Rasa tidak nyaman karena sakit bisa bikin anak rewel - AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orangtua yang bingung saat anaknya sedang kesakitan. Baik saat sedang demam maupun karena terjatuh ataupun terluka. Tidak seperti orang dewasa yang bisa menahan sakit, anak bisa rewel, bahkan ketakutan. Sementara itu, sudah jadi rahasia umum kalau banyak anak kerap takut ke dokter atau rumah sakit saat sakit. Apalagi kalau harus jalani prosedur medis. Misalnya, saat ada luka terbuka yang harus dijahit. Begitu juga saat di rumah. Terkadang anak menolak minum obat untuk meredakan rasa sakit, tapi lalu menangis semalaman. Bila anak mengalami rasa sakit saat sedang di rumah sakit, tenaga medis sudah terbiasa menanganinya karena mereka sudah dibekali dengan pelatihan khusus. Tapi, bagaimana kalau kejadiannya di rumah? Yuk, simak tips menenangkan anak yang rewel karena kesakitan berikut ini! <h2>8 Tips Membujuk Anak Rewel Karena Sakit </h2>Beberapa hal ini bisa dilakukan orangtua saat mendampingi anak yang sedang kesakitan: <h3>1. Amati Kadar Rasa Sakitnya </h3>Umumnya, yang bikin anak rewel adalah rasa tidak nyaman akibat sakit yang dialami. Untuk itu, orangtua sebaiknya ketahui dulu sebesar apa rasa sakit yang ia rasakan. Caranya adalah dengan melihat respon sang anak terhadap sakitnya, apakah ia bilang sakit, mengerang, meringis, atau menangis sambil menjerit. Perhatikan juga wajahnya, apakah tampak merah padam, berkeringat, atau pucat. Selain itu, amati juga perubahan lainnya. Apakah anak jadi murung, hilang nafsu makan, atau ada perilaku lain yang di luar kebiasaan. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/tips-jaga-kesehatan-anak-luar-dalam-dari-ahlinya-1659929878965" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Tips Jaga Kesehatan Anak Luar-Dalam dari Ahlinya</a> <h3>2. Alihkan Perhatiannya </h3>Salah satu trik yang sering dilakukan tim medis saat menangani anak yang kesakitan adalah mengalihkan perhatiannya. Terutama bila anak sedang mengalami nyeri akut atau baru saja menjalani operasi. Nah, ini juga bisa Anda lakukan di rumah. Misalnya, dengan memperlihatkan acara kesukaannya di televisi, mengajak main gim, atau memberikan makanan kesukaannya. <h3>3. Beri Pijatan </h3>Saat anak rewel akibat sedang sakit dan tidak bisa tidur, cobalah pijati badannya dengan lembut. Menurut penelitian, pijatan bisa membantu merilekskan tubuhnya. Selain itu, juga bisa mengurangi rasa nyeri, sehingga si Kecil bisa tidur lebih nyenyak. Para peneliti menyebutkan, pijatan juga dapat mengurangi nyeri otot dan rasa cemas pada anak. <h3>4. Metode Kanguru </h3>Untuk anak masih bayi, Anda bisa coba lakukan metode kanguru untuk menenangkannya serta membantu meredakan rasa nyeri. <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-manfaat-metode-kanguru-untuk-ibu-dan-bayi-1658308566562" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Metode kanguru</a> adalah metode yang bertujuan untuk menciptakan kontak kulit ke kulit (skin to skin) antara orangtua dan anak. Metode ini awalnya banyak dilakukan oleh ibu yang melahirkan bayi prematur. Oleh peneliti, disebutkan metode ini dapat menurunkan risiko kematian pada bayi yang lahir prematur. Namun, ini juga dapat membantu meredakan rasa sakit yang dialami bayi. Kontak kulit yang terjadi saat tubuh ibu dan bayi saling menempel ini memungkinkan untuk bayi untuk menyesuaikan suhu tubuhnya dengan sang ibu. Bila suhu tubuh bayi sedang panas, tubuh ibu akan menyejukkannya sehingga membuatnya lebih tenang. Alternatif lainnya, Anda juga bisa membedong bayi untuk membuatnya lebih tenang. <h3>5. Perlihatkan Sesuatu yang Lucu </h3>Sentuhan humor juga bisa jadi salah satu alternatif untuk menenangkan anak yang rewel karena sedang kesakitan. Anda bisa memperlihatkan video lucu di Youtube atau TikTok. Menurut penelitian, menonton video lucu bisa mengurangi rasa nyeri pada anak dan mengurangi tingkat stres saat sakit. <h3>6. Musik dan Aromaterapi </h3>Memutar musik dan menyalakan aromaterapi bisa membantu meredakan rasa sakit yang dialami anak, sehingga ia jadi lebih tenang. Anda bisa minta anak untuk memilih lagu kesukaannya. Atau, putar lagu instrumental yang lembut untuk menemaninya beristirahat. Sementara itu, untuk aromaterapi Anda bisa pilih yang aromanya yang tidak terlalu menyengat. Jadi, bisa menenangkan pikiran dan mengurangi stres. <h3>7. Berikan Obat Pereda Nyeri </h3>Karena bukan dokter, kita tentu tidak bisa sembarang memberikan obat. Namun, kita bisa memberi obat anti nyeri khusus anak yang dijual bebas di apotek, semisal parasetamol dan ibuprofen. Sebaiknya, berikan dosis secukupnya saja dan tidak untuk jangka panjang. Bila keluhan nyeri maupun demam tidak kunjung hilang, segera hubungi dokter spesialis anak agar bisa dapat penanganan yang tepat. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/4-cara-mengatasi-anak-demam-jangan-dianggap-remeh-1647495843220" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">4 Cara Mengatasi Anak Demam. Jangan Dianggap Remeh!</a> <h3>8. Kompres Dingin </h3>Saat anak kesakitan akibat keseleo atau luka memar di permukaan kulit, Anda bisa meredakannya dengan menempelkan kompres dingin. Kompres dingin bisa membantu mengurangi bengkak pada permukaan kulit. Anda bisa buat kompres dingin sendiri dengan es batu di rumah, tapi jangan langsung tempelkan es batu ke kulit si Kecil, ya! Ini justru bisa bikin kulit terasa seperti terbakar. Balut es batu dengan handuk, baru tempelkanlah ke area yang terluka.Atau, gunakan kompres dingin yang dijual di toko kesehatan. Itulah sejumlah tips untuk menenangkan anak yang rewel karena sakit di rumah. Jika anak Anda tiba-tiba sakit dan Anda bingung cara menanganinya, jangan ragu untuk lakukan video call dengan dokter spesialis anak di AlteaCare, ya. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber: <ul><li>Cincinnati Children's. Diakses pada Agustus 2022. Pain Management </li><li>Better Health. Diakses pada Agustus 2022. Pain management (acute) - children </li><li>Andersson, V., Bergman, S., Henoch, I., Simonsson, H., &amp; Ahlberg, K. (2022). Pain and pain management in children and adolescents receiving hospital care: a cross-sectional study from Sweden. BMC pediatrics, 22(1), 1-9. </li><li>Evans, S., Tsao, J. C., &amp; Zeltzer, L. K. (2008). Paediatric pain management: using complementary and alternative medicine. Reviews in pain, 2(1), 14-20. </li><li>About Kids Health. Diakses pada Agustus 2022. Heat and cold for pain management </li></ul>

8 Tips Menenangkan Anak yang Rewel Karena Sakit

Seiring PPKM yang dicabut, penggunaan masker di ruang terbuka jadi lebih longgar - AlteaCare | Foto: Envato

Sejak akhir 2022 hingga awal 2023 ini, banyak orang sudah beraktivitas seperti sebelum masa pandemi COVID-19. Apakah memang ada peraturan baru setelah PPKM dicabut?Kita sama-sama menyaksikan bagaimana seluruh dunia luluh lantah pada awal 2020. Biang keladinya tidak lain dan tidak bukan adalah virus corona yang mematikan.Tidak terhitung berapa jumlah orang yang meninggal dunia akibat virus ini. Para penyintas COVID-19 hingga kini masih mengalami dampak berkepanjangan dari penyakit ini. Kondisi <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">long COVID</a> sebagai efek samping dari infeksi virus corona membuat para penyintas sulit menjalani aktivitas seperti dulu.Untuk mencegah penularan, pemerintah telah beberapa kali menerapkan aturan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahkan, ada masa ketika kita tidak bisa pergi ke luar rumah sama sekali.Namun, pada awal 2023 ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Anak-anak sudah mulai sekolah lagi dan banyak pekerja sudah kembali ngantor. Lalu, perubahan apa saja yang sudah terjadi saat ini? Simak artikel ini sampai habis, ya!<h2>Yang Berubah dari Pandemi COVID-19 Pasca PPKM Dicabut</h2>Berikut adalah rangkuman mengenai perubahan aturan mengenai COVID-19:<h3>1. PPKM Dicabut</h3>Secara resmi, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa PPKM dicabut di seluruh wilayah Indonesia pada Jumat, 30 Desember 2022."Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 dengan baik dan sekaligus bisa menjaga stabilitas ekonominya," ujar Presiden dalam konferensi pers.Kementerian Kesehatan mencatat per 27 Desember 2022, kasus harian COVID-19 berada di angka 1,7 orang per 1.000.000 penduduk. Lalu, rasio positif mingguannya ada di angka 3,35%, perawatan di rumah sakit di angka 4,79%, dan angka kematian di angka 2,39%.Menurut rilis Kementerian Kesehatan, angka tersebut sudah di bawah standar WHO.Sebelum pencabutan PPKM ini, semua kabupaten/kota di Indonesia berstatus PPKM Level 1. Hal ini menandakan bahwa tingkat pembatasan kerumunan dan pergerakan orang relatif rendah."Setelah mengkaji dan mempertimbangkan perkembangan tersebut kurang lebih selama 10 bulan, maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM yang tertuang dalam instruksi Mendagri nomor 50 dan 51 Tahun 2022," sambung Presiden Jokowi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/5-tips-dari-ahli-untuk-mencegah-covid-pada-anak-1658761846655" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak</a> 
<h3>2. Pandemi Belum Berakhir</h3>Meski PPKM sudah berakhir, status pandemi belum usai. Menurut Presiden, status pandemi adalah situasi global dan bukan keputusan pemerintah semata. Maka dari itu, untuk status kedaruratan kesehatan, Indonesia harus mengikuti Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) WHO.Status pandemi juga belum dicabut sebagai langkah antisipasi datangnya gelombang baru penyebaran virus.Pemerintah pun meminta masyarakat untuk tetap waspada dan menjaga kesehatan agar terhindar dari penularan virus.<h3>3. Masker Tetap Wajib Digunakan</h3>PPKM memang sudah dicabut dan terjadi banyak pelonggaran, tetapi pemerintah tetap mewajibkan masyarakat menggunakan masker.Pasalnya, penyebaran virus COVID-19 masih belum hilang 100%. Demi mencegah risiko penularan virus corona, masyarakat tetap diminta menggunakan masker di keramaian dan ruang tertutup.Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 pada Masa Transisi Menuju Endemi, masker wajib digunakan terutama:<ul><li>saat dalam kerumunan dan keramaian aktivitas masyarakat,</li><li>
saat di dalam gedung/ruangan tertutup dan sempit (termasuk dalam transportasi publik),</li><li>
untuk orang yang bergejala penyakit pernapasan (seperti batuk, pilek, dan bersin),</li><li>
bagi mereka yang termasuk kontak erat dan terkonfirmasi positif&nbsp;COVID-19</li></ul><h3>4. Penggunaan Aplikasi PeduliLindungi Masih Berlaku</h3>Pada masa PPKM, aplikasi PeduliLindungi sangat berguna untuk melacak persebaran COVID-19. Selain itu, kita juga bisa melihat sertifikat vaksin melalui aplikasi ini.Lalu, setelah PPKM dicabut, apakah aplikasi ini bisa ditinggalkan?Jawabannya, tentu tidak. Dalam Instruksi Mendagri Nomor 53 Tahun 2022, disebutkan bahwa aplikasi PeduliLindungi masih harus digunakan saat hendak memasuki fasilitas publik.Orang yang akan menggunakan transportasi publik juga tetap harus memindai aplikasi PeduliLindungi terlebih dulu.<h3>5. Satgas Belum Dibubarkan</h3>Karena virus COVID-19 belum benar-benar punah, pemerintah pusat mewajibkan pemerintah daerah untuk tetap mengaktifkan Satgas COVID-19.Satgas ini bertugas melakukan pengawasan dan mengamati perkembangan angka penyebaran COVID-19.<h3>6. Warga Boleh ke Kantor Lagi</h3>Selama pandemi, banyak perusahaan yang memberlakukan kebijakan work from home (WFH) alias kerja dari rumah. Lalu, setelah PPKM dicabut, apakah aturan WFH masih berlaku?Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan, bahwa pencabutan PPKM ditujukan pada kegiatan yang sebelumnya dibatasi. Artinya, kini masyarakat sudah boleh berkegiatan di kantor lagi."Jadi yang dicabut PPKM-nya adalah pembatasannya saja, contoh kita tidak perlu lagi ada WFH, tidak ada lagi pembatasan kita ke mall dan sebagainya," kata Syahril dalam diskusi media secara daring, Jumat (30/12/2022)Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/yakin-remote-working-adalah-pilihan-sehat-pertimbangkan-ini-1667196599455" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Yakin Remote Working Adalah Pilihan Sehat? Pertimbangkan Ini!</a><h3>
7. Izin Acara Keramaian Masih Selektif</h3>Beberapa waktu terakhir, memang konser dan acara-acara yang mengundang keramaian sudah kembali digelar. Namun, pemerintah pusat tetap meminta pemerintah daerah dan Satgas COVID-19 tetap selektif dalam memberikan izin.Selain itu, acara juga tetap wajib memberlakukan protokol kesehatan.Itulah sejumlah aturan baru mengenai pandemiVCOVID-19 yang penting untuk diketahui.Jika Anda mengalami gejala COVID-19 dan bingung harus minum obat apa, video call dokter di AlteaCare saja untuk mendapat rekomendasi yang tepat! Anda juga bisa pesan paket obat COVID di Toko Kesehatan di AlteaCare, lo!Yuk, gunakan aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan. Diakses pada Januari 2023. PPKM di Indonesia Resmi Dicabut</li><li>
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses pada Januari 2023. Mendagri Terbitkan Inmendagri 53/2022 terkait Pencabutan PPKM</li></ul>

7 Aturan Penting soal Pandemi COVID-19 Pasca PPKM Dicabut

Tidur berjalan atau sleepwalking bisa disebabkan kebiasaan tidur yang buruk - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea pasti pernah nonton film yang ada adegan orang tidur berjalan di malam hari. Tegang, ya, melihat bagaimana pemerannya terbangun dari tidur lalu berjalan sambil menjulurkan tangan ke depan? Di dunia medis, fenomena ini disebut sleepwalking.Tidur sambil berjalan atau bahasa ilmiahnya somnambulisme termasuk salah satu gangguan tidur. Mengutip studi dari PLoS One, kemungkinan orang punya pengalaman tidur berjalan setidaknya sekali dalam seumur hidupnya adalah 6,9%.<h2>Seperti Apa Tidur Berjalan atau Sleepwalking Itu?</h2>Somnambulisme adalah gangguan tidur yang terjadi pada saat kita sedang berada pada fase tidur nyenyak atau deep sleep, atau sering juga disebut tidur NREM (non rapid eye movement). Kondisi ini seringnya terjadi dalam kurun waktu 1-2 jam setelah kita tertidur.Mengutip dari American Psychological Association, saat mengalami kejadian tidur sambil berjalan, kita bisa saja duduk atau berjalan di sekeliling rumah. Bahkan kita bisa beraktivitas seperti waktu terbangun, misalnya makan, mengobrol, atau mengoperasikan alat.Mata kita terbuka, tapi sebenarnya kita masih tidur nyenyak. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak responsif terhadap lingkungan sekitar dan mungkin baru tersadar saat orang berusaha keras membangunkan. Begitu bangun dari sleepwalking, kita tidak ingat apa yang terjadi selama tidur dan kenapa bisa berakhir tidur di sofa atau di teras rumah. Padahal, yang kita tahu, setiap malam kita tidur di kamar.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/anda-bertanya-dokter-spesialis-tidur-menjawab-1635226418613" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Anda Bertanya, Dokter Spesialis Tidur Menjawab</a> 
<h2>Penyebab Tidur Berjalan atau Sleepwalking</h2>Meski tidur sambil berjalan bukan gangguan yang sering dialami banyak orang, risiko kita untuk mengalaminya semakin tinggi apabila salah satu anggota keluarga juga punya gangguan serupa. Selain faktor genetik, Mayo Clinic juga mengaitkan gangguan ini dengan faktor usia. Somnambulisme lebih sering dialami oleh anak daripada dewasa. Di samping kedua faktor ini, ada beberapa hal lain yang bisa jadi penyebab tidur berjalan. Yuk, simak berikut ini!<h3>1. Kurang Tidur</h3>Waktu tidur tidak bisa didiskon seperti belanja pakaian. Sebab, kurangnya waktu tidur juga bisa berpengaruh pada gangguan sleepwalking.Mengutip dari Sleep Foundation, kurang tidur bisa meningkatkan risiko gangguan ini. Penelitian pada jurnal PLoS One menegaskan hal ini. Disebutkan, pemindaian terhadap otak orang dengan gangguan tidur sambil berjalan memperlihatkan adanya perubahan pada fungsi otak. Perubahan ini ditemukan pada orang dengan gangguan somnambulisme yang mengalami penurunan aliran darah ke otak. <h3>2. Stres Berlebihan</h3>Kondisi psikologis juga bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur sambil berjalan.Melansir Healthline, stres dan rasa cemas berlebihan dapat berpengaruh besar pada gangguan tidur ini. <h3>3. Gangguan pada Saluran Pernapasan</h3>Pernah dengar tentang <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/obstructive-sleep-apnea-1653614128281" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">obstructive sleep apnea</a>, gangguan tidur yang menyebabkan terjadinya henti napas dalam waktu yang singkat? Ciri utamanya adalah sering tidur mengorok lalu seperti tercekik, akhirnya terbangun tiba-tiba di tengah malam. Nah, gangguan ini ternyata juga bisa berkaitan dengan sleepwalking atau tidur berjalan, Sobat Altea! Ini dibuktikan lewat penelitian yang dimuat di jurnal Frontiers in Psychology.Selain itu, gangguan saluran pernapasan lain seperti asma pada anak juga bisa memicu munculnya kebiasaan tidur sambil berjalan. Menurut penelitian, asma juga dikaitkan dengan masalah turunnya kualitas tidur, sulit tidur di malam hari, serta sering terbangun di malam hari.Selain itu, asma juga bisa membuat orang bangun lebih dini dan mudah mengantuk di siang hari.<h3>4. Migrain</h3>Menurut data dari WHO, 30% orang berusia antara 18-65 tahun rentan mengalami <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/migrain-1645434531901" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">migrain</a>. Apakah Anda salah satunya?Ternyata, gangguan yang satu ini, menurut penelitian yang dikutip dari jurnal Sleep,&nbsp;juga dapat berkaitan dengan masalah somnambulisme.Jadi, kalau Sobat Altea sudah lama menderita migrain, sebaiknya atasi dengan bantuan dokter, ya!<h3>5. Mengidap GERD</h3>Masalah naiknya asam lambung tidak hanya bikin tubuh tidak nyaman dan perut sakit. Gangguan GERD juga bisa menimbulkan masalah tidur.Pasalnya, pada sebagian orang gejala GERD memburuk di malam hari. Orang dengan GERD atau gangguan lambung lainnya juga termasuk rentan terhadap berbagai gangguan tidur, termasuk tidur sambil berjalan.Selain itu, karena GERD sering bikin susah tidur, orang pun sering didera rasa lelah berkepanjangan. Nah, kondisi ini juga bisa memicu orang berjalan dalam kondisi tidur.<h3>6. Penyakit Parkinson</h3>Kondisi penyakit saraf yang satu ini bisa membuat kita mengalami gangguan tidur berjalan atau sleepwalking. Kondisi gangguan saraf yang dialami oleh pengidap Parkinson bisa berpengaruh pada kemampuan bergerak tubuhnya. Seiring dengan perjalanan penyakit, bagian otak yang mengontrol gerakan serta bagian otak yang mengontrol tidur juga bisa terdampak.Normalnya saat kita tidur nyenyak otak akan membuat otot-otot tubuh jadi lumpuh sementara supaya kita bisa bermimpi. Namun, pada pengidap Parkinson, kondisi ini tidak tercapai sehingga ia bisa saja berjalan dalam kondisi tidur atau mengalami gangguan tidur lainnya.<h3>7. Demam</h3>Demam sebenarnya adalah reaksi bahwa terjadi sesuatu di dalam tubuh kita. Bagi orang dewasa, kondisi ini relatif lebih mudah diatasi. Namun, tidak pada anak.Mengalami demam bisa membuat anak terganggu tidurnya. Mereka bisa mimpi buruk, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, bahkan menjerit. Selain itu, anak juga bisa tidur sambil berjalan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/4-cara-mengatasi-anak-demam-jangan-dianggap-remeh-1647495843220" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">4 Cara Mengatasi Anak Demam. Jangan Dianggap Remeh!</a> 
<h2>Cara Mengatasi Tidur Berjalan atau Sleepwalking</h2>Beberapa cara ini bisa dilakukan untuk mencegah tidur sambil berjalan di malam hari:<ul><li>Rilekskan diri menjelang waktu tidur, misalnya dengan dengar musik atau pasang aromaterapi</li><li>
Biasakan tidur teratur dan terjadwal, ini bisa membantu supaya kita cukup tidur</li><li>
Supaya tidak sering terbangun untuk buang air kecil di tengah malam, perhatikan asupan cairan dan jangan sampai terlalu banyak</li><li>
Hindari minuman mengandung kafein, seperti kopi, teh, kola, atau minuman energi. Begitu juga dengan makanan seperti cokelat.</li><li>
Pastikan ruang kamar nyaman sehingga bisa tidur nyenyak, dengan mengatur suhu dan pencahayaan ruangan</li></ul>Sobat Altea yang punya masalah tidur yang mengganggu, jangan ragu lakukan video call dengan dokter spesialis tidur di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Stallman, H. M., &amp; Kohler, M. (2016). Prevalence of Sleepwalking: A Systematic Review and Meta-Analysis. PloS one, 11(11), e0164769. </li><li>
Healthline. Diakses pada Agustus 2022. What Causes Sleepwalking?</li><li>
Dang-Vu, T. T., Zadra, A., Labelle, M. A., Petit, D., Soucy, J. P., &amp; Montplaisir, J. (2015). Sleep Deprivation Reveals Altered Brain Perfusion Patterns in Somnambulism. PloS one, 10(8), e0133474. </li><li>
Lundetræ, R. S., Saxvig, I. W., Pallesen, S., Aurlien, H., Lehmann, S., &amp; Bjorvatn, B. (2018). Prevalence of Parasomnias in Patients With Obstructive Sleep Apnea. A Registry-Based Cross-Sectional Study. Frontiers in psychology, 9, 1140. </li><li>
Cukic, V., Lovre, V., &amp; Dragisic, D. (2011). Sleep disorders in patients with bronchial asthma. Materia socio-medica, 23(4), 235–237. </li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Agustus 2022. Adakah Sobat Sehat yang pernah mengalami migrain?</li><li>
Lopez, R., Jaussent, I., &amp; Dauvilliers, Y. (2015). Pain in Sleepwalking: A Clinical Enigma. Sleep, 38(11), 1693–1698. </li><li>
Cleveland Clinic. Diakses pada Agustus 2022. Sleepwalking</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Agustus 2022. Sleepwalking</li></ul>

Tidur Berjalan Bisa Berbahaya, Ini Dia 7 Penyebab Sleepwalking

Angka Covid yang naik lagi bisa berpengaruh pada kondisi pandemic fatigue - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea masih ingat kepanikan yang melanda di masa awal pandemi? Semua aktivitas jadi dibatasi. Sekarang, baru beberapa bulan PPKM dilonggarkan, angka Covid naik lagi. Tak heran bila banyak yang alami pandemic fatigue.Mengutip dari WHO, kelelahan akibat pandemi merupakan respons yang alami dan terduga, mengingat krisis kesehatan yang terjadi di masyarakat ini sudah berkepanjangan. Kita tahu, tingkat keparahan dan cepatnya penularan virus corona menuntut adanya penerapan protokol kesehatan yang ketat. Tujuannya sebenarnya baik, supaya semakin sedikit orang yang terkena paparan virus. Tapi, lama-kelamaan kita bisa lelah juga. Virus makin bermutasi dan sulit dikendalikan, varian baru bermunculan, kematian akibat Covid tetap ada. Anda mungkin termasuk yang bertanya, kapan pandemi berakhir? Rasanya lelah harus pakai masker tiap hari. Rasanya lelah, tiap hari lihat berita tentang Covid.Inilah yang disebut oleh para ahli sebagai pandemic fatigue, yang makin marak sementara kondisi Covid naik lagi belakangan ini.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/gejala-omicron-xbb-yang-harus-diwaspadai-cepat-menular-1667295967815" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gejala Omicron XBB yang Harus Diwaspadai. Cepat Menular!</a> 
<h2>Kenapa Sampai Ada Pandemic Fatigue?</h2>Melansir dari WHO, pandemic fatigue adalah kondisi demotivasi atau menurunnya motivasi orang untuk mengikuti protokol kesehatan yang direkomendasikan saat pandemi. Fenomena kelelahan ini dilaporkan terjadi di sejumlah negara, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang tidak mengikuti rekomendasi kesehatan dan pembatasan kegiatan yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, kondisi ini juga terlihat dari semakin menurunnya upaya orang untuk mencari informasi seputar pandemi. Akibatnya, persepsi terhadap risiko terkait Covid-19 pun menurun. 
Ada beberapa hal yang bisa membuat seseorang mengalami demotivasi:<h3>1. Semakin Terbiasa Hidup Dengan Covid</h3>Bila dulu dengar kata virus corona saja sudah ngeri, kini orang makin terbiasa dengar kabar teman atau kerabat yang terkena Covid. Di satu sisi, kita sering dengar angka Covid naik lagi. Di lain sisi, banyak orang yang merasa dirugikan oleh pembatasan kegiatan, baik dari segi ekonomi dan sosial, akhirnya mulai “melawan”. Mereka memilih tidak mengikuti rekomendasi kesehatan dan pembatasan kegiatan. <h3>2. Ingin Bebas</h3>PPKM memang bisa mengendalikan angka kasus aktif. Tapi, banyak orang merasa kehilangan kebebasan. Mereka ingin bisa kembali hidup nyaman dan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa harus ikut protokol kesehatan, seperti pakai masker.<h3>3. Pandemi Dianggap Tidak Berbahaya Lagi</h3>Saat sudah lama hidup dalam pandemi, lama-lama situasi yang tidak normal pun dianggap normal. Orang pun jadi terbiasa dengan pandemi, tidak menganggapnya sebagai ancaman, dan tidak takut akan bahaya bila sampai terpapar. <h2>Tips Atasi Pandemic Fatigue Saat Covid Naik Lagi</h2>Mudah saja mengenali orang yang mengalami kelelahan pandemi. Ciri utamanya adalah protokol kesehatan, seperti tidak mau cuci tangan, tidak pakai masker, dan tidak melakukan pembatasan jarak. Selain itu, pandemic fatigue juga bisa membuat orang diliputi rasa takut, marah, cemas, kesepian, frustrasi, dan putus asa.Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya? Yuk, simak tips berikut ini: <h3>1. Refleksi Diri</h3>Waktu dua tahun lebih tidaklah sebentar. Wajar bila kita pun merasa lelah saat harus ikut protokol kesehatan.Namun, ada baiknya kita renungkan lagi, untuk apa sebenarnya protokol kesehatan itu diterapkan bila bukan untuk kebaikan dan keamanan kita sendiri? Jadi, jangan merasa sedih, kecewa, lelah, dan takut. Terima semua perasaan itu, lalu sesuaikan harapan kita dengan kondisi saat ini agar bisa lebih berdamai dengan pandemi.<h3>2. Lakukan Meditasi</h3>Pandemi bikin stres? Bukan rahasia lagi.Maka dari itu, pastikan kondisi pikiran dan jiwa kita selalu tenang. Saat stres melanda, kendalikan dan jangan sampai jadi depresi. Kita bisa lakukan meditasi atau latihan pernapasan di rumah. Menurut studi yang dimuat di Irish Journal of Psychological Medicine, meditasi bisa mengurangi stres akibat pandemi. <h3>3. Batasi Media Sosial</h3>Transparansi berita adalah tantangan terbesar di masa pandemi. Banyak info yang cepat kita terima di media sosial tanpa bisa dipertanggungjawabkan sumbernya. Nah, karena itu sebaiknya kita kurangi scrolling media sosial, supaya tidak gampang cemas saat baca berita tentang pandemi.Saat ada berita Covid naik lagi, jangan malas buat cari referensi dari sumber lain yang bisa dipercaya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/sehatkah-sering-curhat-di-media-sosial-1634012259833" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Sehatkah Sering “Curhat” di Media Sosial?</a> 
<h3>4. Tetap Beraktivitas Secara Aman</h3>Menurut studi dari University of Michigan, melakukan aktivitas fisik bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh atau imun.Meski masih dalam situasi pandemi, kita tetap bisa melakukan kegiatan yang disukai, seperti berolahraga atau belajar hal-hal baru. Yang terpenting, ikuti protokol kesehatan dan jaga jarak saat berada di tengah orang banyak. Sempatkan juga beristirahat setelah sibuk seharian untuk mengembalikan energi yang hilang.Itulah beberapa cara mengatasi pandemic fatigue ketika Covid naik lagi.Sobat Altea yang mengalami rasa lelah, jenuh, maupun gangguan kesehatan mental lain akibat pandemi, jangan ragu lakukan video call dengan Psikolog atau Psikiater di AlteaCare. Anda juga bisa manfaatkan layanan chat dengan Konselor Psikologis di aplikasi.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan dapatkan solusi untuk kesehatan mental dari ahlinya! Sumber:<ul><li>Behan, C. (2020). The benefits of meditation and mindfulness practices during times of crisis such as COVID-19. Irish Journal of Psychological Medicine, 1-3</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. Mengatasi Pandemic Fatigue dengan 5 Langkah Sederhana</li><li>
Kim, H., J., Meeker, T., J., Tulloch, I., K., Mullins, J., Park, J.,H., &amp; Bae, S., H. (2022). Pandemic Fatigue and Anxiety Sensitivity as Associated Factors With Posttraumatic Stress Symptoms Among University Students in South Korea During the Prolonged COVID-19 Pandemic. International Journal of Public Health, 67: 1604552.</li><li>
UC Health. Diakses pada November 2022. Are you feeling exhausted, anxious or sad? 5 tips for handling ‘pandemic fatigue.’</li><li>
University of Michigan. Diakes pada November 2022. Importance of Physical Activity and Exercise during the COVID-19 Pandemic</li><li>
Pandemic fatigue – reinvigorating the public to prevent COVID-19. Policy framework for supporting pandemic prevention and management. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe; 2020.</li></ul>

Covid Naik Lagi, Begini Cara Atasi Pandemic Fatigue

Kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia diduga disebabkan oleh konsumsi obat sirup - AlteaCare | Foto: Envato

Kasus gagal ginjal akut pada anak yang berlangsung menjelang akhir 2022 dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini diduga disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kandungan dalam obat sirup.Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, telah mengonfirmasi, per 22 Oktober 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia telah mencapai 241 kasus di 22 provinsi. Dari jumlah tersebut, 133 anak di antaranya dinyatakan meninggal dunia.Berdasarkan laporan terbaru, Budi Gunadi menyampaikan, bahwa kemungkinan besar penyebabnya adalah obat sirup. 
Lalu, adakah faktor lainnya yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak? Yuk, simak paparan lengkap berikut ini!<h2>Gejala Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Secara medis, penyakit ini dinamakan gagal ginjal akut progresif atipikal. Lalu, bagaimana kita bisa mendeteksi anak yang mengalami penyakit ini?Kementerian Kesehatan RI telah merangkum berbagai gejala seperti berikut ini.<ul><li>diare</li><li>
mual</li><li>
muntah</li><li>
demam selama tiga sampai lima hari</li><li>
pilek</li><li>
sering mengantuk atau kesadaran berkurang</li><li>
jumlah air kencing sangat sedikit atau tidak kencing sama sekali</li><li>
tekanan darah tinggi</li><li>
pembengkakan pada jaringan palpebra di dekat mata, perut, atau alat reproduksi</li><li>
dehidrasi</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/gagal-ginjal-akut-1658195604506" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gagal Ginjal Akut</a> 
<h2>Penyebab Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Beberapa sumber menyebutkan, gagal ginjal akut pada anak bisa disebabkan beragam faktor. Jadi, pemicu gejala yang dialami anak tidak hanya satu.Berikut adalah beberapa penyebab yang bisa memicu terjadinya gagal ginjal akut:<h3>1. Gangguan Aliran Darah</h3>Beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan aliran darah dan memicu gagal ginjal di antaranya adalah:<ul><li>infeksi</li><li>
gangguan liver</li><li>
obat pengendali tekanan darah</li><li>
gagal jantung</li><li>
luka bakar serius</li><li>
dehidrasi</li><li>
kehilangan darah atau cairan</li><li>
obat yang terlalu banyak mengandung etilen glikol</li></ul><h3>2. Hambatan Saluran Kemih 
</h3>Gagal ginjal juga bisa disebabkan oleh hambatan aliran urine, sehingga tidak bisa keluar dengan normal. Hal itu bisa dipicu oleh beberapa faktor berikut:<ul><li>kanker prostat, serviks, usus besar, dan kandung kemih</li><li>
pembekuan darah</li><li>
pembesaran prostat</li><li>
batu ginjal</li><li>
kerusakan saraf di kandung kemih</li></ul><h3>3. Terjadi Kerusakan pada&nbsp;Ginjal</h3>Beberapa kondisi berikut ini juga dipercaya dapat merusak ginjal, yang berujung pada gagal ginjal akut:<ul><li>pembekuan darah</li><li>
kadar kolesterol terlalu tinggi</li><li>
mengonsumsi obat-obatan tertentu, semisal ibuprofen, kemoterapi, dan antibiotik</li><li>
peradangan pada saringan di ginjal (bisa berawal dari gangguan autoimun)</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/gagal-ginjal-kronis-1656383694942" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gagal Ginjal Kronis</a> 
<h2>Cara Menangani Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Kementerian Kesehatan RI juga telah menerbitkan dokumen yang berisi cara penanganan gagal ginjal akut pada anak.Berikut adalah prosedur penanganannya yang bisa Anda lakukan jika suatu saat anak menunjukkan gejala penyakit ini.<ol><li>Saat anak menunjukkan gejala sakit, segera bawa ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit.</li><li>
Dokter akan memantau jumlah dan warna urine (kalau jumlah urine kurang dari 0,5 ml/kg BB/jam dalam waktu enam sampai 12 jam, anak harus segera dibawa ke rumah sakit)</li><li>
Dokter di rumah sakit memonitor volume cairan dan urine, kondisi kesadaran anak, serta memeriksa tekanan darah. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan kreatinin (zat limbah dalam darah yang dibuang melalui urine) per 12 jam</li><li>
Selama menunggu rujukan, dokter dapat memberikan metilprednisolson IV sebanyak 10-30 mg/kg BB per hari selama satu hingga dua hari</li><li>
Ketika sudah dalam perawatan, dokter akan melakukan stabilisasi kondisi anak</li><li>
Saat dirawat, anak juga akan menjalani pemeriksaan medis lengkap, termasuk cek darah, urin, pencitraan, pencarian etiologi, komplikasi, dan proses penyaringan limbah dalam rongga perut</li><li>
Penanganan lain yang juga dilakukan antara lain adalah pemberian cairan sesuai jumlah cairan yang keluar tanpa disadari (insensible water loss), injeksi immunoglobin, serta pemberian sejumlah obat</li><li>
Anak juga dapat menjalani dialisis untuk menyaring limbah dan cairan dalam tubuh</li></ol>
Kabar baik dari Kementerian Kesehatan RI, kini di Indonesia telah tersedia paket obat untuk gangguan ginjal akut ini, yaitu fomepizole. Rencananya, obat ini akan diberikan secara gratis kepada semua anak yang menderita gagal ginjal akut.Itulah seluk-beluk mengenai penyebab dan cara penanganan gagal ginjal akut pada anak.Bila anak Anda mengalami gejala yang dapat mengarah ke gagal ginjal akut seperti di atas, Anda bisa video call dokter spesialis AlteaCare yang berpengalaman lewat aplikasi.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji video call konsultasi dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Kompas. Diakses pada November 2022. Ratusan Anak Meninggal Karena Gagal Ginjal Akut, BPOM: Ini Pembelajaran Bagi Kami</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat, Orang Tua Diminta Waspada</li><li>
Web MD. Diakses pada November 2022. Acute Kidney Failure</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. 200 Vial Fomepizole Tiba di Indonesia</li><li>Unit&nbsp;Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Diakses pada November 2022.&nbsp;Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan</li></ul>

Penyebab dan Cara Menangani Gagal Ginjal Akut pada Anak

Supaya aktivitas tidak terganggu, kita bisa mengonsumsi makanan pereda sakit kepala - AlteaCare | Foto: Envato

Sakit kepala dialami oleh hampir semua orang dan penyebabnya pun berbeda-beda. Mulai dari stres pekerjaan sampai gaji yang sudah habis padahal masih awal bulan. Nah, ternyata ada makanan pereda sakit kepala yang bisa dicoba biar keluhan segera minggat, lo!Secara umum, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/sakit-kepala-1648800868600" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">sakit kepala</a> bisa dibagi menjadi ringan dan berat. Keduanya sebenarnya bisa hilang sendiri dalam kurun waktu 30 menit sampai beberapa hari.Mungkin Sobat Altea termasuk yang langsung cari obat untuk mempercepat hilangnya rasa sakit. Tapi, kalau ini terlalu sering dilakukan, tidak baik juga, ya, buat kesehatan. Bagaimana kalau Sobat Altea coba hilangkan sakit kepala ini dengan mengonsumsi makanan tertentu? Ini bisa jadi alternatif yang lebih sehat dan alami.Yuk, simak apa saja makanan pereda sakit kepala yang bisa kita coba berikut ini!<h2>Ini Dia Rekomendasi Makanan Pereda Sakit Kepala</h2>Anda mungkin pernah dengar, beberapa jenis makanan bisa menyebabkan sakit kepala. Nah, rekomendasi yang satu ini sebaliknya, karena justru bisa menghilangkan sakit kepala:<h3>1. Pisang</h3>Pisang punya berbagai manfaat dan dipercaya sejak lama dapat membantu mengatasi masalah kesehatan tanpa mengonsumsi obat. Selain buahnya, kulit pisang pun merupakan makanan pereda sakit kepala yang manjur. Mengutip dari Healthline, kulit pisang memiliki kandungan antimikroba, antioksidan, dan antiinflamasi. Menempelkan kulit pisang yang sudah dibekukan di kulkas ke dahi dan bagian belakang leher bisa membantu meredakan sakit kepala.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Gizi%20dan%20Nutrisi/artikel/8-khasiat-pisang-untuk-kesehatan-bikin-good-mood-1657628391314" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">8 Khasiat Pisang Untuk Kesehatan. Bikin Good Mood!</a> 
<h3>2. Sayuran Hijau</h3>Anda vegetarian atau menjalani plant-based diet? Anda bisa ambil napas lega, karena pola makan ini membuat Anda kecil kemungkinannya mengalami sakit kepala dan migrain.Menurut penelitian yang dikutip dari WebMD, mengonsumsi brokoli bisa mencegah sakit kepala. Manfaat lainnya dari sayuran hijau ini adalah membantu mengontrol tekanan darah, sehingga Anda pun terhindar dari penyakit kardiovaskular.<h3>3. Kacang-kacangan</h3>Siapa sangka, ngemil kacang bisa membantu meredakan sakit kepala. Ini karena kacang-kacangan umumnya kaya magnesium, yang bisa meredakan rasa nyeri dengan cara merilekskan pembuluh darah.Kacang-kacangan juga kaya akan vitamin E. Menurut riset, vitamin ini bisa membantu mengendalikan migrain yang disertai aura maupun migrain yang dipicu oleh perubahan hormon.Beberapa jenis kacang yang bisa Anda makan antara lain adalah almon, kenari, atau kacang mete. Makan sewajarnya saja, ya, sebab apa saja yang berlebihan pastinya tidak baik buat kesehatan.<h3>4. Probiotik</h3>Makanan pereda sakit kepala berikutnya yang bisa Anda intip adalah makanan fermentasi, yang menurut berbagai penelitian punya manfaat yang baik untuk kesehatan. Contohnya beragam, mulai dari yogurt, kimchi, hingga tempe.Ini sejalan dengan studi yang dimuat di jurnal Pain Physician. Disebutkan, mengonsumsi makanan probiotik dapat memperbaiki keseimbangan flora bakteri dalam usus serta meredakan peradangan. Hasilnya, pencernaan kita pun jadi lebih kuat, begitu juga dengan fungsi otak. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa probiotik dapat memberi efek positif dalam menurunkan frekuensi dan keparahan serangan sakit kepala akibat migrain.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Gizi%20dan%20Nutrisi/artikel/5-makanan-sumber-probiotik-ini-manfaatnya-buat-kesehatan-1646117570428" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Makanan Sumber Probiotik, Ini Manfaatnya Buat Kesehatan!</a> 
<h3>5. Peppermint</h3>Manfaat daun yang satu ini ternyata tidak hanya sebagai hiasan makanan, Sobat Altea. Sejak dulu, orang mengambil ekstrak daun peppermint dan mengolahnya menjadi minyak esensial.Minyak esensial peppermint ini juga banyak kegunaannya. Salah satunya sering dihirup untuk mengurangi intensitas sakit kepala.Penelitian yang dimuat di International Journal of Preventive Medicine juga memaparkan, minyak peppermint bisa memiliki efek serupa dengan jenis obat penghilang rasa sakit. Itu sebabnya, para ahli merekomendasikannya untuk meredakan nyeri kepala saat migrain melanda. Itulah beberapa makanan pereda sakit kepala yang mudah didapat.Sobat Altea yang mengalami sakit kepala berkepanjangan dan tidak kunjung sembuh jangan ragu untuk lakukan video call dengan dokter spesialis berpengalaman di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan buat janji dengan dokter andalan segera! Sumber:<ul><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Juli 2022. Tame Your Tension Headaches Naturally</li><li>
Yu-Jie, D., Hai-Yan, W., Xi-Jian, W., Kaye, A. D., &amp; Yong-Hai, S. (2017). Potential beneficial effects of probiotics on human migraine headache: a literature review. Pain physician, 20(2), E251.</li><li>
Healthline. Diakses pada Juli 2022. 23 Uses of Banana Peels for Skin Care, Hair Health, First Aid, and More</li><li>Spine &amp; Pain Clinics of North America. Diakses pada November 2022. What Foods and Drinks Help Headaches?</li><li>
Rafieian-Kopaei, M., Hasanpour-Dehkordi, A., Lorigooini, Z., Deris, F., Solati, K., &amp; Mahdiyeh, F. (2019). Comparing the effect of intranasal lidocaine 4% with peppermint essential oil drop 1.5% on migraine attacks: A double-blind clinical trial. International Journal of Preventive Medicine, 10.</li><li>
WebMD. Diakses pada Juli 2022. Plant-Based Diets for Migraine</li></ul>

