seperti pneumonia. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-penting-seputar-flu-singapura-yang-dialami-anak-1630833934992" target="_blank">4 Fakta Penting Seputar Flu Singapura yang Dialami Anak</a><h2>2. Yang penting anak dijauhkan dari yang sedang campak. Aman! </h2>Ketika salah satu anak Anda sedang mengalami campak, langkah pertama adalah memisahkan kamar tidurnya dari anak lain yang sehat. Tapi, apakah tindakan ini saja cukup? Tunggu dulu. Campak dapat menyebar melalui droplet yang keluar saat anak batuk atau bersin. Begitu mengenai permukaan benda atau berada di udara, virus akan bertahan hingga 2 jam. Jadi, infeksi bisa terjadi sangat cepat. Nah, di sinilah masalahnya. Sifatnya yang sangat menular membuat anak Anda kemungkinan besar akan terinfeksi begitu terpapar virus campak. Selain itu, ia juga bisa menyebarkan virus tersebut ke orang lain di sekitarnya. Kebanyakan orang bisa menyebarkan virus sebelum mengalami gejala awal campak. Si Kecil mungkin telah menularkan virusnya ke beberapa orang sekitar, termasuk saudaranya, empat hari sebelum mulai demam disusul muncul ruam di kulitnya. Setelah ruam muncul pun, ia tetap dapat menularkan virus ke orang lain. Anda mungkin tak bisa tahu dari mana si kecil terkena campak, terutama jika ia termasuk aktif dan sering berinterasi dengan orang luar. Virus campak bisa menular lewat kontak erat, seperti bersalaman, memegang, memeluk, mencium, dan sebagainya. Jadi, menjauhkan anak dari yang sedang sakit campak saja belum tentu efektif. Tidak bisa tidak, vaksinasi campak adalah cara supaya anak lebih terlindungi. 

 

<h2>3. Vaksinasi campak? Jangan, ah. Katanya bahaya! </h2>Menurut kabar yang beredar, vaksinasi campak bisa menyebabkan gangguan autisme. Faktanya, Badan Kesehatan Dunia WHO merekomendasikan imunisasi campak untuk anak-anak dan dewasa. Vaksinasi campak yang saat ini beredar ada dalam bentuk vaksinasi campak saja, atau vaksinasi kombinasi seperti campak-rubela (MR), campak-parotitis-rubela (measles-mumps-rubella/MMR), maupun campak-parotitis-rubela-cacar air (measles-mumps-rubella-varicella/MMRV). Semua jenis vaksinasi ini dinilai aman dan efektif dalam mencegah campak serta gangguan kesehatan lainnya. Di Indonesia, berdasarkan rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi campak dapat diberikan saat bayi menginjak usia 9 bulan, 18 bulan, dan saat sudah kelas 1 SD. Saat ini, imunisasi campak sudah termasuk dalam imunisasi dasar lengkap yang disarankan oleh Kementerian Kesehatan. Pemberian imunisasi campak dapat memberi perlindungan bagi si Kecil. Dosis pertama dapat secara efektif mencegah campak hingga 93%, sementara dosis kedua dinilai efektif hingga 97%. Imunisasi campak tidak menyebabkan efek samping yang berarti, yaitu sebatas demam ringan, ruam merah, dan bengkak nyeri pada bekas suntikan. Seperti dilansir di situs IDAI, sampai saat ini belum ditemukan bukti yang mendukung bahwa imunisasi jenis apa pun, termasuk campak, dapat menyebabkan autisme. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-fakta-seputar-impetigo-yang-dialami-anak-1631155181806" target="_blank">3 Fakta Seputar Impetigo yang Dialami Anak</a> 

 

Hingga kini belum ada jenis pengobatan spesifik untuk virus campak. Yang dapat dilakukan oleh dokter adalah menangani berdasarkan keluhan yang dialami anak. Sementara itu, anggota keluarga lain juga perlu memerhatikan hal-hal berikut agar tidak tertular: <ul><li>

Tidak berbagi barang dengan anak yang sedang sakit. Seperti alat makan, gelas, alat mandi, hingga mainan. </li><li>

Hindari kontak dekat dengan yang sedang sakit, terutama adik, kakak, atau ibu yang sedang mengandung. </li><li>

Tetap jaga kebersihan dengan mencuci tangan menggunakan sabun. </li></ul>

 

Sumber:<ul><li>European Centre for Disease Prevention and Control. Diakses pada 2021. Addressing misconceptions on measles vaccination </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. Is measles contagious? </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. Everything You Need to Know About the Measles </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Jadwal Imunisasi IDAI 2020 </li><li>

IDAI. Diakses pada 2021. Pertanyaan Seputar Imunisasi MR. </li><li>

The Lancet. Diakses pada 2021. Vaccine hesitancy in Indonesia </li><li>

WHO. Diakses pada 2021. Measles </li><li>

WHO. Diakses pada 2021. Immunization, Vaccines and Biologicals: Measles </li></ul>

3 Mitos Tentang Campak Pada Anak 

ADHD merupakan gangguan yang banyak dialami oleh anak - AlteaCare | Foto: Freepik 

Memiliki anak ADHD merupakan anugerah tersendiri bagi para orangtua. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan konsistensi agar dapat membimbing sang buah hati untuk dapat hidup bersama keunikannya. Gangguan ADHD, singkatan dari attention deficit hyperactivity disorder, adalah gangguan yang banyak dialami oleh anak. Sebenarnya, ADHD tidak tepat disebut penyakit, melainkan suatu kondisi. Anak yang mengalami kondisi ini sulit fokus dalam melakukan tugas atau tidak dapat duduk diam terlalu lama. ADHD yang dialami anak bisa terus dibawa hingga dewasa. Gangguan ini berpusat pada masalah di fungsi otak, sehingga berdampak dalam kemampuan menjalani hidup sehari-hari. <h2>Masalah yang dihadapi anak ADHD </h2>Anak kesulitan dalam melakukan hal-hal yang mudah bagi anak-anak lain. Kesulitan ini dapat diuraikan sesuai nama gangguannya: <ul><li>Attention deficit berkaitan dengan kondisi seorang anak tidak dapat mengikuti instruksi dan menyelesaikan tugas karena sulit fokus. </li></ul>



Di satu sisi, si Kecil dapat memiliki fokus hingga detail pada satu hal, misalnya bermain puzzle atau menyusun balok. Di sisi lain ia jadi tidak memerhatikan hal-hal lain di sekitarnya. Apa yang tidak terkait dengan fokus saat itu akan luput dari perhatian. Tak heran bila ia jadi mudah lupa. Hal ini membuat anak bermasalah di sekolah, seperti lupa buat PR, tugas tidak selesai, atau tidak menyimak pelajaran dengan baik. <ul><li>Hyperactivity atau hiperaktif, alias si Kecil tidak bisa duduk diam barang sebentar saja. Ia tidak pernah berhenti bergerak, baik saat makan, menonton televisi, atau berbicara. </li></ul>

Bila usianya masih kecil, anak mungkin termasuk gemar memanjat, berlari, atau melompat. Atau, si Kecil termasuk tipe cerewet yang tidak bisa berhenti bicara, tidak jarang menyela pembicaraan orang lain. Kondisi ini bisa membuat orangtua dan guru sekolah kewalahan. Belum ditambah emosinya yang meledak-ledak, cenderung impulsif, dan tidak bisa mengantre maupun ikut aturan. Si Kecil pun dapat menghadapi masalah bila pola pengajaran di sekolah cenderung konvensional, atau kondisi rumah tidak memberi cukup ruang untuk bereksplorasi.Anak ADHD dapat hanya mengalami kesulitan fokus saja atau hiperaktif saja, atau keduanya sekaligus. Kondisi ini membuatnya cenderung tidak dapat bersosialisasi baik dengan teman-teman sebayanya. Ketika dewasa, orang dengan ADHD juga kesulitan dalam bekerja. Gangguan disfungsi eksekutif yang juga dialami oleh orang ADHD membuatnya tidak bisa membuat perencanaan dan mengelola pekerjaan dengan baik. Ketika mengalami masalah, mereka cenderung impulsif dan emosional, sehingga tidak bisa mendapatkan pemecahan masalah yang diharapkan. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/ortu-wajib-tahu-7-hal-penting-soal-down-syndrome-pada-anak-1632296450874" target="_blank">Ortu Wajib Tahu, 7 Hal Penting Soal Down Syndrome Pada Anak</a><h2>Apa penyebab gangguan ADHD? </h2>Para ahli menduga, faktor neurologis dan genetik berperan besar dalam gangguan ini. Rendahnya kadar dopamin dalam otak dapat berkaitan dengan ADHD pada anak. Dopamin adalah senyawa dalam otak yang berperan menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh, terkait respons gerakan maupun emosi. American Journal of Perinatology memaparkan adanya kaitan antara gangguan hipotiroid pada ibu semasa hamil dengan anak ADHD. Hipotiroid dapat terjadi bila kelenjar tiroid tidak menghasilkan hormon tiroid yang cukup. Gangguan hipotiroid yang terdiagnosis sebelum atau semasa kehamilan dapat meningkatkan risiko ADHD pada anak, terutama bila terjadi pada trimester pertama. Kemungkinan penyebab dan faktor risiko lainnya adalah adanya kerusakan otak, kelahiran prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah, konsumsi alkohol dan tembakau selama hamil, hingga paparan lingkungan seperti timbal saat ibu hamil muda.&nbsp;&nbsp;<h2>Pola asuh yang tepat dapat membuahkan manfaat </h2>Bisakah anak sembuh dari ADHD? Pertanyaan ini mungkin ada di benak para orangtua. Penanganan standar untuk ADHD pada anak meliputi pemberian obat-obatan, terapi perilaku, konseling, hingga layanan edukasi. Semuanya dapat membantu mengatasi gangguan, namun tidak dapat membawa kesembuhan. Hasil studi yang dimuat di American Journal of Psychiatry mengungkap, kebanyakan anak yang didiagnosis ADHD akan hidup bersama kondisi ini. Sebagian masalah yang dialami anak ADHD dapat berkurang sejalan dengan usia. Misalnya, anak jadi sedikit lebih tenang atau mampu menyelesaikan tugas. Namun, hingga 90% anak masih mengalami sejumlah tanda khas ADHD saat memasuki masa dewasa. 
 Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh orangtua? Membesarkan anak dengan gangguan ADHD dapat menjadi tantangan tersendiri. Berikut beberapa kiat yang bisa dicoba dalam mengasuh si Kecil: 

<h3 style="margin-left: 20px;">1. Selalu berikan pujian atau dorongan </h3>Ketika si Kecil melakukan hal baik atau berhasil menyelesaikan tugas, berilah pujian. Sementara ketika ia mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, kata-kata penuh semangat Anda akan membuatnya lebih termotivasi. Kekurangan dalam fokus dapat membuatnya mungkin tidak bisa langsung melakukan apa yang Anda minta. Bantulah dengan mengulang kata-kata atau instruksi beberapa kali hingga ia mengerti. Jika ia melakukan kesalahan, sebaiknya ibu dan ayah tidak terbawa emosi. Cukup beri pengertian agar ia dapat belajar dan memperbaiki diri. <h3 style="margin-left: 20px;">2. Aktivitas harian yang teratur dan terjadwal </h3>Ciri khas anak ADHD adalah tidak dapat mengatur waktu. Bantulah dengan membuatkan jadwal harian. Ketika tahu apa yang akan dihadapi pada hari itu, si Kecil akan cenderung lebih tenang dan tidak mudah impulsif. Pengaturan seperti ini juga dapat membantu anak menjadi lebih tertib dan bertanggung jawab.<h3 style="margin-left: 20px;">3. Berikan sedikit demi sedikit </h3>Tidak seperti anak lainnya, anak dengan ADHD tidak bisa menelan semua informasi, permintaan, ataupun kejadian secara sekaligus. Jadi, Anda ingin dia melakukan satu rangkaian tugas, beri perintah satu demi satu. Misalnya, minta dia mandi setelah bangun pagi. Lalu, minta untuk menggosok gigi. Setelahnya, baru minta dia mengenakan pakaian. <h3 style="margin-left: 20px;">4. Ajari kebiasaan hidup sehat </h3>Menurut ahli dari American University, menanamkan perilaku hidup sehat dapat membantu mengatasi kondisi ADHD pada anak. Hasil penelitian yang dimuat di Journal of Attention Disorders menyebutkan, anak ADHD berpeluang besar untuk memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat. Rekomendasi yang diberikan ahli adalah: <ul><li style="margin-left: 20px;">

Batasi waktu menonton TV dan main gawai tidak lebih dari 2 jam sehari </li><li style="margin-left: 20px;">