5 Makanan Pereda Sakit Kepala yang Mudah Didapat

Munculnya COVID-19 Subvarian Omicron XBB membuat kita perlu lebih waspada - AlteaCare | Foto: Envato

Akhir Oktober lalu, kita dikagetkan oleh kabar munculnya subvarian COVID-19 yang baru yang disebut Omicron XBB. Ini seolah jadi pengingat buat kita bahwa pandemi belum berakhir. Kewaspadaan harus tetap dipegang saat beraktivitas di luar.Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada Minggu, 30 Oktober 2022, tercatat sudah delapan orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 subvarian Omicron XBB.Semuanya tercatat sudah divaksin dan bahkan ada yang sudah dapat vaksinasi booster. Selain Indonesia, ada 34 negara lainnya juga yang memiliki kasus serupa, termasuk India dan Singapura.Lalu, apa saja gejala COVID-19 subvarian Omicron XBB ini? Yuk, simak uraian lengkap berikut!<h2>Apa Itu COVID-19 Subvarian Omicron XBB?</h2>Melansir WHO, subvarian Omicron XBB adalah rekombinan dari varian sebelumnya, yaitu BA.2.10.1 dan BA.2.75. Hingga artikel ini ditulis, sudah ada 35 negara yang mendeteksi kasus subvarian ini.WHO sendiri mencatat, sekitar 1,3% dari total orang yang terpapar COVID-19 di seluruh dunia terinfeksi sub varian Omicron XBB.Sampai sekarang pun WHO masih mengumpulkan data tentang varian ini. Jadi, belum dapat disimpulkan seberapa parah kondisi orang yang terpapar subvarian ini.Sementara, menurut Satuan Tugas Penanganan COVID-19, varian XBB memang memiliki efek cepat menular, tetapi tingkat keparahannya tidak melebihi varian Omicron.Selain itu, PBB juga mengingatkan bahwa orang yang pernah terkena COVID-19 sangat mungkin untuk terinfeksi varian ini di masa mendatang.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);"></a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Seperti Ini Subvarian Centaurus BA.2.75. Tetap Waspada!</a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/seperti-ini-subvarian-centaurus-ba275-tetap-waspada-1658935893825" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);"></a> 
<h2>Gejala COVID-19 Omicron XBB</h2>Mengutip Nature, studi mencatat bahwa gejala orang yang terinfeksi varian XBB ini tidak mengalami kondisi yang terlalu parah.&nbsp;Perlu dicatat, studi ini sifatnya masih dalam tahap awal dan belum dipublikasikan.Secara umum, gejalanya sama dengan gejala COVID-19 varian sebelumnya. Berikut adalah beberapa gejala yang harus Anda waspadai:<ul><li>demam tinggi</li><li>
badan meriang</li><li>
batuk</li><li>
pilek</li><li>
kehilangan indra penciuman (anosmia)</li><li>
sesak napas</li><li>
merasa sangat lelah</li><li>
ngilu di beberapa bagian tubuh</li><li>
sakit kepala</li><li>
nyeri tenggorokan</li><li>
hidung tersumbat</li><li>
diare</li><li>
hilang nafsu makan</li><li>
tidak enak badan</li></ul>Jika mengalami beberapa dari gejala di atas, sebaiknya langsung tes PCR dan melakukan isolasi mandiri, ya!Perlu diperhatikan, melansir Everyday Health, subvarian XBB ini sangat rentan menginfeksi kelompok imunokompromais atau orang dengan gangguan imun.Berdasarkan studi tahap awal yang telah dilakukan, virus subvarian Omicron XBB ini dapat menghindari obat yang biasa digunakan dalam terapi imun. Obat tersebut seharusnya dapat membuat imun mengenali virus XBB.Namun, virus ini dapat menghindari pendeteksian yang dilakukan oleh sistem imun.Itulah alasan mengapa orang dengan gangguan imun lebih rentan terinfeksi virus subvarian Omicron XBB.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/10-cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-penyakit-lain-1651155705247" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">10 Cara Membedakan Gejala COVID-19 Dengan Penyakit Lain</a> 
<h2>Cara Mencegah Penularan COVID-19 Subvarian Omicron XBB</h2>Protokol kesehatan harus tetap diberlakukan dengan ketat untuk mencegah penularan subvarian ini.Berikut adalah beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 subvarian Omicron XBB lebih luas:<ul><li>pastikan Anda sudah dapat vaksinasi COVID secara lengkap, termasuk booster</li><li>
rajin cuci tangan saat baru pulang ke rumah, sebelum makan, atau setelah menyentuh benda</li><li>
mengenakan masker saat pergi keluar rumah</li><li>
bekerja dari rumah dan tidak perlu keluar rumah bila tidak mendesak</li><li>
hindari konsultasi langsung ke rumah sakit untuk mencegah penularan–sebaiknya video call dokter lewat aplikasi kesehatan</li><li>
hindari membeli obat secara langsung dan lebih baik berbelanja obat secara online</li></ul>Itulah penjelasan mengenai virus COVID-19 sub varian Omicron XBB.Sobat Altea yang mengalami beberapa gejala ringan yang dapat mengarah ke COVID dapat menggunakan layanan telekonsultasi secara online. Ini lebih aman karena menghindari antrean orang di rumah sakit, yang mungkin bergejala berat.Anda bisa manfaatkan video call dokter spesialis COVID di aplikasi AlteaCare sebagai solusi konsultasi yang lebih praktis.&nbsp;Setelah konsultasi, Anda juga bisa menebus resep yang diberikan di Toko Kesehatan yang terdapat di dalam aplikasi. Pilih Paket Obat COVID dan pesanan akan dikirim langsung sampai rumah.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji video call dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Antara. Diakses pada November 2022. Kemenkes: temuan COVID-19 varian XBB di Indonesia jadi delapan kasus</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. Kemenkes Umumkan 4 Kasus Sub Varian Omicron XBB</li><li>
WHO. Diakses pada November 2022. TAG-VE statement on Omicron sublineages BQ.1 and XBB</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada November 2022. Varian XBB COVID-19 Terdeteksi di Indonesia</li><li>
Nature. Diakses pada November 2022. COVID ‘variant soup’ is making winter surges hard to predict</li><li>
National Health Service. Diakses pada November 2022. Coronavirus (COVID-19) symptoms in adults</li><li>
Ministry of Health Singapore. Diakses pada November 2022. Update on Covid-19 Situation and Measures to Protect Healthcare Capacity</li><li>
Everyday Health. Diakses pada November 2022. New COVID-19 Subvariants Spark Concerns of Winter Outbreak</li></ul>

Gejala Omicron XBB yang Harus Diwaspadai. Cepat Menular!

Penggunaan AC dapat berdampak buruk bagi kesehatan, terutama bila jarang dibersihkan - AlteaCare | Foto: Envato

Di masa sekarang, sebagian dari kita tidak nyaman tanpa AC. Ya, penyejuk ruangan ini memang penting buat membantu sirkulasi udara. Tapi, kalau tidak dipelihara dengan baik, bahaya AC bisa pengaruhi kesehatan kita.Buat Sobat Altea yang tinggal di daerah yang panas, seperti Jakarta, Majalengka, Pontianak, atau Surabaya, adanya AC di ruangan bisa bikin tubuh lebih segar dan tidak kepanasan. Tapi, jangan sampai karena mengejar suhu kamar yang dingin, lantas semua lubang udara ditutup permanen, ya. Idealnya, kamar harus memiliki bukaan, agar udara dari luar bisa masuk. Selain itu, kita juga perlu membersihkan AC harus secara berkala. Sebab, sering kali suhunya masih dingin tapi sebenarnya begitu dibuka bagian dalamnya sudah kotor. Nah, inilah pangkal bahaya AC buat kesehatan!Lalu, apa saja dampaknya bila kita terlalu bergantung pada AC tidak mengimbanginya dengan perawatan yang benar? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini!<h2>8 Bahaya AC yang Perlu Diketahui</h2>Berikut ini adalah beberapa bahaya AC bagi kesehatan yang perlu diketahui:<h4>1. Kualitas Udara Jadi Buruk</h4>Ruangan ber-AC tanpa adanya ventilasi udara bisa berpengaruh buruk bagi kesehatan. Nah, apalagi AC di ruangan juga tidak terawat. Bahayanya bisa dobel!Tanpa ada ventilasi, udara di dalam ruangan bisa tidak bersih. Ini bisa menyebabkan berbagai gangguan, mulai dari sakit kepala, batuk kering, sakit kepala, mual, sulit konsentrasi, lemas, dan sensitif terhadap bau tidak sedap.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-dampak-perubahan-iklim-terhadap-kesehatan-waspada-1656676367323" target="_blank">7 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan. Waspada!</a> 
<h4>2. Meningkatkan Risiko COVID-19</h4>Ya, AC bisa meningkatkan risiko penularan virus corona! Tentu penularannya tidak terjadi begitu saja. Jika tidak punya ventilasi, udara di ruangan tidak bersirkulasi dengan baik. Akibatnya, penularan virus corona pun makin tinggi. Adanya AC tidak dapat membantu perputaran udara, malahan membuat orang cenderung menutup jendela supaya ruangan lebih dingin.Menurut Center of Disease Control and Prevention, risiko penularan COVID terkait dengan AC terbilang kecil. Tapi, sebaiknya kita tetap harus waspada, ya!Jangan lupa ganti filter AC secara rutin, pasang ventilasi, dan sesekali matikan AC lalu buka jendela agar ada udara dari luar yang masuk. Selain itu, biasakan juga tutupi mulut ketika bersin atau batuk.<h4>3. Rentan Infeksi Saluran Pernapasan</h4>Salah satu bahaya AC untuk kesehatan lainnya adalah bisa jadi pembawa bakteri, virus, dan jamur. Semuanya ini bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan.Belum lagi bila ada paparan elemen berbahaya lainnya, semisal bahan kimia, serbuk sari, dan alergen lainnya. Ini dapat memicu gangguan pernapasan dan gejala alergi yang lebih parah.Untuk mencegahnya, sebaiknya ganti saringan AC secara rutin.<h4>4. Bikin Sakit Kepala dan Migrain</h4>Menurut riset dari University of Toledo, Ball State University, dan Virginia Tech, AC sangat berhubungan dengan gejala sakit kepala.Ini tidak lepas dari pengaruh berbagai senyawa yang berputar di dalam ruangan tertutup, semisal karbon monoksida dan dioksida, serta VOC (volatile organic compound) alias senyawa organik yang mudah menguap. Belum lagi suhu dan tingkat kelembapan juga berpengaruh terhadap kondisi tubuh.Lalu, apa yang dikatakan riset tersebut?Setelah meriset 100 kantor di 25 negara bagian, terbukti bahwa 38% karyawan yang terpapar udara AC yang tidak sehat, mengalami sakit kepala setidaknya satu hingga tiga hari dalam satu bulan. Selain itu, 8% responden mengalami sakit kepala hampir setiap hari. 
<h4>5. Gampang Flu</h4>Salah satu bahaya AC yang sering terjadi adalah jadi mudah kena flu. Sebenarnya, AC bukan penyebab langsung penyakit flu. Namun, udara dingin ditambah kelembapan yang rendah, membuat virus influenza yang ada di dalam ruangan tumbuh lebih cepat.Tidak heran kalau Anda mudah terkena flu setelah terpapar AC yang sangat dingin.<h4>6. Kulit Jadi Kering</h4>Buat Sobat Altea yang sering mengeluh kulitnya kering, coba cek lagi rumahnya. Sebab, AC adalah salah satu faktor pemicu kulit kering.Kondisi kering membuat tekstur kulit jadi pecah-pecah. Selain itu, Anda lebih rentan alami eksim dan infeksi bakteri.Jadi, jika Anda bekerja di kantor yang ber-AC, pakai pelembap secara berkala supaya kulit tidak kering.<h4>7. Rawan Sakit Tenggorokan</h4>Bahaya AC lainnya adalah sakit tenggorokan, apalagi kalau kondisi saringan AC kotor.Kondisi ini bisa membuat AC tidak berfungsi dengan baik, malah bisa jadi sarang bakteri dan jamur. Selain itu, sirkulasi udara di ruangan pun jadi buruk.Paparan bakteri ini bisa menyebabkan infeksi serta sakit tenggorokan. Sebagian orang juga bisa kambuh alerginya atau hidungnya tersumbat, bahkan sulit bernapas.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-cara-mengatasi-kulit-kepala-kering-ampuh-alami-1658115670758" target="_blank">7 Cara Mengatasi Kulit Kepala Kering. Ampuh &amp; Alami!</a> 
<h4>8. Mata Jadi Kering</h4>Menurut penelitian, kondisi lingkungan yang kering, termasuk yang disebabkan paparan AC, dapat menyebabkan gejala mata kering.Kondisi mata seperti ini tentu sangat tidak nyaman. Riset di The Scientific World Journal juga memaparkan, gejala mata kering yang parah bisa menimbulkan gangguan kecemasan dan depresi. Jadi, pastikan atur suhu AC di kamar untuk mengurangi risiko mata kering, ya!Itulah sejumlah bahaya AC untuk kesehatan.Sobat Altea yang mengalami gangguan kesehatan akibat terlalu sering terpapar AC, jangan ragu untuk lakukan video call dengan dokter spesialis berpengalaman di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Web MD. Diakses pada Juli 2022. What Air Conditioning Does to Your Body</li><li>
D’Amato, M., Molino, A., Calabrese, G., Cecchi, L., Annesi-Maesano, I., &amp; D’Amato, G. (2018). The impact of cold on the respiratory tract and its consequences to respiratory health. Clinical and translational allergy, 8(1), 1-8.</li><li>
National Headache Foundation. Diakses pada Juli 2022. Poor Indoor Air Quality Leads to Migraine and Headache</li><li>
Science ABC. Diakses pada Juli 2022. Can Air Conditioning (AC) Make You Sick? </li><li>
Iyer, J. V., Lee, S. Y., &amp; Tong, L. (2012). The dry eye disease activity log study. The Scientific World Journal, 2012.</li></ul>

8 Bahaya AC Bagi Kesehatan. Kulit Bisa Rusak!

Berolahraga bisa membantu menjaga kondisi bagi orang yang punya gangguan autoimun - AlteaCare | Foto: Envato

Orang dengan kondisi autoimun harus menerapkan pola hidup yang sehat. Sebab, bila tidak gangguan ini bisa memburuk dan menimbulkan kondisi lainnya.Ternyata, apa yang dilakukan sehari-hari, mulai dari aktivitas bangun pagi sampai tidur malam, sangat menentukan tingkat gejala yang bisa dirasakan oleh pejuang autoimun.Menurut dr. Adi Surya Komala, Sp.PD-KAI, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Mitra Keluarga, setiap orang dengan autoimun punya pola hidup yang berbeda-beda, tergantung jenis autoimun yang diidapnya. “Secara umum, mereka perlu balik lagi ke pola hidup sehat. Mulai dari yang standar saja, seperti kurangi asupan garam dan makanan dengan pemanis buatan. Selain itu, setiap makan pastikan gizinya sehat seimbang,” ujar dr. Adi dalam sesi live streaming AlteaTalk Episode 41 di Instagram AlteaCare (@alteacare.id), Jumat 30 September 2022.Pada AlteaTalk kali ini, hadir juga Kezia Yamamoto seorang autoimmune educator sekaligus pendiri autoimmunewarrior.id. Keiza membagikan pengalamannya berjuang puluhan tahun dengan kondisi autoimun.Pola hidup seperti apa yang harus dilakukan orang dengan kondisi autoimun?Yuk, simak selengkapnya di sini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/ini-dia-penyebab-penyakit-autoimun-pada-anak-1664539115181" target="_blank">Ini Dia Penyebab Penyakit Autoimun pada Anak!</a> 
<h2>Kebiasaan Sehat yang Penting Dilakukan Orang Autoimun</h2>Gangguan autoimun bukan akhir dari segalanya. Orang dengan kondisi ini masih bisa hidup normal, asalkan perhatikan pola hidup. Ini dia yang harus selalu dilakukan:<h4>1. Deteksi Gejala Sedini Mungkin</h4>Bisa dibilang, gejala autoimun sangatlah samar. Sulit untuk melihat satu gejala lalu menyimpulkan ini mengarah ke gejala autoimun.Tapi, bukannya kita lantas tidak peduli. Begitu mengalami gejala, tak ada salahnya datang ke dokter. Nantinya, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan.“Dokter dapat melakukan skrining dan melihat apa ada masalah di organ lain,” kata dr. Adi.Pemeriksaan yang dilakukan secara detail ini juga bertujuan menyingkirkan kemungkinan orang dengan gangguan autoimun mengalami penyakit lainnya.<h4>2. Pola Makan Harus Sehat</h4>Apa yang dimakan oleh pejuang autoimun bisa pengaruhi gejala yang dirasakan. Karenanya, selektif terhadap makanan itu penting.Saran dr. Adi, orang dengan autoimun perlu perbanyak makanan tinggi serat serta dan hindari makanan yang melalui banyak proses. Jadi, buah dan sayuran harus ada setiap waktu makan. <h4>3. Rutin Olahraga</h4>Manfaat olahraga tidak hanya untuk olah fisik, tapi juga olah mental. Itulah yang dirasakan oleh Kezia. Saat rutin berolahraga, Kezia merasa perbaikan pada fisiknya. Jika sebelumnya dia merasa tidak berenergi, semenjak olahraga lima kali seminggu, tubuhnya dapat energi tambahan. Kalau Anda masih ragu untuk mulai olahraga, tidak ada salahnya konsultasi dulu dengan dokter. Jadi, Anda bisa dapat rekomendasi porsi olahraga dan jenis aktivitas yang sesuai kondisi. <h4>4. Jaga Kondisi Mental</h4>Terkadang, orang dengan autoimun merasa cemas dan stres. Karenanya, mindset harus terus dijaga. “Hindari overthinking yang pada akhirnya bikin kita tidak bisa hidup normal,” kata Kezia.Salah satu cara manajemen stres yang efektif adalah dengan berusaha dapatkan istirahat yang cukup.<h4>5. Taat Kontrol ke Dokter</h4>Orang dengan kondisi autoimun butuh obat untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan. Penting juga buat mereka untuk patuhi jadwal minum obat yang sudah diberikan oleh dokter. 
“Kalau setelah minum obat muncul reaksi, langsung konsultasi dengan dokter. Kalau tidak malah bisa memperburuk kondisi,’ kata Kezia.Ia juga menyarankan para pejuang autoimun untuk rutin berkonsultasi dengan dokter walaupun tidak ada gejala. Lakukan setidaknya dua kali dalam setahun.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Lainnya/artikel/7-alasan-untuk-gunakan-alteacare-1632729704623" target="_blank">7 Alasan Untuk Gunakan AlteaCare</a> Itulah beberapa tips yang harus dilakukan.Sobat Altea yang mengalami sejumlah gejala yang mungkin bisa berhubungan dengan gangguan autoimun, sebaiknya segera ke dokter. Anda bisa konsultasi melalui video call dengan dokter spesialis di AlteaCare. Dokter dapat memberikan rujukan untuk pemeriksaan lanjutan bila diperlukan.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> dan buat janji dengan dokter andalan!

5 Kebiasaan Sehat yang Penting Buat Orang Autoimun

Anak dengan gangguan autoimun perlu jalani pemeriksaan rutin di dokter - AlteaCare | Foto: Envato

Penyakit autoimun pada anak memang terasa masih asing di telinga kita. Namun, kita harus waspada agar anak kita tidak sampai mengalaminya.Pada prinsipnya, penyakit autoimun adalah gangguan yang dipicu oleh kesalahan sistem imun dalam mendeteksi sel tubuh yang sehat sebagai musuh.Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Mitra Keluarga, dr. Damar Prasetya, Sp.A, M.Sc, mengatakan, penyakit ini bisa berbahaya dan menimbulkan berbagai komplikasi.“Pada orang yang alami autoimun, sistem imunnya salah mengenali. Jadi, sel di dalam tubuh dianggap benda asing berbahaya. Akhirnya kekebalan tubuh menyerang tubuh, sehingga terjadi kerusakan jaringan," ujar dr. Damar dalam sesi live streaming AlteaTalk Episode 40 di akun Instagram AlteaCare (@alteacare.id), Kamis 22 September 2022.Gangguan autoimun umum didapati pada orang dewasa. Tapi, tidak mustahil anak juga mengalaminya. Sayangnya, sering kali orang tua tidak menyadari anaknya menderita autoimun.Kira-kira apa penyebab penyakit autoimun pada anak dan bagaimana cara mengenali gejalanya? Yuk, simak paparan di bawah ini!<h2>Gejala Penyakit Autoimun pada Anak</h2>Menurut dr. Damar, gejala autoimun pada anak memang sulit dikenali, terutama sebelum anak beranjak remaja. Soalnya, belum ada tanda-tanda signifikan yang mengarah pada gangguan autoimun.Namun, sebagai orang tua, kita perlu curiga bila ada tanda-tanda berikut:<ul><li>Nyeri tenggorokan dalam waktu lama (bisa jadi gejala jantung rematik)</li><li>
Nyeri sendi selama lebih dari enam minggu (gejala juvenile idiopathic arthritis)</li><li>
Kulit memerah seperti iritasi</li><li>
Demam, tetapi setelah dicek ke dokter, tidak ada infeksi</li><li>
Muncul gejala seperti terinfeksi penyakit tertentu, tetapi ternyata tidak ada infeksi bakteri atau virus</li></ul>Intinya, menurut dr. Damar, ketika anak mengalami gejala penyakit tertentu tetapi akar masalahnya tidak ketemu, Anda boleh curiga si Kecil mengalami gangguan autoimun."Ada gejala penyakit yang sebenarnya sering terjadi. Tetapi ketika dicek negatif semua. Itu harus dipertimbangkan ke arah gangguan autoimun," ujarnya.Untuk itu, dr. Damar menyarankan orangtua segera periksakan anak ke dokter. Anak dapat diminta menjalani beberapa prosedur tes laboratorium. Setelah hasil tes keluar, barulah dokter dapat menegakkan diagnosis.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/alergi-makanan-1644984928562" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Alergi Makanan </a><h2>Apa Saja yang Bisa Jadi Penyebabnya?</h2>Bicara soal penyebab gangguan autoimun, hingga sekarang peneliti belum dapat memastikannya. Namun, berdasarkan studi, ada sejumlah faktor risiko yang dianggap ahli bisa memicu gangguan ini. Apa saja itu? Simak paparan berikut ini!<h4>1. Jenis Kelamin</h4>Menurut dr. Damar, hasil penelitian menyebut gangguan autoimun lebih banyak menyerang perempuan. Jika dibandingkan jumlah perempuan yang alami kondisi autoimun tiga kali lipat lebih banyak daripada laki-laki.Meski begitu, bukan berarti kita yang punya anak laki-laki jadi santai saja. Soalnya, kemungkinan anak laki-laki mengalami autoimun juga masih tetap ada.<h4>2. Usia</h4>Penyakit autoimun lebih banyak dialami oleh orang dewasa muda. Bahkan, sangat jarang penyakit ini muncul pada anak-anak. Jikapun anak sampai mengalaminya, biasanya ia sudah memasuki usia remaja.Contoh gangguan autoimun yang dapat dialami pada usia ini adalah lupus, juvenile idiopathic arthritis (artritis pada remaja), henoch schonlein purpura (autoimun yang menyerang ginjal)."Kemungkinan bisa berkaitan dengan faktor hormonal. Saat remaja terjadi peningkatan hormon secara signifikan. Itu salah satu yang diduga dapat mencetuskan penyakit autoimun," kata dr. Damar.<h4>3. Riwayat Keluarga</h4>Jika Anda mengidap gangguan autoimun, kemungkinan anak untuk juga mengalaminya lebih besar daripada anak lain yang tak punya riwayat penyakit autoimun dalam keluarga.Meski begitu, tidak dapat dipastikan 100% bahwa penyakit autoimun ini diturunkan.Sebagai antisipasi, jika Anda atau pasangan mengidap gangguan ini, segera periksakan anak sedini mungkin ke dokter. Jadi, bisa segera diketahui apakah ia termasuk berisiko atau tidak.<h4>4. Pola Makan Tidak Sehat</h4>Menurut dr. Damar, makanan yang mengandung oksidasi stres tinggi dicurigai sebagai salah satu pemicu penyakit autoimun pada anak.Contoh makanan tidak sehat yang dimaksud adalah makanan cepat saji. Soalnya, kandungan antioksidan dalam makanan ini sangat rendah.<h4>5. Reaksi Terhadap Obat Tertentu</h4>Penyakit autoimun juga diduga dapat dipicu oleh obat-obatan tertentu. Menurut dr. Damar, belum ada penelitian yang secara spesifik menyebutkannya. "Obat apa pun bisa memicu. Tapi, obat anti kejang, beberapa jenis antibiotik, juga vaksin bisa memicu kondisi autoimun pada sebagian orang. Ini termasuk jarang sebenarnya,” jelasnya.Selain itu, imbuh dr. Damar, reaksi terhadap obat bukanlah faktor tunggal pemicu penyakit autoimun. Jadi, selain pengaruh obat perlu ada faktor penyerta lain, misalnya keturunan atau gaya hidup.<h2>Cara Mengatasi Autoimun pada Anak</h2>Inilah yang perlu dilakukan orangtua bila punya anak yang mengidap gangguan autoimun:<h4>1. Jangan Anggap Remeh</h4>Kita perlu sadar kalau gangguan autoimun bisa menyerang anak. Jangan tunda-tunda bawa si Kecil untuk diperiksa di dokter!<h4>2. Pastikan Anak Minum Obat</h4>Dokter dapat memberikan sejumlah obat yang perlu dikonsumsi untuk mengendalikan kondisi autoimun. Pastikan anak minum obat itu secara teratur.<h4>3. Rutin Konsultasi ke Dokter</h4>Gangguan autoimun perlu dipantau dengan cermat selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tujuannya untuk mencegah hal buruk, misalnya kondisi kesehatan yang menurun.<h4>4. Konsultasi ke Dokter Sebelum Vaksinasi</h4>Banyak orangtua terpengaruh mitos, yang bilang anak dengan gangguan autoimun tidak boleh divaksin. Faktanya, vaksin justru dapat membuat daya tahan tubuhnya lebih kuat. Hanya saja, sebaiknya Anda konsultasi dengan dokter dulu sebelum anak divaksin.Soalnya, obat yang dikonsumsi orang dengan kondisi autoimun bersifat menurunkan keaktifan imun. Sementara itu, vaksin malah bisa memicu penyakit aktif. Jadi, tunggu waktu yang tepat untuk anak mengikuti vaksinasi.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/5-cara-meningkatkan-imunitas-tubuh-agar-tidak-mudah-sakit-1632713175127" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Cara Meningkatkan Imunitas Tubuh Agar Tidak Mudah Sakit</a> 
<h4>5. Ajak Anak Berolahraga</h4>Meski daya imun perlu diperhatikan, bukan berarti dia lantas berdiam diri di dalam rumah.Olahraga justru sangat penting buat anak penderita gangguan autoimun, karena bisa menjaga kondisi kesehatannya, kata dr. Damar.Itulah gejala dan penyebab penyakit autoimun pada anak.Sobat Altea yang memiliki anak dengan gangguan autoimun, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare, ya!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan!

Ini Dia Penyebab Penyakit Autoimun pada Anak!

Selain COVID, ada beberapa hal yang bisa sebabkan mulut mati rasa - AlteaCare | Foto: Envato

Pernahkah Anda mengalami mulut mati rasa sehingga makanan apa pun yang masuk tidak ada rasanya? Kira-kira apa penyebabnya, ya?Kondisi mulut mati rasa dan tidak bisa mencecap apa pun pasti bikin kita tidak nyaman. Makan jadi tidak nikmat, karena rasa asin, manis, gurih, maupun pedas tidak ada bedanya. Semuanya tawar!Kalau sudah begitu, pasti nafsu makan juga jadi berkurang, 'kan?Sebenarnya, dalam berbagai situasi, kondisi mulut mati rasa ini tidak berbahaya. Namun, Anda tetap perlu berkonsultasi ke dokter supaya tahu apa penyebab dan penanganan yang tepat.Lantas, apa sebenarnya penyebab mulut mati rasa?Yuk, simak penjelasan selengkapnya di bawah ini!<h2>6 Penyebab Mulut Mati Rasa</h2>Berikut ini bisa jadi penyebab mulut tidak bisa merasakan apa pun:<h4>1. Ageusia</h4>Orang yang terkena COVID bisa mengalami ageusia. Ya, ageusia adalah penyebab mulut mati rasa yang paling umum. Kondisi ini menyebabkan kita tidak bisa merasakan apa pun.Menurut penelitian, sekitar 36,9% orang yang terkena COVID mengalami mati rasa di mulut dan lidah. Sampai saat ini, belum diketahui mekanisme virus corona dalam mempengaruhi indra pengecap.Gangguan ini memang biasanya dapat kembali normal, tapi tetap bisa menimbulkan rasa tidak nyaman saat makan. Akibatnya, kita bisa hilang nafsu makan dan berat badan pun bisa turun drastis. Tidak hanya itu, kondisi ini juga bisa pengaruhi kondisi psikologis.Selain akibat COVID, ageusia bisa disebabkan beberapa faktor, semisal rusaknya saraf perasa (lingual dan glossopharyngeal), hipotiroid, diabetes, dan lain-lain.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/tidak-cuma-minum-begini-cara-mengatasi-tenggorokan-kering-1632154781901" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tidak Cuma Minum, Begini Cara Mengatasi Tenggorokan Kering</a> 
<h4>2. Kurangnya Produksi Ludah</h4>Dalam dunia medis dikenal gangguan xerostomia, yang disebabkan oleh berkurangnya produksi ludah. Saat mengalami xerostomia, keluhan yang dirasakan antara lain adalah mulut jadi kering atau rasanya seperti terbakar, sulit menelan, dan daya pengecap lidah yang hilang atau menurun. Gangguan ini bisa dipengaruhi oleh konsumsi obat, gangguan autoimun, juga sebagai efek samping dari radioterapi. 
Tanpa penanganan yang tepat, gangguan ini dapat berdampak pada psikologis dan menyebabkan depresi.<h4>3. Mulut Tidak Bersih</h4>Penelitian yang dimuat di PLoS One menyebutkan, mulut yang mati rasa sering dihubungkan dengan buruknya kondisi kesehatan mulut. Saat mulut tidak bersih, infeksi bakteri jadi lebih mudah terjadi. Infeksi inilah yang menyebabkan peradangan pada mulut, sehingga akhirnya mulut mati rasa.Maka dari itu, mulai sekarang, jagalah kebersihan mulut, ya!<h4>4. Cedera Kepala</h4>Sempat mengalami insiden yang mengakibatkan kepala cedera? Pastikan kondisi kesehatan Anda selalu terpantau oleh dokter, ya. Pasalnya, cedera pada kepala juga bisa berpengaruh pada indra pengecap. Bila ada keluhan segera sampaikan pada dokter dan ikutilah terapi yang disarankan oleh dokter, ya!<h4>5. Sinusitis</h4>Buat pengidap gangguan sinusitis, kondisi mulut mati rasa umum dialami. Sebab, kondisi peradangan pada daerah sinus dan rongga hidung dapat berdampak ke indra pengecap juga.Tentu saja tidak semua orang yang mengidap sinusitis mengalami masalah mulut mati rasa. Sebab, faktor usia dan riwayat merokok juga turut jadi indikator hilangnya rasa, terutama saat makan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/sinusitis-1650627913384" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Sinusitis</a> 
<h4>6. Disgeusia</h4>Secara umum, disgeusia hampir sama dengan ageusia. Bedanya, orang yang alami disgeusia hanya bisa merasakan satu jenis rasa.Jadi, apa pun makanan yang dimakan, pengidap disgeusia tetap merasakan rasa yang sama. Bisa salah satu dari rasa busuk, tengik, kecut, asin, atau seperti logam.Itulah sejumlah penyebab mulut mati rasa yang harus Anda tahu.Bila Anda mengalami gejala mulut terasa mati rasa dalam waktu cukup lama, tidak ada salahnya bila menyampaikan keluhan ini pada dokter. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Rathee, M., &amp; Jain, P. (2019). Ageusia.</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juli 2022. What causes a loss of taste?</li><li>
Hannum, M. E., Koch, R. J., Ramirez, V. A., Marks, S. S., Toskala, A. K., Herriman, R. D., ... &amp; Reed, D. R. (2022). Taste loss as a distinct symptom of COVID-19: A systematic review and meta-analysis. Chemical Senses, 47.</li><li>
Talha B, Swarnkar SA. Xerostomia. [Updated 2022 May 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing</li><li>
Solemdal, K., Sandvik, L., Willumsen, T., Mowe, M., &amp; Hummel, T. (2012). The impact of oral health on taste ability in acutely hospitalized elderly. PloS one, 7(5), e36557.</li><li>
Headway. Diakses pada Juli 2022. Loss of taste and smell after brain injury</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juli 2022. What causes a loss of taste?</li></ul>

6 Penyebab Mulut Mati Rasa Selain COVID

Sindrom patah hati memiliki gejala seperti serangan jantung - AlteaCare | Foto: Envato

Saat dengan kata broken heart, apa yang Sobat Altea bayangkan? Galau karena putus cinta? Sedih dikasih harapan palsu oleh gebetan? Betul. Lalu, bagaimana dengan broken heart syndrome? Nangis-nangis karena patah hati? Ternyata, yang disebut broken heart syndrome itu berkaitan dengan gangguan pada jantung. Ada banyak yang bisa jadi pemicunya. Secara umum, sindrom patah hati ini banyak berkaitan dengan kondisi emosi yang tidak stabil. Waduh, perlu waspada, nih!Nah, untuk tahu lebih banyak seputar sindrom yang satu ini, yuk simak lebih lanjut uraian Altea berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Gangguan Cemas Menyeluruh</a> 
<h2>Apa Itu Broken Heart Syndrome?</h2>Penyanyi terkenal Didi Kempot dinobatkan sebagai Father of the Broken Heart. Tapi, sindrom ini bukan beliau yang&nbsp;cetuskan. Istilah broken heart syndrome dipopulerkan pertama kalinya di Jepang pada 1990 dan dikenal juga sebagai takotsubo cardiomyopathy atau stress cardiomyopathy.Sindrom patah hati terjadi akibat adanya melonjaknya hormon stres dan adrenalin yang diproduksi oleh tubuh. Kondisi ini membuat otot jantung jadi lemah, sehingga jantung sulit memompa darah ke bagian organ tubuh lain. Akibatnya, kita bisa mengalami beberapa gejala yang mirip dengan serangan jantung, seperti nyeri dada dan sakit napas. Normalnya, serangan jantung disebabkan adanya penyumbatan pada pembuluh darah arteri jantung. Namun, pada broken heart syndrome, tidak ditemukan adanya penyumbatan. Bila diperiksa, dokter dapat menemukan ada yang tidak normal pada bilik jantung kiri.<h2>Apa Pemicu Broken Heart Syndrome?</h2>Mengutip dari Harvard Medical School, takotsubo cardiomyopathy terjadi akibat melemahnya bilik kiri jantung, yang bertugas memompa darah. Kondisi ini bisa dipengaruhi oleh adanya stres atau tekanan yang berat, yang sifatnya bisa fisik maupun emosional. Beberapa hal ini bisa menjadi pemicu munculnya sindrom patah hati:<h4>1. Faktor Stres Fisik </h4>Kondisi kesehatan fisik juga dapat berpengaruh pada munculnya broken heart syndrome. Beberapa hal ini dapat jadi pemicunya:<ul><li>Mengalami kecelakaan baik saat berkendara maupun lainnya</li><li>
Kondisi penyakit kronis yang memburuk</li><li>
Didiagnosis mengidap penyakit serius</li><li>
Menjalani pembedahan atau prosedur medis tertentu</li><li>
Serangan asma</li><li>
Tekanan darah yang tiba-tiba turun</li><li>
Nyeri yang sangat parah</li></ul><h4>2. Faktor Stres Emosional</h4>Peristiwa yang membuat syok atau stres bisa membuat seseorang mengalami broken heart syndrome. Misalnya, sangat sedih karena orang terdekat meninggal, lalu mengalami stres berat. Atau, baru dapat berita buruk.Selain itu, rasa takut maupun terkejut yang berlebihan juga bisa memicu sindrom ini. Misalnya, kena prank serius atau surprise party karena sedang ulang tahun.<h4>3. Faktor Jenis Kelamin</h4>Penelitian yang dikutip dari Journal of the American Heart Association memaparkan, sekitar 88,3% kasus broken heart syndrome dialami para wanita, terutama yang sudah berusia paruh baya dan sudah menopause.Sementara itu, International Takotsubo Registry melaporkan, 36% pemicu terjadinya sindrom ini pada wanita adalah berasal dari fisik, sementara 27,7%-nya adalah berkaitan dengan aspek emosional. Yang menarik, sekitar 28,5% wanita dapat mengalami sindrom ini tanpa ada pemicu yang jelas.<h4>4. Faktor Eksternal</h4>Terjadinya bencana alam maupun pandemi seperti COVID-19 yang kita alami sejak 2020, juga bisa memicu munculnya broken heart syndrome.Studi yang dimuat di Journal of the American Medical Association menyebutkan, tingginya stres akibat perubahan kondisi sosial dan ekonomi di masa pandemi COVID-19 meningkatkan jumlah orang yang mengalami sindrom patah hati.Kondisi orang yang mengalami gangguan ini tidak berkaitan dengan virus corona, Sobat Altea. Sebab, menurut studi, pemeriksaan terhadap orang dengan gangguan ini memperlihatkan hasil negatif COVID.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/7-ciri-ciri-penyakit-jantung-pada-wanita-1640070579316" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Ciri-ciri Penyakit Jantung Pada Wanita</a> 
<h2>Apa Broken Heart Syndrome Bisa Disembuhkan?</h2>Sebenarnya, stres akut yang terjadi mendadak sehingga melemahkan otot jantung ini tidak sampai menyebabkan kematian. Mengutip dari Medscape, 95% orang yang mengalami broken heart syndrome akan pulih dalam 4-8 minggu dengan pengobatan yang tepat. Namun, sindrom ini juga dapat menyebabkan gangguan pada otot jantung yang parah, sehingga bisa menimbulkan berbagai gangguan lainnya. Contohnya, seperti gagal jantung kongestif, tekanan darah turun drastis, syok, hingga irama jantung yang abnormal.Itulah penjelasan seputar broken heart syndrome yang sering salah diartikan sebagai serangan jantung. Sobat Altea yang mengalami gangguan kesehatan sebaiknya jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter, ya. Anda bisa manfaatkan platform digital seperti AlteaCare untuk lakukan telekonsultasi dari rumah saja dengan dokter spesialis berpengalaman.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi sekarang juga! Sumber:<ul><li>Harvard Medical School. Diakses pada Mei 2022. Takotsubo cardiomyopathy (broken-heart syndrome)</li><li>
John Hopkins Medicine. Diakses pada Mei 2022. Broken Heart Syndrome</li><li>
Journal of the American College of Cardiology. Diakses pada Mei 2022. Age-Related Variations in Takotsubo Syndrome</li><li>
Michigan Health. Diakses pada Mei 2022. The Many Triggers of Broken Heart Syndrome</li><li>
Psych Central. Diakses pada Mei 2022. Women More Likely to Die of a ‘Broken Heart’ Than Men: Here’s Why</li><li>
Medscape. Diakses pada September 2022. Takotsubo (Stress) Cardiomyopathy (Broken Heart Syndrome)</li><li>
British Heart Foundation. Diakses pada September 2022.Takotsubo Cardiomyopathy</li></ul>