Pastikan si Kecil melakukan aktivitas fisik setidaknya 1 jam setiap hari </li><li style="margin-left: 20px;">

Batasi konsumsi minuman manis, karena ini bisa memicunya semakin hiperaktif. Ajari dia untuk lebih banyak minum air putih </li><li style="margin-left: 20px;">

Perhatikan pola tidurnya. Anak dengan ADHD biasanya sulit tidur, sehingga perlu dipastikan ia tidur pulas selama 9-11 jam setiap malam. </li></ul>
 Pola asuh yang tepat disertai pendampingan terus-menerus sangat dibutuhkan anak dengan ADHD selama masa tumbuh kembangnya. Bila saat memerhatikan si Kecil Anda mendapati sejumlah perilaku yang diduga terkait anak ADHD, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan ahli. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-penyebab-stunting-pada-anak-di-indonesia-1632294919990" target="_blank">3 Penyebab Stunting Pada Anak di Indonesia</a>Anda bisa bertemu dengan dokter spesialis anak untuk mendiskusikan si Kecil. Kemudahan yang diberikan aplikasi AlteaCare memungkinkan Anda berkonsultasi melalui video call. Dokter pun akan dapat lebih jelas mengamati kondisi sang buah hati. Unduh aplikasi AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, lalu daftar dan buatlah jadwal dengan dokter spesialis pilihan Anda. 
 

Sumber: <ul><li>Healthline. Diakses pada 2021. Everything You Need to Know About ADHD </li><li>

ADDitude. Diakses pada 2021. What Is ADHD? Meaning, Symptoms &amp; Tests </li><li>

Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2021. What is ADHD? </li><li>

American Journal of Psychiatry. Diakses pada 2021. Variable Patterns of Remission From ADHD in the Multimodal Treatment Study of ADHD. </li><li>

P2PTM Kemenkes RI. Diakses pada 2021. Apa itu "Hipotiroid"? </li><li>

American Journal of Perinatology. Diakses pada 2021. Maternal Hypothyroidism Increases the Risk of Attention-Deficit Hyperactivity Disorder in the Offspring. </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. (ADHD) in Children – Diagnosis and Treatment </li><li>

Medical News Today. Diakses pada 2021. What to know about executive function disorder </li><li>

Journal of Attention Disorders. Diakses pada 2021. The Association of Lifestyle Factors and ADHD in Children.</li></ul>

Seperti Apa Pola Asuh Yang Tepat Untuk Anak ADHD? 

Keluhan yang membuat merah bibir dan mulut si Kecil bisa jadi karena impetigo - AlteaCare | Foto: Envato

Munculnya luka merah di sekitar bagian mulut atau bibir si Kecil, bisa jadi bukanlah hal biasa. Sebaiknya Anda cermati lagi kondisinya. Sebab, ini dapat menjadi pertanda awal infeksi impetigo. 

 

Impetigo adalah jenis infeksi bakteri yang bisa menyerang si kecil, terutama yang masih bayi atau berusia di bawah 5 tahun. Meski tidak tertutup kemungkinan bagi remaja dan dewasa untuk juga terkena penyakit ini. 

 

Yang menjadi penyebab gangguan ini adalah bakteri staphylococcus aureus atau streptococcus pyogenes. Ketika dialami oleh anak-anak, infeksi ini mengenai bagian kulit yang mana saja. Namun, lebih sering ditemukan di mulut, hidung, lengan dan kaki. 

 

Seperti apa gangguan impetigo, serta bagaimana cara penularan dan pengobatannya? Anda bisa temukan melalui sejumlah fakta berikut ini. 

 

<h2>1. Impetigo adalah infeksi kulit yang mudah menular </h2>Bakteri yang menyebabkan impetigo bisa menghampiri si Kecil dengan cara berikut: <ul><li>

Menular melalui udara, dalam kondisi cuaca yang hangat dan lembap </li><li>

Kurang menjaga kebersihan, terutama setelah bermain di luar rumah, dapat jadi faktor risiko </li><li>

Ada kontak erat dengan orang yang ternyata sedang mengalami impetigo </li></ul>

 Tidak hanya itu, infeksi impetigo juga akan lebih mudah terjadi apabila sebelumnya si Kecil sudah mengalami infeksi kulit lain, seperti eksim dan kudis. 

 

Tanda awal impetigo dapat berupa luka merah saja, yang di dalamnya terdapat cairan atau nanah. Luka tersebut kemudian menyebabkan gatal dan pecah, sehingga kulit melepuh dan menimbulkan koreng. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak </a><h2>2. Meski rasanya gatal, sebaiknya tidak digaruk </h2>Ada tiga jenis infeksi impetigo yang dapat dialami oleh buah hati kita. Ketiganya diawali dengan kemunculan luka berwarna kemerahan, yang kemudian melepuh. 

 

Nah, saat mengalami luka, si Kecil mungkin akan merasa sangat gatal. Namun, sebaiknya Anda cegah dan bujuk dia untuk tidak menggaruk lukanya. Sebab, ini bisa membuat infeksi dapat berpindah ke area tubuh lainnya. Berikut ini adalah jenis-jenis impetigo yang umum mengenai bayi dan anak: <h3 style="margin-left: 20px;">Impetigo bulosa </h3>Jenis pertama dari impetigo adalah impetigo bulosa, dari kata “bulla” yang berarti kantung cairan yang berada di bawah lapisan kulit yang tipis. Jenis yang satu ini dapat terjadi pada kulit normal, yang sebelumnya tidak terdapat bintik merah, tapi kemudian muncul luka lepuh yang berisi cairan. Luka ini bisa ditemukan di bagian tengah tubuh, yaitu antara pinggang dan leher, serta di tangan dan kaki si Kecil. 

 

Luka lepuh yang tergaruk atau tergores bisa pecah dan menimbulkan bekas di kulit seperti koreng berwarna kuning. Bekas luka akan menghilang setelah sembuh. Biasanya, si Kecil juga dapat mengalami demam atau pembengkakan kelenjar saat terkena impetigo jenis ini. 

 

<h3 style="margin-left: 20px;">Impetigo non bulosa </h3>Jenis kedua ini didahului dengan luka berwarna kemerahan dan gatal di sekitar mulut dan hidung. Keluhan ini juga bisa terjadi di daerah mata lain, serta di tangan dan kaki. Setelah luka tersebut terbuka, akan tertinggal koreng berwarna kuning kecokelatan seperti sereal jagung. Setelah sembuh, bintik-bintik merah maupun bekas luka akan memudar tidak menimbulkan bekas. Jenis impetigo ini juga bisa disertai dengan keluhan demam dan pembengkakan kelenjar, meskipun ini termasuk jarang terjadi. 