Mengenal Broken Heart Syndrome yang Mirip Serangan Jantung

Cuaca yang lembap dan dingin bikin kita sakit setelah kehujanan - AlteaCare | Foto: Envato

Di umur berapa Anda baru tahu bahwa bermain hujan-hujanan bukan penyebab flu dan demam? Sebenarnya, ada alasan lain, lo, kenapa air hujan bikin sakit! Sobat Altea sudah tahu?Jadi, begini penjelasannya. Memang benar kalau sering hujan-hujanan bisa bikin kita sakit. Tapi, keliru kalau kita anggap sakitnya itu disebabkan oleh faktor hujan. Misalnya, karena air hujan itu kotor, jadi kalau kena di badan atau sedikit tertelan bisa bikin sakit.Nyatanya, tubuh kita sakit dikarenakan banyak faktor lainnya.Faktor apakah itu? Yuk, simak penjelasan kenapa air hujan bikin sakit berikut ini!<h2>3 Alasan Kenapa Air Hujan Bikin Sakit</h2>Berikut ini adalah penjelasan kenapa air hujan bikin sakit:<h4>1. Suhu Tubuh Turun Drastis</h4>Kita bisa jatuh sakit setelah diguyur hujan karena suhu tubuh menurun drastis. Apalagi jika baju kita sampai basah kuyup saat kehujanan.Jika dibiarkan, kita akan mengalami hipotermia.Normalnya, suhu tubuh ada di kisaran 36,1-37,2 derajat Celcius. Sementara suhu orang yang mengalami hipotermia di bawah 35 derajat Celcius.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-manfaat-hujan-hujanan-buat-anak-imun-jadi-kuat-1661943443624" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Manfaat Hujan-hujanan buat Anak. Imun Jadi Kuat!</a><h4>2. Sistem Imun Jadi Lemah</h4>Alasan kedua kenapa air hujan bikin sakit masih berhubungan dengan turunnya suhu tubuh secara drastis.Banyak peneliti percaya bahwa suhu tubuh yang rendah membuat sistem imun lebih sulit melawan infeksi. Kondisi ini juga bisa dikarenakan beberapa faktor lain, seperti kekurangan vitamin D atau penyempitan pembuluh darah.Temperatur badan yang lebih rendah mengubah respon tubuh terhadap infeksi. Akibatnya, respon sistem imun melemah ketika ada infeksi yang menyerang sel saluran pernapasan.Itulah sebabnya kita bisa kena flu dan demam setelah kehujanan.<h4>3. Daya Tahan Virus di Udara</h4>Salah satu alasan banyak orang sakit saat musim hujan adalah karena cuaca jadi lebih lembap.Kondisi cuaca seperti ini bisa membuat virus dan bakteri dapat bertahan lebih lama di udara. Tidak heran bila kita lebih mudah tertular penyakit saat musim hujan tiba.<h2>Tips Cegah Penyakit di Musim Hujan</h2>Setelah tahu apa yang menyebabkan tubuh kita lebih rentan penyakit di musim hujan, kita perlu lakukan beberapa langkah berikut untuk mengantisipasinya:<h4>1. Rajin Cuci Tangan</h4>Ada satu cara ampuh untuk melawan virus dan bakteri yang cenderung bertahan lebih lama di udara saat musim hujan: rajin cuci tangan! Dengan begitu, kemungkinan infeksi virus dan bakteri bisa ditekan.Lakukan ini: biasakan mencuci tangan sesampai di rumah, saat baru pulang dari mana pun. Praktikkan cara mencuci tangan yang benar, gunakan sabun dan air mengalir agar bisa membunuh bakteri yang menempel di tangan.Selain itu, hindari memegang mata, hidung, atau mulut setelah menyentuh sesuatu. Sebab, virus bisa saja menempel pada benda yang kita sentuh.<h4>2. Minum Suplemen Vitamin Bila Perlu</h4>Kurang suka makan buah dan sayur, atau merasa butuh asupan vitamin ekstra? Rutin minum vitamin C dan D begitu musim hujan tiba.Menurut penelitian, mengonsumsi 1.000 mg vitamin C setiap hari bisa mencegah infeksi flu ketika cuaca dingin atau musim hujan.Sementara itu, suplemen vitamin D berfungsi memperkuat sistem imun saat musim hujan.<h4>3. Selalu Sedia Payung atau Jas Hujan</h4>Untuk mencegah turunnya suhu tubuh akibat guyuran air hujan, kita butuh pelindung tambahan. Dengan begitu, kemungkinan sakit setelah kehujanan bisa dihindari.
Lakukan ini: jika Anda bepergian dengan berjalan kaki, jangan lupa bawa payung agar badan tidak basah kuyup saat kehujanan.Sementara untuk pengendara sepeda motor, cek apa ada jas hujan di bagasi motor Anda. Meski tetap terguyur hujan, setidaknya suhu tubuh tidak turun terlalu drastis.<h4>4. Tidur yang Cukup</h4>Ketika musim hujan tiba dan sering kehujanan di perjalanan, pastikan Anda cukup beristirahat setiap malam.Berbagai studi menunjukkan, tidur berkualitas dapat meningkatkan kinerja sistem imun. Sebaliknya, kondisi kurang tidur bisa meningkatkan risiko gangguan pada sistem kekebalan tubuh.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-cara-meningkatkan-kualitas-tidur-perlu-konsistensi-1659660889604" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Cara Meningkatkan Kualitas Tidur. Perlu Konsistensi!</a> 
<h4>5. Tetap Rutin Berolahraga</h4>Musim hujan tidak boleh menghentikan rutinitas olahraga Anda. Sebab, olahraga bisa membantu mencegah peradangan dalam tubuh serta mempercepat sirkulasi sel darah putih untuk dapat melawan penyakit.Lakukan ini: kalau tidak bisa latihan di luar, alihkan dengan berolahraga di dalam ruangan. Misalnya, latihan push-up, pull-up, angkat beban di rumah. Atau, janjian dengan teman buat main bulu tangkis, basket, atau futsal di lapangan indoor. Dengan kondisi tubuh yang fit, Sobat Altea tidak mudah sakit saat kehujanan.Itulah alasan kenapa air hujan bikin sakit dan cara mencegahnya.Sobat Altea yang mengalami gangguan kesehatan setelah kehujanan tidak perlu ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Thompson, R. L., &amp; Hayward, J. S. (1996). Wet-cold exposure and hypothermia: thermal and metabolic responses to prolonged exercise in rain. Journal of Applied Physiology, 81(3), 1128-1137.</li><li>
Foxman, E. F., Storer, J. A., Fitzgerald, M. E., Wasik, B. R., Hou, L., Zhao, H., ... &amp; Iwasaki, A. (2015). Temperature-dependent innate defense against the common cold virus limits viral replication at warm temperature in mouse airway cells. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(3), 827-832.</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juni 2022. What's the link between cold weather and the common cold? </li><li>
Complete Care. Diakses pada Juni 2022. Medical Myths: Can You Get Sick from Being in the Rain?</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. How to Prevent the Flu: Natural Ways, After Exposure, and More</li><li>
Web MD. Diakses pada Juni 2022. Natural Cold and Flu Remedies</li><li>
Sleep Education. Diakses pada Juni 2022. Help prevent seasonal flu by getting plenty of sleep</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. The Secrets to Never Getting Sick</li></ul>

Kenapa Air Hujan Bikin Sakit? Bukan Salah Airnya!

Nyeri pinggang adalah salatu satu gejala batu ginjal yang sering dialami - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea pasti setuju, ginjal adalah salah satu organ penting dalam tubuh kita. Ginjal bertugas membuang sisa metabolisme dalam tubuh dalam bentuk urine. Sayangnya, pola hidup tak sehat bisa menyebabkan masalah pada ginjal. Salah satu yang sering dirasakan adalah gejala batu ginjal.Di Indonesia, penyakit ginjal adalah penyebab kematian ke-10, dengan jumlah kematian lebih dari 42 ribu orang per tahunnya. Melansir dari Kementerian Kesehatan RI, salah satu penyakit ginjal yang umum dialami adalah batu ginjal. Nah, ternyata masih ada banyak hal yang belum kita ketahui seputar batu ginjal, Sobat Altea. Banyak dari kita yang berpikir gejala batu ginjal bisa dideteksi dari lancar tidaknya urine.Namun, belakangan penelitian menunjukkan bahwa gangguan ini tidak hanya bisa dikenali melalui warna urine saja. Ada beberapa ciri lainnya yang sering dialami ketika seseorang mengalami gangguan batu ginjal.Nah, penasaran, ‘kan, apa saja ciri-cirinya? Yuk, simak uraian lengkapnya seputar gejala batu ginjal di bawah ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/9-kebiasaan-buruk-yang-bisa-merusak-ginjal-harus-waspada-1654011416415" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">9 Kebiasaan Buruk Yang Bisa Merusak Ginjal. Harus Waspada!</a> 
<h2>Gejala Batu Ginjal yang Sering Dialami</h2>Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri yang bisa berkaitan dengan keberadaan batu dalam ginjal Anda:<h4>1. Nyeri Pinggang</h4>Salah satu gejala batu ginjal yang paling sering dirasakan adalah rasa nyeri di area pinggang bagian belakang atau samping. Terkadang, rasa nyeri ini juga terasa di bagian perut. Intensitas nyeri ini bisa begitu hebat sehingga membuat orang yang mengalaminya pergi ke instalasi gawat darurat. Melansir dari Healthline, rasa nyeri ini terjadi akibat batu ginjal sudah berada pada saluran kencing yang sempit, sehingga mengakibatkan penyumbatan. Akibatnya, terjadi tekanan pada ginjal, yang kemudian mengaktifkan saraf yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Nyeri akibat batu ginjal dapat terjadi tiba-tiba dan bisa berpindah-pindah sesuai dengan pergerakan batu tersebut. Nyeri pun bisa datang dan pergi, misalnya terasa selama beberapa menit dan menghilang, lalu datang lagi. <h4>2. Urine Bercampur Darah</h4>Ada darah dalam urine juga jadi salah satu gejala batu ginjal yang paling umum.Kondisi urine yang bercampur dengan darah ini disebut juga hematuria. Warna darah yang ada di urine tidak harus merah, namun juga bisa pink atau kecokelatan.Terkadang, sel darah yang ada di urine juga sangat kecil sehingga hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Segera bicara dengan dokter spesialis penyakit dalam bila Anda mengalami kondisi urine yang bercampur darah ini.<h4>3. Sakit Saat Buang Air Kencing</h4>Sakit saat pipis bukannya tanpa sebab. Biasanya, ada dua hal yang bisa berpengaruh. Pertama, terlalu lama menahan pipis, dan kedua karena infeksi bakteri atau anyang-anyangan, yang dalam istilah medis disebut disuria.Mengutip dari National Library of Medicine, gangguan disuria dapat berkaitan dengan adanya batu dalam ginjal. <h4>4. Sering Buang Air Kecil</h4>Sering pipis terkadang dianggap berita gembira. Kita pikir, itu akibat banyak minum. Jadi, bagus, dong?Tergantung, Sobat Altea. Normalnya, kalau ginjal dalam kondisi sehat kita bisa buang air kecil 6-7 kali dalam sehari. Namun, kalau lebih dari itu dan sering terjadi bahkan di saat Anda sedang tidak banyak minum, coba perhatikan lagi apakah ada gejala lainnya. Pasalnya, melansir dari Medical News Today, orang yang mengalami gejala batu ginjal terkadang punya frekuensi buang air kecil lebih sering daripada rata-rata orang pada umumnya.<h4>5. Urine Keruh dan Berbau</h4>Salah satu ciri urine yang sehat adalah tidak berwarna ataupun berbau.Karenanya, air seni yang keruh dan aromanya kurang sedap dapat menjadi red flag bahwa mungkin terjadi infeksi di ginjal.Nah, dugaan infeksi inilah yang perlu dicermati. Sebab, menurut studi yang dimuat di jurnal BMC Urology, sebanyak 16% orang yang punya gangguan batu ginjal akut juga mengalami infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya bakteri pada ginjal, sehingga membuat membuat urine jadi berbau dan keruh.<h4>6. Pipis Tidak Lancar</h4>Kebalikan dari sering buang air kecil, sebagian orang yang mengalami gejala batu ginjal justru bisa malah tidak bisa pipis. Atau, bisa pipis tapi yang dikeluarkan hanya sedikit.Hal ini dikarenakan batu ginjal yang ada di saluran kemih berukuran besar sehingga memperlambat atau bahkan menghentikan aliran urine. Sebaiknya, mulai waspada bila urine hanya bisa keluar sedikit-sedikit. Apalagi kalau benar-benar sampai tidak bisa pipis–ini sudah termasuk kejadian darurat. Segera ke instalasi kesehatan untuk dapatkan penanganan lebih lanjut.<h4>7. Demam atau Keringat Dingin</h4>Munculnya demam atau keringat dingin menandakan terjadi infeksi dalam tubuh. Infeksi ini bisa terjadi pada ginjal atau bagian saluran kemih Anda. Demam atau keringat dingin yang menyertai rasa nyeri bisa menandakan ada komplikasi serius. Selain itu, bisa juga jadi peringatan bahwa ada gangguan lain selain batu ginjal. Segera kunjungi dokter dan lakukan pemeriksaan lanjutan.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/infeksi-saluran-kemih-1647609351056" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);"> Infeksi Saluran Kemih</a> 
<h4>8. Mual dan Muntah</h4>Gejala batu ginjal lainnya adalah mual dan muntah. Keluhan ini muncul karena adanya koneksi antara saraf ginjal dan sistem pencernaan. Adanya batu ginjal bisa memicu saraf di sistem pencernaan, sehingga menyebabkan sakit perut. Selain itu, rasa mual dan muntah juga bisa merupakan salah satu respons tubuh saat sedang mengalami nyeri hebat.Itulah beberapa gejala batu ginjal yang perlu kita ketahui. Keluhan batu ginjal yang ringan terkadang bisa hilang dengan sendirinya. Namun, Sobat Altea bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam di AlteaCare apabila gejala yang dialami cukup berat dan mengganggu aktivitas.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Juni 2022. Kidney Stones</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. 8 Signs and Symptoms of Kidney Stones</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juni 2022. What symptoms do kidney stones cause?</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juni 2022. Why do I have to pee all the time?</li><li>
Mehta P, Leslie SW, Reddivari AKR. Dysuria. [Updated 2022 May 27]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan</li><li>
National Kidney Foundation. Diakses pada Juni 2022. 10 Signs You May Have Kidney Disease</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Agustus 2022. Kidney Stone</li></ul>

8 Gejala Batu Ginjal. Tidak Cuma Warna Urine!

Dengan semakin bertambahnya subvarian virus COVID baru, prokes makin harus diketatkan - AlteaCare | Foto: Envato

Rasanya kita sudah lelah dengan varian corona. Kita pikir pandemi sudah selesai, nyatanya virus yang satu ini terus bermutasi, hingga punya berbagai nama subvarian dengan tingkat penyebaran dan penularan yang berbeda-beda.Pada pertengahan 2022 kita dikejutkan lagi dengan angka grafik penyebaran virus corona yang meningkat. Belum lama berselang setelah kemunculan subvarian BA.4 dan BA.5 bulan, saat ini sudah terdeteksi subvarian baru lagi, yaitu BA.2.75.Menurut laporan, varian ini sudah masuk ke beberapa daerah di Indonesia. Nah, untuk itu kita perlu semakin waspada dan menjaga kesehatan, agar penyebaran subvarian yang baru ini tidak terlalu masif.Lalu, seperti apa karakteristik varian baru ini? Simak selengkapnya di bawah ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/varian-baru-covid-19-muncul-lagi-prokes-tidak-boleh-kendor-1655259340884" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor! </a> 
 <h2>5 Fakta Tentang Subvarian Centaurus</h2>Berikut ini adalah beberapa fakta penting yang perlu kita perhatikan seputar subvarian BA.2.75 atau yang sering disebut juga subvarian Centaurus.<h4>1. Mutasi dari Subvarian Sebelumnya</h4>Alaminya, virus akan terus bermutasi dari jenis varian sebelumnya dan tidak akan pernah selesai, sehingga dan kita harus siap hidup berdampingan dengan virus.Seperti varian BA.2.75, yang menurut ahli merupakan mutasi dari subvarian BA.5 yang beberapa bulan lalu lalu sempat menghebohkan sejumlah negara di Asia Timur. <h4>2. Muncul Pertama di India</h4>Masih ingat varian Delta yang menyebar pada pertengahan 2021 lalu, diawali dari India kemudian ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia?Nah, varian BA.2.75 ini menurut profesor dari Arkansas State University pertama kali juga muncul di India pada awal Juni 2022. Dan, mulai pertengahan Juli sudah ditemukan di 15 negara bagian di Amerika Serikat. Penyebaran subvarian Centaurus ini juga sudah sampai ke beberapa negara lainnya. Menurut laporan yang dikutip dari WebMD, subvarian ini diprediksi dapat menyebar lebih banyak di Inggris. Sementara itu, melansir dari Channel News Asia, negara tetangga kita, Singapura, sudah melaporkan adanya enam kasus lokal dengan subvarian Centaurus pada akhir Juli 2022.<h4>3. Belum Masuk Dalam Kategori Variant of Concern</h4>Meski penyebarannya terbilang cepat, hingga kini WHO masih mengklasifikasikan varian BA.2.75 ini diklasifikasikan sebagai variant of interest (VoI), bukannya variant of concern (VoC). Artinya, subvarian ini masih dalam pantauan namun belum ada banyak bukti yang memperlihatkan kalau subvarian ini menimbulkan dampak yang besar. Sebab, hingga kini jumlah kasus infeksi dari varian BA.2.75 masih relatif rendah.<h4>4. Sudah Masuk ke Indonesia</h4>Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI, beberapa daerah di Indonesia seperti di Jakarta dan Bali sudah ditemukan kasus yang terkonfirmasi terinfeksi varian BA.2.75. Mengutip dari Healthline, varian BA.2.75 bisa dengan mudah menembus sistem kekebalan tubuh, bahkan pada orang yang sudah mendapatkan vaksin. Bahkan, subvarian BA.2.75 menyebar lebih cepat daripada varian BA.5 yang saat ini juga sedang marak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/5-tips-dari-ahli-untuk-mencegah-covid-pada-anak-1658761846655" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak</a> 
 <h4>5. Perketat Protokol Kesehatan</h4>Supaya terhindar dari penyebaran subvarian baru virus corona, pastikan kita selalu pakai masker saat berada di tempat umum dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu, Sobat Altea yang hingga kini belum lengkap vaksinnya bisa segera datang ke fasilitas layanan kesehatan terdekat.&nbsp;Sebab, pemerintah kini memberlakukan sejumlah aturan baru untuk mengantisipasi penyebaran COVID yang semakin meluas. Vaksin ketiga atau booster kini dijadikan syarat untuk melakukan perjalanan dan kegiatan di masyarakat. Termasuk bila Anda mau menggunakan kendaraan publik, masuk mal, dan menginap di hotel.Di samping itu, selalu jaga kondisi kesehatan Anda dan seluruh anggota keluarga di rumah. Jangan lupa konsumsi vitamin yang cukup untuk memperkuat daya tahan tubuh. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID bila merasakan gejala yang mungkin berhubungan atau mendaftar untuk vaksinasi melalui aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare</a>. Lengkapi juga kebutuhan obat rutin, vitamin, dan suplemen Anda dan keluarga dengan memesan di Toko Obat Altea.Sehat selalu, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Juli 2022. Omicron 2.75: What You Should Know About the Latest Emerging COVID-19 Variant</li><li>
Web MD. Diakses pada Juli 2022. Will Omicron Subvariant BA.2.75 Be the Next COVID Threat?</li><li>
WHO. Diakses pada Juli 2022. Tracking SARS-CoV-2 variants</li><li>
Channel News Asia. Diakses pada Juli 2022. 6 local cases of BA.2.75 subvariant detected in Singapore</li><li>
The Conversation. Diakses pada Juli 2022. Centaurus: what we know about the new COVID variant and why there’s no cause for alarm</li><li>
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diakses pada Juli 2022. Kemenhub akan Berlakukan Ketentuan Vaksin Booster sebagai Syarat Perjalanan</li></ul>

Seperti Ini Subvarian Centaurus BA.2.75. Tetap Waspada!

Ajarkan cara pakai masker yang benar saat di sekolah untuk mencegah paparan COVID pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea termasuk yang cemas dengan COVID yang berjilid-jilid? Duh, padahal anak-anak sekarang sudah mulai pembelajaran tatap muka di sekolah. Sementara, risiko COVID pada anak juga termasuk tinggi karena kelompok ini lebih rentan terhadap virus.Kita ingat ketika varian Delta melanda, jumlah anak dan balita yang terkonfirmasi positif cukup banyak. Tidak tertutup kemungkinan, jenis varian baru juga akan berdampak sama pada anak. Maka dari itu, anak dan balita harus punya sistem proteksi, serta harus tetap dijaga agar tetap sehat. Dalam hal ini, orangtua punya peranan besar, lo!“Jangan lupa supaya anak dapat imunisasi sesuai dengan usianya. Jika masih bayi, berikan dia ASI eksklusif karena ini satu-satunya sumber daya tahan untuk balita,” kata dr. Juliawaty Salim, Sp.A⁣.Dokter Spesialis Anak Mitra Keluarga ini berbagi tips untuk para orangtua di masa pandemi ini saat jadi narasumber di live streaming AlteaTalk Episode ke-31 di Instagram AlteaCare (@alteacare.id). Diadakan pada Jumat, 22 Juli 2022, episode kali ini mengangkat tema “Penanganan COVID-19 pada Bayi dan Balita”.Sesi ini jadi semakin menarik bersama Yora Anastasha, pendiri komunitas Ibu Hebat, yang berbagi pengalamannya. Yuk, simak apa saja tips mencegah anak terpapar COVID dari ahlinya Altea!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/dukungan-psikologis-untuk-anak-selama-isolasi-mandiri-1646360001967" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Dukungan Psikologis Untuk Anak Selama Isolasi Mandiri</a> 
<h2>Tips Mencegah Paparan COVID pada Anak</h2>Menurut dr. Juliawaty, kalau ingin anak terhindar dari COVID maka orangtua harus punya persiapan yang matang. Beberapa hal inilah yang perlu dilakukan oleh para Ibu dan Ayah:<h4>1. Selektif Soal Makanan</h4>Makan jadi salah satu kunci untuk hidup sehat. Maka dari itu, pastikan anak mendapatkan gizi yang seimbang.Menurut dr. Juliawati, makanan sehat dan bergizi dapat memperkuat imun. Dan, jika anak sampai jatuh sakit, makanan bisa mempercepat proses penyembuhan.Selain itu, usahakan untuk memasak sendiri di rumah dan tidak membeli makanan jadi dari luar. Sebab, kita tidak tahu apakah dalam makanan tersebut ada virus atau kuman yang menempel. <h4>2. Siapkan Alat Kesehatan</h4>Di masa pandemi, orangtua harus lebih sering memantau kesehatan anak. Menurut dr. Juliawaty, yang tidak kalah penting disiapkan oleh ortu adalah termometer dan oksimeter.Apalagi saat angka kasus aktif COVID sedang naik. Sebaiknya, kedua alat ini harus ada dalam kotak P3K di rumah. Dengan begitu, ortu bisa memantau suhu badan dan saturasi oksigen anak. Bila sewaktu-waktu anak kurang sehat dan mengalami gejala tertentu, kemudian suhu badannya juga tinggi, ortu bisa segera hubungi dokter untuk dapatkan penanganan lanjutan. <h4>3. Perketat Protokol Kesehatan</h4>Meski aturan pakai masker sudah dilonggarkan, bukan berarti kita lantas lupa jaga jarak dan malas cuci tangan. Apalagi, sampai tidak pakai masker ke mana pun kita pergi.“Jangan sampai karena lengah, kita bisa memberikan celah terinfeksi COVID. Maka dari itu, perketat protokol yang baik dan benar,” ujar dr. Juliawaty.Selain itu, lingkungan juga harus dijaga. Pastikan orang yang sering berinteraksi dengan anak atau balita dalam kondisi sehat. Bila mereka sedang batuk atau flu, jauhkan sementara dari anak.<h4>4. Hindari Kerumunan</h4>Dengan semakin banyaknya tempat wisata maupun ruang publik yang dibuka, semakin banyak orang memanfaatkannya untuk berekreasi bersama keluarga. Tidak salah kalau Anda dan keluarga juga ingin menikmati akhir pekan di luar. Namun, coba cermati dulu kondisi di sana. Bila ada terlalu banyak orang di tempat tersebut, lebih baik tunda keinginan untuk bermain.Yora lantas bertutur pengalaman teman dari komunitas Ibu Hebat, yang salah satu anaknya terinfeksi flu singapura.Menurut Yora, berangkat dari pengalaman tersebut bisa disimpulkan bahwa tempat umum ternyata mungkin dapat jadi tempat yang kurang ideal untuk anak-anak bermain. Karena ternyata tidak hanya tinggi risiko infeksi virus corona, namun juga virus lainnya.<h4>5. Beri Edukasi pada Anak</h4>“Anak yang usianya di atas 4 tahun sudah mengerti apa yang kita katakan. Jadi, ketika kita mengajarkan sesuatu, si Kecil dapat mengerti apa yang kita maksud,” kata Yora.Saat anak sudah mulai bersekolah tatap muka, kita bisa mengajarkan cara melindungi diri selama proses belajar. Misalnya, membersihkan meja dan kursi di kelas dengan hand sanitizer. Atau, tidak membuka masker kecuali untuk makan atau minum di waktu istirahat. Juga, etika batuk dan bersin yang benar.Orangtua juga bisa mengajarkan upaya pencegahan paparan infeksi virus COVID pada anak, seperti tidak berbagi makanan dengan teman. Sebab, virus juga bisa menyebar melalui droplet atau air liur yang menempel pada makanan. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/COVID-19/artikel/varian-baru-covid-19-muncul-lagi-prokes-tidak-boleh-kendor-1655259340884" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor!</a> 
Itulah beberapa cara mencegah COVID pada anak yang bisa dilakukan oleh orangtua.Bila si Kecil mengalami masalah kesehatan atau merasakan gejala yang kemungkinan mengarah pada COVID, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis untuk COVID di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat jadwal telekonsultasi segera!

5 Tips dari Ahli Untuk Mencegah COVID pada Anak

Obesitas pada anak bisa menyebabkan gangguan dalam belajar - AlteaCare | Foto: Envato

Anak kecil yang bertubuh gemuk dan pipi chubby memang tampak menggemaskan. Namun, bisa jadi itu merupakan ciri-ciri obesitas pada anak.Dulu, obesitas pada anak sering dianggap remeh. Banyak dari orangtua berpikir, tidak masalah bila anak gemuk saat kecil. Nanti begitu besar badannya akan kurus, kok!Ternyata tidak demikian, Sobat Altea. Bila sejak kecil anak sudah kelebihan berat badan, bahkan termasuk obesitas, kecil kemungkinan baginya untuk lebih kurus saat bertambah usia. Sementara itu, masalah berat badan ini dapat membuat si Kecil jadi lebih berisiko terhadap sejumlah gangguan kesehatan. Tidak hanya sekarang, bahkan bisa sampai ia dewasa nanti.Hal ini juga disampaikan oleh dr. Christin Santun Sriati Lumbantobing, M.Gizi, Sp.GK, FINEM dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, saat menjadi narasumber ahli dalam live streaming AlteaTalk Episode 28 di Instagram AlteaCare (@alteacare.id), Kamis 30 Juni 2022 lalu.Menurut dr. Christin, bahaya obesitas tidak dapat dilihat dalam waktu singkat. "Mungkin sekarang kita berpikir anak itu mesti lucu, gemoy. Bahayanya enggak sekarang, tetapi lima atau 10 atau 30 tahun lagi. Itu yang perlu ditakutkan," kata dr. Christin.Tentu Anda tidak mau hal ini terjadi pada sang buah hati.Karenanya, penting bagi orangtua untuk memahami ciri-ciri obesitas pada anak serta penyebabnya.<h2>Ini Dia Ciri-Ciri Obesitas Pada Anak</h2>Segera cermati bila anak Anda memiliki beberapa ciri-ciri yang mengarah pada obesitas berikut ini:<h4>1. Tubuhnya Tidak Proporsional</h4>Ciri-ciri obesitas pada anak adalah wajahnya terlihat chubby, tubuh lebih gemuk dibanding anak seusianya, dan perutnya buncit.Bila si Kecil mengalami hal ini, bisa jadi dia kelebihan berat badan.<h4>2. Ada Guratan di Kulit Perut</h4>Coba lihat perut si Kecil, apakah muncul guratan di kulit di area tersebut? Guratan ini mirip dengan guratan yang muncul pada ibu hamil."Seiring bertambahnya berat badan, kulit jadi tertarik. Dari situ terlihat bahwa berat badan sudah termasuk besar," kata dr. Christin.<h4>3. Gampang Capek</h4>Selanjutnya, anak yang obesitas biasanya lebih cepat lelah saat beraktivitas, terutama aktivitas fisik. Ia pun tidak kuat berjalan jauh atau berlari dalam waktu lama.Bila si Kecil punya penyakit bawaan seperti asma, kondisinya bisa lebih berat."Baru jalan sedikit saja sudah ngos-ngosan. Asma gampang kumat," kata dr. Christin memberi contoh.<h4>4. Sering Mengantuk</h4>Coba perhatikan, apakah si Kecil sering mengeluh mengantuk setelah makan siang atau malam? Dokter Christin mengatakan, anak obesitas juga lebih cepat mengantuk dibanding anak lain. Selain itu, saat tidur anak yang obesitas cenderung mendengkur.<h4>5. Indeks Massa Tubuh</h4>Saat berkonsultasi dengan dokter, hasil pengukuran indeks massa tubuh (IMT) si Kecil mungkin kurang menggembirakan. Dari hasil pengukuran IMT, dokter akan melihat angka deviasinya. "Kalau misalnya angka deviasinya di atas standar (yaitu) 1, termasuknya overweight. Kalau deviasinya 2, itu termasuk obesitas," kata dr. Christin.<h2>Apa Dampak Obesitas Pada Anak?</h2>Kondisi obesitas yang dialami saat kecil dapat menimbulkan berbagai gangguan penyakit kronis. Bisa saja hal ini tidak terdeteksi saat ia masih kecil. Namun, saat beranjak remaja dan dewasa, beberapa gangguan berikut ini bisa muncul:<h4>1. Tekanan Darah Tinggi</h4>Salah satu bahaya obesitas pada anak adalah meningkatkannya risiko tekanan darah tinggi atau hipertensi."Kalau hipertensi, bisa jadi timbul penyakit jantung atau stroke," ujar dr. Christin.<h4>2. Kadar Kolesterol Cenderung Tinggi</h4>Penelitian juga menyebutkan, kondisi tekanan darah tinggi dapat membuat anak mengalami gangguan kolesterol tinggi dan resistensi insulin.Tingginya kadar kolesterol dalam tubuh juga menjadi faktor pemicu munculnya gangguan kronis seperti jantung. Sementara itu, resistensi insulin yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan anak mengalami diabetes tipe 2.Menurut dr. Christin, sekarang ini banyak anak mengalami masalah obesitas yang berkaitan dengan gaya hidup. Munculnya beragam makanan unik dapat memicu peningkatan berat badan."Perubahan pola gaya hidup dan jajanan yang aneh-aneh itu bikin komplikasi akibat obesitas jadi lebih cepat," ujarnya.<h4>3. Penyakit Bawaan Mudah Kumat</h4>Ketika anak menunjukkan gejala obesitas, dr. Christin mengingatkan orangtua untuk segera berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan program diet yang tepat.Apalagi, jika anak memiliki penyakit bawaan seperti alergi atau autoimun. "Kalau selama ini punya masalah alergi atau autoimun, mereka jadi gampang kumat," ujarnya.<h4>4. Fungsi Otak Kurang Optimal</h4>Menurut penelitian, kata dr. Christin, obesitas dapat memengaruhi daya serap dan daya ingat anak.Pada anak obesitas, terjadi penipisan lapisan korteks atau bagian atas depan otak. Bagian ini sangat penting dalam membantu kita memecahkan masalah, berpikir kritis, mengingat sesuatu, atau membuat keputusan."Kalau bagian depan menipis, fungsinya terganggu. Anak jadi lebih susah memilih, memorinya akan susah mengingat. Belajar juga jadi lebih susah," ujarnya.<h4>5. Gangguan Hormon pada Anak Perempuan</h4>Obesitas atau kelebihan berat badan dapat pengaruhi sekresi dan sensitivitas hormon. Salah satu akibatnya, anak bisa mengalami pubertas lebih cepat daripada anak-anak seusianya. Pada anak perempuan, menstruasi pertama bisa datang pada usia dini."Dan, kalau sudah menstruasi, siklusnya terganggu. Ke depannya bisa berpengaruh pada organ reproduksi karena keseimbangan hormon-hormon dalam tubuh jadi terganggu,” imbuh dr. Christin.Itulah ciri-ciri obesitas pada anak dan dampaknya.Anda bisa melakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis gizi di AlteaCare bila anak mengalami obesitas.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Brady, T. M. (2017). Obesity-related hypertension in children. Frontiers in pediatrics, 197.</li><li>
Chang, C. J., Jian, D. Y., Lin, M. W., Zhao, J. Z., Ho, L. T., &amp; Juan, C. C. (2015). Evidence in obese children: contribution of hyperlipidemia, obesity-inflammation, and insulin sensitivity. PLoS One, 10(5), e0125935.</li><li>
Chung, S. (2017). Growth and puberty in obese children and implications of body composition. Journal of obesity &amp; metabolic syndrome, 26(4), 243.</li></ul>

Ciri-Ciri Obesitas Pada Anak dan Dampaknya. Cegah Sejak Dini!

Sepakbola adalah salah satu olahraga populer di Indonesia. Bahkan sejak usia belia anak-anak bisa bergabung dengan sekolah sepakbola untuk jadi pemain profesional. Namun, tak lantas kita harus jadi atlet untuk bisa menikmati manfaat sepakbola. Sebab, ada banyak manfaat yang bisa diraih dari permainan sepakbola. Selain memupuk mental pantang menyerah, sepakbola juga bisa membuat badan jadi lebih sehat. Anda ingin tahu apa saja manfaat sepakbola untuk kesehatan? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini!<h2>6 Manfaat Sepakbola untuk Kesehatan</h2>Berikut ini adalah sejumlah manfaat yang bisa Anda dapat melalui permainan sepakbola:<h4>1. Melatih Daya Tahan Tubuh</h4>Sepakbola adalah salah satu olahraga terbaik untuk melatih ketahanan fisik agar tidak mudah lelah dan tahan banting.Saat bermain sepakbola, kita dituntut untuk berlari jarak jauh dari area pertahanan sendiri ke area pertahanan lawan. Untuk itu, kita perlu stamina yang kuat agar bisa berlari dalam waktu yang lama.Ketahanan fisik yang kuat ini bikin kita tidak mudah lelah saat ada banyak aktivitas.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/manfaat-olahraga-buat-tumbuh-kembang-anak-1645430762008" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Manfaat Olahraga Buat Tumbuh Kembang Anak</a><h4>2. Menjaga Kesehatan Jantung</h4>Sepakbola bisa menjadi alternatif olahraga kardio yang menyenangkan sekaligus bisa menjaga kesehatan jantung. Hal ini diungkap dalam penelitian yang dimuat di jurnal Medicine &amp; Science in Sport &amp; Exercise.Menurut penelitian tersebut, berlatih sepakbola selama enam bulan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada responden yang memiliki gangguan hipertensi. Kita tahu, hipertensi merupakan salah satu faktor risiko untuk gangguan kardiovaskular.<h4>3. Melatih Otot di&nbsp;Seluruh Tubuh</h4>Meski namanya sepakbola, otot tubuh yang dilatih bukan hanya kaki saja, lo! Saat bermain selama 90 menit, kita akan menggerakan banyak otot tubuh. Anda dapat melatih otot kaki untuk menendang, lari, dan melompat. Selain itu, Anda juga akan melatih otot pinggul dan lutut agar semakin kuat dalam memertahankan bola.Tak ketinggalan, otot lengan, leher, dan bahu juga akan dibentuk saat bermain sepakbola. Tidak heran jika orang sering yang bermain sepakbola punya badan yang tegap.<h4>4. Meningkatkan Fungsi Kognitif</h4>Tidak hanya kesehatan fisik, sepakbola juga dapat meningkatkan fungsi kognitif. Sebab, kita harus belajar dan melatih teknik dasar serta pemahaman akan taktik bermain.Saat bermain kita tidak sekadar menendang bola, tetapi memikirkan ke mana bola harus diarahkan. Ditambah lagi, kita perlu tahu cara membuka ruang agar rekan lebih mudah mengoper bola.Ketika otak terus diasah berpikir strategis, performa di lapangan pun akan semakin baik.<h4>5. Menurunkan Berat Badan</h4>Untuk Anda yang sedang diet, cobalah bermain sepakbola untuk menurunkan berat badan. Olahraga ini juga baik untuk mencegah anak-anak mengalami obesitas.Dalam satu permainan selama 30 menit saja, Anda sudah bisa membakar 260 kalori. Semakin sering bermain sepakbola, semakin banyak juga lemak yang diakar.Yang perlu diingat, jangan lupa seimbangkan aktivitas olahraga sepakbola dengan mengonsumsi makanan bernutrisi.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-alasan-olahraga-bareng-teman-lebih-baik-daripada-sendirian-1648800908621" target="_blank"></a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-alasan-olahraga-bareng-teman-lebih-baik-daripada-sendirian-1648800908621" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Alasan Olahraga Bareng Teman Lebih Baik Daripada Sendirian</a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-alasan-olahraga-bareng-teman-lebih-baik-daripada-sendirian-1648800908621" target="_blank"></a><h4>6.&nbsp;Menguatkan Tulang</h4>Menurut penelitian, salah satu manfaat sepakbola adalah memperkuat tulang, terutama pada anak-anak.Berdasarkan European Journal of Pediatrics, sepakbola terbukti berkontribusi positif pada kandungan mineral tulang dan kepadatan tulang. Bahkan efeknya melebihi olahraga lain, semisal tenis, angkat beban, atau berenang.Peningkatan kandungan mineral dan kepadatan tulang ini akan dialami semua bagian tulang, terutama tulang belakang lumbar, pinggul, dan kaki. Sebab, kita harus menggerakan seluruh tubuh saat bermain, mulai dari berlari, berputar, menendang, dan menghadang lawan.Kombinasi gerakan ini dapat jadi stimulus yang sangat efektif untuk menambah kandungan mineral dan kepadatan tulang.Itulah sejumlah manfaat sepakbola untuk kesehatan yang harus Anda tahu.Jika Anda memiliki masalah kesehatan, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Four Four Two. Diakses pada Mei 2022. How to improve stamina for football</li><li>
Runtastic. Diakses pada Mei 2022. How To Increase Your Running Stamina and Endurance</li><li>
Peter Krustup. (2013). Soccer Improves Fitness and Attenuates Cardiovascular Risk</li><li>
Factors in Hypertensive Men. Medicine &amp; Science in Sports &amp; Exercise (American College of Sport Medicine)</li><li>
Live Healthy Chron. Diakses pada Mei 2022. Muscles Used to Play Soccer </li><li>
Hernández-Mendo, A., Reigal, R. E., López-Walle, J. M., Serpa, S., Samdal, O., Morales-Sánchez, V., ... &amp; Falco, C. (2019). Physical activity, sports practice, and cognitive functioning: The current research status. Frontiers in Psychology, 10, 2658.</li><li>
Push Doctor. Diakses pada Mei 2022. The health benefits of playing football</li><li>
Lozano-Berges, G., Matute-Llorente, Á., González-Agüero, A., Gómez-Bruton, A., Gómez-Cabello, A., Vicente-Rodriguez, G., &amp; Casajús, J. A. (2018). Soccer helps build strong bones during growth: a systematic review and meta-analysis. European journal of pediatrics, 177(3), 295-310.</li><li>
Soccer reduces risk of falls and bone fractures, study finds</li><li>
Krustrup, P. (2009). Soccer reduces risk of falls and bone fractures. Eur J Appl Physiol.</li></ul>

6 Manfaat Sepakbola untuk Kesehatan. Bisa Tambah Pintar!

Gejala tipes yang pasti dialami adalah demam tinggi - AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orang berpikir, sakit tipes, atau dalam bahasa medisnya demam tifoid, terjadi akibat kelelahan. Tidak sedikit juga yang menghubungkan gejala tipes yang dirasakan dengan bekerja yang berlebihanSobat Altea sendiri mungkin sering dengar leluconnya: "Ayo semangat kerja! Kerja, kerja, kerja, tipes!"Tapi sebenarnya, kelelahan dan sering lembur bekerja bukanlah penyebab tipes. Sebab, penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri bernama Salmonella typhi.Bakteri ini kerap ditemukan di saluran air yang tidak bersih, toilet yang kotor, dan makanan yang terkontaminasi. Selain itu, penyakit ini juga dapat menular jika Anda melakukan kontak dengan orang yang terkena tipes.Sama halnya seperti ketika kita terinfeksi bakteri lain, saat terpapar bakteri penyebab tipes kita dapat mengalami demam. Tapi, gejala yang dirasakan bukan cuma itu, lo!Yuk, simak sejumlah gejala tipes lain yang harus kita waspadai!<h2>8 Gejala Tipes yang Harus Diwaspadai</h2>Pantau kondisi tubuh saat mulai tidak enak badan, dan periksa apakah Anda mengalami beberapa gejala tipes yang umum berikut ini:<h4>1. Demam</h4>Kondisi yang pasti dialami saat menderita tipes adalah demam. Berbeda dengan demam biasa, orang yang tipes biasanya mengalami demam tinggi dengan suhu mencapai 39 hingga 40 derajat Celcius.Biasanya, suhu badan Anda cenderung rendah pada pagi hari, kemudian meningkat pada sore atau malam hari.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/4-cara-mengatasi-anak-demam-jangan-dianggap-remeh-1647495843220" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">INFOGRAFIK: 4 Cara Mengatasi Anak Demam. Jangan Dianggap Remeh!</a> 
<h4>2. Merasa Sangat Lemas</h4>Selain demam, orang tipes juga akan merasa sangat kelelahan. Tidak heran, bila mereka lantas lebih banyak berbaring di tempat tidur karena tidak punya energi untuk beraktivitas.Rasa lemas ini diikuti dengan nyeri pada lutut, otot, dan sakit kepala. Selain itu, rasa lelah ini juga membuat orang sulit berkonsentrasiMaka dari itu, orang yang tipes harus segera mendapat pengobatan dan banyak istirahat untuk memulihkan kondisi.<h4>3. Hilang Selera Makan</h4>Saat tipes, Anda biasanya juga tidak nafsu makan.Ini dikarenakan saat sedang sakit, sistem imun melepas senyawa kimia bernama sitokin. Ini adalah cara tubuh memberi tahu Anda untuk beristirahat agar bisa melawan bakteri penyebab tipes. Nah, efek dari pelepasan sitokin ini adalah Anda jadi merasa lelah dan tidak berselera makan.<h4>4. Sakit Perut</h4>Tipes dapat menyebabkan Anda merasakan nyeri perut, mual-mual, hingga muntah.Sakit perut ini disebabkan bakteri yang masuk dan menginfeksi saluran pencernaan kemudian berkembang biak dengan cepat. Selain nyeri, infeksi bakteri juga bisa menyebabkan keram perut.<h4>5. Konstipasi atau Sembelit</h4>Serangan bakteri Salmonella typhi dapat mengganggu keseimbangan saluran pencernaan. Sebagai dampaknya, kita bisa mengalami diare, tapi yang lebih sering adalah jadi sulit buang air besar.<h4>6. Keringat </h4>Saat sedang sakit, otak akan meningkatkan suhu, sehingga Anda akan mengalami demam dan menggigil. Ini adalah cara tubuh untuk mengkondisikan dirinya agar bakteri tidak bertahan lama. Setelah demam turun dan suhu tubuh berangsur normal, Anda mulai berkeringat. Keringat ini bertujuan untuk membantu mengembalikan suhu tubuh ke normal.<h4>7. Perdarahan di Saluran Pencernaan</h4>Jika tidak segera ditangani, tipes bisa menyebabkan perdarahan pada saluran pencernaan.Menurut studi di World Journal of Gastrointestinal Surgery infeksi bakteri yang dibiarkan tanpa penanganan dapat memicu terjadinya radang pembuluh darah pada usus kecil.<h4>8. Gangguan Jantung</h4>Gejala tipes yang sudah parah juga dapat menyebabkan gangguan pada jantung.Namun, Anda tidak perlu terlalu khawatir karena kasus komplikasi tipes dan jantung sangat jarang.Biasanya komplikasi ini terjadi pada penderita tipes yang memiliki denyut jantung lemah, tekanan darah rendah, dan hasil elektrokardiografi (EKG) yang tidak normal.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mudah-dilakukan-inilah-cara-mengatasi-perut-kembung-1632284089051" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Mudah Dilakukan, Inilah Cara Mengatasi Perut Kembung</a> 
Itulah sejumlah gejala tipes yang harus Anda waspadai.Bila mengalami gejala tipes, sebaiknya Anda segera ke dokter. Jangan tunggu sampai gejala semakin parah sehingga mengalami komplikasi.Ada beberapa pemeriksaan yang umumnya dilakukan dokter untuk memastikan Anda benar terkena tipes. Anda dapat diminta melakukan pengambilan sampel darah, urine, atau feses.Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam di AlteaCare bila mengalami keluhan yang mungkin berkaitan dengan tipes. Dokter dapat memberi rujukan untuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber: <ul style="font-size: 12px;"><li style="">
Mayo Clinic. Diakses pada April 2022. Typhoid fever</li><li style="">
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada April 2022. Typhoid &amp; Paratyphoid Fever</li><li style="">
Watts, M. R., Benn, R. A., Hudson, B. J., &amp; Graves, S. (2008). A case of prolonged fatigue following an acute rickettsial infection. QJM: An International Journal of Medicine, 101(7), 591-593.</li><li style="">
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada April 2022. Symptoms and Treatment</li><li style="">
Web MD. Diakses pada April 2022. Reasons You’re Not Hungry</li><li style="">
Web MD. Diakses pada April 2022. Salmonella (Salmonellosis)</li><li style="">
Live Healthily. Diakses pada April 2022. Typhoid fever</li><li style="">
Web MD. Diakses pada April 2022. What Makes You Sweat</li><li style="">
Bae, K. B., Youn, W. H., Lee, Y. J., Jung, S. J., &amp; Hong, K. H. (2010). Massive small bowel bleeding caused by scrub typhus in Korea. World Journal of Gastrointestinal Surgery, 2(2), 47.</li><li style="">
Medscape. Diakses pada April 2022. Typhoid Fever Follow-up</li><li style="">
National Health Service UK. Diakses pada April 2022. Diagnosis Typhoid fever</li></ul>

8 Gejala Tipes yang Harus Diwaspadai. Segera Obati!

Munculnya varian baru Omicron perlu diantisipasi dengan prokes ketat - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah grafik laporan kasus baru harian sudah sangat rendah dan positivity rate juga makin turun, kita mungkin termasuk yang sudah siap-siap menyambut new normal. Siap beraktivitas seperti sebelum pandemi, seperti bersekolah, bekerja, dan beribadah.Tapi, ternyata di awal Juni ini kita dikejutkan dengan berita seputar temuan varian baru COVID-19, yaitu varian BA.4 dan BA.5. Keduanya merupakan sub varian dari Omicron yang sudah lebih dulu merebak pada akhir 2021. Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI, sub varian ini sudah masuk ke Indonesia. Sebagai langkah antisipasi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diperpanjang.Lalu, seperti apa karakteristik sub varian baru ini?Yuk, simak lebih lanjut!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Anak Rentan Terhadap Omicron, Ortu Perlu Lakukan Ini</a> 
<h2>Persebaran Sub Varian BA.4 dan BA.5</h2>Pada minggu kedua bulan April, WHO mengumumkan adanya sub varian baru dari virus corona, yaitu BA.4 dan BA.5. Mengutip dari Medical News Today, kedua sub varian ini diumumkan pertama kali muncul di Afrika Selatan. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh National Institute of Clinical Disease di Afrika Selatan, sub varian BA.4 dan BA.5 disebut sebagai “virus Omicron dengan kombinasi mutasi yang baru”.Para peneliti di Afrika Selatan mendeteksi sub varian BA.4 pada Januari 2022 dan sejak saat itu sudah mulai menyebar ke seluruh negeri. Menurut laporan, hingga Mei 2022 terhitung sebanyak 35% warga di beberapa wilayah Afrika Selatan yang positif terinfeksi.Dua bulan setelahnya, laporan Badan Keamanan Kesehatan Inggris pada 22 April mengumumkan sub varian BA.4 sudah ditemukan di beberapa negara lain. Tercatat negara yang sudah terdampak sub varian ini adalah Inggris, Amerika Serikat, Denmark, Belgia, Israel, Jerman, Italia, Kanada, Prancis, Belanda, Australia, Swiss, dan Botswana.Sementara itu, sub varian BA.5 baru ditemukan peneliti pada 25 Februari, dan hingga Mei 2022 sudah mencapai 20% kasus di sejumlah wilayah di Afrika Selatan. Tidak perlu waktu lama, sub varian BA.5 menyebar pun ke sejumlah negara lain. Negara yang terdampak antara lain Portugal, Jerman, Inggris, AS, Denmark, Prancis, Austria, Belgia, Hong Kong, Australia, Kanada, Israel, Norwegia, Pakistan, Spanyol, dan Swiss.<h2>Berbahayakah Sub Varian Baru Ini?</h2>Hingga kini, penelitian seputar sub varian BA.4 dan BA.5 di sejumlah negara masih terus dilakukan. Pada 12 Mei 2022, lembaga European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) secara resmi mengklasifikasikan kedua sub varian ini sebagai variants of concern. Hal ini didasarkan pertimbangan yang berkaitan dengan kemampuan penularan dan efektivitas vaksin yang sudah ada. Menurut laporan yang dikeluarkan ECDC, meski belum ada bukti yang ditemukan seputar peningkatan keparahan dibandingkan varian sebelumnya, varian BA.4 dan BA.5 punya daya penularan yang lebih tinggi.Selain itu, mengutip dari Healthline, orang yang sudah divaksin ataupun yang pernah terpapar COVID masih dapat tertular oleh sub varian baru ini. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/dari-delta-sampai-kappa-yuk-ketahui-varian-varian-virus-corona-1631196231344" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Dari Delta Sampai Kappa, Yuk Ketahui Varian-varian Virus Corona</a> 
<h2>Sudah Masuk ke Indonesia</h2>Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI pada 6 Juni 2022, kasus pertama sudah ditemukan di Indonesia, dan sejauh ini ditemukan empat orang yang terinfeksi BA.4 dan BA.5.Faktanya mengejutkannya, keempat orang yang terinfeksi ternyata sudah melakukan vaksin lengkap sesuai anjuran pemerintah.Belajar dari gelombang COVID sebelumnya saat varian Omicron mewabah, sebaiknya kita jangan lengah dalam menerapkan protokol kesehatan, ya. Tetap jaga kondisi kesehatan seluruh anggota keluarga dan selalu gunakan masker saat bepergian keluar rumah. Sedangkan buat Anda yang belum mendapatkan vaksinasi COVID secara lengkap, baik yang primer maupun booster, segera daftarkan diri melalui aplikasi maupun website AlteaCare.Sehat selalu, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Juni 2022. New Sub-Variants of Omicron Detected: What to Know About BA.4 and BA.5</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Juni 2022. Sub Varian Baru Omicron BA.4 dan BA.5 Terdeteksi di Indonesia, Tingkat Kesakitan Rendah</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Juni 2022. New Omicron sub variants are spreading: Should we worry?</li><li>
WHO Africa. Diakses pada Juni 2022. Botswana, South Africa deepen probe into new Omicron sub-variants</li></ul>

Varian Baru COVID-19 Muncul Lagi. Prokes Tidak Boleh Kendor!

Sarapan yang sehat sebaiknya tidak dilewatkan supaya kita tetap sehat - AlteaCare | Foto: Envato

Sarapan bisa memberi asupan energi untuk beraktivitas. Namun, apa jadinya jika nafsu makan hilang di pagi hari? Ini bisa pengaruhi produktivitas para pekerja dan prestasi para pelajar. Tapi, mau bagaimana. Meski sudah tahu sarapan itu penting, terkadang sebagian orang tidak punya nafsu makan di pagi hari. Ini bahkan bisa terjadi pada mereka yang sebenarnya sudah terbiasa sarapan. Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan nafsu makan hilang di pagi hari? Yuk, simak penjelasan di bawah ini!<h2>7 Penyebab Nafsu Makan Hilang di Pagi Hari</h2>Ada banyak hal yang bisa bikin kita tiba-tiba tidak berselera untuk sarapan. Antara lain adalah berikut ini:<h4>1. Depresi atau Cemas</h4>Masalah kejiwaan juga bisa bikin kita tidak nafsu makan di pagi hari. Saat kondisi mental terganggu, kita cenderung sulit tidur dan bawaannya lelah terus.Kita juga kehilangan minat akan banyak hal, termasuk melakukan rutinitas sehari-hari, termasuk makan.Menurut studi yang dimuat di jurnal Molecular Psychiatry, hilangnya nafsu makan di pagi hari yang dialami oleh orang dengan depresi dapat berkaitan dengan hormon kortisol. Tingginya produksi hormon kortisol di malam hari membuat selera makan jadi berkurang. Kita tahu, hormon kortisol sering disebut sebagai hormon stres. Hormon ini dapat memengaruhi energi tubuh ketika stres. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/makanan-junk-food-tidak-sehat-yuk-ganti-dengan-ini-1641182000718" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Makanan Junk Food Tidak Sehat, Yuk Ganti Dengan Ini!</a><h4>2. Terlalu Banyak Makan di Malam Hari</h4>Yuk, coba diingat-ingat lagi. Semalam Anda makan apa, ya? Bisa jadi Anda makan terlalu banyak, sehingga perut rasanya masih penuh saat bangun tidur.Menurut jurnal Nutrients, mengonsumsi makanan kaya protein pada malam hari dapat meningkatkan rasa kenyang pada pagi hari.Selain protein, makanan tinggi lemak juga akan meningkatkan hormon tertentu, sehingga rasa kenyang kita rasakan lebih lama.<h4>3. Perubahan Hormon</h4>Fluktuasi hormon yang terjadi saat kita tidur dapat berdampak pada selera makan di pagi hari.Riset juga menyatakan bahwa hormon epinefrin atau adrenalin cenderung meningkat pada pagi hari. Hormon ini diyakini dapat menekan selera makan dengan memperlambat proses pengosongan perut.Selain itu, adrenalin juga dapat meningkatkan pemecahan karbohidrat untuk disimpan di hati dan otot yang dapat digunakan sebagai energi.<h4>4. Sedang Sakit</h4>Baik sakit ringan atau berat, selera makan bisa terpengaruh. Saat sedang flu atau terkena COVID-19, misalnya, banyak orang hilang nafsu makan karena tidak bisa merasakan makanan yang masuk ke mulutnya. Mengutip WebMD, ketika sakit, sistem imun akan mengeluarkan sejenis protein yang disebut sitokin. Sitokin akan membuat kita merasa lelah dan tidak nafsu makan. Kondisi ini merupakan cara tubuh memberi tahu kita untuk beristirahat dan mengumpulkan energi agar sistem imun dapat melawan penyakit. 
Meski begitu, kita harus tetap makan untuk membantu memperkuat sistem imun. Jadi, usahakan makan sedikit saja, ya.<h4>5. Efek Obat</h4>Obat yang sedang dikonsumsi juga dapat menjadi salah satu penyebab nafsu makan hilang di pagi hari.Obat antibiotik atau obat yang dijual bebas di warung juga memiliki efek samping mengurangi selera makan. Untuk mengatasi hal ini, segeralah berkonsultasi dengan dokter.<h4>6. Sedang Hamil</h4>Sebagian ibu yang sedang hamil muda dapat hilang selera makan di pagi hari. Hal ini bisa dipicu oleh gangguan morning sickness atau mual muntah, yang dapat terjadi di pagi hari. Selain itu, ibu hamil juga kerap mengalami berbagai gangguan, seperti sembelit, perut kembung, maupun gangguan pencernaan lainnya. Ini bisa bikin bumil jadi tidak nafsu makan.Supaya tetap sehat, sebaiknya bumil tetap mengonsumsi air mineral yang cukup dan pilih makanan yang ringan agar perut tetap terisi pada pagi hari. Contohnya seperti tahu, salad, atau roti. 
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tak-hanya-di-pagi-hari-inilah-4-fakta-tentang-morning-sickness-1630040933441" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tak Hanya di Pagi Hari, Inilah 4 Fakta Tentang Morning Sickness	</a> 
<h4>7. Gangguan Penyakit Kronis</h4>Orang yang mengidap gangguan penyakit kronis bisa kehilangan nafsu makan. Misalnya, pada orang yang mengalami gangguan pada hati dan ginjal, gagal jantung, hingga kanker. Selain itu, hilangnya selera makan hilang begitu saja di pagi hari, bisa jadi pertanda adanya gangguan fungsi tiroid. Bukan mustahil Anda mengalami kondisi hipotiroid.Itulah sejumlah penyebab nafsu makan hilang di pagi hari.Jika Anda mengalami gangguan nafsu makan yang cukup drastis, lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Dengan begitu, Anda bisa segera mendapatkan solusi dan penanganan yang tepat. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Simmons, W. K., Burrows, K., Avery, J. A., Kerr, K. L., Taylor, A., Bodurka, J., ... &amp; Drevets, W. C. (2020). Appetite changes reveal depression subgroups with distinct endocrine, metabolic, and immune states. Molecular psychiatry, 25(7), 1457-1468.</li><li>
Kinsey, A. W., &amp; Ormsbee, M. J. (2015). The health impact of nighttime eating: old and new perspectives. Nutrients, 7(4), 2648-2662.</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. 6 Reasons Why You’re Not Hungry in the Morning</li><li>
Web MD. Diakses pada Maret 2022. Reasons You’re Not Hungry</li><li>
Solv Health. Diakses pada Maret 2022. Loss of Appetite</li></ul>

7 Penyebab Nafsu Makan Hilang di Pagi Hari. Pertanda Sakit?

Keluhan rambut rontok juga dapat dialami oleh para penyintas COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Efek virus corona ternyata bisa sampai berpengaruh pada pertumbuhan rambut, lo! Bahkan, sebagian orang mengeluhkan rambut rontok setelah terinfeksi COVID-19.Ya, masalah kerontokan rambut justru terjadi setelah orang yang terkena COVID dinyatakan sembuh. Keluhan ini menambah panjang daftar efek long COVID. Mengutip Healthline, sebuah survei yang dilakukan grup di Facebook bernama Survivor Corps mendapati bahwa sepertiga responden mengalami kerontokan rambut setelah sembuh COVID. Grup Survivor Corps ini beranggotakan para penyintas Covid-19.Lalu, apa yang jadi penyebab rambut rontok setelah COVID-19? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini!<h2>Penyebab Rambut Rontok Setelah COVID-19</h2>Hingga kini, para ahli masih berusaha mencari tahu penyebab rambut rontok setelah COVID-19. Namun, sebagian besar ahli menyoroti adanya faktor stres di balik kerontokan rambut yang dialami oleh para penyintas. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa berkaitan dengan masalah rambut rontok dan infeksi virus corona:<h4>1. Kondisi Telogen Effluvium</h4>Telogen effluvium (TE) adalah salah satu jenis kerontokan rambut yang diduga para ahli berhubungan dengan COVID-19. TE terjadi akibat tubuh mengalami stres atau tekanan yang berat, yang bisa berkaitan dengan mental maupun fisik.Normalnya, siklus pertumbuhan rambut memiliki tiga fase. Pertama, fase pertumbuhan atau anagen. Kedua, fase transisi atau katagen. Ketiga, fase telogen atau istirahat.Pada akhir fase telogen, rambut akan rontok secara alami. Lalu, siklus rambut kembali ke awal atau fase anagen.Nah, adanya pemicu stres yang kuat bisa membuat fase telogen terjadi lebih cepat sehingga jumlah rambut yang rontok pun terlihat lebih banyak.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-alergi-catat-ya-1647876446727" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Cara Membedakan Gejala COVID-19 dengan Alergi. Catat, ya!</a> 
<h4>2. Bagian Dari Long COVID</h4>Studi yang dimuat di jurnal The Lancet menemukan bahwa kerontokan rambut menjadi salah satu keluhan yang dialami oleh para penyintas COVID-19. Studi mencatat, sebanyak 22% responden mengalami rambut rontok dalam kurun waktu 6 bulan setelah terinfeksi virus corona.Gangguan lain yang dialami antara lain adalah rasa lelah atau otot yang lemah, sulit tidur nyenyak, hingga rasa cemas atau depresi. Para responden studi ini terutama berasal dari kelompok orang dengan gejala cukup berat sehingga harus menjalani perawatan di rumah sakit.<h4>3. Dampak Infeksi COVID-19</h4>Menurut American Academy of Dermatology, kerontokan rambut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, usia, hormon, gangguan kesehatan lain, pengobatan, serta paparan stres. Menurut ahli, kondisi demam tinggi yang dialami saat terpapar COVID-19 juga bisa membuat rambut menjadi rontok. Selain itu, faktor penurunan berat badan, yang sering kita jumpai pada orang yang baru sembuh dari COVID, juga dapat berpengaruh pada kerontokan rambut.Belum lagi ditambah dengan kondisi stres yang dialami orang dengan COVID selama sakit. Mereka harus menjalani isolasi mandiri dalam waktu lama, tidak dapat bertemu keluarga, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain.<h2>Cara Mengatasi Rambut Rontok Setelah COVID-19</h2>Kerontokan rambut yang berkaitan dengan telogen effluvium tidak seperti yang kita alami dalam kondisi normal.Kerontokan akibat TE terjadi pada seluruh permukaan kulit kepala, bukan hanya di mahkota kepala.Ini menyebabkan kita bisa kehilangan lebih dari 50-100 helai rambut setiap harinya. Biasanya, kerontokan rambut terlihat saat kita mandi atau keramas.Berikut ini beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi rambut rontok setelah COVID-19:<h4>1. Beri Waktu </h4>Rontoknya rambut akibat sakit atau stres biasanya akan berkurang sejalan dengan waktu. Anda hanya perlu memberi waktu agar rambut kembali tumbuh secara normal. Biasanya, pertumbuhan rambut orang yang baru sembuh dari sakit akan kembali normal sekitar enam hingga sembilan bulan setelah kerontokan terjadi.<h4>2. Santap Makanan yang Sehat</h4>Anda juga dapat merangsang pertumbuhan rambut dengan mengonsumsi menu makanan sehat.Pilih bahan makanan yang mengandung protein, antioksidan, dan vitamin untuk membantu pertumbuhan rambut.Contohnya seperti bayam, telur, ikan salmon, kentang manis, alpukat, kacang-kacangan, biji-bijian, kerang, udang, dan lain-lain.<h4>3. Gunakan Suplemen</h4>Bila perlu, Anda juga dapat mengonsumsi suplemen untuk merangsang pertumbuhan rambut.Carilah jenis suplemen yang mengandung nutrisi dan vitamin yang dibutuhkan rambut, antara lain: <ul><li>	Protein</li><li>
	Zat besi</li><li>
	Vitamin D</li><li>
	Vitamin C</li><li>
	Zink</li><li>
	Asam folat</li><li>
	Vitamin B12</li></ul><h4>4. Berkonsultasi Dengan Ahli</h4>Apabila penyebab kerontokan rambut Anda setelah COVID-19 lebih banyak berhubungan dengan stres psikologis, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi dengan ahlinya.Anda bisa menjadwalkan waktu konsultasi atau kalau perlu terapi dengan psikolog atau dokter spesialis kejiwaan secara rutin. Para ahli ini akan mendampingi Anda dalam mencari solusi untuk meredakan stres. Dengan demikian, proses pemulihan siklus pertumbuhan rambut juga lancar.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!</a> 
Itulah penyebab rambut rontok setelah COVID-19 dan solusinya.Bila Anda masih mengalami keluhan setelah sembuh dari COVID, jangan ragu untuk melakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare </a>sekarang dan buat janji dengan dokter andalan! 
 Sumber:<ul><li>Huang, C., Huang, L., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Gu, X., ... &amp; Cao, B. (2021). 6-month consequences of COVID-19 in patients discharged from hospital: a cohort study. The Lancet, 397(10270), 220-232.</li><li>
WebMD. Diakses pada Juni 2022. Hair Loss an Unexpected COVID Misery for Many</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. Covid-19 Survivors Are Losing Their Hair — Here’s Why</li><li>
Everyday Health. Diakses pada Maret 2022. Is COVID-19 the Reason You’re Losing Hair?</li><li>
American Academy of Dermatology Association. Diakses pada Maret 2022. Can Covid-19 Cause Hair Loss?</li><li>
Malkud, S. (2015). Telogen effluvium: a review. Journal of clinical and diagnostic research: JCDR, 9(9), WE01.</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. The 14 Best Foods for Hair Growth</li><li>
GoodRx Health. Diakses pada Maret 2022. Can You Experience Hair Loss After Having COVID-19?</li></ul>

Penyebab Rambut Rontok Setelah COVID-19 dan Solusinya

Pengidap diabetes perlu jaga pola makan agar tidak sampai terkena COVID - AlteaCare | Foto: Envato

Mengidap diabetes saja sudah butuh komitmen besar untuk menjaga kondisi kesehatan dan kestabilan kadar gula darah. Bagaimana sampai terkena COVID-19 juga? Wah, sebisanya ini harus dicegah!Pasalnya, menurut penelitian dimuat di jurnal The Lancet Diabetes &amp; Endocrinology, COVID-19 bisa meningkatkan risiko diabetes sebesar 59%. Hal ini berlaku pada orang yang sebelumnya tidak punya risiko diabetes maupun yang tidak kelebihan berat badan. Sementara pada mereka dengan risiko diabetes rendah, risikonya bisa naik hingga 38%. Risiko lebih tinggi lagi dialami oleh para penyintas COVID-19 dengan gejala berat dan harus dirawat di rumah sakit atau di ICU.Nah, itu baru bicara soal orang-orang yang sebelumnya tidak punya kondisi diabetes. Bagaimana dengan para pengidap diabetes? Tentu semakin berisiko jika sampai terpapar virus corona.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/9-komplikasi-diabetes-melitus-yang-wajib-diwaspadai-1653873054694" target="_blank">9 Komplikasi Diabetes Melitus yang Wajib Diwaspadai	</a> 
<h2>Ini yang dialami saat orang diabetes terinfeksi COVID</h2>Orang yang punya riwayat diabetes kondisinya dapat lebih buruk bila terpapar COVID dibandingkan dengan yang tidak. Tidak hanya gejala COVID-nya, melainkan juga kondisi diabetesnya.Beberapa gejala perburukan bisa dialami oleh orang dengan diabetes saat terkena COVID, antara lain:<ul><li>	Kesulitan bernapas</li><li>
	Saturasi oksigen kurang dari 95%</li><li>
	Rasa sakit seperti tertekan pada bagian dada</li><li>
	Tidak mampu untuk bangun atau selalu merasa mengantuk</li><li>
	Badan gemetar</li></ul>Melansir dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pengidap diabetes dengan kondisi hiperglikemia atau kadar gula darah tinggi, kemudian ditambah dengan COVID, berisiko hingga 86% untuk mengalami kematian.Risiko lainnya adalah terjadinya gangguan pernapasan berat, cedera ginjal akut, hingga cedera jantung akut. <h2>Tips jaga kesehatan buat pengidap diabetes</h2>Hingga kini penyakit diabetes masih belum dapat disembuhkan. Para diabetesi perlu menjalani pola hidup yang sehat agar kadar gula darah selalu stabil. Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan: <h3>1. Selalu pantau kadar gula darah</h3>Untuk memonitor kadar gula darah Anda secara berkala, dokter dapat menganjurkan Anda melakukan tes HbA1c. Tes ini akan memperlihatkan profil kadar gula darah rata-rata selama 2-3 bulan terakhir. Penelitian menunjukkan bahwa kadar HbA1c yang tinggi bisa dapat membuat Anda berisiko mengalami sakit berat bila terpapar virus corona.<h3>2. Jaga pola makanan agar tetap sehat</h3>Penderita diabetes perlu memperhatikan asupan nutrisi melalui makanan sehari-hari. <ul><li>	Cermati dan hindari jenis-jenis makanan yang bisa berpotensi bikin kadar gula darah melonjak. </li><li>
	Konsumsi makanan yang bisa membantu memperkuat imun tubuh lewat menu dan porsi yang bergizi seimbang, serta kayak serat dan protein. </li><li>
	Batasi asupan lemak agar tidak berdampak buruk terhadap kadar gula darah.</li><li>
	Pastikan Anda punya jadwal makan teratur dan selalu pada jam yang sama supaya kadar gula darah stabil.</li></ul>Perbanyak juga minum air mineral, kecuali dibatasi oleh dokter Anda. <h3>3. Terapkan protokol kesehatan ketat</h3>Meski angka penularan COVID-19 sudah menurun, tetap ikuti protokol kesehatan di mana pun Anda berada. Beberapa yang perlu selalu Anda ingat:<ul><li>	Sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Jika tidak memungkinkan, gunakan hand sanitizer yang mengandung alkohol</li><li>
	Hindari menyentuh wajah, hidung, dan mata bila belum mencuci tangan</li><li>
	Jangan sentuh barang maupun permukaan yang sering disentuh di tempat umum, seperti tombol lift, gagang pintu, pegangan tangga.</li><li>
	Rutin bersihkan dan desinfeksi rumah. Bersihkan juga barang-barang pribadi yang sering Anda sentuh, seperti ponsel</li></ul><h3>4. Jaga jarak dan keamanan saat bepergian</h3>Penderita komorbid adalah salah satu kelompok yang masih dianjurkan untuk mengenakan masker saat keluar rumah, meski aturan penggunaan masker sudah dilonggarkan sejak awal 2022 lalu. Jadi, selalu gunakan masker saat akan bepergian. Pastikan Anda juga menjaga jarak dengan orang di sekitar, terutama yang terlihat sedang bersin atau batuk. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/perbedaan-pandemi-dan-endemi-apa-saja-yang-berubah-1652873701097" target="_blank">Perbedaan Pandemi dan Endemi, Apa Saja yang Berubah?	</a> 
<h3>5. Tetap lakukan aktivitas fisik</h3>Aktivitas fisik maupun olahraga tetap dibutuhkan oleh pengidap diabetes, karena dapat membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil. <h3>6. Tetap rutin konsumsi obat-obatan dari dokter</h3>Jangan lewatkan jadwal minum obat yang sudah dianjurkan oleh dokter spesialis Anda. Selain itu, jaga juga area kaki agar tetap bersih, untuk mencegah komplikasi yang berhubungan dengan kaki. <h3>7. Waspadai gejala penyakit</h3>Orang dengan diabetes harus segera ke fasilitas layanan kesehatan terdekat apabila mengalami gejala seperti nyeri dada, sesak napas, pusing, lemas, dan muntah. Ini adalah tanda kondisi diabetes Anda memburuk.Selain itu, antisipasi juga gejala yang mengarah pada COVID-19. Segera berkonsultasi dengan dokter spesialis, jangan ditunda lagi.Pastikan anggota keluarga mengetahui secara detail kondisi diabetes yang Anda alami, sehingga bisa menyampaikannya pada tenaga kesehatan. Begitu juga dengan daftar obat-obatan yang selama ini Anda minum.Anda bisa lakukan telekonsultasi dari rumah dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare. Dokter akan memberi saran pemeriksaan yang perlu dilakukan dan kapan harus ke rumah sakit. Yuk, unduh AlteaCare sekarang dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber: <ul><li>Xie, Y., &amp; Al-Aly, Z. (2022). Risks and burdens of incident diabetes in long COVID: a cohort study. The Lancet Diabetes &amp; Endocrinology, 10(5), 311-321.</li><li>
WebMD. Diakses pada April 2022. COVID-19 Ups Diabetes Risk 40% a Year Later</li><li>
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Diakses pada April 2022. Penderita Diabetes tak Boleh Isoman Jika Alami Kondisi Ini</li><li>
Diabetes. Diakses pada April 2022. coronavirus and diabetes updates</li><li>
Diabetes. Diakses pada April 2022. diabetes when you're unwell</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Mei 2022. Langkah-Langkah Pencegahan bagi Penyandang Diabetes Melitus di Masa Pandemi Covid-19</li><li>
Verma, A. K., Beg, M. M. A., Bhatt, D., Dev, K., Alsahli, M. A., Rahmani, A. H., &amp; Goyal, Y. (2021). Assessment and Management of Diabetic Patients during the COVID-19 pandemic. Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy, 14, 3131.</li><li>
American Diabetes Association. Diakses pada Mei 2022. Take Everyday Precautions</li></ul>

Orang Diabetes Jangan Sampai COVID-19, Cegah Dengan Ini

Vaksinasi umumnya dapat menyebabkan kejadian ikutan pasca imunisasi atau efek samping tertentu - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah kita divaksin, ada reaksi yang sering dirasakan. Secara umum, istilah yang digunakan adalah KIPI atau kejadian ikutan pasca imunisasi. Namun, orang lebih seringnya menyebutnya efek samping vaksin COVID-19.Efek samping vaksin COVID-19 bisa berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang mengaku tidak merasakan apa-apa, ada pula yang merasa sakit.Ada beragam faktor yang memengaruhi efek dari vaksin yang kita terima, baik itu vaksin primer atau juga booster. Bisa dari jenis vaksinnya, daya tahan tubuh kita, ataupun faktor lainnya.Lalu, apa saja efek samping vaksin COVID-19 yang mungkin kita alami? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!<h2>Efek Samping Vaksin COVID-19</h2>Seperti ini reaksi yang mungkin kita alami setelah menerima vaksin COVID-19: <h3>1. Efek Samping Vaksin Secara Umum</h3>Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ada beberapa gejala umum yang dialami hampir semua orang setelah divaksin:<ul><li>	Nyeri di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kulit kemerahan</li><li>
	Memar</li><li>
	Kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Menggigil</li><li>
	Demam</li><li>
	Mual</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!</a> 
Sebagian orang bisa mengalami beberapa gejala sekaligus, atau hanya salah satunya saja. Namun, tidak tertutup kemungkinan ada orang yang sama sekali tidak merasakan efek samping setelah divaksin.<h3>2. Efek Samping Vaksin Berdasarkan Jenis Vaksin</h3>Beda vaksin, beda juga efek sampingnya. Berikut ini adalah beberapa efek samping yang umum dialami oleh penerima vaksin jenis tertentu:<h4>a. Vaksin Sinovac (CoronaVac)</h4>Kebanyakan orang yang menerima vaksin Sinovac tidak mengalami efek samping atau KIPI. Namun, sebagian orang dapat mengalami keluhan tertentu.Menurut jurnal&nbsp;the Lancet Infectious Disease, KIPI ini mungkin dialami oleh penerima vaksin Sinovac dalam tujuh hari setelah penyuntikan:<ul><li>	Kemerahan dan memar di sekitar titik suntik</li><li>
	Batuk-batuk</li><li>
	Demam</li><li>
	Reaksi alergi</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Diare</li><li>
	Merasa kelelahan</li><li>
	Mual</li></ul>KIPI ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, menurut studi jumlah orang mengalami demam pasca imunisasi relatif rendah.<h4>b. Vaksin AstraZeneca</h4>Vaksin jenis ini juga banyak digunakan di Indonesia. Beberapa KIPI yang biasa dialami penerima vaksin AstraZeneca antara lain adalah:<ul><li>	Nyeri di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kemerahan dan memar di sekitar titik suntikan</li><li>
	Merasa kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Mual</li><li>
	Demam</li><li>
	Menggigil</li><li>
	Tidak enak badan</li><li>
	Nyeri pada persendian</li></ul>Sebagian kecil dapat mengalami beberapa hal berikut:<ul><li>	Pembesaran kelenjar getah bening</li><li>
	Nyeri pada lengan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nafsu makan menurun</li><li>
	Sakit perut</li><li>
	Reaksi alergi</li></ul><h4>c. Vaksin Pfizer dan Moderna</h4>Kedua vaksin ini adalah jenis vaksin mRNA. Keduanya memiliki efek mirip, antara lain:<ul><li>	Rasa sakit di sekitar titik suntikan</li><li>
	Kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Demam dan menggigil</li><li>
	Nyeri pada persendian</li><li>
	Memar di sekitar ketiak</li><li>
	Rasa tidak nyaman di dada</li><li>
	Demam</li><li>
	Flu</li><li>
	Pembengkakan kelenjar getah bening</li><li>
	Sesak napas</li></ul>Tidak semua orang mengalami gejala-gejala seperti di atas. Sebagian hanya mengalami gejala ringan, seperti pegal-pegal atau nyeri di sekitar titik suntikan.<h3>3. Reaksi Alergi Khusus</h3>Selain mengalami gejala-gejala yang umum, sebagian orang dapat mengeluhkan reaksi alergi yang khusus setelah menerima vaksin.Reaksi ini hanya terjadi pada sebagian kecil orang, antara lain berupa: <ul><li>	Kesulitan bernapas</li><li>
	Penurunan tekanan darah</li><li>
	Memar pada lidah dan tenggorokan</li><li>
	Ruam atau gatal-gatal pada kulit</li></ul><h3>4. Anafilaksis atau Reaksi Alergi Berat</h3>Melansir laman Kementerian Kesehatan, anafilaksis adalah syok akibat mengalami reaksi alergi berat. Semua yang divaksin bisa mengalami anafilaksis. Namun, menurut Komnas KIPI, Dr. dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed, reaksi ini sangat jarang terjadi. Diperkirakan, peluangnya hanya satu atau dua kasus dari satu juta dosis vaksin.Selain akibat vaksin, anafilaksis juga bisa terjadi akibat antibiotik, kacang, nasi, zat kimia, dan lain-lain. Sejauh ini, pemerintah sudah telah menyiapkan alat kesehatan dan obat untuk penanganan syok anafilaksis.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/7-hal-penting-seputar-vaksin-gotong-royong-1630839808639" target="_blank">7 Hal Penting Seputar Vaksin Gotong Royong</a> 
<h2>Kapan Harus Menemui Dokter?</h2>Jika efek samping vaksin COVID-19 terbilang berat dan mengganggu aktivitas, segera berkonsultasi dengan dokter.Terutama bila Anda mengalami hal ini: <ul><li>●	Memar di sekitar titik penyuntikan semakin parah setelah 24 jam</li><li>
●	KIPI tidak menghilang selama beberapa hari</li><li>
●	Mengalami reaksi alergi dalam waktu empat jam setelah menerima vaksin</li><li>
●	Terjadi reaksi anafilaksis</li><li>
●	Mengalami ruam dalam beberapa hari setelah vaksin</li></ul>
 Itulah sejumlah efek samping vaksin COVID-19 yang bisa dialami semua orang.Jika mengalami masalah setelah menerima vaksin, Anda bisa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat atau lakukan telekonsultasi di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. Possible Side Effects After Getting a COVID-19 Vaccine</li><li>
WHO. Diakses pada Maret 2022. Evidence Assessment: Sinovac/CoronaVac Covid-19 Vaccine</li><li>
Zhang, Y., Zeng, G., Pan, H., Li, C., Hu, Y., Chu, K., ... &amp; Zhu, F. (2021). Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18–59 years: a randomised, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial. The Lancet infectious diseases, 21(2), 181-192. </li><li>
Australian Government Department of Health. Diakses pada Maret 2022. After your COVID-19 Vaccine AstraZeneca</li><li>
New Zealand Ministry of Health. Diakses pada Maret 2022. COVID-19: Pfizer vaccine side effects and reactions</li><li>
Kementerian Kesehatan. Diakses pada Maret 2022. Belum Ditemukan Reaksi Anafilaktik dalam Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19</li></ul>

Begini Efek Samping Vaksin COVID-19. Kapan Harus ke Dokter?