 

<h3 style="margin-left: 20px;">Impetigo Ektima </h3>Meski impetigo adalah gangguan yang terjadi pada permukaan kulit, ada juga jenis yang bisa menginfeksi hingga ke dalam kulit. Impetigo ektima adalah jenis parah, yang biasanya terjadi bila impetigo tidak dirawat dengan baik. Keluhan berupa munculnya luka lepuh bernanah bisa muncul di kulit bagian bokong, paha, sekujur kaki hingga telapak kaki. 

 

Kulit di sekitar luka juga tampak berwarna merah dan biasanya anak akan mengeluh kesakitan. Setelah luka pecah, koreng yang ditimbulkan umumnya lebih keras. Proses penyembuhan ektima relatif lebih lambat dan dapat meninggalkan bekas luka.<h2>3. Dapat sembuh sendiri namun perlu perawatan ekstra </h2>Penanganan impetigo pada bayi dan anak bisa berbeda-beda. Biasanya, disesuaikan dengan keluhan yang dialami, usia si Kecil, status kesehatan, dan separah apa infeksi yang dialami. 

 

Saat berkonsultasi, dokter dapat meresepkan antibiotik untuk membantu meredakan infeksi. Namun, ada beberapa hal yang juga bisa Anda lakukan saat merawat si Kecil di rumah: <ul><li>

Bersihkan dan rendam luka infeksi dengan air hangat 3-4 kali sehari, lakukan hingga luka sembuh. </li><li>

Sambil berendam, bersihkan luka perlahan menggunakan air hangat dan sabun, dan dengan hati-hati angkat korengnya. Mengingat impetigo adalah gangguan yang mudah menular, Anda perlu cuci tangan sesudah merawat si Kecil. Jangan lupa pakai sabun supaya infeksi tidak menyebar ke bagian tubuh lain. </li><li>

Keringkan luka, lalu oleskan salep, bisa yang diresepkan dokter atau yang dijual bebas. Aplikasikan salep ini tiga kali sehari dan tutup luka menggunakan kain kasa kering atau perban. </li></ul>

 Cegah si Kecil tertular atau kembali mengalami infeksi dengan memerhatikan kebersihan tubuh dan lingkungan. Bersihkan kuku si kecil dan seringlah mengganti sprei tempat tidur serta handuknya. Ajak si Kecil belajar mencuci tangan dengan benar dan mandi teratur setiap hari. 

 

Bila ada anggota keluarga yang sedang mengalami impetigo, sebaiknya mereka tetap di rumah dan tidak beraktivitas di luar dulu. Selain itu, anggota keluarga lain juga perlu lebih menjaga kesehatan dan tidak berbagi barang dengan yang sakit. Pisahkan pakaian, handuk, dan sprei yang digunakan oleh yang sakit dengan yang sehat. Rajinlah juga melakukan disinfektan pada barang-barang yang disentuh oleh mereka yang sakit. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-penting-seputar-flu-singapura-yang-dialami-anak-1630833934992" target="_blank">4 Fakta Penting Seputar Flu Singapura yang Dialami Anak </a> 

 

Impetigo adalah gangguan yang ringan sehingga tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Ketika si Kecil mengalaminya, tidak ada salahnya bila Anda segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak. Anda bisa coba melakukan telekonsultasi dari rumah saja, sehingga si Kecil tidak perlu dibawa keluar dengan risiko menularkan pada orang lain. 

 

Dengan menggunakan AlteaCare, Anda bisa bertemu dokter spesialis berpengalaman melalui video call dan memperlihatkan kondisi si Kecil. Dokter akan segera memberikan saran dan rujukan pengobatan, dan resep bisa segera ditebus dan dikirim ke rumah Anda. Segera unduh, daftar, lalu pilih jadwal yang Anda inginkan. Aplikasi AlteaCare tersedia di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>. 

Sumber: <ul><li>

Healthline. Diakses pada 2021. Everything you need to know about impetigo </li><li>

NHS Inform. Diakses pada 2021. Impetigo </li><li>

Cedars-Sinai. Diakses pada 2021. Impetigo in Children </li><li>

Web MD. Diakses pada 2021. What Is Impetigo? </li><li>

Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2021. Impetigo: All You Need to Know</li></ul>

3 Fakta Seputar Impetigo yang Dialami Anak

Kondisi down syndrome di Indonesia mengalami peningkatan terutama untuk anak laki-laki - AlteaCare | Foto: Envato

Membesarkan anak dengan sindrom down atau down syndrome adalah tantangan tersendiri bagi orangtua. Namun, para ayah dan ibu tidak perlu khawatir, karena sebenarnya si Kecil pada dasarnya tetap memiliki potensi yang sama dengan anak-anak lain. 

 

Yang dibutuhkan adalah pendampingan yang tepat dari orangtua. Baik melalui pola asuh penuh kasih sayang maupun pemberian stimulasi untuk perkembangan otak dan juga fisiknya. Dengan dukungan dan perhatian maksimal, anak-anak dengan kondisi ini bisa tumbuh bahagia dan berkarya di tengah masyarakat. 

 

Kondisi sindrom down di Indonesia saat ini cenderung mengalami peningkatan. Fakta yang dirilis oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan RI pada 2019 menyebutkan, gangguan ini lebih banyak dialami oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. 

 

Sementara itu, Badan Dunia PBB mengestimasi terjadinya down syndrome pada 1 dari 1.000-1.100 kelahiran hidup di seluruh dunia. Dengan kata lain, sekitar 3.000-5.000 anak di seluruh dunia terlahir dengan kelainan kromosom setiap tahunnya. 

 
<h2>Sekilas tentang down syndrome</h2>Down syndrome adalah suatu kelainan genetik bawaan yang dialami sejak bayi lahir. Kelainan ini sudah terjadi sejak bayi masih berbentuk embrio di dalam kandungan ibunya. 

 

Adanya kesalahan dalam proses pembelahan sel yang disebut nondisjunction membuat bayi tidak memiliki jumlah kromosom seperti bayi lainnya. Bila umumnya embrio menghasilkan dua salinan kromosom 21, embrio dengan down syndrome menghasilkan tiga salinan. Karena itu, saat pemeriksaan ditemukan bahwa jumlah kromosomnya mencapai 47, bukannya 46 kromosom seperti janin normal. 

 

Kelainan kromosom ini menyebabkan bayi mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisik dan kecerdasannya. Sindrom down pertama kali ditemukan oleh Dr. John Langdon Down pada 1866 sehingga namanya diabadikan sebagai nama kelainan ini. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/3-penyebab-stunting-pada-anak-di-indonesia-1632294919990" target="_blank">3 Penyebab Stunting Pada Anak di Indonesia</a>

 

<h2>Beberapa hal yang perlu diketahui seputar down syndrome </h2>“Apa penyebab down syndrome? Bagaimana nasib anak saya jika mengalaminya?” 

 

Pertanyaan ini mungkin berkecamuk di pikiran kita sebagai orangtua. Kabar baiknya, dunia kesehatan di masa sekarang sudah begitu maju, sehingga gangguan seperti ini pun dapat ditangani dengan lebih baik. 

 

Selain itu, orangtua pun dapat menambah wawasan seputar kelainan ini agar lebih yakin dan siap dalam mendampingi anak-anaknya. Berikut adalah fakta-fakta penting yang berkaitan dengan kondisi ini: 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">1. Faktor genetik berperan </h3>Seperti dilansir di Mayo Clinic, down syndrome adalah gangguan akibat kelainan kromosom, namun bukan penyakit keturunan. Artinya, terjadinya kondisi ini lebih merupakan hasil dari genetik warisan salah satu orangtuanya. 

 

Baik sang ayah maupun ibu dapat menjadi pembawa atau carrier sindrom down dalam gennya. Seorang pembawa bisa saja tidak mengalaminya, tapi tetap bisa menurunkan kelainan tersebut pada anaknya. Faktor genetik lain yang bisa jadi penyebab down syndrome adalah pernah melahirkan bayi dengan kelainan serupa sebelumnya. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">2. Rencanakan kehamilan dapat membantu mencegah </h3>Risiko bayi mengalami down syndrome juga dapat dipengaruhi usia ibu saat hamil. Semakin lanjut usia Anda ketika hamil, kemungkinan terjadinya kelainan kromosom semakin besar. 

 

Selain itu, menurut penelitian ibu yang kekurangan asam folat berpeluang melahirkan anak dengan kondisi ini. Untuk mencegahnya, ibu yang berencana untuk hamil dapat mencukupi kebutuhan asam folatnya. Misalnya dengan mengonsumsi makanan seperti bayam, kangkung, jeruk, avokad, hati sapi, telur, dan brokoli. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">3. Paparan lingkungan perlu diwaspadai </h3>Faktor penyebab down syndrome juga bisa berkaitan dengan lingkungan. Paparan bahan kimia dan zat asing bisa menyebabkan bayi mengalami kelainan ini. Begitu juga dengan rokok, yang dapat memengaruhi pembentukan kromosom bayi saat berada di kandungan. 

 

Pusdatin Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, ibu yang merokok selama kehamilan dapat melahirkan bayi dengan sindrom down. Selain itu, tindakan ini mengakibatkan bayi lahir dengan gangguan fungsi jantung dan otak.<h3 style="margin-left: 30px;">4. Pencegahan bisa dilakukan sebelum bayi lahir </h3>Para ibu hamil yang termasuk berisiko bisa melakukan melakukan pencegahan dengan memeriksakan diri. Pemeriksaan yang bisa dilakukan terkait dengan down syndrome adalah pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis di awal kehamilan. 

 

Teknologi terkini di bidang kedokteran juga telah melahirkan satu jenis pemeriksaan baru. Skrining yang disebut noninvasive prenatal screening (NIPS) atau skrining prenatal non-invasif ini dapat mendeteksi kondisi kromosom dalam janin. Seperti disebut dalam European Journal of Human Genetics, tes ini dapat dilakukan sejak dini, yaitu sejak janin berusia 9 minggu. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">5. Anak dengan down syndrome punya karakteristik unik </h3>Bayi yang lahir dengan kelainan ini biasanya dapat segera dikenali dengan melihat raut wajahnya. Ciri-cirinya antara lain adalah: <ul><li style="margin-left: 30px;">Profil wajah yang datar dengan bentuk mata mengarah ke atas dan memiliki lipatan pada bagian dalam ujungnya, serta bentuk telinga yang abnormal. </li><li style="margin-left: 30px;">

Di satu sisi mengalami lemah otot namun persendiannya memiliki kelenturan yang berlebihan. </li><li style="margin-left: 30px;">

Lidahnya besar dan tidak seimbang dengan ukuran mulutnya. </li><li style="margin-left: 30px;">

Bila dilihat tangannya, dapat ditemukan satu garis horisontal, kemudian pada jari kelingkingnya hanya ada satu sendi. </li><li style="margin-left: 30px;">

Pada bagian kaki, terdapat jarak berlebihan antara jari jempol dan telunjuk.</li></ul>Banyak anak dengan sindrom down juga dapat memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan anak lainnya. Hal ini akan menyebabkan mereka mengalami masalah kesehatan saat bertumbuh besar nanti. Proses pertumbuhan umumnya lambat dan anak cenderung bertubuh pendek.

 

<h3 style="margin-left: 30px;">6. Tetap bisa bertumbuh dan bekerja di masyarakat </h3>Banyak anggapan di luar yang menyebutkan down syndrome adalah kondisi yang menyebabkan anak tidak berdaya dan tidak bisa belajar. Anggapan ini kurang tepat karena anak sebenarnya masih tetap dapat belajar duduk, berjalan, bicara, bermain, dan melakukan kegiatan lainnya. Hanya saja, memang proses belajarnya lebih lambat dibanding anak-anak yang tidak memiliki kondisi serupa. 

 

Anak dengan kondisi ini memiliki tingkat kecerdasan yang sedikit di bawah anak lain. Hal ini membuat keterampilan bahasa dan daya ingatnya terpengaruh. Namun, orangtua harus percaya bahwa setiap anak memiliki talenta dan bakat masing-masing, termasuk yang mengalami down syndrome. Dengan kesabaran dan pendampingan terus-menerus, mereka bisa tumbuh dengan percaya diri dan berprestasi. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">7. Aspek kesehatan harus jadi fokus selama pengasuhan </h3>Kelainan kromosom dapat menjadi penyebab down syndrome pada anak perlu mendapatkan perhatian ekstra dari orangtua secara kontinu. Seiring dengan perjalanan waktu, kondisi kesehatan si Kecil dapat mengalami kemunduran. Ia pun dapat lebih rentan mengalami gangguan kesehatan berat, salah satunya COVID-19. 