Perbedaan pandemi dan endemi terletak pada sejauh mana virus sudah dapat dikendalikan - AlteaCare | Foto: Envato

Dengan semakin landainya jumlah kasus aktif COVID-19 di negeri kita, harapan semakin besar untuk masuk ke kondisi new normal. Perbedaan pandemi dan endemi akan terasa dalam keseharian kita. Kita tahu, wabah ini sudah mengubah banyak hal dalam hidup, termasuk gaya hidup, cara bekerja, cara bertahan hidup, dan lain-lain. Bahkan, beberapa negara sempat memberlakukan kebijakan lockdown total, yang berakibat pincangnya perekonomian masyarakat.Kabar baiknya, penyebaran virus COVID-19 sudah mulai bisa dikendalikan. Majunya teknologi dalam pembuatan vaksin juga berkontribusi terhadap pengendalian virus corona ini.Pemerintah pun sedang menyusun protokol untuk menyambut perubahan status dari "pandemi" menjadi "endemi".Sebenarnya, apa perbedaan pandemi dan endemi?Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/aturan-yang-berubah-karena-omicron-isoman-salah-satunya-1645069308658" target="_blank">Aturan Yang Berubah Karena Omicron, Isoman Salah Satunya</a> 
<h2>Ini Dia Perbedaan Pandemi dan Endemi</h2>Secara umum, kita mengenal ada tiga jenis wabah berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan penyebarannya. Dimulai dari yang paling rendah adalah endemi, epidemi, kemudian pandemi.Yuk, kita lihat satu per satu.<h3>1. Endemi</h3>Endemi adalah tingkat pertama dari suatu wabah, yang terjadi pada suatu wilayah atau populasi tertentu. Ciri-ciri endemi adalah:<ul><li>
	Penyebaran penyakitnya relatif stabil dan terprediksi dari waktu ke waktu</li><li>
	Virus tetap hidup di tengah masyarakat, namun penyebarannya terkendali</li><li>
	Contoh: penyakit influenza di masa sekarang, malaria, demam berdarah, dan hepatitis B</li></ul>Penentuan status endemi dilihat berdasarkan indikator, yang mengacu pada angka reproduksi virus COVID-19.<h3>2. Epidemi</h3>Pada tingkatan selanjutnya adalah epidemi, yaitu kondisi ketika suatu penyakit menyebar dengan sangat cepat dan tidak terduga, pada beberapa wilayah atau populasi.Ciri-ciri epidemi adalah:<ul><li>	Bila pada kondisi endemi penyakit terkendali, pada epidemi jumlah orang yang terkena penyakit tersebut meningkat cepat </li><li>
	Epidemi juga bisa terjadi saat muncul satu penyakit baru di suatu daerah atau kelompok tertentu</li><li>
	Epidemi tidak harus berkaitan dengan penyakit menular. Meningkatnya angka obesitas juga bisa dianggap sebagai epidemi</li><li>
	Contoh: virus zika, virus ebola, dan cacar</li></ul><h3>3. Pandemi</h3>Tingkat penyebaran penyakit paling tinggi atau paling parah adalah pandemi. Saat terjadi pandemi, penyakit menyebar hingga melintasi berbagai negara dan benua.Ciri-ciri pandemi adalah:<ul><li>	Penyebaran dengan sangat cepat dan peningkatan jumlah kasus baru signifikan setiap harinya</li><li>
	Angka kematian meningkat dan karantina massal bisa terjadi</li><li>
	Dampaknya terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik</li><li>
	Orang mengalami perubahan gaya hidup, misalnya jadi enggan pergi ke tempat kerja, tidak bisa datang ke acara yang bisa menimbulkan kerumunan</li></ul>Pandemi COVID-19 bukanlah pandemi pertama yang terjadi di dunia. Sejak ratusan tahun lalu, terjadi beberapa pandemi yang menewaskan jutaan orang.Beberapa pandemi yang pernah terjadi antara lain adalah black death pada 1346-1353 di Eropa, Asia, dan Afrika, serta flu spanyol pada 1918-1919.Baca Juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/10-cara-membedakan-gejala-covid-19-dengan-penyakit-lain-1651155705247" target="_blank"> 10 Cara Membedakan Gejala COVID-19 Dengan Penyakit Lain</a> 
<h2>Transisi Pandemi ke Endemi, Apa yang Berubah?</h2>Untuk bisa masuk ke status endemi, ada beberapa kondisi yang perlu terpenuhi. Menurut jurnal Immunity, beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masa transisi menuju endemi adalah:<ul><li>	Terjadi penurunan jumlah infeksi dan angkanya stabil</li><li>
	Vaksinasi dapat memberi perlindungan imunitas dari infeksi</li><li>
	Program vaksinasi massal dapat membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) sehingga penyebaran virus dapat ditekan</li><li>
	Jika virus tidak bisa dihilangkan, terdapat upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap infeksi atau pengurangan tingkat keparahan gejala</li></ul>Dalam transisi dari pandemi ke endemi COVID-19, salah satu perubahan yang terlihat adalah semakin dilonggarkannya beberapa kebijakan. Antara lain adalah kebijakan tentang penggunaan masker dan skrining untuk pelaku perjalanan dalam dan luar negeri.Dalam Pernyataan Pers Presiden RI terkait Pelonggaran Penggunaan Masker, Istana Kepresidenan Bogor, 17 Mei 2022 lalu, ada beberapa hal yang bisa kita catat:1.	Penggunaan masker<ul><li>	Saat beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka tidak padat orang, kita diperbolehkan tidak menggunakan masker</li><li>
	Saat berada di ruangan tertutup dan transportasi publi , kita tetap menggunakan masker</li><li>
	Mereka yang termasuk kategori rentan, lansia, atau memiliki penyakit komorbid tetap menggunakan masker saat beraktivitas</li><li>
	Saat mengalami gejala batuk dan pilek, kita diminta tetap pakai masker saat beraktivitas</li></ul>2.	Pelaku perjalanan dalam dan luar negeri yang sudah mendapat vaksinasi COVID-19 lengkap tidak perlu lagi melakukan tes swab PCR maupun antigenItulah perbedaan pandemi dan endemi.Jika Anda mengalami keluhan kesehatan, termasuk gejala yang berkaitan dengan COVID-19, segera lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare. Selain itu, Anda juga dapat mendaftar untuk vaksinasi primer dan&nbsp;booster&nbsp;COVID-19.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Medical News Today. Diakses pada April 2022. What is the difference between pandemic, endemic, and epidemic?</li><li>
Kompas.com. Diakses pada April 2022. Rencana Pemerintah Ubah Pandemi ke Endemi Dikhawatirkan Hanya demi Kepentingan Politik-Ekonomi</li><li>
Mailman School of Public Health, Columbia University. Diakses pada Mei 2022. Epidemic, Endemic, Pandemic: What are the Differences?</li><li>
Madhav, N., Oppenheim, B., Gallivan, M., Mulembakani, P., Rubin, E., &amp; Wolfe, N. (2017). Pandemics: Risks, impacts, and mitigation. Disease control priorities: Improving health and reducing poverty. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washington DC: The World Bank.</li><li>
Antia, R., &amp; Halloran, M. E. (2021). Transition to endemicity: Understanding COVID-19. Immunity, 54(10), 2172-2176.</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada Mei 2022. Pemerintah Longgarkan Kebijakan Pemakaian Masker bagi Masyarakat</li></ul>

Perbedaan Pandemi dan Endemi, Apa Saja yang Berubah?

Para penderita gangguan autoimun perlu dapat izin dokter sebelum diberi vaksin COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Program vaksinasi COVID-19 yang dicanangkan pemerintah adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap penyebaran virus corona. Tapi, ternyata tidak semua orang bisa divaksin. Ada juga yang tidak boleh divaksin COVID-19. Penyebabnya? Karena adalah penderita penyakit tertentu.Sebagian penderita komorbid sebenarnya masih bisa mendapat vaksin COVID-19, sejauh kondisi penyakitnya terkontrol. Dan, mereka terlebih dulu melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis yang merawat, sebelum kemudian mendaftar untuk diberi vaksin. Langkah ini perlu dilakukan supaya pemberian vaksin tidak memperparah kondisi penyakit yang dialami.&nbsp;Tapi, ada juga penderita penyakit yang bisa langsung ditolak saat mendaftar vaksinasi, lo. Siapa sajakah mereka?&nbsp;&nbsp;Yuk, simak selengkapnya di bawah ini!<h2>Daftar Penderita Penyakit yang Tidak Boleh Diberi Vaksin COVID-19</h2>Berikut ini adalah jenis penyakit yang membuat Anda tidak bisa mendaftar untuk menerima vaksinasi:<h3>1. Demam atau flu</h3>Bila Anda sedang menderita demam atau flu, sebaiknya menunda vaksinasi terlebih dulu.Mungkin bagi Anda kondisi ini sepele dan hanya flu biasa. Tapi, ketika sakit, kondisi sistem imun Anda sedang mengalami gangguan karena sedang berupaya melawan infeksi yang diderita.Bila tetap memaksa untuk divaksin, dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang lain. Lebih baik tunda sebentar hingga Anda sembuh total, barulah mendaftar vaksinasi!Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksinasi-booster-covid-19-1642561545309" target="_blank">Panduan Vaksinasi Booster COVID-19</a> 
<h3>2. HIV/AIDS</h3>Orang dengan HIV /AIDS tidak disarankan untuk diberi vaksin COVID-19. Namun, hal ini tidak berlaku untuk semua penderita gangguan autoimun ini. Mereka yang tidak boleh menerima vaksin adalah orang dengan AIDS, yang memiliki kadar sel CD4 di bawah 200. Kondisi kadar CD4 seperti ini bisa meningkatkan risiko terkena penyakit berat.CD4 adalah sel darah putih atau limfosit, yang merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Sementara orang dengan HIV/AIDS, yang kadar sel CD4-nya bisa rendah,&nbsp;perlu menjaga kesehatan dan jangan sampai sakit.<h3>3. Lupus</h3>Lupus juga merupakan salah satu gangguan autoimun kronis, yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang sejumlah organ jaringan tubuh sendiri. Beberapa organ tubuh yang terdampak oleh gangguan autoimun antara lain adalah sendi, kulit, ginjal, paru-paru, otak, dan jantung.Kondisi tubuh yang rentan membuat orang dengan lupus mudah terpapar COVID-19. Begitu juga bila mereka termasuk pengidap lupus yang harus minum obat secara rutin. Mereka pun jadi semakin rentan untuk terpapar infeksi, karena obat-obatan untuk lupus bekerja dengan cara menurunkan aktivitas sistem imun yang berlebihan.Kondisi ini tentu bisa berbalik menjadi berbahaya ketika mereka menerima vaksin. Namun, penderita lupus masih punya peluang untuk bisa divaksin, asalkan diizinkan oleh dokter spesialis yang menangani penyakitnya. <h3>4. Hipertiroid</h3>Orang dengan ganggguan hipertiroid juga tidak boleh divaksin karena termasuk penderita gangguan autoimun. Seperti jenis penyakit autoimun lainya, penderita hipertiroid akut disarankan tidak menerima vaksin.Namun, jika dokter memberi lampu hijau untuk vaksin dengan pertimbangan kondisi penyakit Anda terkendali, Anda bisa menerima vaksin Covid-19. Pastikan Anda selalu konsultasikanlah kondisi dengan dokter spesialis agar selalu terpantau, ya!<h3>5. Alergi berat</h3>Anda sempat mengalami reaksi alergi berat setelah dosis pertama vaksin? Saat mendapatkan penanganan dari dokter, ada kemungkinan Anda disarankan untuk tidak diberi dosis vaksin berikutnya. Hal ini untuk mencegah Anda mengalami reaksi serupa, atau bahkan lebih berat. Namun, bukan berarti Anda tidak mendapat vaksin sama sekali. Melansir Cleveland Clinic, peluang untuk melengkapi vaksinasi COVID bisa dicapai, apabila dokter menyarankan jenis vaksin lainnya yang dianggap lebih cocok dengan kondisi Anda.Misalnya, jika pada dosis pertama Anda menerima vaksin mRNA (Pfizer dan Moderna), dokter akan menyarankan Anda mengganti jenis vaksin lain yang menggunakan platform berbeda.<h3>6. Gangguan pembekuan darah</h3>Bagi Anda yang sedang menjalani perawatan akibat gangguan pembekuan darah, sebaiknya tidak menerima vaksinasi terlebih dulu.Menurut Satuan Gugus Tugas COVID-19 DKI Jakarta, kondisi gangguan pembekuan darah ini dikhawatirkan memperparah penyakit atau memicu komplikasi penyakit yang lain.Tunggulah sampai dokter menyatakan kondisi Anda aman untuk mendapat vaksin. Barulah setelahnya Anda mendaftar untuk jadi penerima vaksin COVID-19.<h3>7. Sedang positif terpapar COVID-19</h3>Jika sedang terinfeksi virus COVID-19, Anda jelas tidak bisa menjadi kandidat penerima vaksin. Anda perlu menyembuhkan kondisi kesehatan dulu, misalnya dengan melakukan isolasi mandiri.Setelah dinyatakan sembuh dari COVID, jadwalkan untuk mendapatkan vaksin dalam waktu tiga bulan setelahnya. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/infografik-vaksinasi-covid-19-anak-usia-6-11-tahun-1643123044393" target="_blank">INFOGRAFIK: Vaksinasi COVID-19 Anak Usia 6-11 Tahun</a> 
Itulah daftar penderita penyakit yang tidak boleh menerima vaksin.Jika Anda mengalami berbagai gejala dan keluhan yang mengarah ke COVID-19, manfaatkan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID yang ada di AlteaCare. Telekonsultasi dari rumah saja menggunakan fitur panggilan video akan membuat Anda lebih nyaman berkomunikasi dengan dokter. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Satgas Covid-19 DKI Jakarta. Diakses pada April 2022. Alasan Kelompok Masyarakat Ini Tak Boleh Divaksinasi Covid-19</li><li>
AIDSMAP. Diakses pada April 2022. CD4 Cell Counts</li><li>
Everyday Health. Diakses pada April 2022. 12 Things People With Lupus Should Know About the COVID-19 Vaccine</li><li>
American Thyroid Association. Diakses pada April 2022. COVID-19 Vaccine Frequently Asked Question</li><li>
Cleveland Clinic. Diakses pada April 2022. Should You Get the COVID-19 Vaccine If You Have Allergies?</li><li>
Healthline. Diakses pada April 2022. Who Can and Can’t Safely Get the COVID-19 Vaccine</li></ul>

Penderita Penyakit Ini Tidak Boleh Diberi Vaksin COVID-19

Tetap bergembira merayakan Idul Fitri dengan tetap perhatikan protokol kesehatan - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah 30 hari berpuasa, umat Muslim kini bersiap menyambut hari raya lebaran. Hari yang ditunggu-tunggu untuk bisa berkumpul dan saling bermaafan dengan keluarga dan saudara-saudara terdekat.Setelah beberapa tahun perayaan lebaran dibatasi akibat pandemi, di tahun ini Idul Fitri bisa lebih semarak. Sebab, menurut Kementerian Kesehatan RI, belakangan ini sudah terjadi tren penurunan kasus aktif COVID-19, yang juga diikuti oleh penurunan tren reproduksi virus atau kemampuan virus untuk menulari ke orang lain. “Kita berharap ibadah di bulan puasa dan aktivitas perjalanan mudik di tahun ini bisa dilaksanakan dengan kondisi sehat, aman, dan nyaman,” kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid dalam Konferensi Pers terkait Update Perkembangan COVID-19 pada 20 April 2022 lalu. Tahun ini, diperkirakan akan ada 85 juta orang yang akan mudik ke kampung halamannya. Apakah Sobat Altea termasuk salah satunya? Supaya acara mudik serta silaturahmi bisa aman, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan.Yuk, simak tips seputar merayakan lebaran di masa pandemi berikut!<h2>6 Tips Aman Rayakan Lebaran di Masa Pandemi</h2>Baik Anda yang mudik ke kampung halaman atau tetap di rumah saja, pastikan kondisi kesehatan selalu terjaga saat merayakan lebaran.<h3>1. Perjalanan ke kampung halaman</h3>Untuk Sobat Altea yang akan menempuh jalur darat menuju kampung halaman, pastikan kondisi tubuh selalu fit. Apalagi jika Anda akan menempuh perjalanan lumayan panjang. Pastikan Anda beristirahat cukup sebelum melakukan perjalanan. Di tengah jalan, Anda bisa beristirahat di rest area saat lelah dan mengantuk.Kementerian Kesehatan RI juga menganjurkan para pemudik untuk melakukan vaksinasi booster sebelum mudik. Sebab, ini akan dapat melindungi kita dan keluarga saat melakukan perjalanan, saat tiba, hingga saat kembali dari kampung halaman. <h3>2. Manfaatkan cara alternatif untuk bersilaturahmi </h3>Kondisi Anda sedang tidak memungkinkan untuk bersilaturahmi di hari Idul Fitri karena sedang tidak enak badan, bahkan terkena COVID-19? Jangan putus asa dan sedih. Anda bisa, kok, memanfaatkan teknologi untuk mengucapkan selamat dan bermaafan dengan keluarga. Lakukan silaturahmi lewat telepon, video call, atau lewat aplikasi online meeting. <h3>3. Jaga protokol kesehatan saat salat Ied</h3>Salat Ied adalah hal utama yang Anda lakukan di hari Idul Fitri. Anda pasti bergegas dengan penuh semangat bersama keluarga untuk salat bersama-sama. Di saat seperti ini, jangan lupa protokol kesehatan, ya! Mengingat jemaat yang akan sembayang banyak, Anda perlu tetap jaga jarak aman. Saat salat, batasi jarak berdiri Anda dari jemaat lain sekitar 2 meter.Berikut ini beberapa panduan penyelenggaraan salat idul fitri saat pandemi yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI supaya Sobat Altea bisa tetap aman dan sehat:<ul><li>	Jemaah yang hadir salat Idul Fitri tidak boleh melebihi 50% dari kapasitas tempat agar bisa menjaga jarak antar-shaf dan antar-jamaah</li><li>
	Para jemaah yang hadir perlu melakukan pengecekan suhu untuk memastikan kondisi kesehatannya</li><li>
	Para lansia (lanjut usia), orang yang sedang kurang sehat, baru sembuh dari sakit, atau baru kembali dari perjalanan tidak disarankan menghadiri salat Idul Fitri di masjid dan lapangan</li><li>
	Anda diharapkan tetap memakai masker selama salat Idul Fitri maupun saat menyimak khutbah Idul Fitri di masjid dan lapangan</li></ul><h3>4. Kirim hadiah</h3>Mengirim hadiah atau parsel juga jadi bagian dari aktivitas saat menjelang lebaran. Ternyata, kebiasaan memberikan hadiah ini bisa bermanfaat buat jiwa kita. Melansir dari Harvard Business Review, sejumlah studi menemukan bahwa ketika bahkan dalam kondisi kekurangan, memberikan sebagian dari milik kita ke orang lain dapat menimbulkan rasa bahagia. Dalam memberi hadiah, yang terpenting bukanlah banyaknya. Namun, lebih kepada siapa Anda memberikannya dan bagaimana cara memberinya. Kita akan merasa lebih bahagia ketika bisa memberi dan melihat bagaimana reaksi orang yang menerima pemberian kita.Nah, Sobat Altea yang sudah bekerja dan punya penghasilan tetap, yuk jangan ragu untuk berbagi rezeki di hari yang suci ini. Anda bisa kirim parsel atau kue lebaran ke keluarga maupun saudara. Atau, kirim THR lewat aplikasi dompet elektronik ke anak dan keponakan.<h3>5. Membayar zakat </h3>Bayar zakat fitrah adalah hukumnya wajib bagi setiap muslim. Bila dulu Anda membayar zakat fitrah ke mushola atau masjid, Anda sudah bisa bayar zakat dari rumah saja.Sekarang sudah banyak lembaga resmi pengelola zakat yang menyediakan layanan online untuk membantu Anda menghitung zakat yang diberikan. Anda juga bisa membayar zakat melalui platform bayar zakat fitrah online dari beberapa amil zakat resmi. <h3>6. Beres-beres rumah</h3>Siapkan rumah Anda untuk menyambut tamu yang datang. Pastikan kondisi rumah bersih dan semprotkan disinfektan ke ke setiap ruangan dan pel lantai dengan cairan antiseptik agar terhindar dari virus atau bakeri.Anda juga bisa letakkan penyemprot disinfektan di beberapa titik di rumah untuk digunakan bila perlu. Siapkan juga masker cadangan untuk tamu yang ingin ganti masker. Jangan lupa juga untuk beres-beres rumah setelah tamu pulang, ya!Bila Anda atau anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan menjelang dan selama cuti bersama Lebaran, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter. Anda bisa lakukan telekonsultasi melalui video call dengan dokter di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang juga. Selamat menyambut Idul Fitri 1443 H, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada April 2022. Kemenkes Siapkan 340 Pos Kesehatan di Jalur Mudik Lebaran 2022</li><li>
Kementerian Agama Republik Indonesia. Diakses pada Maret 2022. Kemenag Terbitkan Panduan Penyelenggaraan Salat Idul Fitri saat Pandemi</li><li>
Islamic Relief. Diakses pada Maret 2022. Zakat</li><li>
Harvard Business Review. Diakses pada April 2022. Why Am I So Obsessed with Giving People Gifts?</li></ul>

Aman Rayakan Lebaran di Masa Pandemi. Prokes Adalah Kunci!

Beberapa gejala COVID-19 mirip dengan gejala penyakit lain seperti flu, alergi, serta batuk pilek - AlteaCare | Foto: Envato

Hari begini, di masa pandemi seperti ini, batuk dan bersin sedikit bisa bikin kita dicurigai kena COVID. Apalagi dengan adanya varian Omicron yang gejalanya mirip dengan flu biasa. Biar tidak salah, kita perlu tahu cara membedakan gejala COVID-19 dengan penyakit lain.Sayangnya, kita tidak bisa yakin seseorang atau diri kita sendiri terkena COVID kalau belum tes PCR atau antigen. Selama belum ada hasil tes yang menyatakan positif COVID, sulit untuk tahu apakah Anda terinfeksi COVID. Apalagi mengingat COVID adalah infeksi virus yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.<h2>Seperti apa gejala khas COVID-19?</h2>Saat terinfeksi COVID-19, tubuh kita akan memperlihatkan sejumlah tanda. Namun, tanda atau gejala ini mungkin tidak sama pada setiap orang. Ini bisa bergantung pada riwayat penyakit atau komorbid yang dimilikinya.Melansir dari dari Healthline, respons tubuh terhadap paparan virus corona ditandai dengan terjadinya infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini terutama terjadi setelah ada kontak erat dengan seseorang yang menderita COVID.Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), gejala yang paling banyak ditemui seseorang yang terinfeksi COVID adalah sebagai berikut: 
<ul><li>	Badan pegal-pegal</li><li>
	Hidung tersumbat atau meler</li><li>
	Batuk</li><li>
	Diare</li><li>
	Lelah</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Mual</li><li>
	Kehilangan indera perasa atau penciuman</li><li>
	Sesak napas </li><li>
	Tenggorokan sakit</li><li>
	Muntah</li></ul>Kalau kita lihat, gejala ini bisa mirip dengan beberapa penyakit yang sering kita alami, seperti batuk pilek, flu, dan alergi. Namun, menurut ahli ada beberapa perbedaan yang mungkin bisa jadi petunjuk buat kita dalam memantau kondisi.Yuk, kita pelajari cara membedakan gejala COVID-19 dengan penyakit lain berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!</a> 
<h2>Cara membedakan gejala COVID-19 dengan penyakit lain</h2>Kita bisa membandingkan keluhan yang dialami dengan gejala khas COVID, seperti di bawah ini:<h3>1. Batuk</h3>Keluhan batuk biasanya dialami bila terkena COVID-19, batuk pilek, maupun flu. Batuk yang dialami para orang yang terpapar COVID umumnya batuk kering. Sementara itu, orang yang terkena alergi tidak selalu mengalami batuk-batuk.<h3>2. Nyeri otot</h3>Orang yang sedang alergi tidak pernah mengeluhkan nyeri otot, sementara mereka yang batuk pilek terkadang mengalaminya. Gejala nyeri otot umumnya dialami mereka yang sedang flu dan juga yang terpapar virus corona.<h3>3. Kelelahan</h3>Badan yang terasa lelah umumnya dialami oleh orang yang terkena COVID dan flu. Sementara itu, mereka yang sedang batuk pilek maupun alergi tidak selalu mengalaminya.<h3>4. Bersin-bersin, hidung tersumbat atau meler</h3>Gejala hidung tersumbat atau meler dialami oleh mereka yang terkena COVID, batuk pilek, alergi, dan flu. Namun, pada penderita COVID gejala hidung tersumbat jarang diikuti dengan bersin-bersin. Keluhan bersin lebih sering ditemukan pada orang yang sedang kumat alerginya, juga yang sedang batuk pilek. Gejala ini juga bisa menyertai orang yang sedang flu, tapi tidak selalu.<h3>5. Sakit tenggorokan</h3>Rasa sakit pada tenggorokan umumnya dialami oleh orang yang terpapar virus corona, flu, maupun yang sedang batuk pilek. Keluhan ini jarang ditemukan pada orang yang sedang alergi.<h3>6. Demam</h3>Orang yang sedang kambuh alerginya tidak pernah mengalami demam, kecuali kondisinya disertai dengan adanya infeksi kronis pada sinus. Sementara itu, orang yang sedang COVID-19 umumnya mengalami demam.Penderita batuk pilek terkadang juga bisa mengalami kenaikan suhu tubuh. Sedangkan orang yang sedang flu biasanya juga dapat mengalaminya, meski tidak selalu. <h3>7. Diare, mual, dan muntah</h3>Gejala seperti diare, mual, dan muntah lebih banyak ditemukan pada anak-anak yang sedang flu. Keluhan ini hanya kadang-kadang saja dialami oleh orang dewasa.Gangguan diare serta mual muntah terkadang dapat dialami oleh orang yang terkena COVID. Namun, keluhan ini tidak identik dengan penderita batuk pilek maupun alergi.<h3>8. Hilang indera perasa dan penciuman</h3>Yang satu ini adalah gejala khas orang yang sedang COVID, dan muncul saat baru terpapar virus corona. Gejala ini sering dialami tanpa disertai keluhan hidung tersumbat ataupun meler.Sedangkan orang yang sedang batuk pilek, flu, maupun alergi juga bisa kehilangan indera perasa dan penciuman sementara waktu. Pada orang yang batuk flu, keluhan ini biasanya disertai dengan gejala hidung tersumbat.<h3>9. Sesak napas</h3>Keluhan sulit bernapas maupun sesak napas sering dilaporkan oleh orang yang terpapar COVID dan juga yang sedang flu. Gejala ini tidak ditemukan pada penderita batuk pilek.Sementara itu, gejala sesak napas bisa dialami jika orang yang sedang alergi juga punya gangguan asma. Sesak napas yang dialami pengidap asma terjadi ketika ada paparan pemicu alergi, seperti serbuk sari atau bulu binatang.<h3>10. Mata terasa gatal dan konjunktivitis</h3>Orang yang sedang kambuh alerginya dapat mengalami gatal-gatal pada hidung, mulut, atau bagian telinga dalam. Rasa gatal ini juga dapat dialami di bagian mata dan diikuti dengan keluhan konjunktivitis. Konjuktivitis adalah kondisi mata merah akibat adanya peradangan pada konjungktiva, yaitu selaput yang melapisi seluruh bagian terdepan mata dan melindungi mata. Gejala konjunktivitis terkadang dialami oleh mereka yang sedang COVID. Namun, gejala yang dialami di bagian mata ini tidak disertai rasa gatal. Penderita COVID juga tidak mengalami keluhan gatal pada hidung, mulut, maupun telinga bagian dalam.Itulah cara membedakan gejala COVID-19 dengan penyakit lain.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/aturan-yang-berubah-karena-omicron-isoman-salah-satunya-1645069308658" target="_blank">Aturan Yang Berubah Karena Omicron, Isoman Salah Satunya</a> 
Cara terbaik untuk mengetahui dengan pasti apakah Anda terkena COVID atau tidak adalah dengan menjalani skrining. Tes swab PCR atau antigen dianjurkan dilakukan jika Anda: 
<ul><li>	mengalami gejala yang mengarah ke COVID-19</li><li>
	merupakan kontak erat orang yang terpapar COVID</li><li>
	baru berkunjung ke tempat didatangi banyak orang, seperti acara pernikahan atau tempat wisata</li><li>
	baru melakukan perjalanan ke luar kota, misalnya mudik lebaran</li></ul>
Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare untuk mendapat saran seputar keluhan yang sedang dialami. Segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan buat janji dengan dokter spesialis andalan! Sumber:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. COVID-19 Testing: What You Need to Know</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. Signs That You May Have Had COVID-19: What Research Shows</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Maret 2022. COVID-19 vs. flu: Similarities and differences</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada April 2022. COVID-19, cold, allergies and the flu: What are the differences?</li><li>
Medical News Today. Diakses pada April 2022. Can allergies cause a fever?</li><li>
American College of Allergy, Asthma, &amp; Immunology. Diakses pada April 2022. Wheezing, Shortness of Breath</li></ul>

10 Cara Membedakan Gejala COVID-19 Dengan Penyakit Lain

Mengalami brain fog bisa membuat penyintas COVID sulit mengingat - AlteaCare | Foto: Envato

Paparan virus corona bisa meninggalkan sisa gejala yang disebut long COVID. Ada banyak keluhan yang kerap dirasakan para penyintas yang mengalaminya. Salah satunya adalah brain fog atau kabut otak. Seperti apa gejala, ya?Penelitian yang dimuat di jurnal PLoS One memaparkan, pandemi COVID-19 secara umum berdampak cukup serius pada kondisi psikologis banyak orang. Sebanyak lebih dari sepertiga responden mengaku mengalami stres terkait dengan pekerjaan dan masalah keuangan, sementara lebih dari separuhnya mengalami stres sehubungan urusan rumah tangga. Sementara itu, para penyintas COVID juga tidak lepas dari dampak long COVID, yang tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik melainkan juga kejiwaannya. Mereka dapat mengalami fenomena brain fog atau kabut otak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank">Kenali 5 Dampak Long COVID Pada Penyintas Omicron	</a> 
<h2>Apa itu brain fog?</h2>Melansir dari Harvard Medical School, brain fog sebenarnya bukan istilah medis atau ilmiah. Ini adalah gambaran yang diberikan oleh para penyintas seputar kondisi yang dialaminya. Bagaimana mereka merasa kemampuan otaknya jadi menurun, misalnya sulit memahami informasi dan sulit berkonsentrasi.Sebenarnya, penurunan kinerja otak normal saja terjadi. Misalnya, saat kita sedang flu dan minum obat flu yang bikin ngantuk. Atau, sedang mengalami jet lag setelah bepergian ke negara dengan zona waktu berbeda. Kondisi seperti ini bisa bikin kepala kita seperti kosong dan tidak bisa berpikir. Tapi, begitu efek obat flu hilang atau badan kita sudah bisa beradaptasi dengan zona waktu di rumah, otak kita bisa berfungsi seperti sebelumnya.Nah, masalahnya orang yang mengalami brain fog pasca terpapar COVID-19 tidak seperti ini. Mereka bisa melalui kondisi ini selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.<h2>Kenapa brain fog bisa terjadi? </h2>Menurut sejumlah studi yang dilakukan para ahli, ada beberapa hal yang mungkin bisa menyebabkan para penyintas COVID-19 mengalami kabut otak:<ul><li>	Paparan COVID bisa merusak otak dan menyebabkan radang otak. Pada sebagian orang, dampaknya bisa ringan namun ada juga yang parah.</li><li>
	Infeksi COVID adalah salah satu risiko pemicu serangan stroke. Studi di Kanada menemukan bahwa para lansia berisiko tinggi mengalami stroke yang berkaitan dengan infeksi virus corona. Tapi, mereka yang masih muda pun berpeluang tinggi untuk mengalaminya.</li><li>
	Menurut data dari Finlandia, penyebab kerusakan otak akibat COVID berkaitan dengan kondisi kekurangan oksigen.</li><li>
	Studi lain yang dilakukan para dokter dari Johns Hopkins University and Harvard Medical School menemukan adanya sel berukuran besar yang disebut megakariosit pada pembuluh kapiler otak orang yang meninggal akibat COVID-19. Megakariosit umumnya ditemukan pada sumsum tulang belakang, bukannya di otak. Sel ini dapat berkaitan dengan terjadinya stroke pada orang yang terpapar COVID.</li></ul>Gangguan kognitif yang dialami oleh para penyintas COVID bisa bermacam-macam. Studi dari Mount Sinai memperlihatkan, gangguan yang dialami dapat bertaraf ringan, sedang, hingga berat. Keluhan yang sering disampaikan antara lain berkaitan dengan kesulitan berikut:<ul><li>mengingat kejadian jangka pendek atau yang baru terjadi</li><li>mengingat nama orang atau benda</li><li>
mengambil keputusan </li><li>
merencanakan kegiatan harian</li></ul>
<h2>Sampai kapan orang bisa mengalami brain fog?</h2>Hingga kini, para ahli masih belum bisa menyimpulkan berapa lama brain fog terjadi pasca seseorang terpapar COVID. Menurut data yang dihimpun dari sejumlah studi, kondisi dan gejala brain fog dialami hingga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Ini terhitung sejak gejala yang berkaitan dengan gangguan pernapasan mulai menghilang.Melansir dari Healthline, sekitar 28% orang memiliki masalah konsentrasi selama lebih dari 100 hari setelah masuk rumah sakit untuk perawatan akibat COVID. Sementara pada studi lain, ditemukan bahwa sekitar 55% penyintas COVID masih mengalami keluhan terkait fungsi otak dalam kurun waktu 3 bulan setelah terkena COVID. Gejala-gejala yang dialami antara lain:<ul><li>	Perubahan suasana hati</li><li>
	Kelelahan</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Gangguan penglihatan</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hubungan-covid-19-dan-jantung-waspada-dan-segera-vaksin-1647876083182" target="_blank">Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!	</a> 
<h2>Begini cara mengatasi brain fog </h2>Supaya gangguan yang dialami tidak semakin serius dan mengganggu aktivitas dan produktivitas sehari-hari, para penyintas COVID bisa melakukan beberapa hal berikut:<ol><li>	Mulai olahraga lagi. Berbagai penelitian juga telah menyebutkan bahwa olahraga 30 menit setiap hari dapat menyehatkan otak. Malas keluar? Lakukan di dalam rumah saja!</li><li>
	Pilih bahan makanan segar. Makanan cepat saji atau diproses terlalu lama sebaiknya dihindari. Sebagai penggantinya, pilih makanan segar yang kaya akan vitamin, serat, dan nutrisi. Misalnya kacang-kacangan, buah, dan sayur-sayuran.</li><li>
	Tidak mengonsumsi alkohol dan rokok. Melansir dari Science Daily, kandungan zat yang terdalam di tembakau dan rokok dapat memicu peradangan di otak. </li><li>
	Tidur yang cukup. National Sleep Foundation merekomendasikan tidur yang berkualitas dengan durasi 7-9 jam setiap malamnya agar bisa membantu memperbaiki sel-sel saraf di otak.</li><li>
	Jangan lupa bersosialisasi. Berinteraksi dengan orang lain bisa meredakan stres, mengatasi depresi, dan memberi stimulasi pada otak. Kita juga bisa dapatkan dukungan dari support group, misalnya yang beranggotakan para penyintas COVID.</li><li>
Yuk, latih otak! Lakukan permainan simpel yang butuh koordinasi, karena ini bisa merangsang aktivitas sel saraf dalam otak. Ide lainnya: bermain catur, sudoku, atau baca buku.</li></ol>Gejala brain fog sebaiknya tidak disepelekan. Anda bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare untuk mendapatkan rekomendasi dan saran terkait proses pemulihan pasca terpapar virus corona. Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter spesialis andalan! Sumber:<ul><li>Al Dhaheri, A. S., Bataineh, M. A. F., Mohamad, M. N., Ajab, A., Al Marzouqi, A., Jarrar, A. H., ... &amp; Cheikh Ismail, L. (2021). Impact of COVID-19 on mental health and quality of life: Is there any effect? A cross-sectional study of the MENA region. PloS one, 16(3), e0249107.</li><li>
Harvard Medical School. Diakses pada Maret 2022. The hidden long-term cognitive effects of COVID-19</li><li>
Harvard Medical School. Diakses pada Maret 2022. What is COVID-19 brain fog — and how can you clear it?</li><li>
Healthy Brains. Diakses pada Maret 2022. Pillar Social</li><li>
Science Daily. Diakses pada Maret 2022. Smoking and alcohol: Double trouble for the brain?</li></ul>

Habis COVID Datanglah Brain Fog. Seperti Apa Gejalanya?