 

Menurut studi dari jurnal Scientific Reports, orang dengan sindrom down masuk dalam kelompok rentan terhadap virus corona. Termasuk juga komplikasi serta gangguan lain yang terjadi pada masa pasca COVID-19. Terutama, mereka yang berusia lebih dari 40 tahun dan memiliki penyakit penyerta. Itu sebabnya, orang dengan down syndrome perlu dapat prioritas untuk menerima vaksinasi COVID-19. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank">Panduan Vaksin Pfizer yang Perlu Anda Tahu</a> 

 

Melakukan tindakan pencegahan terhadap down syndrome adalah hal yang bisa dilakukan para calon ayah dan ibu jauh sebelum kehamilan terjadi. Para ibu bisa berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter apabila memiliki kekhawatiran dengan kondisi kesehatannya. 

 

Temui dokter spesialis kandungan berpengalaman melalui aplikasi AlteaCare dan diskusikan program kehamilan yang akan dijalani melalui telekonsultasi menggunakan video call. Segera unduh, daftarkan diri, lalu pilih jadwal dokter spesialis yang diinginkan. AlteaCare bisa diunduh secara gratis di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore. </a>Sumber: <ul><li>Pusat Data dan Informasi Kementerian RI. Diakses pada 2021. Antara Fakta dan Harapan: Sindrom Down </li><li>

United Nations. Diakses pada 2021. Down Syndrome </li><li>

New Health Advisor. Diakses pada 2021. Down Syndrome Risk by Age. </li><li>

UT Southwestern Medical Center. Diakses pada 2021. Why does a woman’s age impact the risk of Down syndrome in her baby?. </li><li>

New Hope Network. Diakses pada 2021. Folic Acid May Prevent Down Syndrome </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. Folic Acid: Everything You Need to Know </li><li>

European Journal of Human Genetics. Diakses pada 2021. Estimation of the number of people with Down syndrome in Europe. </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Down Syndrome </li><li>

Scientific Reports. Diakses pada 2021. Network analysis of Down syndrome and SARS-CoV-2 identifies risk and protective factors for COVID-19. </li></ul>

Ortu Wajib Tahu, 7 Hal Penting Soal Down Syndrome Pada Anak

Rendahnya nutrisi pada anak bisa menjadi penyebab stunting - AlteaCare | Foto: Freepik

Stunting adalah masalah pelik yang bukan cuma berhubungan dengan faktor nutrisi. Butuh kerjasama dan edukasi yang baik antara banyak pihak, agar gangguan nutrisi berat pada anak ini bisa ditanggulangi. 

 
Data yang dirilis oleh Bank Dunia pada 2018 menyatakan, jumlah anak yang mengalami stunting di Indonesia ternyata cukup tinggi. Sebanyak 37% anak berusia lima tahun mengalami stunting. Stunting adalah kondisi malnutrisi berat yang dialami oleh anak sehingga berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembangnya. <h2>

 

Seperti apa anak yang mengalami stunting? </h2>Tinggi badannya tidak sesuai dengan anak seusianya, begitu juga dengan berat badannya. Secara keseluruhan, anak yang mengalami stunting mengalami hambatan dalam pertumbuhan, sehingga tidak bisa bertumbuh layaknya anak normal seusianya. 

 

Begitu besarnya jumlah anak yang mengalami stunting di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, membuat masalah ini jadi salah satu perhatian utama pemerintah. Apabila tidak ditangani dengan baik dampak dari stunting dapat berpengaruh terhadap masa depan anak. 

 

Buruknya nutrisi adalah masalah utama mengapa anak sampai mengalami stunting. Kondisi malnutrisi membuat sistem kekebalan anak jadi sangat lemah. Perkembangan organ-organ tubuhnya pun terganggu, begitu juga dengan fungsi otaknya. Intinya, anak yang mengalami stunting tidak bisa menjalani hidup secara normal. Mereka tidak bisa bersekolah dan bermain dengan anak seusianya. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a><h2>Faktor penyebab stunting pada anak </h2>Ada sejumlah faktor yang jadi penyebab anak mengalami stunting, khususnya di Indonesia. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">1. Kondisi orangtua </h3>Orangtua, terutama ibu, punya pengaruh penting dalam tumbuh kembang anak. Sejak bayi masih dalam kandungan, proses kelahiran, masa menyusui, hingga bertumbuh besar, kehidupannya berpusat pada sosok ibu. Saat di kandungan, apa yang ibu makan akan berpengaruh pada kesehatan janin. Begitu juga ketika masa menyusui. Begitu anak beranjak besar, makanan yang diberikan oleh ibu menentukan kecukupan gizinya. 

 

Ada beberapa hal yang dapat berpengaruh pada masalah stunting pada anak: <ul><li style="margin-left: 30px;">

Kondisi kesehatan ibu, seperti tinggi badan dan usia saat melahirkan, dapat berperan dalam masalah stunting pada anak. </li><li style="margin-left: 30px;">Rendahnya nutrisi saat hamil, kelahiran prematur, serta jarak antar kehamilan yang terlalu pendek. </li><li style="margin-left: 30px;">Rendahnya asupan nutrisi bagi bayi, yang dipengaruhi oleh rendahnya kualitas air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MPASI) yang tidak cukup gizi. </li><li style="margin-left: 30px;">

Faktor pendidikan ibu dan ayah yang rendah, sehingga kurang memahami pentingnya asupan gizi dalam masa kehamilan, pentingnya memberikan ASI eksklusif selama setidaknya 6 bulan, serta pola makan yang tepat untuk tumbuh kembang anak. </li></ul><h3 style="margin-left: 30px;"> 

2. Kondisi lingkungan tempat tinggal </h3>Penelitian yang dimuat di jurnal Maternal &amp; Child Nutrition menyebutkan pengaruh kurangnya akses air bersih terhadap kesehatan ibu serta anak yang dilahirkan. Lingkungan dengan fasilitas air bersih dan sanitasi yang minim dapat menimbulkan gangguan kesehatan, seperti diare dan cacingan. 

Penelitian ini juga menyebutkan, gangguan infeksi pada anak, seperti diare, gangguan pernapasan, dan demam, banyak dialami oleh anak-anak yang stunting. Kondisi ini didapati pada anak-anak berusia 6-59 bulan yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan dengan tingkat ekonomi rendah. 

 

Gangguan infeksi pada anak bisa membuat pertumbuhannya terhambat, sehingga anak pun terlihat kurus. Bila masalah dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang baik, seperti melalui pemberian asupan nutrisi, kondisi kesehatan si Kecil dapat mengalami masalah. 

 

Faktor lainnya adalah terbatasnya layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui. Belum tersedianya Posyandu membuat para ibu minim mendapatkan informasi seputar kesehatan fisik dan gizi anak. Selain itu, anak pun jadi tidak bisa mendapatkan imunisasi dasar yang penting untuk kesehatannya. 

 

<h3 style="margin-left: 30px;">3. Masalah ekonomi </h3>Pada 2020, UNICEF memperkirakan, masalah malnutrisi berat pada anak dapat meningkat hingga 15%, seiring dengan terpuruknya ekonomi dunia akibat pandemi COVID-19. Banyak keluarga yang kesulitan dalam memberikan asupan yang bergizi dan sehat bagi anak-anaknya karena mengalami masalah ekonomi. 

 

Hal ini tidak hanya memperburuk kondisi anak yang sudah mengalami stunting. Para ibu hamil dan anak-anak yang sebelumnya kekurangan gizi taraf sedang pun dapat terkena dampaknya. 

 

Penanganan masalah stunting sebenarnya harus dilakukan bahkan sebelum ibu mulai hamil. Dengan begitu kondisi gizi yang baik akan dapat dipastikan sejak anak masih dalam kandungan, kemudian lahir dan bertumbuh besar. Demikian juga ibu hamil bisa mendapatkan asupan gizi yang tinggi sebelum, selama, dan setelah melahirkan. 

 

Dibutuhkan andil dari pemerintah untuk menyediakan fasilitas bagi ibu hamil, menyusui, serta bayi dan anak, setidaknya hingga anak berusia 2 tahun. Selain itu, adanya deteksi dini terhadap kondisi malnutrisi anak dapat membantu, sehingga anak bisa segera mendapatkan penangann yang dibutuhkan melalui asupan gizi tambahan. 

 

Bisa jadi stunting adalah masalah yang mungkin bukan fokus perhatian utama Anda dalam hidup. Namun, yang bisa Anda lakukan sebagai orangtua adalah memastikan buah hati mendapatkan asupan nutrisi yang baik serta menjalani program imunisasi dasar secara lengkap. Ibu hamil juga perlu lebih menjaga kondisi kesehatannya selama hamil serta menyantap berbagai jenis makanan dan minuman yang bergizi. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-fakta-seputar-impetigo-yang-dialami-anak-1631155181806" target="_blank">3 Fakta Seputar Impetigo yang Dialami Anak</a> 

 

Anda bisa berkonsultasi seputar kesehatan gizi selama kehamilan dan juga berdiskusi lebih dalam tentang kondisi gizi anak dengan dokter spesialis kandungan atau dokter spesialis anak. Lakukan telekonsultasi dari rumah saja melalui aplikasi AlteaCare untuk memudahkan Anda melakukan penjadwalan dengan dokter yang diinginkan. Segera unduh aplikasi AlteaCare di ponsel Anda, melalui <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau<a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank"> Appstore.</a><a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank"></a>Sumber:<ul><li>Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. </li><li>

Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan. Diakses pada 2021. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting): Ringkasan </li><li>

UNICEF. Diakses pada 2021. Indonesia: Number of malnourished children could increase sharply due to COVID-19 unless swift action is taken </li><li>

Maternal &amp; Child Nutrition. Diakses pada 2021A review of child stunting determinants in Indonesia </li><li>

Worldbank. Diakses pada 2021. Indonesia Accelerates Fight Against Childhood Stunting</li></ul>

3 Penyebab Stunting Pada Anak di Indonesia 

Flu singapura atau penyakit kaki, tangan, dan mulut lebih sering dialami oleh balita - AlteaCare | Foto: Envato

Di antara gangguan kesehatan yang sering menyerang anak, bisa jadi flu singapura adalah salah satu yang cukup menakutkan bagi para orangtua. Banyak orangtua panik mencari obat, padahal penyebabnya adalah virus. 

 

Muncul pertama kali di Toronto, Kanada pada 1957 dengan sebutan hand, foot, and mouth disease (HFMD), gangguan ini akhirnya disebut juga flu singapura karena sempat jadi wabah besar di Singapura pada akhir 2000. 

 

Di Indonesia, flu singapura sebenarnya bukan jenis penyakit baru. Sejak dulu, kita sudah akrab dengan gangguan kesehatan ini namun dengan nama yang berbeda. Pernah dengar istilah Penyakit Kaki, Tangan, dan Mulut (PMK)? Nah, itu dia. 

 

Flu singapura adalah gangguan yang kerap dialami anak. Namun ketika kekebalan tubuh sedang rendah, dewasa pun tak luput dari infeksi virus ini. Hanya saja, mungkin mereka tidak memperlihatkan gejala apa pun. Seperti dilansir di situs Ikatan Dokter Anak Indonesia, kelompok dewasa bukanlah kelompok penderita, namun punya potensi sebagai pembawa dan penyebar virus ini. 

 

Yang unik dari flu singapura adalah karena disebut sebagai flu, tetapi keluhan yang dirasakan tidak benar-benar seperti kalau kita sedang kena flu. Berikut ini adalah empat fakta penting yang perlu Anda ketahui seputar flu singapura pada anak! 

 

<h2>1. Sering dikira sebagai cacar air </h2>Banyak orangtua sering keliru mengira buah hatinya terkena cacar air, padahal si Kecil terkena flu singapura. Meski gejalanya mirip, ada beberapa perbedaan. Lokasi bintil dan ruam bila si Kecil terkena cacar air adalah di sekitar perut dan punggung, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh, dan terasa sangat gatal. 

 

Penyebab dari cacar air adalah virus varicella-zoster (VZV). Sementara hand, foot, and mouth disease (HFMD) atau flu singapura adalah gangguan yang disebabkan infeksi enterovirus, terutama virus Coxsackie A16 (CA 16) dan Enterovirus 71 (EV 71). 