Vaksin booster bisa meningkatkan perlindungan sistem imun kita - AlteaCare | Foto: Envato

Anda sudah dapat suntikan vaksin booster? Bagus! Masih pikir-pikir? Mungkin istilah homolog dan heterolog bikin Anda jadi ragu dan bingung. Sebenarnya, apa bedanya vaksin booster homolog dan heterolog?Mengutip dari Kementerian Kesehatan RI, hasil studi memperlihatkan, sekitar 6 bulan setelah mendapat vaksinasi COVID-19 dosis primer secara lengkap, tubuh kita mengalami penurunan antibodi. Karena itu, dibutuhkan dosis lanjutan atau booster supaya bisa memperpanjang masa perlindungan dan memertahankan tingkat kekebalan. Apalagi jika Anda termasuk kelompok yang rentan terpapar COVID-19, misalnya mengidap diabetes.Nah, vaksinasi booster ini ada dua mekanisme, yaitu mekanisme homolog dan heterolog. Ingin tahu lebih detail seputar perbedaan keduanya? Yuk, simak penjelasannya! Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank">Panduan Vaksin Pfizer yang Perlu Anda Tahu</a> 
<h2>Perbedaan Vaksin Homolog dan Heterolog</h2>Jika Anda mendapatkan vaksin booster yang homolog, ini berarti Anda mendapat jenis vaksin yang sama dengan vaksin primer yang sudah Anda terima. Sebagai contoh, jika vaksin primer yang sudah didapat secara lengkap adalah Astra Zeneca, Anda akan kembali dapat suntikan Astra Zeneca sebagai booster-nya.Sementara untuk yang mendapat vaksin booster heterolog, Anda akan dapat jenis vaksin yang berbeda dengan vaksin primer sebelumnya. Contoh: saat mengikuti vaksinasi primer, kedua dosis Anda adalah Sinovac. Kemudian, saat booster Anda mendapat vaksin Pfizer.Pada mekanisme heterolog, jenis vaksin yang diberikan dipilih dari platform vaksin yang berbeda. Perlu diketahui, ada beberapa jenis vaksin berdasarkan cara pembuatannya, antara lain:<ul><li>	Vaksin dari virus yang telah dilemahkan, seperti Sinovac dan Sinopharm</li><li>
	Vaksin viral vector, yang dibuat menggunakan virus hidup yang aman yang lalu menjadi vector untuk membawa protein ke dalam tubuh, sehingga memicu respons imun. Contoh jenis vaksin ini adalah Astra Zeneca.</li><li>
	Vaksin nucleic acid atau vaksin mRNA, yang menggunakan DNA dan RNA untuk memberi instruksi pada sel tubuh agar memproduksi protein, yang kemudian dikenali oleh sistem imun tubuh. Contoh jenis vaksin ini adalah Pfizer dan Moderna</li></ul>
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kupas-tuntas-berbagai-jenis-vaksin-cara-kerja-dan-pembuatannya-1634183011414" target="_blank">Kupas Tuntas Berbagai Jenis Vaksin, Cara Kerja, dan Pembuatannya</a> 

<h2>Mana Lebih Baik, Homolog atau Heterolog?</h2>Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk membandingkan efikasi atau tingkat kemanjuran vaksin booster homolog dan heterolog.Menurut penelitian yang dipublikasikan The New England Journal of Medicine, vaksin booster homolog dan heterolog sama-sama efektif dalam meningkatkan perlindungan terhadap paparan virus corona. Sebagai catatan, data untuk penelitian ini diambil sebelum varian Omicron merebak.Sementara itu, studi yang dimuat di jurnal MedRxiv memaparkan, penggunaan vaksin mRNA sebagai booster, baik homolog maupun heterolog, dapat memberi perlindungan terhadap virus corona, termasuk varian Delta dan Omicron.Jadi, bisa disimpulkan bahwa vaksin booster heterolog menunjukkan peningkatan antibodi yang relatif sama dengan vaksin homolog.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/vaksin-astrazeneca-dan-efek-samping-yang-ditimbulkan-1632370213472" target="_blank">Vaksin AstraZeneca dan Efek Samping yang Ditimbulkan</a> 
<h2>Seperti apa kombinasi dan dosisnya? </h2>Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan kombinasi vaksin yang dapat digunakan sebagai vaksin booster. Jenis vaksin booster yang digunakan tergantung pada vaksin yang telah diterima sebelumnya, serta berdasarkan ketersediaannya di lokasi vaksinasi.Melansir laman Kementerian Kesehatan, berikut adalah kombinasi vaksin booster yang telah dikonfirmasi oleh Badan POM dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI):<ul><li>	Vaksinasi primer Sinovac: Anda akan menerima separuh dosis AstraZeneca (0,25 ml), separuh Pfizer (0,15 ml), atau dosis penuh Moderna (0,5 ml)</li><li>
	Vaksinasi primer AstraZeneca: Anda akan menerima dosis penuh AstraZeneca (0,5 ml), separuh dosis Pfizer (0,15 ml), atau separuh dosis Moderna (0,25 ml)</li><li>
	Vaksinasi primer Pfizer: Anda akan menerima dosis penuh Pfizer (0,3 ml), separuh dosis Moderna (0,25 ml), atau dosis penuh AstraZeneca (0,5 ml)</li><li>
	Vaksinasi primer Moderna: Anda akan menerima separuh dosis Moderna (0,25 ml)</li><li>
	Vaksinasi primer Janssen (J&amp;J): Anda akan menerima separuh dosis Moderna (0,25 ml)</li><li>
	Vaksinasi primer Sinopharm: Anda akan menerima dosis penuh Sinopharm (0,5 ml)</li></ul>Itulah penjelasan mengenai vaksin booster heterolog dan homolog.Pastikan kondisi tubuh Anda fit untuk mendapatkan vaksin booster. Selain mendatangi fasilitas layanan kesehatan terdekat, Anda juga bisa mendaftar untuk vaksin dosis ketiga atau booster melalui AlteaCare. Pendaftaran bisa melalui situs web <a href="https://alteacare.com">AlteaCare </a>atau <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">aplikasi</a>.Yuk, dapatkan vaksin booster supaya Anda terlindungi dari penyebaran virus corona! 
 Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada April 2022. Kemenkes Terbitkan Surat Edaran Pelaksanaan Vaksinasi Booster di Semua Wilayah </li><li>
Kementerian Kesehatan. Diakses pada Maret 2022. Jenis vaksin booster apa yang akan diberikan?</li><li>
Atmar, R. L., Lyke, K. E., Deming, M. E., Jackson, L. A., Branche, A. R., El Sahly, H. M., ... &amp; Beigel, J. H. (2022). Homologous and Heterologous Covid-19 Booster Vaccinations. New England Journal of Medicine. </li><li>
Zuo, F., Abolhassani, H., Du, L., Piralla, A., Bertoglio, F., de Campos-Mata, L., ... &amp; Pan-Hammarstrom, Q. (2022). Heterologous immunization with inactivated vaccine followed by mRNA booster elicits strong humoral and cellular immune responses against the SARS-CoV-2 Omicron variant. medRxiv.</li></ul>

Vaksin Booster Homolog vs Heterolog. Mana Lebih Baik?

Varian virus corona baru, varian XE, diperkirakan lebih menular daripada varian sebelumnya - AlteaCare | Foto: Envato

Anda termasuk yang sudah lelah melalui masa pandemi? Setelah varian Omicron yang cukup bikin heboh karena sangat menular, kini muncul varian baru virus corona, yaitu XE. Menurut ahli, varian ini lebih cepat menular daripada Omicron. Waduh!Varian XE adalah varian baru yang merupakan rekombinan atau gabungan dari varian virus Omicron, sub varian BA.1 dan BA.2. Yuk, simak seperti apa karakteristik varian baru ini!<h2>Seperti apa varian XE?</h2>Setiap kali ada varian baru muncul, para ahli akan meneliti dan membandingkannya dengan varian sebelumnya. Selain menemukan bahwa varian ini merupakan rekombinan dari sub varian BA.1 dan BA.2, para ahli juga menemukan adanya tiga mutasi yang tidak terdapat dalam dua sub varian tersebut. Sejauh mana dampaknya terhadap gejala dan penularannya, belum dapat dipastikan. Sebelumnya, para ahli sempat khawatir akan muncul varian yang dapat menyebar dengan cepat seperti BA.2, serta mematikan seperti delta. Tapi hingga kini, sub varian Omicron tidak memiliki tingkat keparahan yang tinggi.Melansir dari media Inggris, The Mirror, varian XE tidak memiliki karakteristik gejala yang berbeda dengan Omicron. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah batuk, pilek, bersin-bersin, hidung berair, dan sakit tenggorokan.Hingga kini, para peneliti masih memelajari lebih lanjut seputar penyebaran varian XE. Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan varian XE 10% lebih menular daripada Omicron BA.2. Namun, hal ini masih perlu dikonfirmasi lagi.<h2>Perjalanan virus corona varian XE?</h2>Hingga tulisan ini dibuat, varian XE sudah ditemukan di beberapa negara seperti Inggris, Thailand, Jepang, dan India, namun belum di temukan di Indonesia.<ul><li>	Menurut laporan Health Security Agency (UKHSA) pada akhir Maret 2022, setidaknya ditemukan sebanyak 637 kasus infeksi XE di Inggris. </li><li>
	Sementara pada awal april, varian XE terdeteksi di Jepang pada seorang wanita berusia 30-an yang baru tiba di Bandara Narita dari Amerika Serikat.</li><li>
	Di Thailand, ketua komisi kesehatan masyarakat setempat telah mencatat kasus pertama varian XE. Diperkirakan, varian virus corona yang baru ini dapat menyebar ke seluruh Thailand dan menimbulkan gelombang keempat.</li></ul>
<h2>Bagaimana dengan Indonesia?</h2>Meskipun belum sampai ke Indonesia, kita tetap perlu waspada. Pasalnya, varian XE sudah masuk ke negara tetangga.Sebagai antisipasi, pemerintah terus mengimbau masyarakat untuk tetap patuhi protokol kesehatan dan vaksinasi sesuai dengan dosis yang dibutuhkan. Sebab, kedua hal ini dapat memberikan perlindungan terhadap varian yang baru ini.Kabar baiknya, sejak awal kemunculan kasus varian XE pada Januari 2022 hingga bulan April, jumlah kasus yang laporkan masih relatif sedikit. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan fenomena yang terjadi saat varian Omicron merebak. Tercatat, dalam waktu empat minggu setelah varian Omicron ditemukan untuk pertama kalinya pada November 2021, terjadi penularan yang luar biasa tinggi di seluruh dunia. Penelitian terus dilakukan terkait dengan varian XE, mulai dari kecepatan penyebaran, dampak yang disebabkan oleh varian ini, hingga efektivitas vaksin yang sudah ada. Untuk sementara waktu, yang bisa kita lakukan adalah menjaga kondisi kesehatan dan tetap melakukan protokol kesehatan.Sehat selalu, Sobat Altea! Sumber: <ul><li>News Info Inquirer. Diakses pada April 2022. Thailand Records First Case of ‘more contagious’ Omicron XE</li><li>
Japan Times. Diakses pada April 2022. Japan detects first case of omicron XE variant</li><li>
Healthline. Diakses pada April 2022. What to Know About the COVID-19 XE Variant</li><li>
Mirror. Diakses pada April 2022. Covid Omicron XE: Symptoms and everything you need to know about the combined variant</li><li>
TIME. Diakses pada April 2022. What to Know About the XE Variant</li></ul>

Mengenal Varian Baru Virus Corona XE. Sudah Sampai Indonesia?

Selalu patuhi protokol kesehatan saat berpuasa di bulan Ramadan - AlteaCare | Foto: Envato

Suasana berpuasa di masa pandemi memang sedikit berbeda dengan sebelum pandemi. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan agar ibadah puasa tetap lancar.Sejak berabad-abad lalu, ibadah puasa sudah jadi kewajiban bagi umat Muslim. Selain mendatangkan pahala, ibadah puasa juga memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan.Supaya bisa beribadah dengan khusyuk, kondisi kesehatan dan situasi di sekitar tidak boleh diabaikan. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, virus corona bisa menyerang kapan saja dan siapa saja. <h2>5 Tips agar puasa lancar selama pandemi COVID-19</h2>Jangan sampai ibadah puasa terganggu akibat terpapar virus. Yuk, simak tips berpuasa lancar di masa pandemi berikut ini!<h3>1. Lengkapi vaksin primer dengan booster </h3>Menurut studi yang dimuat di Frontiers in Nutrition pada 2021, puasa punya manfaat baik untuk kesehatan. Banyak studi juga menunjukkan bahwa puasa di bulan Ramadan dapat memulihkan sistem kekebalan tubuh.Sebagai contoh, jika Anda berpuasa selama tiga hari saja, tubuh akan mulai memroduksi sel darah putih baru. Hal ini akan membantu tubuh melawan infeksi.Tentu akan lebih bagus lagi jika kita juga memperkuat sistem kekebalan tubuh lewat vaksin booster. Dengan meningkatnya imunitas, kita bisa terhindar dari gejala berat akibat virus Corona.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksinasi-booster-covid-19-1642561545309" target="_blank">Panduan Vaksinasi Booster COVID-19	</a> 
<h3>2. Punya komorbid? Jangan langsung vaksin booster</h3>Mereka yang punya penyakit penyerta dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis dulu sebelum mendapat vaksin booster. Hal ini penting untuk memastikan kondisi kesehatan Anda memungkinkan untuk divaksin. Pemeriksaan dokter sebelumnya juga disarankan jika Anda sempat mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang agak berat pada dua dosis vaksin sebelumnya. Hal ini mengingat jenis vaksin booster yang digunakan, seperti vaksin Moderna, Pfizer, dan Astra Zeneca, juga dapat menimbulkan KIPI, semisal nyeri otot, lemas, dan demam. Jika berkonsultasi dengan dokter terlebih dulu, Anda akan tahu obat apa saja yang perlu disiapkan untuk mengantisipasi KIPI. Misalnya, ketika demam sudah mencapai 39°&nbsp;Celcius, tentu Anda perlu minum parasetamol.Apabila KIPI yang dialami bisa selama 1-2 hari, Anda yang mendapat vaksin booster saat bulan puasa mungkin tidak dapat berpuasa. Tapi, jika KIPI terjadi lebih dari tiga hari, sebaiknya konsultasi lagi dengan dokter untuk memastikan penyebabnya. <h3>3. Protokol kesehatan jangan dilonggarkan</h3>Saat pandemi, protokol kesehatan harus ditaati dalam setiap aktivitas. Pasalnya, kita tidak tahu di mana virus bersarang. Bisa saja orang yang kita temui ternyata terpapar virus. Atau, malah kita yang sudah terpapar virus tanpa menyadarinya. Supaya penyebaran virus tidak meluas, protokol kesehatan tetap harus diterapkan, termasuk saat beribadah. Misalnya dengan tetap membawa alat ibadah sendiri saat beribadah di masjid, mengenakan masker, dan cucilah tangan sesering mungkin. Kemudian, jangan lupa untuk jaga jarak dengan orang lain.<h3>4. Hindari sahur dan buka puasa di tempat umum</h3>Sebelum pandemi, kita terbiasa menghadiri undangan buka puasa bersama. Atau, sahur ramai-ramai dengan warga satu RT. Meski saat ini kita sudah lebih leluasa untuk beraktivitas, sebaiknya undangan buka puasa maupun sahur bersama ditanggapi dengan bijak. Misalnya dengan menghadiri buka puasa yang dilakukan oleh keluarga besar atau komunitas tertentu saja. Atau, memilih tempat makan yang tidak terlalu padat. Kalau memang sedang tidak fit, mungkin Anda bisa pesan makanan saja di restoran favorit melalui aplikasi pengantaran makanan&nbsp;online atau e-commerce. Hingga kondisi membaik, berbuka puasa saja di rumah dulu bersama keluarga.<h3>5. Jaga pola makan</h3>Kunci menjaga kesehatan selama berpuasa adalah dengan mengonsumsi makanan yang bergizi. Misalnya, dengan menyantap makanan mengandung protein dan vitamin saat sahur.Contoh menu saat sahur yang bisa Anda coba adalah oatmeal, sayur sup, capcay, orak-arik telur, bubur kacang hijau, dan lain-lain. Asupan makanan bergizi, tidak hanya memberi energi, namun juga memperkuat daya tahan tubuh kita. Apabila asupan makanan saja rasanya tidak cukup, Anda bisa mengonsumsi vitamin dan suplemen, seperti vitamin D3, vitamin C, dan zink. Ketiganya berfungsi menjaga sel dan jaringan tubuh selama berpuasa, juga menjaga kondisi tubuh agar tidak mudah sakit.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/7-menu-sahur-sehat-dan-lezat-pasti-kuat-puasa-seharian-1649305886915" target="_blank">7 Menu Sahur Sehat dan Lezat. Pasti Kuat Puasa Seharian!	</a> 
Itulah sejumlah tips berpuasa saat pandemi Covid-19.Jika Anda mengalami gangguan kesehatan selama menjalankan ibadah puasa di masa pandemi ini, jangan ditunda-tunda. Segera lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis andalan di AlteaCare! Anda juga bisa melengkapi kebutuhan obat dan suplemen selama bulan Ramadan ini dengan membelinya di Toko Obat Altea. Caranya mudah, cukup buka aplikasi lalu temukan fitur Toko Obat di beranda utama. Pesanan Anda akan dikirim dari instalasi farmasi mitra AlteaCare yang terdekat dari lokasi Anda.Selamat menunaikan ibadah puasa, Sobat Altea! Sumber:<ul><li>Moghadam, M. T., Taati, B., Paydar Ardakani, S. M., &amp; Suzuki, K. (2021). Ramadan fasting during the COVID-19 pandemic; observance of health, nutrition and exercise criteria for improving the immune system. Frontiers in nutrition, 349.</li><li>
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diakses pada Maret 2022. Tips for Safe and Healthy Fasting During a Pandemic</li></ul>

5 Tips Puasa Lancar di Masa Pandemi. Utamakan Kesehatan!

Deltacron merupakan varian rekombinan atau gabungan dari dua varian sebelumnya - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah Omicron, kini dikabarkan terdapat varian baru dari virus COVID-19, yaitu varian Deltacron. Badan Kesehatan Dunia WHO pun bahkan telah memberikan pernyataan mengenai varian baru virus corona ini.Melansir The Guardian, virus COVID-19 varian Deltacron ini pertama kali ditemukan di Prancis, Denmark, dan Belanda. Temuan tersebut pun diungkapkan oleh GISAID, institusi international yang mempelajari data genetika virus. Selain itu, menurut laporan UK Health Security Agency (UKHSA), varian ini menginfeksi 30 orang di Inggris.Lalu, apakah varian ini lebih berbahaya dari varian sebelumnya? Yuk, simak penjelasannya berikut ini!<h2>4 Fakta Seputar Varian Deltacron</h2>Berikut ini adalah beberapa fakta temuan ahli yang berkaitan dengan varian Deltacron: <h3>1. Varian gabungan antara Delta dan Omicron</h3>Pada prinsipnya, virus COVID-19 varian Deltacron adalah rekombinan atau gabungan dari varian Delta dan Omicron. Peneliti dari L'Institut Hospitalo-Universitaire (IHU) Méditerranée Infection di Prancis, mendeskripsikan bentuk virus corona varian Deltacron berdasarkan riset terhadap tiga pasien. Dalam laporan itu, disebutkan, virus varian Deltacron ini memiliki protein spike dari varian Omicron, sementara “tubuhnya” dari varian Delta.Menurut pakar, penggabungan virus ini bisa terjadi karena dua varian atau lebih bersirkulasi dalam wilayah geografi yang sama.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank">Kenali 5 Dampak Long COVID Pada Penyintas Omicron</a> 
<h3>2. Lebih berbahaya? Belum dapat dipastikan</h3>Sejak kabar varian ini muncul, banyak orang khawatir bahwa varian ini akan menimbulkan gejala seperti varian Delta dan proses penyebaran secepat varian Omicron. Namun, benarkah demikian?Menurut pakar dari IHU Mediterranee Infection, sampai saat ini data untuk meneliti tingkat bahaya virus ini masih sangat sedikit. Dengan begitu, pakar belum dapat mengambil kesimpulan apakah varian virus ini menyebar lebih cepat atau menimbulkan gejala berbahaya.Hal sama juga diungkapkan oleh ahli epidemiologi dari Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat. Menurut pakar, masih terlalu dini untuk menyimpulkan jika Deltacron harus dikhawatirkan karena belum menyebabkan kasus penularan dalam jumlah banyak.<h3>3. Gejalanya juga belum dapat diklasifikasikan</h3>Jumlah kasus masih sedikit, sehingga data yang didapat masih minim untuk mengindentifikasi perbedaan gejala yang ditimbulkan varian ini dengan varian sebelumnya.Meski begitu, tidak ada salahnya kita selalu waspada dengan gejala COVID-19 varian Delta dan Omicron yang telah ada sebelumnya.Menurut Centers for Disease Control and Prevention, berikut adalah gejala yang sering dialami orang yang terkena COVID-19 varian Delta:<ul><li>	Demam atau meriang</li><li>
	Batuk</li><li>
	Sulit bernapas</li><li>
	Merasa lelah dan lemas</li><li>
	Nyeri otot</li><li>
	Sakit kepala</li><li>
	Kehilangan indera penciuman dan perasa</li><li>
	Tenggorokan kering</li><li>
	Pilek</li><li>
	Mual atau muntah-muntah</li><li>
	Diare</li></ul>Sementara itu, kebanyakan orang yang terpapar COVID-19 varian Omicron mengalami gejala lebih ringan dibanding varian Delta. Berikut adalah beberapa keluhan yang ditemukan pada orang yang terkena varian Omicron:<ul><li>	Sakit kepala</li><li>
	Pilek</li><li>
	Bersin</li><li>
	Radang tenggorokan</li><li>
	Batuk</li><li>
	Nyeri otot</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kalau-alami-long-covid-apa-saja-gejalanya-1632714947935" target="_blank">Kalau Alami Long Covid, Apa Saja Gejalanya?</a> 
<h3>4. Penyebarannya&nbsp;di Indonesia terus dipantau</h3>Sampai artikel ini ditulis, belum ada laporan yang menyebut bahwa varian terbaru dari virus ini sudah ada di Indonesia.Hal ini juga dipertegas oleh Kementerian Kesehatan RI melalui Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. Melansir dari laman Kementerian Kesehatan pada 15 Maret 2022 lalu, dr. Nadia menyebutkan bahwa varian Deltacron belum ditemukan di Indonesia.“Hingga saat ini, pemerintah belum mendeteksi kasus varian Deltacron di Indonesia dan kita terus akan memantau. Vaksin COVID-19 jenis apa pun yang saat ini kita gunakan masih efektif untuk mempertahankan diri dari virus COVID-19, termasuk sub varian Omicron BA.1 maupun BA.2,” jelas dr. Nadia. Sebagai antisipasi, pemerintah tetap memantau situasi yang berkembang di masyarakat, terutama terhadap varian Omicron maupun Delta yang sudah ada di negara kita. “Kuncinya kita harus lengkapi vaksinasi dua dosis, serta perlu menambah dosis-ke 3 atau booster untuk menambah pertahanan kita dari sub varian Omicron ini. Tidak lupa, tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat,” imbuh dr. Nadia.Nah, Sobat Altea, itulah sejumlah fakta yang bisa didapat sampai saat ini mengenai virus COVID-19 varian Deltacron.Bila Anda belum melengkapi vaksinasi primer ataupun booster, yuk segera mendaftar melalui AlteaCare. Caranya mudah, Anda cukup buka aplikasi AlteaCare, lalu pilih menu “Daftar Vaksinasi”. Setelahnya ikuti alur pendaftaran yang tersedia. Di hari-H Anda tinggal datang ke lokasi yang dipilih dan membawa KTP. Yuk segera unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan dapatkan layanan terintegrasi untuk segala kebutuhan buat kesehatan Anda! Sumber:<ul><li>The Guardian. Diakses pada Maret 2022. What is the Deltacron variant of Covid and where has it been found?</li><li>
Reuters. Diakses pada Maret 2022. Variant that combines Delta and Omicron identified; dogs sniff out virus with high accuracy</li><li>
NBC Boston. Diakses pada Maret 2022. Deltacron COVID Variant Confirmed by WHO: Here's What We Know</li><li>
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. Symptoms of COVID-19</li><li>
Very Well Health. Diakses pada Maret 2022. What Are The Symptoms of Omicron?</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Maret 2022. Indikator Penanganan COVID-19 Konsisten Menunjukkan Perbaikan Seminggu Terakhir</li></ul>

4 Fakta Virus COVID-19 Varian Deltacron. Lebih Berbahaya?

Gejala kambuhnya alergi dapat mirip dengan gejala COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orang tidak menyangka dirinya terkena COVID-19 karena sudah sering mengalami gejala alergi. Meski ada beberapa gejala COVID-19 yang mirip dengan alergi, ternyata ada perbedaannya. Lalu, bagaimana cara membedakan tanda-tanda COVID-19 dengan alergi?Perubahan cuaca biasanya membuat tubuh kita bereaksi, terutama bila sedang tidak fit. Begitu juga dengan paparan alergen di sekitar kita. Kalau memang sudah punya riwayat alergi, tentu kita juga segera bereaksi dan alergi pun bisa kambuh.Beberapa kondisi turunnya imun tubuh, baik akibat perubahan cuaca maupun alergi, biasanya diawali dengan tidak enak badan. Alergi yang meradang tak jarang juga bisa bikin orang jadi mengalami batuk dan bersin-bersin. Nah, di masa pandemi seperti saat ini, keluhan serupa juga sering dialami oleh orang yang terpapar COVID-19. Pasalnya, jangan sampai kita pikir ini adalah alergi biasa lalu salah minum obat. Atau, terburu parno dan melakukan skrining COVID, padahal sebenarnya alergi sedang kumat!Sebenarnya, kedua penyakit ini bisa dibedakan, lo. Kalau kita cermat dan paham seperti apa gejala kedua penyakit ini, kita pun bisa menanganinya dengan tepat.<h2>Cara Membedakan Gejala COVID-19 dan Alergi</h2>Yuk, pahami cara membedakan gejala COVID-19 dan alergi di bawah ini!<h3>1. Gejala alergi</h3>Melansir Health Matters, orang yang sedang mengalami serangan alergi biasa akan mengalami beberapa keluhan berikut:<ul><li>	Badan terasa lelah</li><li>	Batuk</li><li>	Sakit tenggorokan</li><li>	Sakit kepala</li><li>	Bersin-bersin </li><li>	Hidung dan mata terasa gatal dan berair</li></ul>





Umumnya, orang yang sedang kambuh alerginya tidak mengalami demam. Namun jika terdapat demam, sebaiknya Anda segera periksa ke dokter.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank">Anak Rentan Terhadap Omicron, Ortu Perlu Lakukan Ini</a> 
<h3>2. Gejala COVID-19</h3>Sementara, orang yang positif COVID-19 dapat mengalami gejala yang lebih beragam. Menurut Buku Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 4 yang dikeluarkan oleh lima organisasi profesi medis di Indonesia, tanda-tanda yang diperlihatkan oleh orang yang terpapar COVID-19 dengan gejala ringan adalah:<ul><li>	Demam</li><li>	Batuk</li><li>	Kelelahan </li><li>	Anoreksia</li><li>	Napas pendek</li><li>	Mialgia atau nyeri otot</li></ul>




Sementara gejala lain yang tidak spesifik antara lain adalah sakit tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia), atau hilang pengecapan (ageusia).Namun, mereka yang terpapar varian Omicron dapat mengalami gejala berbeda. Gejala Omicron secara umum meliputi demam, batuk, flu, dan sakit tenggorokan.Mengutip dari laman Satuan Tugas Penanganan COVID-19, gejala Omicron tidak separah varian Delta, tetapi lansia, orang yang belum divaksin, serta yang memiliki komorbid, tetap berpotensi sakit yang parah hingga kematian<h3>3. Tingkat keparahan</h3>Perbedaan antara gejala COVID-19 dan alergi juga bisa dilihat dari tingkat keparahannya. Orang yang sedang kambuh alerginya bisa semakin parah kondisinya jika beraktivitas di luar rumah, terutama bila alergennya berasal dari luar rumah.Namun, tidak demikian dengan orang yang terkena COVID-10. Gangguan ini tetap dapat membuat kondisi tubuh memburuk seiring waktu, meski mereka beristirahat di rumah dan tidak pergi keluar.<h3>4. Proses perjalanan penyakit</h3>Setelah terpapar virus SARS-CoV-2, akan terjadi masa inkubasi. Biasanya, gejala mulai muncul dalam kurun waktu sekitar 14 hari setelah seseorang terkena virus. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, pada varian Omicron, masa inkubasi bahkan bisa lebih cepat, yaitu sekitar tiga hari saja.Sementara itu, alergi terjadi ketika sistem imun Anda bereaksi terhadap zat asing (seperti serbuk sari atau bulu binatang) atau makanan yang pada umumnya tidak menimbulkan reaksi pada orang banyak. Reaksi ini membuat sistem imun memproduksi antibodi, yang kemudian mengidentifikasikan alergen atau zat asing yang masuk sebagai zat yang berbahaya. Ketika Anda terpapar alergen lagi, antibodi akan melepaskan sejumlah zat yang disebut histamin, bisa menimbulkan gejala alergi dan peradangan pada kulit, sinus, saluran pernapasan, maupun sistem pencernaan. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/alergi-makanan-1644984928562" target="_blank">Alergi Makanan</a> 
<h3>5. Kondisi mata merah</h3>Orang yang terkena COVID-19 dapat mengalami kondisi mata yang memerah seperti terkena alergi. Namun, apakah setiap mata jadi kemerahan berarti kita sudah pasti terkena COVID-19?Menurut Web MD, ternyata hanya 1% hingga 3% orang yang terpapar COVID-19 dapat mengalami gejala mata memerah. Artinya, gejala mata memerah bukan berarti tanda bahwa Anda pasti terkena COVID-19. Sementara itu, beberapa jenis alergi bisa menyebabkan seseorang mengalami keluhan seperti mata yang berair, kemerahan, dan bengkak. Selain itu, mata juga bisa terasa gatal. Nah, itulah beberapa cara membedakan gejala COVID-19 dengan alergi. Jika Anda mengalami beberapa gejala namun tidak bisa membedakannya antara COVID-19 atau alergi, jangan ragu untuk minta bantuan ahli. Lakukan telekonsultasi dengan dokter di AlteaCare. Medical Advisor akan membantu mengidentifikasikan keluhan Anda dan mengarahkan pada dokter spesialis yang tepat. Yuk, unduh AlteaCare sekarang dan buat janji dengan dokter andal dan berpengalaman! 
 Sumber:<ul><li>New York Presbyterian Health Matters. Diakses pada Februari 2022. Is It Seasonal Allergies or COVID-19?</li><li>
Web MD. Diakses pada Februari 2022. Allergy Symptoms vs Coronavirus (COVID-19)</li><li>
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Indonesia Intensif Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).Buku Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 4. Januari, 2022</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada Maret 2022. Kenali dan Waspada Gejala Omicron</li><li>
Very Well Health. Diakses pada Februari 2022. What Are The Symptoms of Omicron</li><li>
Health. Diakses pada Februari 2022. CDC Study Says Omicron Variant's Incubation Period Is About 3 Days—Here's What That Means</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Februari 2022. Allergies</li></ul>

Cara Membedakan Gejala COVID-19 dengan Alergi. Catat, ya!

Orang yang positif COVID-19 juga dapat mengalami gangguan jantung - AlteaCare

Sebagian orang yang positif COVID-19 dapat merasakan keluhan pada berbagai pada organ-organ tubuhnya, termasuk jantung. Keluhan ini bahkan terus dirasakan setelah sudah sembuh dari COVID. Mungkin Anda jadi ingin tahu, apa hubungan COVID-19 dan jantung?Saat terkena COVID-19, di dalam tubuh kita terjadi peradangan akibat reaksi sistem imun melawan virus. Efeknya juga dapat merusak beberapa jaringan, termasuk jantung. <h2>Seperti apa hubungan COVID-19 dan jantung?</h2>Melansir dari John Hopkins Medicine, virus corona dapat menyerang pembuluh darah dan menyebabkan peradangan, serta bisa menyebabkan gangguan pembekuan darah. Akibatnya, aliran darah ke jantung atau bagian tubuh lainnya jadi terganggu.Sedangkan mengutip dari laman Satuan Tugas Penanganan COVID-19, virus SARS-CoV-2 juga dapat merusak otot jantung dan memengaruhi fungsi jantung. Ini karena sel-sel di jantung memiliki reseptor antiotensin converting enzyme-2 (ACE-2), yang menjadi tempat virus corona menempel sebelum memasuki sel-sel di tubuh kita.Gangguan pada otot jantung bisa membuat orang yang terpapar COVID-19 mengalami miokarditis. Beberapa gejala yang dialami oleh orang yang mengalami miokarditis antara lain adalah nyerdi dada, kelelahan, sulit bernapas, dan detak jantung tidak normal.Gangguan miokarditis juga didapati pada orang yang menerima vaksin COVID-19, khususnya vaksin jenis mRNA. Gangguan lainnya adalah perikarditis atau peradangan pada dinding luar jantung.Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention, efek samping berupa gangguan miokarditis dan perikarditis ini kerap muncul setelah menerima dosis kedua. Selain itu, gejalanya juga baru muncul seminggu setelah vaksinasi.Studi yang dimuat di Journal of the American Heart Association menyebutkan, gangguan miokarditis pasca vaksinasi dapat dialami remaja dan dewasa muda di bawah 21 tahun dan gejalanya pun cukup ringan. Jadi, ini tidak boleh jadi penghalang untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-tentang-jenis-vaksin-mrna-untuk-cegah-covid-19-1635145219361" target="_blank">4 Fakta Tentang Jenis Vaksin mRNA Untuk Cegah COVID-19</a> 
<h2>Mengatasi gangguan jantung setelah sembuh dari COVID-19 </h2>Melansir dari British Heart Foundation, gangguan long COVID yang dialami oleh penyintas COVID dapat berpengaruh pada jantung. Secara umum, penanganannya tidak jauh berbeda dari penyakit gangguan jantung lainnya. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu Anda lakukan:<h3>1. Perhatikan pola makan</h3>Hindari makanan yang tinggi kolesterol, tinggi lemak jenuh, dan tinggi garam. Jenis makanan ini dapat memicu tekanan darah dan meningkatkan berat badan, sehingga memengaruhi kesehatan jantung.Contoh makanan yang harus dihindari adalah mentega, saus, gorengan, daging olahan, kue kering, makanan siap saji, keripik, es krim, dan lain-lain.Perbanyak konsumsi bahan makanan sehat yang rendah lemak dan berprotein tinggi. Contohnya, gandum, nasi merah, telur, kacang-kacangan, dan lain-lain. <h3>2. Olahraga kardio</h3>Jenis olahraga yang satu ini sangat disarankan untuk orang dengan gangguan jantung. Latihan kardio dapat membantu menurunkan tekanan darah dan menjaga pembuluh darah tetap bersih. Selain itu, juga dapat meningkatkan kadar kolesterol baik dan menurunkan kolesterol jahat.Contoh olahraga kardio yang bisa dilakukan: berjalan kaki, joging, lompat tali, naik turun tangga, jumping jack, lompat jongkok, dan lain-lain.<h3>3. Adopsi gaya hidup baru</h3>Percuma saja sudah makan sehat dan berolahraga, tapi Anda masih saja merokok dan kurang tidur. Atau, setiap hari masih berkutat dengan stres di tempat kerja. Miliki gaya hidup baru dengan meninggalkan kebiasaan yang bisa berdampak buruk pada kesehatan. Kelola stres dengan mengatur waktu lebih baik lagi di kantor dan sempatkan untuk rilekskan diri. <h3>4. Rutin periksa ke dokter spesialis</h3>Pemeriksaan di dokter spesialis jantung dan pembuluh darah harus jadi agenda rutin Anda bila sudah mengalami gangguan jantung. Termasuk bila gangguan ini dialami pasca terkena COVID-19. Dengan berkonsultasi, Anda dapat mengetahui kondisi gangguan jantung yang dialami. Selain itu, dokter spesialis akan membantu Anda menata pola hidup dan makan, serta memberi rekomendasi lainnya. Misalnya, pengobatan rutin atau pemeriksaan tahunan, seperti kadar kolesterol, tekanan darah, kadar gula darah, dan elektrokardiogram (EKG) bila perlu.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank">Kenali 5 Dampak Long COVID Pada Penyintas Omicron</a> 
<h3>5. Jangan lupa vaksinasi COVID-19! </h3>Melansir dari Virginia Commonwealth University Health, orang dengan gangguan jantung sangat rentan terkena komplikasi akibat serangan virus corona. Maka dari itu, mereka perlu segera divaksin lengkap dan mendapatkan booster sesuai jadwal.Pastikan Anda dalam kondisi sehat sebelum ikut program vaksinasi, dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan dokter spesialis jantung Anda. Begitu juga jika Anda mengalami beberapa keluhan lain yang berkaitan dengan jantung. Anda bisa memanfaatkan kemudahan berkonsultasi dari rumah dengan fasilitas video call di AlteaCare. Segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a>, registrasi, dan buat janji dengan dokter spesialis jantung andalan yang berpengalaman! Sumber:<ul><li>John Hopkins Medicine. Diakses pada Maret 2022. Heart Problems after COVID-19</li><li>
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses pada Maret 2022. Waspada Masalah Jantung Setelah Pulih COVID-19</li><li>
Web MD. Diakses pada Maret 2022. COVID-19 and Your Heart</li><li>
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. Myocarditis and Pericarditis After mRNA COVID-19 Vaccination</li><li>
Truong, D. T., Dionne, A., Muniz, J. C., McHugh, K. E., Portman, M. A., Lambert, L. M., ... &amp; Newburger, J. W. (2021). Clinically suspected myocarditis temporally related to COVID-19 vaccination in adolescents and young adults. Circulation.</li><li>
British Heart Foundation. Diakses pada Maret 2022. Long COVID: the symptoms and tips for recovery</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. What Foods Should I Eat and Avoid with Coronary Heart Disease?</li><li>
Healthline. Diakses pada Maret 2022. What Are the Benefits of Aerobic Exercise?</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Maret 2022. Heart Disease</li><li>
Virginia Commonwealth University Health. Diakses pada Maret 2019. COVID-19 vaccine and heart patients: An expanded Q/A</li></ul>

Hubungan COVID-19 dan Jantung. Waspada dan Segera Vaksin!

Jangan sepelekan demam pada anak, apalagi bila sudah berhari-hari-AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orangtua cemas ketika anaknya demam, tapi tidak sedikit yang cenderung anggap sepele dan tidak ambil pusing. Mereka berpikir demam akan hilang dengan sendirinya, karena anak kepanasan sehabis bermain di luar. Atau, karena bayi lagi tumbuh gigi. Anda juga mungkin sering dapat tips mengatasi anak demam dari keluarga, teman, atau kerabat. Tapi, bisa jadi tips tersebut tidak dianjurkan oleh dokter.Nah, biar tahu dengan jelas cara mengatasi anak demam, simak infografik ini!<h2><img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1647495614515-INFOGRAFIK-4%20Cara%20Mengatasi%20Anak%20Demam.%20Jangan%20Dianggap%20Remeh-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"> 

</h2> <h2>Fakta penting seputar demam pada anak</h2>Berikut ini adalah beberapa hal penting terkait demam pada anak:<h3>1. Demam bukan penyakit melainkan kondisi</h3>Hampir semua anak pernah demam. Dan, demam sebenarnya merupakan respons normal terhadap kondisi dalam tubuhnya. Anak bisa dikatakan demam apabila suhu tubuhnya mengalami peningkatan. Pada umumnya, suhu tubuh normal seseorang berada pada kisaran 36,1º-37,2º Celcius. Bila suhu tubuh si Kecil sudah mencapai 38º Celcius, berarti dia mengalami demam.<h3>2. Kriteria demam dapat berbeda-beda</h3>Setiap orang punya suhu tubuh berbeda-beda, sehingga kriteria demamnya pun tidak sama. Beberapa hal yang memengaruhi suhu tubuh seseorang antara lain:<ul><li>	Waktu pengukuran suhu: cenderung rendah di pagi hari dan lebih tinggi menjelang sore</li><li>
	Faktor usia: bayi dan anak-anak cenderung memiliki suhu tubuh lebih tinggi daripada remaja dan dewasa</li><li>
	Lain-lain: Level aktivitas, makanan, hingga siklus menstruasi (pada perempuan)</li></ul><h3>3. Infeksi adalah penyebab utama demam</h3>Selain akibat peradangan, beberapa penyakit akibat virus dan bakteri bisa menyebabkan anak mengalami demam. Contohnya seperti batuk-pilek, gastroenteritis, infeksi telinga, croup, atau infeksi saluran kemih. Pemberian imunisasi juga dapat menimbulkan kejadian ikutan berupa demam. Di masa pandemi seperti sekarang, kondisi demam anak juga bisa mengindikasikan paparan virus corona penyebab COVID-19.Yang perlu diperhatikan terkait penyebab demam:<ul><li>	Tidak seperti anggapan umum, hingga kini belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung bahwa proses tumbuh gigi pada bayi bisa menyebabkan demam. Seperti dilansir di WebMD, proses tumbuh gigi memang dapat meningkatkan suhu tubuh bayi, tapi hanya sedikit. </li><li>	Kebiasaan membedong atau membungkus bayi berusia di bawah tiga bulan dengan selimut bisa membuat badannya cenderung hangat seperti demam. </li></ul>
<h3>4. Cara memastikan demam pada anak</h3>Jangan ukur dengan menempelkan tangan ke dahi, leher, ataupun ketiak si Kecil. Anda perlu gunakan alat pengukur suhu atau termometer. Saat ini sudah tersedia berbagai jenis termometer, mulai dari termometer air raksa, digital, sensor inframerah, hingga termometer telinga digital maupun yang dimasukkan ke dalam telinga.Cara melakukan pengukurannya adalah:<ul><li>	Dimasukkan ke mulut. Bisa dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, yang sudah bisa menahan termometer dalam mulutnya. Pastikan si Kecil tidak habis minum yang panas atau dingin setidaknya 30 menit sebelumnya. Setelah digunakan, bersihkan dengan air dan sabun, lalu keringkan dan simpan dalam tempat yang aman.</li><li>
	Dijepit di ketiak. Untuk bayi atau anak yang belum bisa menahan termometer di mulut, pengukuran suhu bisa dilakukan di ketiak. Kondisi ketiak sebaiknya kering dan Anda perlu menekan siku si Kecil ke arah dadanya hingga beberapa menit atau sampai berbunyi tanda suhu sudah terukur.</li><li>
	“Ditembak” ke telinga. Termometer telinga bisa digunakan pada bayi dan anak. Tarik sedikit daun telinga anak, masukkan termometer ke lubang telinganya, tahan hingga hasilnya keluar. Bila menggunakan yang digital, cukup arahkan sensornya ke lubang telinga. Hasil pengukuran termometer telinga tidak seakurat termometer yang dimasukkan ke mulut. </li></ul><h3>5. Pantau terus kondisi demam anak</h3>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, demam pada sebagian besar anak dapat dirawat di rumah. Namun, orangtua perlu terus memantau dan segera membawa anak demam ke dokter bila mengalami kondisi seperti berikut:<ul><li>	Bila berusia di bawah 3 bulan: seperti apa pun kondisinya harus segera ke dokter</li><li>
	Bila berusia 3-36 bulan: mengalami demam lebih dari 3 hari atau terdapat tanda bahaya, atau saat suhu tubuhnya termasuk tinggi ≥39ºCelcius</li><li>
	Untuk semua usia: saat suhu tubuhnya sudah lebih dari 40ºCelcius, mengalami demam disertai kejang, atau mengalami demam berulang selama 7 hari meski demam hanya beberapa jam </li><li>
	Bila memiliki kondisi penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, lupus, maupun ginjal</li><li>
	Bila anak mengalami demam disertai ruam</li></ul>Waspadai tanda bahaya saat anak demam, misalnya menangis terus, gelisah, atau sulit bernapas. Atau, anak tidak merespons, lalu bibir, lidah, dan kukunya tampak kebiruan. Manfaatkan layanan telekonsultasi di <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>untuk dapat petunjuk penanganan kondisi darurat demam sambil Anda bersiap menuju rumah sakit terdekat. 
 Sumber:<ul><li>Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Demam: Kapan Harus ke Dokter?</li><li>
Barbi, E., Marzuillo, P., Neri, E., Naviglio, S., &amp; Krauss, B. S. (2017). Fever in children: pearls and pitfalls. Children, 4(9), 81.</li><li>
UpToDate. Diakses pada Februari 2022. Patient education: Fever in children (Beyond the Basics)</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022. Fever</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022.Can Teething Cause a Fever?</li></ul>

INFOGRAFIK: 4 Cara Mengatasi Anak Demam. Jangan Dianggap Remeh!

Konsumsi obat sesuai anjuran dokter untuk mengatasi gangguan long COVID - AlteaCare | Foto: Envato

COVID maupun long COVID adalah penyakit baru. Karenanya, sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat memastikan hingga kapan gejala long COVID dapat dialami seseorang. Namun, kita tidak boleh pasrah begitu saja. Lakukan berbagai upaya untuk mempercepat proses penyembuhan long COVID.
Data menyebutkan, satu dari lima orang yang terkena COVID-19 mengaku masih mengalami gejala yang berkepanjangan setelah sembuh. Kondisi yang disebut long COVID ini berkaitan dengan respon tubuh setelah melawan virus corona. Itu sebabnya, Anda tetap dapat merasakan gejala meski virus sebenarnya sudah mati.
Gejala yang tak kunjung hilang ini bisa bikin banyak penyintas COVID jadi frustrasi. Dampaknya pun terasa dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Belum lagi stigma negatif yang mereka dapatkan dari lingkungan sekitar. 
Namun, dr. Andre Indrajaya, Sp.PD dari Rumah Sakit Mitra Keluarga dan Founder COVID Survivor Indonesia (CSI), Juno Simanjuntak, kompak mengingatkan agar mereka yang mengalami long COVID tidak berputus asa.
“Jangan pasrah dan dwelling in sadness. Jadi malah depresi dan tidur-tiduran terus, enggak mau makan. Ya, pasti tambah buruk (gejalanya),” kata dr. Andre dalam live streaming AlteaTalk Episode 17 (@alteacare.id) bertajuk "Long COVID Pada Penyintas Omicron, Emang Mungkin?", Kamis 10 Maret 2022.
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank">Kenali 5 Dampak Long COVID Pada Penyintas Omicro</a>
<a href="https://alteacare.com/article-detail/kenali-5-dampak-long-covid-pada-penyintas-omicron-1647005631665" target="_blank"></a>
<h2>8 Cara menghadapi long COVID</h2>Lalu, apa yang bisa Anda lakukan bila mengalami long COVID? Yuk, simak tips dari dr. Andre Indrajaya dan Juno Simanjuntak berikut ini! 
 <h3>1. Fisioterapi dan latihan pernapasan 
 </h3>Jika sempat mengalami peradangan pada paru hingga pneumonia atau fibrosis, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter untuk melakukan fisioterapi. 
 Sebelum fisioterapi, pastikanlah saturasi oksigen Anda sudah baik dan kondisi Anda secara klinis sudah tampak sehat dan tidak merasa lemas. 
 Kemudian, mulailah melatih pernapasan perut bagian dalam. Caranya, tariklah napas mendalam, tahan selama lima sampai 10 detik, lalu embuskan. Ulangi sebanyak 10 kali untuk satu set dan lakukan tiga set setiap harinya. 
 Terapi ini dapat membantu memacu kapasitas paru agar semakin luas dan besar, sehingga peradangan berkurang. Dengan begitu, proses penyembuhannya juga menjadi lebih baik. 
 <h3>2. Siapkan obat berdasarkan rekomendasi dokter 
 </h3>Menurut dr. Andre, sebaiknya Anda mengonsumsi obat untuk COVID-19, baik varian omicron maupun lainnya, berdasarkan rekomendasi dokter. 
 Selain itu, selama isolasi mandiri di rumah Anda diperbolehkan mengonsumsi obat-obatan lain untuk mengurangi gejala yang dialami. Misalnya, ketika demam minumlah parasetamol, atau jika batuk minum obat batuk yang dijual bebas. 
 <h3>3. Lakukan proning saat dada terasa nyeri 
 </h3>Dokter Andre mengatakan, nyeri dada hebat saat mengalami long COVID dikarenakan adanya masalah oksigenasi. Keluhan ini bisa dikurangi dengan posisi proning atau tengkurap. Selain memperbaiki oksigenasi, posisi ini akan mengurangi batuk dan memberi rasa nyaman. 
 Namun, jika keluhan ini sangat mengganggu&nbsp;sebaiknya berkonsultasi dengan dokter spesialis, ya! 
 <h3>4. Mengonsumsi Vitamin D 
 </h3>Vitamin D adalah salah satu jenis vitamin yang dapat meningkatkan imunitas tubuh. Jenis vitamin ini bisa didapat dari makanan dan suplemen, namun perlu diaktifkan melalui paparan sinar matahari. 
 Maka dari itu, selain memastikan Anda mendapat asupan vitamin D, jangan lupa juga untuk rajin berjemur di pagi hari. 
 <h3>5. Gaya hidup sehat 
 </h3>Salah satu cara menjaga ketahanan tubuh adalah dengan menerapkan pola hidup sehat. Mulailah dengan pola makan sehat yang kaya vitamin, termasuk buah-buahan dan sayuran. 
 Selain itu, usahakan untuk rutin berolahraga. Juno menyarankan kita berolahraga sesuai kemampuan. Hindari latihan terlalu berat jika tidak sanggup. "Yang paling penting, kita lakukan apa yang ada dalam jangkauan kita. Kalau bisanya jalan kaki, ya sudah lakukan itu," kata Juno. 
 <h3>6. Kontrol ke dokter 
 </h3>Meski sudah dinyatakan negatif COVID-19, sebaiknya Anda memeriksakan diri ke dokter, terutama jika masih terdapat gejala. Pasalnya, efek long COVID pada setiap orang bisa berbeda-beda. 
 Sebagai contoh, beberapa orang mengalami jantung berdebar setelah sembuh dari COVID-19. Ada pula yang mengalami pembengkakan kelenjar getah bening atau keluhan telinga berdenging dalam waktu lama. Konsultasikan keluhan ke dokter agar dapat penanganan yang tepat. 
 <h3>7. Jangan lupa vaksin 
 </h3>Salah satu cara yang terbukti mencegah gejala berat akibat paparan virus corona adalah vaksinasi. Vaksin juga terbukti dapat membuat proses pembersihan virus menjadi lebih cepat. Maka dari itu, pastikan Anda sudah dapat dua dosis utama vaksin ditambah satu kali booster. 
 Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/berawal-dari-cemas-begini-6-miskonsepsi-seputar-covid-19-1644312892830" target="_blank">Berawal Dari Cemas, Begini 6 Miskonsepsi Seputar COVID-19</a> 
 <h3>8. Dapatkan dukungan sosial 
 </h3>Menurut Juno, banyak anggota komunitas CSI, mendapat stigma negatif dari lingkungannya. Bahkan, ada pula yang sampai mengalami depresi. Hal ini tentu berdampak buruk terhadap proses penyembuhannya. 
 Adanya dukungan dari keluarga, teman, maupun komunitas dapat sangat membantu. "Teman-teman bisa cari ke komunitas seperti CSI ini. Di sana pasti diterima," kata Juno. 
 Itulah sejumlah tips yang bisa Anda lakukan untuk menghadapi long COVID. Jika Anda mengalami long COVID, jangan abaikan dan segera konsultasikan dengan dokter spesialis di AlteaCare! Kini, AlteaCare sudah punya dokter spesialis COVID yang andal dan berpengalaman. 
 Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter Anda!

8 Cara Menghadapi Long COVID Untuk Percepat Penyembuhan

Long COVID bisa mengganggu aktivitas rutin Anda bahkan setelah dinyatakan sembuh COVID - AlteaCare | Foto: Envato

Meski sudah sembuh dari COVID-19, sebagian orang masih harus berjuang menghadapi sejumlah gejala yang ternyata tidak lekas hilang. Lalu, bagaimana cara mengatasi kondisi yang disebut Long COVID ini?

 Pada prinsipnya, long COVID adalah kondisi saat penyintas COVID-19 masih merasakan gejala yang dirasakan ketika mengidap COVID-19. Padahal, ia sudah dinyatakan sembuh sejak beberapa minggu sebelumnya. Hal ini juga dapat berlaku pada mereka yang baru sembuh dari COVID varian Omicron. 

Sampai saat ini, belum ada penelitian yang dapat memastikan berapa lama gejala long COVID ini akan dialami seseorang. Menurut dr. Andre Indrajaya, Sp.PD dari Rumah Sakit Mitra Keluarga, spektrum COVID-19 tidak berakhir seiring dengan matinya virus setelah 10 hari. 

Ketika virus menyerang, tubuh akan merespon untuk melawan virus tersebut. Sayangnya, respon tubuh tidak cukup untuk membunuh virus tersebut. Dengan begitu, kita harus menunggu virus tersebut mati sesuai dengan umurnya, yaitu sekitar 10 hari.
"Namun, respon tubuh pada orang dengan COVID tidak berakhir setelah 10 hari, dan bisa berkepanjangan. Respon tubuh ini bisa menyerang ke seluruh tubuh, tidak hanya paru-paru," kata dr. Andre dalam live streaming AlteaTalk Episode 17 pada 10 Maret 2022 lalu.
Dalam episode bertajuk "Long COVID pada penyintas Omicron, Emang Mungkin?", dr. Andre membahas dampak dari long COVID dan bagaimana cara menghadapinya bersama founder komunitas COVID Survivor Indonesia (CSI), Juno Simorangkir. 
<h2>Seperti apa spektrum long COVID?</h2>
Sebelum membahas dampak dan cara menghadapi long COVID, kita perlu mengetahui dulu tentang spektrum gejala COVID-19, termasuk gejala yang sifatnya berkepanjangan. 
 
 Menurut pemaparan dr. Andre ada tiga spektrum gejala COVID-19 berdasarkan waktu, yaitu: 

<ul>
 <li>
 Akut: yaitu ketika seseorang mengalami gejala COVID-19 hingga empat minggu.
 </li>
 <li>
 Sub-akut: Gejala COVID-19 yang masih dialami antara empat hingga 12 minggu.
 </li>
 <li>
 Kronis: Gejala COVID yang masih dialami setelah lebih dari 12 minggu.
 </li>
</ul>
"Nah, yang kita sebut sindrom long COVID adalah COVID yang termasuk sub-akut dan kronis. Jadi, lebih dari empat minggu gejalanya," kata dr. Andre. 

Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kalau-alami-long-covid-apa-saja-gejalanya-1632714947935" target="_blank">Kalau Alami Long COVID, Apa Saja Gejalanya?</a> 
 

<h2>5 Dampak long COVID</h2>
Gejala yang menetap dalam jangka waktu cukup panjang ini tentu dapat berdampak pada kesehatan serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Berikut ini beberapa dampak long COVID yang dapat dialami:


<h3>1. Penurunan kondisi fisik
</h3>Dokter Andre menyebutkan, gejala long COVID tidak hanya menyerang sekitar area paru-paru. Sebagian orang juga mengalami jantung berdebar dan nyeri di dada.
Juno Simorangkir menceritakan pengalamannya sebagai penyintas long COVID. Menurutnya, ada beberapa gejala yang dialami setelah sembuh dari COVID-19.
"Ketika periksa di rumah sakit itu, muncul nyeri dada sampai enggak bisa tidur. Sakit banget sampai menusuk," kata Juno.
Selain itu, dia juga merasakan kondisi fisiknya tidak sekuat dulu. Semisal, untuk berolahraga lari di sekitar Gelora Bung Karno saja, dia cepat kelelahan.
"Dulu sebelum COVID saya bisa lari tujuh keliling. Sekarang satu keliling saja sudah capek banget," ia menambahkan.
<h3>2. Fibrosis</h3>
Sejumlah penyintas mengalami fibrosis setelah sembuh dari COVID-19. Dokter Andre mengibaratkan fibrosis sebagai bekas luka yang muncul setelah terjatuh. 
 
 Jadi, saat mengalami COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat, paru-paru akan terluka. Kemudian, untuk menyembuhkannya, paru-paru membutuhkan waktu untuk memperbaiki jaringannya. Saat itulah, pasien mengalami fibrosis paru. 
 
 Namun, menurut dr. Andre, paru-paru para penyintas COVID-19 masih memiliki kemungkinan beradaptasi dan berfungsi secara normal kembali.

<h3>3. Infeksi tumpangan</h3>
Orang yang mengalami COVID-19, memiliki peluang mengalami infeksi tumpangan atau infeksi yang terjadi akibat paparan selain virus corona. 


 Infeksi tumpangan terjadi ketika kondisi paru-paru lemah dan rusak akibat COVID-19, sehingga rentan terkena infeksi dari bakteri atau jamur yang menyerang paru-paru.
 

<h3>4. Stres dan depresi
</h3>Rasa takut bukannya tidak mungkin dialami orang yang mengalami gejala COVID-19 berkepanjangan. Menurut dr. Andre, kondisi fisik yang menurun akibat paparan virus corona ini juga dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang.Hal ini juga dibenarkan oleh Juno. Ia memaparkan bahwa di banyak anggota komunitas CSI yang mengeluh stres hingga depresi akibat mengalami gejala COVID-19 yang berkepanjangan.<h3>5. Stigma dari masyarakat 
 </h3>Masih banyaknya orang yang belum teredukasi mengenai penyakit ini membuat penyintas COVID kerap dapat stigma negatif. Terutama, bila gejala COVID-19 masih dirasakan berminggu-minggu setelah hasil tes sudah negatif. 

 Stigma yang mungkin sering muncul dari lingkungan sekitar, seperti tempat kerja, karena tidak percaya akan keluhan orang yang mengalami gejala COVID-19 yang berkepanjangan. Dokter Andre pun mencontohkan, stigma ini dapat membuat keluhan seorang pegawai yang mengalami gejala COVID-19 berkepanjangan dipandang sebagai "akal-akalan" untuk meminta cuti tambahan. 

 Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/stop-sebar-stigma-tentang-gangguan-kesehatan-mental-1636427988655" target="_blank">Stop Sebar Stigma Tentang Gangguan Kesehatan Mental</a>Kondisi long COVID dan dampaknya sebaiknya ditangani dan dipantau terus oleh dokter. Bila Anda adalah penyintas COVID-19, termasuk varian Omicron, lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID di AlteaCare untuk menjaga kesehatan pasca COVID. Anda juga bisa membeli vitamin dan suplemen untuk membantu memulihkan kondisi tubuh di Toko Obat AlteaCare. Yuk, unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>sekarang!

Kenali 5 Dampak Long COVID Pada Penyintas Omicron

Long COVID bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental anak - AlteaCare | Foto: Envato

Selain varian Delta, Omicron, hingga atau varian-varian berikutnya yang belum diketahui namanya, kita juga perlu waspada terhadap kondisi yang disebut Long COVID. Tidak hanya dewasa, Long COVID juga dapat dialami oleh anak-anak. Long COVID kondisi yang terjadi ketika seseorang yang pernah terinfeksi virus corona sudah dinyatakan sembuh, namun masih merasakan gejala. Kondisi pasca COVID ini bisa dirasakan hingga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelahnya, meski tes PCR menyatakan hasil negatif. Studi yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Gemelli, Roma, Italia, menunjukkan bahwa anak berusia 6-12 tahun yang terkena COVID-19 antara Maret-November 2020 masih merasakan gejala setelah 120 hari terinfeksi. Menurut hasil studi yang dimuat di jurnal New Scientist, dampak gejalanya dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kalau-alami-long-covid-apa-saja-gejalanya-1632714947935" target="_blank">Kalau Alami Long Covid, Apa Saja Gejalanya?</a> 

<h2>Seperti apa gejala long COVID pada anak?</h2>Secara garis besar, gejala COVID yang masih dirasakan oleh anak setelah sudah dinyatakan sembuh serta dampaknya dapat dilihat pada infografik berikut ini. 
 <img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1646883894015-Seperti%20Apa%20Gejala%20Long%20COVID%20Pada%20Anak-ALTEACARE.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;">
 Gejala long COVID pada anak dan remaja dapat berbeda dengan yang dialami oleh dewasa. Terkadang, tidak ada gejala khas yang menonjol sehingga seringkali luput dari pengamatan orangtua maupun pemeriksaan dokter. Keluhan terkait long COVID yang sering dirasakan anak dan remaja antara lain adalah kelelahan, nyeri otot sendi, sesak napas, dan sulit berkonsentrasi. Apabila gejala ini dialami selama berbulan-bulan, pastinya kegiatan sehari-hari anak, seperti belajar, bermain, ataupun berolahraga, jadi terganggu. <h2>Tidak segera diantisipasi, gejala lebih berat bisa menanti</h2>Hingga kini, fenomena Long COVID pada anak masih terus diteliti dan dipelajari. Masih banyak yang belum diketahui oleh ahli, termasuk penyebab dan faktor risikonya. Namun, para pakar sudah mulai menemukan adanya kaitan antara long COVID dengan munculnya gejala yang lebih berat, yaitu multi-system inflammatory syndrome (MIS-C).MIS-C adalah reaksi peradangan pada sejumlah organ di tubuh, seperti jantung, paru, ginjal, otak, kulit, mata, dan pencernaan. Kondisi ini dapat terjadi sekitar 4 minggu setelah anak terinfeksi COVID-19. Seperti dilansir oleh Centers for Disease Control and Prevention, penyebab MIS-C belum diketahui pasti. Namun, didapati bahwa banyak anak dengan kondisi MIS-C juga terpapar virus penyebab COVID-19 atau pernah berada di sekitar orang yang terkena COVID-19. Gejala MIS-C pada awalnya adalah demam, yang kemudian dapat disertai oleh:<ul><li>	Sakit perut</li><li>	Mata merah</li><li>	Diare</li><li>	Pusing atau kepala terasa ringan (menandakan tekanan darahnya rendah)</li><li>	Ruam pada kulit</li><li>	Muntah</li></ul>





Tidak semua anak mengalami gejala serupa dan tidak semua anak dengan Long COVID lantas mengalami MIS-C. Yang jelas, kondisi ini perlu segera ditangani agar tidak semakin serius.<h2>Apa yang harus dilakukan jika anak mengalami long COVID?</h2>Setelah sembuh dari COVID, sebaiknya ortu tetap memantau kondisi kesehatan si Kecil. Selain itu, protokol kesehatan juga perlu selalu dilakukan dengan taat. Agar dampak Long COVID yang dialami anak tidak berlarut-larut, beberapa hal ini bisa dilakukan orangtua: <h3>1. Batasi interaksi dan aktivitas</h3>Beberapa sekolah mulai melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan jumlah murid terbatas. Meski si Kecil sudah dinyatakan negatif COVID, sebaiknya tunda dulu dan minta dia ikut pembelajaran jarak jauh dari rumah. Ingat, gejala Long COVID bisa berlangsung selama berbulan-bulan, terutama bila anak Anda termasuk yang merasa mudah lelah. Bila si Kecil sebelumnya suka berolahraga, minta dia untuk tidak memaksakan kembali ke jadwal latihan normal. Lebih baik mulai dari gerakan-gerakan ringan dulu.<h3>2. Perhatikan asupan makanan</h3>Sebagai salah satu upaya perlindungan, orangtua juga perlu memberikan makanan kaya gizi dan vitamin guna meningkatkan sistem imun. Misalnya, dengan menyediakan buah-buahan kaya vitamin C dan antioksidan, seperti jeruk dan lemon.Pastikan si Kecil rutin makan buah setiap hari. Ini dapat membantu memperkuat kekebalan tubuhnya, sehingga tidak mudah terserang oleh penyakit atau virus.<h3>3. Konsultasi ke dokter</h3>Seperti dilansir dari Post-COVID-19 Recovery Program, kondisi long COVID perlu ditangani oleh berbagai dokter spesialis dari berbagai bidang, mulai dari dokter paru, terapi fisik, dan ahli saraf. Bila si Kecil sepertinya tidak menunjukkan perbaikan kondisi setelah sembuh dari COVID, tidak ada salahnya jika Anda memeriksakan kondisinya ke dokter. Dari hasil pemeriksaan, dokter dapat mengetahui kondisi yang dialami anak dan memberikan rujukan pemeriksaan lanjutan maupun perawatan di rumah sakit, jika diperlukan. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank">Anak Rentan Terhadap Omicron, Orangtua Perlu Lakukan Ini</a> 
Jadwalkan juga vaksinasi COVID-19 untuk si Kecil jika sudah berusia di atas 6 tahun. Anda juga bisa mendaftar melalui AlteaCare. Sebelumnya, pastikan kondisi anak sehat untuk vaksinasi dengan berkonsultasi dengan dokternya. Yuk, segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di ponsel Anda, tambahkan profil anak dalam akun, lalu jadwalkan konsultasi dengan dokter spesialis hits andalan! 
 Sumber: <ul style=""><li style="">
Radtke T, Ulyte A, Puhan MA, Kriemler S. Long-term Symptoms After SARS-CoV-2 Infection in Children and Adolescents. JAMA. 2021;326(9):869–871</li><li style="">
Hopkins Medicine. Diakses pada Februari 2022. MIS-C and COVID-19: Uncommon but Serious Inflammatory Syndrome in Kids and Teens</li><li style="">
Healthline. Diakses pada 2022. 15 Food That Boost the Immune System.</li><li style="">
Mayo Clinic. Diakses pada Februari 2022. Multisystem Inflammatory syndrome in children (MIS-C) and COVID-19</li><li style="">
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Februari 2022. For Parents: Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) associated with COVID-19</li><li style="">
Medical News Today. Diakses pada Februari 2022. Young people less likely to have long COVID than erlay studies suggested</li><li style="">
Thomson H. (2021). Children with long covid. New scientist (1971), 249(3323), 10–11</li><li style="">
Yale Medicine. Diakses pada Februari 2022. Long COVID (Post-Acute Sequelae of SARS Cov-2 infection, PASC)</li><li style="">
Yale Medicine. Diakses pada Februari 2022. What Happens When Kids Get Long COVID?</li></ul>

INFOGRAFIK: Seperti Apa Gejala Long COVID Pada Anak?

Rasa bosan dan kesepian selama isoman bisa bikin anak jadi murung - AlteaCare | Foto: Envato

Anak-anak termasuk kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19, apalagi jika belum dapat vaksinasi. Bila sang buah hati terkonfirmasi positif dan harus melakukan isolasi di rumah, orangtua dan pengasuh perlu terus memantau kondisinya. 
Untuk kesehatan fisiknya, Ibu dan Ayah perlu siapkan tempat yang nyaman untuk isolasi mandiri (isoman), obat-obatan, vitamin, hingga makanan yang bergizi. Tapi, jangan sampai ketinggalan, Anda pun perlu perhatikan kondisi emosi anak selama isoman. Sebab, tidak mudah baginya untuk terpisah dari keluarga selama kurang-lebih dua minggu, meskipun sebenarnya masih tinggal dalam satu rumah.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/infografik-lakukan-ini-saat-anak-harus-isolasi-mandiri-1646103743930" target="_blank">INFOGRAFIK: Lakukan Ini Saat Anak Harus Isolasi Mandiri</a><h2>Tantangan yang dihadapi anak selama isoman</h2>Dilansir dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), COVID-19 dapat berpengaruh pada anak. Secara langsung, apabila anak terpapar virus corona, atau secara tidak langsung jika ada anggota keluarga, teman, atau kerabatnya yang terkena COVID-19.Selain secara fisik, dampak COVID-19 juga dapat memengaruhi kondisi kejiwaan anak selama isoman. Beberapa tantangan yang yang dapat dialaminya antara lain adalah: <ul><li>	Perubahan rutinitas. Anak tiba-tiba harus menjauhkan diri secara fisik dari keluarga dan teman</li><li>
	Learning loss. Saat sakit, anak kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. </li><li>
	Melewatkan peristiwa penting. Anak tidak bisa ikut merayakan acara keluarga atau liburan yang sudah direncanakan sejak jauh hari mendadak gagal</li><li>
Merasa takut dan tidak aman. Anak yang pernah mendapat info seputar COVID yang bisa mengakibatkan kematian mungkin akan merasa takut.</li><li>	Kesepian. Rasa bosan karena harus tinggal di kamar saja bisa membuat si Kecil cenderung mellow dan mudah murung </li></ul>
<h2>Cara menjaga kesehatan mental anak selama isoman</h2>Beberapa hal ini bisa dilakukan orangtua agar kondisi kejiwaan anak tetap terjaga selama isolasi mandiri:<h3>1. Beri dukungan untuk mengatasi emosi negatifnya</h3>Menurut penelitian dari Pakistan Journal of Medical Science, isolasi mandiri bisa membuat anak gelisah, mudah marah, dan cemas. Stres pun tidak bisa dihindari, apalagi jika anak baru pertama kali menghadapi kondisi seperti ini. Orangtua bisa membantu anak dengan melakukan hal ini: <ul><li>	Dengarkan. Pancing anak untuk membicarakan apa yang ia rasakan </li><li>	Buat anak nyaman. Orangtua atau pengasuh yang mendampingi anak selama isoman di kamar bisa mengajaknya melakukan beberapa kegiatan, seperti sambil bercerita, bernyanyi, dan bermain bersama </li><li>	Beri pengertian bahwa isoman tidak berlangsung selamanya. Bila sudah sembuh, dia bisa kembali berinteraksi dengan orangtua dan saudara, serta beraktivitas seperti sebelum terkena COVID-19 </li></ul>

<h3>2. Ajak menyaring informasi seputar COVID-19</h3>Banyaknya informasi yang bisa mereka akses dari media sosial maupun dari cerita-cerita di sekitar bisa jadi membuat mental anak jadi down saat terpapar COVID. Padahal, informasi tersebut belum tentu valid.Supaya anak terhindar dari kecemasan dan ketakutan yang tidak perlu, sebaiknya orangtua membahas berbagai mitos dan miskonsepsi seputar COVID-19. Dan, menjelaskan kebenarannya pada anak dengan berbekal informasi dari sumber-sumber yang bisa dipercaya.Beberapa mitos dan <a href="https://alteacare.com/article-detail/berawal-dari-cemas-begini-6-miskonsepsi-seputar-covid-19-1644312892830" target="_blank">miskonsepsi seputar COVID-19</a> yang sering beredar di masyarakat antara lain adalah<ul><li>	Penyebab COVID-19 bukan virus, tapi bakteri. Nyatanya, COVID disebabkan oleh virus. Jadi, makanan yang terkontaminasi bakteri tidak dapat membuat kita tertular COVID.</li><li>	Virus COVID-19 itu virus biasa, jadi tidak bahaya. Virus corona, bahkan varian omicron sekalipun dapat berdampak buruk bagi siapa pun yang mengalaminya. Jadi bukan cuma lansia yang rentan terhadap virus ini.</li><li>	Banyak makan bawang putih biar kebal dari COVID-19. Kekebalan terhadap virus corona juga tidak bisa dicapai dengan menggunakan obat kumur, merokok, ataupun minuman mengandung alkohol. </li><li>	Kalau sudah pernah kena COVID, jadi tidak perlu vaksin lagi. Bahkan para penyintas COVID masih bisa terpapar lagi dan ini kita saksikan sendiri saat varian Omicron merebak. Dan, tidak benar juga kalau ada pemahaman bahwa orang Indonesia punya kekebalah tubuh lebih tinggi daripada orang dari negara lain. Vaksinasi adalah salah satu cara agar kita bisa lebih terlindungi dari penyebaran virus corona.</li><li>	COVID-19 bisa ditularkan dari hewan peliharaan. Hingga sekarang belum terbukti bahwa anjing atau kucing kesayangan di rumah bisa menularkan COVID. Jangan sampai mitos ini membuat Anda dan keluarga malah meninggalkan binatang kesayangan.</li><li>	Virus corona tidak tahan panas dan akan mati di suhu yang tinggi. Mandi uap panas juga tidak bisa mencegah penularan COVID. Yang terbaik adalah menjaga protokol kesehatan di mana pun kita berada.</li></ul>




Supaya anak bisa memahami penjelasannya, sebaiknya ajak dia membahas mitos yang ada satu per satu secara santai. Ulangi berkali-kali hal yang ingin ditekankan dan gunakan bahasa yang bisa dipahami oleh sang buah hati. Apabila Anda khawatir akan kondisi mental anak selama menjalani isolasi mandiri, ajak dia untuk lakukan telekonsultasi bersama dengan psikolog di AlteaCare. Berbicara melalui video call dapat memberi kesan lebih personal dan anak bisa dapat bantuan dari psikolog untuk memahami perasaannya. Yuk, segera download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a>, tambahkan profil anak ke akun Anda, dan buat janji konsultasi hari ini! 
 Sumber:<ul><li>	Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Februari 2022. COVID-19 Parental Resources Kit</li><li>	UNICEF. Diakses pada Februari 2022. Psychosocial Support for Children during COVID-19 A Manual for Parents and Caregivers</li><li>	Psychology Today. Diakses pada Februari 2022. Understanding Children's Emotional Needs</li><li>	Imran, N., Aamer, I., Sharif, M. I., Bodla, Z. H., &amp; Naveed, S. (2020). Psychological burden of quarantine in children and adolescents: A rapid systematic review and proposed solutions. Pakistan journal of medical sciences, 36(5), 1106–1116. </li><li>	Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Panduan Isolasi Mandiri Anak</li></ul>

Dukungan Psikologis Untuk Anak Selama Isolasi Mandiri

Pastikan kondisi anak selalu nyaman selama jalani isolasi mandii di rumah - AlteaCare | Foto: Envato

Beberapa bulan sejak masuknya varian Omicron ke Indonesia, kasus harian positif COVID-19 mengalami perubahan, termasuk di kalangan anak-anak.Jika anak Anda merasakan gejala seperti demam, batuk, nyeri sendi, maupun hilang penciuman atau perasa, segera ajak ke fasillitas layanan kesehatan untuk melakukan tes PCR atau antigen. Begitu juga jika si Kecil adalah kontak erat dari orang yang positif terpapar COVID.Apabila dari hasil tes ternyata si Kecil terkonfirmasi positif COVID-19, ia bisa melakukan isolasi mandiri di rumah. Begitu juga bila hasil tesnya negatif tapi ia memiliki kontak erat dari orang yang positif. Berikut adalah panduan singkat bagi orangtua ketika buah hatinya harus menjalani isolasi mandiri.<img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1646103502247-INFOGRAFIK%20Lakukan%20Ini%20Saat%20Anak%20Harus%20Isolasi%20Mandiri-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"> <h2>Seperti apa kriteria isolasi mandiri untuk anak?</h2>Isolasi mandiri bisa dijalani oleh anak-anak dengan kondisi seperti berikut: 
<ul><li>Anak positif COVID-19 namun tidak bergejala</li><li>	Anak positif COVID-19 yang bergejala ringan, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, sakit kepala, mual-muntah, diare, lemas, anosmia, ruam di kulit, namun saturasi oksigennya masih di atas 95%</li><li>	Anak positif yang tidak memiliki penyakit komorbid, seperti, obesitas, kanker, ginjal, jantung, diabetes, dan paru-paru</li><li>
Pastikan kondisi rumah layak untuk dijadikan tempat isolasi mandiri anak, yaitu:</li><li>	Kamar yang terpisah dan memiliki ventilasi atau aliran udara dan pencahayaan yang baik. Anak yang positif harus dipisahkan dari anggota keluarga lain yang tidak terkonfirmasi positif COVID.</li><li>	Memiliki kamar mandi terpisah—jika tidak memungkinkan, lakukan disinfeksi rutin</li><li>	Tersedia alat mandi dan alat makan yang terpisah</li></ul>




Bagaimana jika kondisi rumah ternyata tidak layak untuk isolasi mandiri? Orangtua atau pengasuh bisa membawa anak ke fasilitas layanan kesehatan, seperti sentra isolasi atau rumah sakit. Terutama bila di rumah terdapat ibu hamil, lansia, atau anggota keluarga yang memiliki riwayat komorbid. Begitu jika lokasi rumah menyulitkan untuk mendapatkan akses ke fasilitas layanan kesehatan terdekat.<h2>Kapan si Kecil selesai masa isolasi mandiri?</h2>Umumnya, isolasi mandiri berlangsung selama 10-14 hari sejak Si Kecil terkonfirmasi positif. Pertanyaannya, sampai kapan?<ul><li>	Bila anak tidak mengalami gejala, isolasi mandiri dapat selesai setelah 10 hari. </li><li>	Bila mengalami gejala ringan, isolasi mandiri selesai setelah 10 hari, ditambah 3 hari bebas gejala.</li></ul>
Supaya lebih yakin si Kecil sudah bisa selesai isolasi mandiri, orangtua atau pengasuh bisa lakukan pemeriksaan swab setelah 10 hari. Bila hasilnya negatif, anak bisa lepas dari isolasi mandiri.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank">Anak Rentan Terhadap Omicron, Orangtua Perlu Lakukan Ini</a> 
<h2>Apa saja yang perlu disiapkan di rumah? </h2>Berikut ini adalah perlengkapan esensial yang perlu ada selama isolasi mandiri anak:<ol><li>Obat-obatan dan vitamin, seperti vitamin C, D, dan zink. Berikan sesuai dosis yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan.</li><li> Termometer dan oximeter untuk pemeriksaan setiap hari. Suhu tubuh biasa diukur setiap pagi dan sore hari.</li><li>
 Masker </li></ol>
<ul><li style="margin-left: 10px;">
Anak berusia 2 tahun ke atas sudah bisa menggunakan masker sendiri. </li><li style="margin-left: 10px;">
	Ajari cara pasang yang benar dan berikan waktu “istirahat masker” saat ia sedang sendiri di kamar</li><li style="margin-left: 10px;">
	Masker tidak perlu digunakan saat anak tidur</li><li style="margin-left: 10px;">
	Pengasuh yang berada di dalam ruangan yang sama harus menggunakan masker atau pelindung mata bila memungkinkan </li></ul>4. Alat disinfeksi untuk membersihkan benda-benda yang sering disentuh anak maupun anggota keluarga lain, seperti gagang pintu, kursi, maupun permukaan meja. 
<h2>
Siapa yang boleh mengasuh anak selama isolasi mandiri?</h2>Pilih salah satu orangtua untuk mendampingi anak selama isolasi mandiri dan tidak boleh bergantian. Pastikan orangtua atau pengasuh yang menemani terkonfirmasi negatif COVID dan bukanlah lansia atau yang memiliki penyakit penyerta. Perhatikan protokol kesehatan selama mengasuh anak yang sedang isolasi mandiri. Bila akan tidur dalam satu kamar, harus ada tempat tidur terpisah dengan jarak 2 meter, agar bisa menjaga jarak aman.Bila terjadi perburukan gejala selama isolasi mandiri, seperti demam tinggi, kejang, dan saturasi oksigen kurang dari 95%, segera laporkan ke fasilitas layanan kesehatan. Anda juga bisa lakukan telekonsultasi di AlteaCare untuk dapat saran dan rekomendasi untuk anak dari dokter spesialis COVID-19. Ayo, segera download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a>! Sumber:<ul style=""><li style="">

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2022). Panduan bagi Keluarga dan Masyarakat dan Isolasi Mandiri Anak dan Remaja dengan COVID-19</li><li style="">

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2021). Buku Diary Panduan Isolasi Mandiri Anak</li></ul>

INFOGRAFIK: Lakukan Ini Saat Anak Harus Isolasi Mandiri

Salah satu dampak merebaknya varian Omicron adalah perubahan pada aturan bagi pelaku perjalanan luar negeri - AlteaCare | Foto: Envato

Seiring merebaknya varian Omicron dan meningkatnya kasus positif COVID-19 di awal 2022, sejumlah perubahan pun ditetapkan. Perubahan ini salah satunya untuk mengantisipasi puncak kasus Omicron pada akhir Februari atau Maret 2022. 
“Angkanya diprediksi itu tiga kali sampai dengan enam kali lebih tinggi daripada varian Delta,” papar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi dalam Konferensi Pers virtual seputar Update Penanganan Pandemi COVID-19, 10 Februari 2022 lalu. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank">Anak Rentan Terhadap Omicron, Orangtua Perlu Lakukan Ini</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/anak-rentan-terhadap-omicron-ortu-perlu-lakukan-ini-1644579768438" target="_blank"> 
</a><h2>Aturan Apa Saja Yang Berubah?</h2>Berikut ini adalah perubahan pada beberapa protokol kesehatan yang sudah ada: 
<h3>1. Aturan isolasi mandiri (isoman)</h3>Mengutip Kementerian Kesehatan RI, orang terkonfirmasi positif COVID-19 varian Omicron bisa melakukan isolasi mandiri atau isoman di rumah, bila memenuhi syarat. 
Syarat klinis:<ul><li>	Berusia di bawah 45 tahun</li><li>	Tidak memiliki gangguan komorbid</li><li>	Dapat mengakses telemedicine atau layanan kesehatan lainnya</li><li>	Berkomitmen untuk isolasi mandiri sampai selesai</li></ul>



 
Syarat tempat isoman:<ul><li>	Tinggal di kamar terpisah, lebih baik lagi jika lantainya juga terpisah</li><li>	Memiliki kamar mandi terpisah dari penghuni lainnya</li><li>	Dapat mengakses oksimeter</li></ul>

Sobat Altea yang tidak bisa memenuhi syarat di atas dianjurkan melakukan isolasi di fasilitas isolasi mandiri terpusat yang dikelola pemerintah. 
<h3>2. Lamanya isolasi mandiri</h3>Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Kesehatan Tentang Pencegahan dan Pengendalian Kasus COVID-19 Varian Omicron, beberapa petunjuk teknis ini perlu diikuti saat isolasi mandiri:<ul><li>	Jika tanpa gejala: isoman selama 10 hari sejak pengambilan spesimen untuk tes</li><li>	Jika bergejala: isolasi mandiri selama 10 hari sejak munculnya gejala, ditambah tiga hari sejak bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika setelah 10 hari masih ada gejala lanjutkan isoman hingga gejala hilang, lalu tambah tiga hari lagi setelah gejala hilang</li><li>	Perbaikan kondisi saat isoman: lakukan pemeriksaan NAAT/metode deteksi molekuler dan PCR pada hari kelima dan keenam (selang waktu pemeriksaan 24 jam). Bila hasil tes sebanyak dua kali berturut-turut negatif dan nilai CT lebih dari 35, isolasi dapat diakhiri. Sementara bila kondisi membaik tapi Anda tidak melakukan tes, tetap lanjutkan isoman hingga selesai.</li></ul>

<h3>3. Jenis masker yang harus digunakan</h3>Anjuran penggunaan masker sebelumnya adalah masker dobel berupa masker medis 3 lapis ditambah dengan masker kain. Atau, pakai satu masker berjenis KF94 atau KN/N95. 
Dengan adanya Omicron, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan masker jenis N95 atau KN95. Jenis ini memiliki lapisan lebih banyak dan dapat memberi perlindungan lebih baik terhadap virus. 
Namun, CDC menggarisbawahi, yang terpenting adalah memastikan masker menutupi seluruh area mulut dan hidung. Pastikan tidak ada celah atau bagian masker yang terbuka. 
 