 

Keluhan yang dirasakan saat anak terkena flu singapura adalah: <ul><li>

Demam. Anak mengeluh tidak enak badan. </li><li>

Nyeri tenggorokan. Anak merasa sakit saat menelan makanan atau minuman. </li><li>

Nafsu makan menurun. </li><li>

Setelah demam selama satu-dua hari, muncul bintil-bintil kecil berisi cairan di rongga mulut, lalu pecah menjadi sariawan. Coba periksa rongga mulut anak untuk memastikan. </li><li>

Perhatikan adanya ruam pada kulit dan bintil-bintil merah di telapak tangan dan kaki. Ruam juga ditemukan di tungkai kaki, lengan, bokong, dan kulit sekitar kemaluan. </li></ul>

 Bila tanda-tanda ini terlihat pada si Kecil, ada kemungkinan dia terinfeksi flu singapura. Baca juga: <a href="https://loyaltyapps.digitalnative.id/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a>

 

<h2>2. Sangat mudah menular</h2>Sebagai orangtua, kita tidak perlu mudah khawatir akan kesehatan anak. Namun, ketika sedang banyak anak terkena flu singapura, misalnya di sekolah atau lingkungan rumah, sebaiknya kita perlu mawas diri. 

 

Selain sifatnya sangat menular dan mudah menyebar melalui udara, paparan virus juga terjadi melalui: <ul><li>

Ludah </li><li>

Cairan ingus dan lendir dari orang yang terkena flu singapura </li><li>

Cairan dari lesi atau luka yang pecah </li><li>

Feses orang yang sakit atau dari popok bayi yang dibuang </li><li>

Percikan saat batuk dan bersin </li><li>

Benda yang pernah dipegang oleh orang yang terkena flu singapura, seperti gagang pintu, perabotan, meja, dan sebagainya </li><li>

Adanya kontak erat dengan orang yang sakit, seperti mencium, memegang, atau memeluk</li></ul><h2>3. Banyak dialami balita</h2>Hasil penelitian seputar flu singapura yang dimuat di Emerging Infectious Disease memperlihatkan bahwa mayoritas kelompok yang terkena infeksi virus ini adalah anak-anak. Dan, persentase terbesar ada pada kelompok anak berusia di bawah 4 tahun. Kondisi serupa juga ditemukan di Indonesia. Pertanyaannya, kenapa anak berusia di bawah 4 tahun lebih mudah tertular? Penelitian yang dimuat di jurnal Scientific Reports mungkin bisa jadi jawaban. Bayi berusia di bawah satu tahun tergolong lebih rendah risikonya, karena kebanyakan masih mendapatkan ASI. Pemberian ASI ternyata memberikan perlindungan bagi bayi terhadap virus penyebab HFMD, karena di dalamnya zat-zat yang dapat meningkatkan imunitas bayi. Sementara anak berusia di atas 1 tahun mungkin sudah tidak mendapatkan ASI, juga cenderung lebih aktif dalam kesehariannya dan sebagian juga sudah bersekolah. Ini membuat mereka lebih banyak kontak dengan dunia luar, sehingga ada kemungkinan terinfeksi dari orang di sekitarnya.<h2>4. Rajin cuci tangan kunci pencegahan utama</h2>Saat anak mengalami flu singapura, ada beberapa pertolongan pertama yang bisa Anda lakukan: <ul><li>

Memberikan obat untuk meredakan gejala demam yang dialami si Kecil. </li><li>

Jaga anak agar tetap terhidrasi, karena ruam dan bintil di sekitar mulut mungkin membuatnya tidak nafsu makan dan minum </li><li>

Beri pengertian pada buah hati untuk tidak menggaruk bintil yang ada di kulit, karena bila pecah akan mudah menular. Bintil tersebut akan kering dengan sendirinya </li><li>

Jika memungkinkan, pisahkan kamar anak yang sakit dan untuk sementara dia tidak keluar rumah dulu agar cepat sembuh dan tidak menularkan pada orang lain. </li></ul>

 Hal terpenting yang bisa Anda lakukan juga di rumah adalah menjaga kebersihan. <ul><li>

Bersihkan dan lakukan disinfeksi di daerah-daerah yang jadi tempat aktivitas anak di dalam rumah. </li><li>

Rajin cuci tangan dengan sabun, terutama setelah menyentuh anak. </li><li>

Langsung buang popok yang kotor. </li><li>Cuci alat makan, pakaian, mainan, atau benda lain yang dipakai si Kecil secara terpisah. </li><li> Biasakan diri menutup mulut atau hidung dengan tisu atau lengan bagian dalam saat batuk atau bersin.

</li></ul>Perhatikan kondisi anak dari waktu ke waktu. Apabila keluhannya semakin berat dan keadaannya semakin buruk, segera bawa buah hati Anda ke dokter. Meski flu singapura dapat sembuh setelah beberapa hari, ada beberapa gejala yang bisa mengarah pada masalah kesehatan yang lebih serius, seperti ensefalitis atau peradangan otak, serta meningitis atau radang selaput otak.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/3-fakta-seputar-impetigo-yang-dialami-anak-1631155181806" target="_blank"> 3 Fakta Seputar Impetigo yang Dialami Anak</a>Anda bisa mencoba melakukan telekonsultasi melalui aplikasi AlteaCare untuk berdiskusi tentang kondisi si Kecil bersama dokter spesialis anak yang berpengalaman. Adanya fitur video call memudahkan dokter melihat kondisi si Kecil. Setelah telekonsultasi, dokter dapat memberikan resep untuk anak dan obat bisa segera diantar ke rumah. Segera unduh aplikasi AlteaCare sekarang juga melalui <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">App Store </a>atau <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Play Store.</a><a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank"></a><a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank"></a>Sumber:&nbsp;<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2021. About Chickenpox </li><li>

Emerging Infectious Disease, Diakses pada 2021. Epidemic Hand, Foot and Mouth Disease Caused by Human Enterovirus 71, Singapore </li><li>

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada 2021. Hand, Foot, and Mouth Disease (HFMD) </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Hand-foot-and-mouth disease </li><li>

NSW Government Australia. Diakses pada 2021. Hand, foot and mouth disease fact sheet </li><li>

Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Deteksi Penyebab dan Sebaran Kasus Kejadian Luar Biasa Hand Foot and Mouth Diseases (HFMD) Tahun 2008-2012 </li><li>

Scientific Reports. Diakses pada 2021.The Clinical and Epidemiological Study of Children with Hand, Foot, and Mouth Disease in Hunan, China from 2013 to 2017 </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Hand, Foot, and Mouth Disease (HFMD) </li></ul>