Masker jenis N95 yang dilengkapi respirator dapat digunakan jika Anda:<ul><li>	Harus merawat atau kontak dengan orang yang positif COVID-19</li><li>	Memiliki gangguan kesehatan yang membuat Anda mudah tertular penyakit lain, seperti kelompok imunokompromais atau gangguan sistem imun.</li><li>	Harus berinteraksi dengan banyak orang di tempat publik dan tidak memungkinkan untuk menjaga jarak aman</li><li>	Menaiki kendaraan umum</li><li>	Sama sekali belum pernah divaksin COVID-19</li></ul>



Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/ketahui-jenis-jenis-masker-untuk-cegah-covid-19-1632184563368" target="_blank">Ketahui Jenis-jenis Masker Untuk Cegah COVID-19</a> 
<h3>4. Aturan perjalanan luar negeri</h3>Yang akan ke luar negeri perlu tahu protokol baru dari Satgas Penanganan COVID-19 yang diberlakukan sejak 1 Februari 2022. 
Sesuai Surat Edaran No. 4/2022 Tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Anda wajib: <ul><li>	menunjukkan bukti vaksinasi (fisik maupun digital). Bila ada kondisi khusus yang menyebabkan Anda tidak bisa divaksin, lampirkan surat keterangan dokter dari RS Pemerintah.</li><li>	menunjukkan hasil negatif dari tes PCR di negara keberangkatan, dilakukan dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam sebelum jam keberangkatan.</li><li>	kembali melakukan tes PCR saat tiba di Indonesia.</li><li>	melakukan karantina terpusat selama 7x24 jam bila Anda baru menerima vaksin dosis pertama atau 5x24 jam jika telah menerima vaksin dosis lengkap</li></ul>



<h3>5. Vaksinasi booster</h3>Vaksin booster dapat melindungi dari paparan virus corona, termasuk Omicron. Sejumlah studi terbaru CDC menunjukkan, vaksin booster dapat mencegah orang mengalami kondisi darurat akibat COVID. 
Studi pertama yang dipublikasikan di Morbidity and Mortality Weekly Report memaparkan, vaksin booster dapat mencegah gejala berat varian Delta pada 94% penerima booster, dan gejala berat varian Omicron pada 90% penerima booster. 
 
Tanpa booster, vaksin primer dua dosis hanya 57% efektif dalam mencegah dampak Omicron. Ini dikarenakan vaksin primer umumnya mengalami penurunan efektivitas setelah enam bulan. 
 
Vaksinasi COVID Anda belum lengkap atau belum pernah sama sekali? Daftar saja melalui AlteaCare! Pilih lokasi yang diinginkan, ikuti skrining awal di aplikasi, lalu datang di hari-H. Yuk unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>di ponsel Anda! 

 Sumber:<ul><li>	Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Februari 2022. Pasien Konfirmasi Omicron Bisa Isoman, Simak Persyaratannya</li><li>
	Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Februari 2022. Pasien Positif COVID-19 Tanpa Gejala Cukup Isoman</li><li>
	Kementerian Kesehatan RI. Konferensi Pers: Update Penanganan Pandemi COVID-19, 10 Februari 2022.</li><li>
	Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Februari 2022. Types of Masks and Respirators.</li><li>
	Center for Infectious Diseasse Research and Policy University of Minnesota. Diakses pada Februari 2022. New Data Show Booster Doses Protect Against Omicron</li><li>
	Surat Edaran No. HK.02.01-MENKES-18-2022 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kasus COVID-19 Varian Omicron (B.1.1.529)</li><li>
	Surat Edaran No. 4/2022 Tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)</li></ul>

Aturan Yang Berubah Karena Omicron, Isoman Salah Satunya

Ajarkan si Kecil menaati protokol kesehatan untuk melindunginya dari paparan virus - AlteaCare | Foto: Envato

Mulai bosan lihat berita terkait Omicron setiap kali buka media sosial atau nonton televisi? Jangan sampai kita malah jadi lengah terhadap varian yang satu ini, ya! Terlepas dari berat-ringannya gejala, Omicron punya beberapa karakteristik yang mirip dengan varian sebelumnya. Misalnya, flu, batuk, dan demam. Yang membedakan adalah kecepatan penularannya.Seperti kita lihat, sejak varian ini ditemukan di Indonesia pada November 2021, dalam waktu beberapa bulan saja negeri kita resmi alami gelombang ketiga COVID-19. Siapa saja dapat terinfeksi, termasuk kelompok anak-anak. Data dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19 memaparkan, pertambahan jumlah kasus positif di kelompok anak dan remaja cukup signifikan. Meskipun jumlah anak yang terpapar dan harus dirawat lebih sedikit dibandingkan dewasa, ada beberapa kemungkinan penularan yang perlu dicermati orangtua. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/6-fakta-seputar-varian-virus-corona-omicron-1639711842823" target="_blank">6 Fakta Seputar Varian Virus Corona Omicron</a> 
<h2>Bagaimana anak bisa terpapar Omicron</h2>Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan anak dapat terkena COVID-19 dari paparan varian Omicron. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:<h3>1. Anak belum pernah divaksin</h3>Hingga awal 2022, vaksinasi COVID-19 baru tersedia bagi anak usia 6 tahun ke atas. Bagi Sobat Altea yang punya anak balita, tentunya perlu lebih waspada. Sebab, vaksin untuk kelompok balita sampai saat ini masih dalam penelitian.Kabar baiknya, sejak awal Februari vaksin Pfizer sedang dalam pengajuan Persetujuan Penggunaan Dalam Kondisi Darurat Atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Food and Drug Administration di Amerika Serikat, agar bisa diberikan untuk anak berusia di bawah 5 tahun.Sementara di Indonesia, vaksin Merah Putih juga sudah masuk uji klinis tahap pertama pada 9 Februari 2022. Seperti dilansir oleh Kementerian Kesehatan RI, vaksin Merah Putih antara lain diproyeksikan sebagai vaksin booster dan vaksin anak.<h3>2. Anak belum menjalankan protokol kesehatan dengan baik</h3>Setiap orangtua perlu meluangkan waktku untuk menjelaskan pada anak tentang bahaya virus corona. Ini bisa membantu anak jadi lebih paham dan patuh protokol kesehatan. Inilah yang bisa Anda lakukan saat bicara dengan si Kecil:<ul><li>	Dorong anak untuk berbagi rasa takut. Ajak bicara baik-baik dan tekankan bahwa bila protokol kesehatan dilakukan dengan baik, mereka akan lebih terlindungi. </li><li>
	Ajarkan anak menyaring informasi dan tidak percaya hoaks. Tonton berita seputar COVID bersama-sama dan jelaskan artinya dengan bahasa yang dipahami anak.</li></ul><h3>3. Ikut pembelajaran tatap muka tanpa vaksinasi lengkap</h3>Di masa pandemi, segala kegiatan yang dilakukan di luar rumah bisa jadi potensi penularan virus corona, termasuk juga proses pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah.Untuk itu, vaksinasi adalah PR penting bagi para orang tua yang tetap ingin anaknya ikut PTM. Kenapa harus lengkap? Para ahli dari John Hopkins Bloomberg School of Public Health memaparkan beberapa alasannya:<ul><li>	Apabila sampai terpapar COVID-19, si Kecil tidak sampai merasakan gejala berat serta terhindar dari komplikasi jangka panjang, bahkan kematian. </li><li>	Vaksin akan melindungi anak sekaligus juga orang di sekitarnya.</li><li>	Beberapa aktivitas lain, baik di sekolah maupun di luar, saat ini menjadikan vaksinasi lengkap sebagai salah satu syaratnya. </li></ul>

Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/tips-siapkan-anak-jalani-sekolah-tatap-muka-1643279064559" target="_blank">Tips Siapkan Anak Jalani Sekolah Tatap Muka</a> 
<h3>4. Menjadi kontak erat dari orang di sekitar yang terpapar COVID-19 </h3>Virus corona mudah menyebar melalui droplet yang keluar saat seseorang batuk atau bersin. Artinya, jika seseorang terkena COVID-19, orang yang pernah berinteraksi atau kontak erat dengannya bisa tertular. Si Kecil bisa jadi kontak erat jika ada orang di sekitarnya terpapar COVID, seperti teman sepermainan, orang di lingkungan sekolah, atau bahkan dari orangtua atau saudaranya. Untuk itu, ia sebaiknya menjalani pemeriksaan dan bila ternyata anak perlu melakukan isolasi mandiri.<h2>Tidak perlu takut berlebihan</h2>Orang tua sebaiknya selalu tenang di tengah badai Omicron ini. Tak perlu panik, cukup pastikan si Kecil dalam kondisi sehat antara lain dengan:<ul><li>	menjaga imunitas tubuhnya. Pastikan setiap hari anak menyantap makanan sehat seimbang, mulai dari karbohidrat, protein, lemak, dan mikronutrien (zat besi, kalsium, asam folat), hingga vitamin A, C, D, E, B6, B12.</li><li>	memastikan anak cukup istirahat. Saat tidur, sistem imun melepaskan sejenis protein bernama sitokin. Selain membantu tidur berkualitas, sitokin juga membantu melawan infeksi yang masuk ke tubuh.</li><li>	melengkapi vaksin untuk keluarga. Sobat Altea dan keluarga bisa mendaftar vaksinasi COVID-19 melalui AlteaCare, agar seluruh keluarga terlindungi dari paparan virus corona.</li></ul>

Sementara jika si Kecil mengalami beberapa gejala yang bisa berkaitan dengan COVID, terutama varian Omicron, Anda bisa lakukan telekonsultasi di AlteaCare. Jadwalkan janji dengan salah satu dokter spesialis COVID-19 dengan terlebih dulu mengunduh aplikasinya<a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank"> di sini</a>. 
 Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Februari 2022. Kasus Pertama Omicron di Indonesia Diduga dari WNI yang Datang dari Nigeria. </li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. Pfizer-BioNTech Vaccine Could Be Available for Kids Under 5 by End of Feb.: What to Know</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses Februari 2022. Vaksin Merah Putih Masuk Tahap Uji Klinis Pertama</li><li>
Kidshealth. Diakses pada Februari 2022. Coronavirus (COVID-19): How to Talk to Your Child</li><li>
John Hopkins Bloomberg School of Public Health. Diakses pada Februari 2022. 10 Reasons Your Child Should Get Vaccinated for COVID-19 as Soon as Possible</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Februari 2022. Lack of sleep: Can it make you sick?</li></ul>

Anak Rentan Terhadap Omicron, Ortu Perlu Lakukan Ini

Makan bawang putih bisa bantu jaga kesehatan, tapi tidak bisa menyembuhkan COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Sejak awal muncul, pandemi COVID-19 sudah memakan banyak korban. Namun, masih ada sebagian masyarakat yang belum percaya bahwa COVID-19 itu memang ada. Studi yang dimuat di the European Journal of Psychiatry memaparkan, realitas pandemi yang menakutkan membuat orang memilih bersikap menolak dan menyangkal adanya COVID-19. Penolakan ini dianggap lebih mudah ketimbang menerima realitas tersebut. Karena bila memilih menerima, orang jadi makin cemas dan ketakutan.Tidak heran bila miskonsepsi seputar COVID-19 lebih mudah menyebar lewat media sosial ketimbang kebenarannya. Sebab, miskonsepsi ini lebih gampang diterima, walau tidak ada bukti ilmiahnya.<h2>Apa saja miskonsepsi seputar penyakit COVID-19?</h2>Miskonsepsi seputar COVID-19 bisa berkaitan dengan penyakit itu sendiri maupun dengan vaksinnya. Berikut ini adalah yang berhubungan dengan penyakit COVID-19.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/6-mitos-yang-bikin-orang-takut-vaksin-covid-19-1644208674425" target="_blank">6 Mitos Yang Bikin Orang Takut Vaksin COVID-19</a> 
<h3>1. “Penyebab COVID-19 bukan virus, tapi bakteri”</h3>Minum antibiotik yang dibeli&nbsp;online atau tanpa resep dokter kerap dijadikan solusi sembuh dari COVID. Faktanya, COVID-19 disebabkan oleh virus. Jadi, pengobatannya bukan dengan mengonsumsi antibiotik. Bila Anda pernah dengar ada yang diberikan antibiotik saat dirawat akibat COVID-19 di rumah sakit, tujuannya bukan untuk melawan virus corona, melainkan mencegah infeksi lain akibat bakteri. Orang yang terkena COVID-19 punya sistem imun yang lemah, sehingga bisa saja terpapar infeksi bakteri lain di samping virus COVID-19.<h3>2. “Virus COVID-19 itu virus biasa, jadi tidak bahaya”</h3>Gejala awal berupa batuk-pilek, flu, dan demam membuat banyak orang cenderung menganggap virus COVID-19 tidak berbahaya. Ini juga yang jadi alasan mereka tidak mau divaksin dan tak pernah pakai masker saat keluar rumah. Menurut penelitian di jurnal PLOS One, semakin orang meremehkan virus corona dan merasa tidak bakal terkena COVID-19, semakin rendah keinginannya untuk divaksin. Selain itu, mereka juga cenderung tidak taat protokol kesehatan yang berlaku, seperti pakai masker dan menjaga jarak.Perilaku seperti ini bisa semakin mempersulit upaya mencegah penyebaran COVID-19. Padahal, varian virus semakin ganas dan semakin menular. Terkena omicron, misalnya, bisa menimbulkan gejala berat hingga kematian jika seseorang belum pernah divaksin. Sementara jika sudah divaksin, gejalanya cenderung ringan. <h3>3. “Banyak makan bawang putih biar kebal dari COVID-19”</h3>Apa benar makan bawang putih bisa mencegah COVID-19? Seperti dilansir oleh WHO, hingga kini belum ada bukti bahwa bawang putih obat manjur untuk COVID-19. Yang jelas, menurut ahli sebaiknya kita tidak lantas mengonsumsi bawang putih sebanyak-banyaknya supaya tidak terkena COVID-19. Lebih baik kita lindungi diri dengan rajin mencuci tangan, pakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. <h3>4. “’Kan sudah pernah kena COVID, jadi tidak perlu vaksin lagi”</h3>Riwayat pernah COVID-19 membuat orang berpikir tidak perlu vaksin lagi karena sudah punya kekebalan alami. Memang benar, tapi masalahnya kita tidak tahu sampai kapan kekebalan alami itu bertahan. Studi memaparkan, orang yang pernah COVID dan tidak divaksin berisiko dua kali lipat lebih besar untuk terinfeksi lagi. Ini dibandingkan yang sudah pernah COVID lalu ikut vaksinasi setelah sembuh. Apalagi sekarang munculnya varian baru. Selain vaksin primer, pemerintah juga menganjurkan vaksinasi booster supaya masyarakat semakin terlindungi. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksinasi-booster-covid-19-1642561545309" target="_blank">Panduan Vaksinasi Booster COVID-19</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksinasi-booster-covid-19-1642561545309" target="_blank"> 
</a><h3>5. “COVID-19 bisa ditularkan dari hewan peliharaan”</h3>Asal muasal virus corona penyebab COVID-19 masih belum diketahui dengan jelas. Hingga kini, kerabat terdekat dari virus SARS-CoV-2 ditemukan pada sampel kelelawar Rhinolophus yang terdapat di Yunnan, China. Tidak sedikit yang berpikiran bahwa COVID-19 bisa ditularkan melalui binatang, termasuk binatang peliharaan kita di rumah. Padahal, hingga kini belum ditemukan bukti bahwa anjing atau kucing bisa menyebarkan virus corona ke manusia. Centers for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa risiko penyebaran dari hewan ke manusia terbilang rendah dan langka. <h3>6. “Virus corona tidak tahan panas dan akan mati di suhu yang tinggi”</h3>Menurut data saat ini, virus COVID-19 bisa menyebar di seluruh daerah, termasuk yang bercuaca panas atau dengan kelembapan tinggi. Apa pun cuaca di luar sana, sebaiknya tetap lakukan protokol kesehatan ketat. Perhatikan wilayah yang angka COVID-nya sedang tinggi dan hindari mengunjungi daerah tersebut. Kalau Sobat Altea belum pernah vaksin COVID-19 sampai hari ini, segera daftar melalui AlteaCare. Anda bisa memilih lokasi rumah sakit terdekat dan lakukan skrining awal di aplikasi. Pada hari H tinggal datang ke lokasi yang dipilih sesuai jadwal yang diinginkan. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download</a> AlteaCare sekarang! 
 Sumber:<ul><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. Episode #8 - Myth vs Science</li><li>Leonhardt, J. M., Ridinger, G., Rong, Y., &amp; Talaei-Khoe, A. (2021). Invincibility threatens vaccination intentions during a pandemic. PloS one, 16(10), e0258432.</li><li>UC Davis Health. Diakses Januari 2022. Omicron: 10 things to know about the very contagious COVID-19 variant</li><li>
Hul, V., Delaune, D., Karlsson, E. A., Hassanin, A., Tey, P. O., Baidaliuk, A., Duong, V. (2021). A novel SARS-CoV-2 related coronavirus in bats from Cambodia. BioRxiv.</li><li>The George Institute for Global Health. Diakses pada Oktober 2021. Novel Coronavirus (COVID-19): Myths and facts</li><li>
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Oktober 2021. Animals and COVID-19 </li><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. Rumours and Facts on COVID-19</li></ul>

Berawal Dari Cemas, Begini 6 Miskonsepsi Seputar COVID-19

Banyaknya informasi tidak valid membuat orang jadi takut divaksin COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Masih adakah orang yang masih tidak mau ikut vaksinasi COVID-19? Masih! Bahkan, angka vaksinasi di beberapa negara di dunia masih belum mencapai harapan, padahal stok vaksin berlimpah. Ini tentu berpengaruh pada perkembangan pandemi ke depan.Di antara berbagai faktor yang membuat orang ragu untuk dapat vaksin COVID-19, kurangnya informasi adalah salah satunya. Akhirnya, terbentuk berbagai mitos maupun pemahaman keliru seputar vaksin. Orang pun makin takut untuk daftar vaksin.<h2>Mitos Seputar Vaksin COVID-19</h2>Berikut ini adalah enam mitos yang banyak beredar di luar dan faktanya.<h3>MITOS 1: Vaksin COVID-19 bisa sebabkan infertilitas pada wanita</h3>Berawal dari laporan palsu yang viral di media sosial, bahwa spike protein di virus corona sama seperti spike protein bernama syncitin-1 yang terkait dengan pertumbuhan dan perlekatan plasenta selama kehamilan. Vaksin COVID-19 bisa membuat tubuh wanita melawan spike protein syncitin-1 ini, sehingga mengalami infertilitas. Faktanya: Dua jenis spike protein ini benar-benar berbeda. Vaksin COVID-19 tidak berpengaruh terhadap fertilitas wanita, termasuk yang sedang ingin hamil dan yang menjalani promil dengan metode bayi tabung.<h3>MITOS 2: Vaksin COVID akan mengubah DNA kita</h3>Rumor yang satu ini muncul setelah ada vaksin COVID berjenis mRNA, yang dihubungkan dengan DNA. Banyak yang khawatir, vaksin jenis mRNA ini akan masuk ke dalam sel dan mengubah DNA.Faktanya: cara kerja vaksin mRNA tidak dengan mengubah DNA dalam sel, namun dengan memberi instruksi pada tubuh untuk membuat protein tertentu. Protein ini akan memicu reaksi kekebalan dalam tubuh untuk membuat antibodi. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/covid-19-coronavirus-disease-of-2019-1642480504466" target="_blank">COVID-19 (Coronavirus Disease of 2019)</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/covid-19-coronavirus-disease-of-2019-1642480504466" target="_blank"> 
</a><h3>MITOS 3: Vaksin COVID mengandung zat kimia yang berbahaya</h3>Posting yang sempat viral di Instagram menyebutkan bahwa spike protein yang diproduksi vaksin COVID-19 ternyata adalah racun. Banyak orang jadi ragu, berbahayakah vaksin COVID bagi orang yang menerimanya?Faktanya: Semua jenis vaksin COVID aman dan telah melalui proses uji klinis untuk memastikan dapat diberikan pada berbagai kelompok usia. Di Indonesia, vaksin COVID-19 harus melalui persetujuan untuk penggunaan dari WHO maupun Badan POM, dan disertai rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI). Jadi, Sobat Altea tidak perlu khawatir lagi soal keamanan vaksin, ya.<h3>MITOS 4: Setelah vaksin malah bisa terkena COVID-19</h3>Pernah dengar cerita, ada yang malah kena COVID setelah vaksinasi? Apa benar kandungan vaksin yang berisi virus itu penyebabnya?Faktanya: Tidak. Vaksin COVID yang ada saat ini tidak dibuat dari virus SARS-CoV-2 hidup dan aktif. Jadi, Anda tidak mungkin terkena COVID karena kandungan vaksin. Justru protein yang diproduksi setelah menerima vaksin itu membentuk kekebalan terhadap virus.Tapi memang, menurut Centers for Disease Control and Prevention, mendapatkan vaksin tidak menjamin Anda 100% kebal terhadap COVID-19. Orang yang termasuk kelompok imunokompromais misalnya, terkadang tidak dapat membentuk kekebalan yang diharapkan, bahkan setelah dapat vaksinasi lengkap. <h3>MITOS 5: Ikut skrining setelah vaksin bisa dideteksi positif COVID</h3>Khawatir vaksin jenis mRNA bisa membuat kita seolah-olah terpapar COVID-19, sehingga kalau setelahnya kita tes PCR atau antigen hasilnya akan positif COVID?Faktanya: Status vaksinasi tidak akan pengaruhi hasil pemeriksaan antigen maupun PCR Anda. Jenis vaksin mRNA tidak lantas bikin hasil skrining jadi positif. Karena protein yang diproduksi setelah vaksinasi tidak dapat ditemukan di saluran pernapasan, area yang diambil sampelnya untuk keperluan tes PCR atau antigen.Lalu, kenapa ada orang yang baru vaksin lantas hasil skriningnya positif? Bisa jadi, mereka sudah terpapar virus corona sebelumnya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/apa-itu-pcr-swab-test-simak-penjelasan-lengkapnya-1632277582300" target="_blank">Apa Itu PCR Swab Test? Simak Penjelasan Lengkapnya</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/apa-itu-pcr-swab-test-simak-penjelasan-lengkapnya-1632277582300" target="_blank"> 

</a><h3>MITOS 6: Di dalam vaksin COVID-19 ada microchip-nya</h3>Ada beberapa teori konspirasi yang muncul di masa pandemi. Salah satunya menyatakan, dalam vaksin COVID ada microchip,&nbsp;yang kalau masuk dalam tubuh akan memungkinkan pemerintah atau institusi tertentu mengintai warganya. Microchip tersebut mengandung magnet yang bisa terkoneksi ke jaringan 5G. Faktanya: Tidak ada vaksin yang mengandung microchip. Vaksin dibuat untuk melindungi tubuh dari penyakit, bukannya untuk mendeteksi pergerakan seseorang. Jadi, sebaiknya Anda jangan mudah percaya pada berita-berita yang menjurus ke gerakan anti-vaksin.Vaksinasi membuat kita lebih terlindungi dari paparan virus corona. Jika masih terkena COVID pun, umumnya gejalanya tidak seberat orang yang belum pernah divaksin. Yang penting, setelah divaksin kita tetap jalankan protokol kesehatan. Tetap disiplin pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Ini bukan hanya untuk menjaga diri sendiri melainkan juga orang di sekitar kita.Bila mengalami gejala atau keluhan yang Anda curigai mengarah ke COVID-19, segera hubungi fasilitas layanan kesehatan terdekat. Atau, sekarang Anda juga bisa telekonsultasi dengan dokter spesialis COVID-19 di AlteaCare. <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">Unduh </a>aplikasi AlteaCare hari ini! Sumber:<ul><li>John Hopkins Medicine. Diakses pada Oktober 2021. COVID-19 Vaccines: Myth Versus Fact</li><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. Science in 5: Episode #24 - Vaccine myths vs science</li><li>USA Today. Diakses pada Januari 2022. Fact check: COVID-19 vaccines don't produce dangerous toxins</li><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Januari 2022. The Possibility of COVID-19 after Vaccination: Breakthrough Infections</li><li>Forbes. Diakses pada Januari 2022. Could Vaccination Cause Me To Test Positive For Covid-19?</li><li>CNBC. Diakses pada Januari 2022. Why it’s not possible for the Covid vaccines to contain a magnetic tracking chip that connects to 5G</li><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Oktober 2021. Myths and Facts about COVID-19 Vaccines</li></ul>

6 Mitos Yang Bikin Orang Takut Vaksin COVID-19

Isolasi mandiri saat terkena COVID-19 dapat memutus penyebaran virus - AlteaCare | Foto: Envato

Jika Anda mengalami COVID-19 yang tidak bergejala atau bergejala ringan, isolasi mandiri bisa dilakukan. Isolasi mandiri bertujuan memutus rantai penyebaran virus sekaligus untuk melindungi orang-orang terdekat. Bisa dilakukan di rumah, bisa juga di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.<h2> Pertanyaan yang sering diajukan seputar isolasi mandiri</h2>Isolasi mandiri berapa hari? Sampai kapan? Bagaimana dengan keluarga saya? Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan terkait dengan isolasi mandiri: 
<h3>1. Siapa yang harus isolasi mandiri?</h3>Anda yang merasakan beberapa keluhan khas yang berkaitan dengan COVID-19 sebaiknya berinisiatif mengisolasi diri. 
Sebagian orang dapat mengalami demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, rasa lelah, sakit kepala, hilang kemampuan mencium atau merasa, dan nyeri otot. Sementara sebagian lain bisa juga tidak merasakan keluhan apa pun. 
Yang perlu diperhatikan, para lansia, orang dengan komorbid atau punya gangguan sistem imunitas terkadang bisa merasakan gejala dan tanda lain yang tidak khas. Sebaiknya segera datang ke fasilitas layanan kesehatan terdekat. 
<h3>2. Bagaimana cara memastikannya?</h3>Lakukan tes PCR, yang kini sudah jadi standar untuk mengkonfirmasi COVID-19. Pemeriksaan antigen dilakukan terbatas untuk keperluan skrining pada orang dan situasi tertentu. Misalnya, untuk kontak erat, mereka yang mau melakukan perjalanan ke luar daerah atau pada daerah yang sulit menjangkau pemeriksaan PCR. 
<h3>3. Jika hasil tes positif, apa yang harus saya lakukan?</h3>Segera melapor ke Gugus Tugas COVID-19 di sekitar tempat tinggal. Bekerja sama dengan puskesmas setempat, Gugus Tugas akan membantu proses awal isolasi mandiri serta melakukan pelacakan kontak erat. 
Yang termasuk kontak erat adalah: <ul><li>	Kontak tatap muka atau orang yang diduga atau terkonfirmasi COVID-19, dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit. </li><li>	Orang yang bersentuhan fisik langsung dengan Anda, seperti bersalaman atau berpegang tangan. </li><li>	Orang yang sempat merawat Anda sebelum terkonfirmasi positif COVID-19, terutama bila tanpa mengenakan alat pelindung diri sesuai standar. </li><li>	Situasi lain yang mengindikasikan adanya kontak, sesuai temuan tim gugus COVID-19 setempat</li></ul>Hal ini ditentukan berdasarkan interaksi dalam kurun waktu 2 hari sebelum timbul gejala dan hingga 14 hari setelah timbul gejala. 
<h3>4. Apa yang terjadi pada kontak erat saya?</h3>Mereka akan diminta untuk melakukan karantina mandiri, disertai pesan antara lain:<ul><li>	Segera melapor apabila muncul gejala demam, batuk, pilek, sesak napas, atau lainnya. </li><li>	Saat mengalami gejala, segera mendatangi fasilitas layanan kesehatan dengan kendaraan pribadi atau ambulans. Sebisanya tidak menggunakan transportasi umum. </li><li>	Selama karantina tetap menjaga kebersihan dan taat protokol kesehatan. </li></ul><h3>5. Bagaimana cara menentukan saya bisa isolasi di rumah atau di tempat lain?</h3>Seiring dengan perkembangan pandemi dan munculnya varian virus baru, seperti Omicron, sejak 17 Januari 2022 syarat untuk dapat melakukan isolasi mandiri di rumah mengalami perubahan. 
Syarat klinis:<ul><li>berusia &lt; 45 tahun</li><li>tidak memiliki komorbid</li><li>dapat mengakses telemedisin atau layanan kesehatan&nbsp;lainnya</li><li>berkomitmen untuk tetap diisolasi sebelum diizinkan keluar</li></ul>Syarat rumah dan peralatan pendukung:<ul><li>dapat tinggal di kamar terpisah, lebih baik lagi jika lantai&nbsp;terpisah</li><li>ada kamar mandi di dalam rumah terpisah dengan penghuni&nbsp;rumah lainnya</li><li>dapat mengakses pulse oksimeter</li></ul>Bila tidak dapat memenuhi syarat klinis dan syarat rumah, Anda akan diminta melakukan isolasi di fasilitas isolasi terpusat. <h3>6. Saya harus isolasi mandiri berapa hari?</h3>Ketentuan lamanya melakukan isolasi secara mandiri bergantung pada kondisi: 
<ul><li>Bila terkonfirmasi tanpa gejala: isolasi dilakukan selama 10 hari setelah mendapat diagnosis positif COVID-19. </li><li>Bila disertai gejala: isolasi minimal dilakukan selama 10 hari setelah muncul gejala, ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. </li></ul>
<h3>7. Apa yang harus saya lakukan selama isolasi mandiri?</h3>Taati protokol kesehatan dan lakukan pemantauan secara rutin. 
Hal-hal lain yang perlu diingat selama isolasi di rumah:<ul><li>	Memakai masker bila keluar kamar</li><li>	Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir</li><li>	Menjaga jarak dengan keluarga</li><li>	Berjemur di bawah matahari minimal 10-15 menit</li><li>	Mencuci pakaian secara terpisah dari anggota keluarga lain</li><li>	Makan sehat dan minum obat dan vitamin secara teratur, sesuai anjuran tenaga kesehatan.</li></ul>8. Selama saya isolasi mandiri, bagaimana dengan anggota keluarga yang serumah?Anggota keluarga sehat di rumah harus menjaga jarak dengan yang sakit. Protokol kesehatan lain seperti mencuci tangan dan etika batuk-bersin juga perlu dilakukan. Ingatkan untuk membersihkan daerah-daerah yang sering disentuh banyak orang, misalnya gagang pintu. 
Bila mengalami gejala yang mungkin mengarah pada COVID-19, Anda dapat lakukan telekonsultasi untuk mendapat saran dan rekomendasi dari dokter. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare di ponsel Anda, daftarkan diri dan pilih jadwal konsultasi. 
 Sumber:<ul><li>Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/MENKES/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)</li><li>COVID-19. Diakses pada 2021. Protokol Tata Laksana COVID-19 di Indonesia</li><li>Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diakses pada 2021. Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 3, Desember 2020</li><li>Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/MENKES/18/2022 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kasus COVID-19 Varian Omicron</li></ul>

8 Pertanyaan Sering Diajukan Seputar Isolasi Mandiri COVID-19

Tidak semua anak usia 6-11 tahun boleh
mendapatkan&nbsp;vaksinasi COVID-19. Apakah anak Anda termasuk dalam kelompok yang perlu perhatian khusus? Periksa lewat infografik berikut ini!

INFOGRAFIK: Vaksinasi COVID-19 Anak Usia 6-11 Tahun

Vaksin booster melindungi kita dari varian-varian baru virus corona - AlteaCare | Foto: Envato

Situasi pandemi terus berubah. Perlindungan diri melalui vaksinasi jadi begitu penting, tak hanya buat diri sendiri namun juga orang di sekitar kita. Kalau tahun lalu Sobat Altea sudah dapat vaksin COVID-19 dengan dosis lengkap dua kali, di awal tahun ini Anda boleh siap-siap untuk vaksin booster.Mungkin Anda berpikir, kenapa sih harus booster? Memangnya vaksin lengkap yang lalu tidak bekerja dengan baik? Mengutip dari Centers for Disease Control and Prevention, vaksin COVID-19 yang sudah ada sekarang sudah bisa mencegah kita jatuh sakit dengan gejala berat, perlu dirawat di rumah sakit, bahkan berisiko meninggal akibat COVID. Namun, dengan adanya banyak varian baru muncul, seperti Delta, para ahli mulai melihat adanya penurunan perlindungan vaksin terhadap penyakit bergejala ringan dan sedang. Apalagi ditambah dengan Omicron yang jadi tren di akhir 2021 lalu. Vaksin booster benar-benar perlu dipertimbangkan supaya bisa melindungi lebih banyak orang, terutama kelompok yang berisiko.Hal ini juga disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, saat memberikan Keterangan Pers secara virtual seputar "Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Booster COVID-19" pada 11 Januari 2022 lalu. “Vaksinasi booster penting bagi seluruh rakyat Indonesia, diberikan sebagai komitmen dari pemerintah untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia dari ancaman COVID-19 dan termasuk varian-varian barunya,” kata Menteri Kesehatan.<h2>Seperti apa pelaksanaan vaksinasi booster?</h2>Nah, supaya Sobat Altea terinformasi dengan baik seputar program vaksinasi booster ini, silakan simak panduannya berikut ini, ya!<h3>1. Syarat untuk dapat vaksin booster</h3>Mereka yang bisa mendapat vaksin booster adalah yang sudah berusia 18 tahun ke atas dan sudah divaksin dosis lengkap dua kali suntik. Jarak antara vaksin dosis kedua dan vaksin booster minimum adalah 6 (enam) bulan. Di awal program, vaksin booster diprioritaskan bagi para lanjut usia (lansia) dan penderita immunikompromais. Kelompok ini termasuk yang paling membutuhkan, supaya bisa mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap virus corona.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/5-hal-penting-seputar-pemberian-vaksin-untuk-lansia-1631196314399" target="_blank">5 Hal Penting Seputar Pemberian Vaksin Untuk Lansia</a><h3>2. Jenis vaksin dan dosis yang diberikan</h3>Jenis vaksin booster yang diberikan bergantung pada ketersediaan vaksin yang ada saat ini. Pada dasarnya vaksin booster dapat berupa vaksin homolog (vaksin yang sama dengan vaksin sebelumnya) atau vaksin heterolog (vaksin yang berbeda dengan vaksin sebelumnya).Program pemerintah yang dimulai pada 12 Januari 2022 akan menggunakan jenis vaksin heterolog, dengan kombinasi seperti berikut:<ul><li>	Jika vaksin primer (vaksin pertama dan kedua) yang diterima Sinovac, akan diberikan vaksin booster setengah dosis Pfizer atau Astra Zeneca</li><li>	Jika vaksin primer yang diterima Astra Zeneca, akan diberikan vaksin booster setengah dosis Moderna</li></ul>Seperti dilansir di situs Kementerian Kesehatan, kombinasi vaksin ini sudah dapat persetujuan Badan POM serta rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).Sejumlah studi memperlihatkan, vaksin booster heterolog menghasilkan peningkatan antibodi yang relatif sama dengan yang dicapai oleh vaksin booster homolog. Sementara itu, alasan kenapa vaksin booster diberikan hanya setengah dosis adalah karena peningkatan level antibodinya juga relatif sama dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, dampak Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang diamati juga lebih ringan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/4-fakta-tentang-jenis-vaksin-mrna-untuk-cegah-covid-19-1635145219361" target="_blank">4 Fakta Tentang Jenis Vaksin mRNA Untuk Cegah COVID-19</a> 
<h3>3. Tempat pelaksanaan vaksinasi</h3>Vaksinasi booster diselenggarakan&nbsp;di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, seperti Puskesmas, rumah sakit pemerintah, maupun rumah sakit milik pemerintah daerah. Namun, tak tertutup kemungkinan untuk dilaksanakan oleh pihak lain.<h3>4. Mengetahui jadwal vaksinasi</h3>Bila Anda atau anggota keluarga termasuk kelompok prioritas penerima vaksin booster, tiket dan jadwal vaksinasi bisa diperiksa di website maupun aplikasi PeduliLindungi. Cara pengecekan melalui website:<ul><li>
	Kunjungi laman pedulilindungi.id</li><li>
	Cek status dan tiket vaksinasi dengan memasukkan “Nama Lengkap” dan “NIK”, lalu klik “Periksa”. </li></ul>Cara pengecekan melalui aplikasi PeduliLindungi:<ul><li>	Buka aplikasi PeduliLindungi</li><li>	Masuk dengan akun yang terdaftar</li><li>	Klik menu “Profil” dan pilih “Status Vaksinasi &amp; Hasil Tes Covid-19”</li><li>	Status dan jadwal vaksinasi booster akan muncul di akun</li><li>	Untuk cek tiket vaksin, masuk ke menu “Riwayat dan Tiket Vaksin”</li></ul>Tiket vaksin dapat digunakan di fasilitas kesehatan atau tempat vaksinasi terdekat, sesuai dengan waktu yang ditentukan. Termasuk kelompok prioritas tapi belum menemukan tiket dan jadwal vaksinasi di PeduliLindungi? Anda maupun anggota keluarga bisa datang langsung ke fasilitas kesehatan atau tempat vaksinasi terdekat. Jangan lupa bawa KTP dan surat bukti vaksinasi dosis pertama dan kedua, ya!Jangan lupa, meski sudah dapat vaksin booster, disiplin jaga kesehatan dan taat protokol kesehatan harus jalan terus. 
 Sumber:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada September 2021. COVID-19 Vaccine Booster Shot</li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Januari 2022. Vaksinasi Booster Gratis, Dimulai 12 Januari 2022</li><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Januari 2022. Vaksin Booster Segera Dimulai, Cek Tiket Vaksinasi di PeduliLindungi</li></ul>

Panduan Vaksinasi Booster COVID-19

Coronavirus Disease of 2019 atau COVID-19 disebabkan oleh virus corona - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi COVID-19</h2>Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19) adalah gangguan akut yang menyerang saluran pernapasan dengan tingkat keparahan tinggi. Pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada Desember 2019, COVID-19 ditetapkan sebagai wabah darurat atau pandemi global oleh badan kesehatan dunia WHO pada Januari 2020. 
<h2>Penyebab COVID-19 </h2>COVID-19 disebabkan oleh novel coronavirus atau sering disebut juga virus corona, jenis SARS-CoV-2. Jenis virus ini dapat mengenai manusia dan hewan. Termasuk dalam keluarga virus corona ini adalah virus penyebab gangguan SARS (severe acute respiratory syndrome), yang pernah merebak di Hong Kong. 
Paparan virus corona secara umum dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan sampai sedang seperti batuk pilek. Beberapa jenis virus corona juga dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan parah, yang dapat menyebabkan pneumonia dan kematian. SARS-CoV-2 adalah salah satunya. 
SARS-CoV-2 merupakan betacoronavirus, yang bersumber dari kelelawar. Diperkirakan awalnya virus ini menyebar dari hewan, namun saat ini penyebarannya sudah antar-manusia. 
Penularan Covid-19 COVID-19 dapat menular melalui kontak erat, ketika seseorang yang batuk, bersin, bernyanyi, berbicara, atau bernapas mengeluarkan droplet yang memercik udara. Penularan terjadi ketika percikan droplet ini terhirup atau mengenai mata. 
COVID-19 juga dapat menular melalui udara dan menginfeksi orang dalam jarak kurang dari 2 meter. Karakteristik droplet yang berukuran kecil dan memiliki partikel yang bisa bertahan di udara hingga beberapa jam membuat COVID-19 sangat menular. 
Selain itu, COVID-19 juga dapat ditularkan saat kita menyentuh objek yang telah terpapar oleh virus, kemudian mengucek mata atau menyentuh hidung, mulut, atau wajah. Namun, ini bukan cara penyebaran utama virus ini. 
<h2>Faktor Risiko COVID-19</h2>Melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar virus penyebab COVID-19 membuat Anda berisiko untuk tertular gangguan ini. 
Kriteria kontak erat yang diatur oleh Kementerian Kesehatan RI adalah sebagai berikut:<ul><li>	Melakukan tatap muka atau berdekatan dengan orang yang diduga atau terkonfirmasi COVID-19, dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih</li><li>	Sentuhan fisik langsung dengan orang yang diduga atau terkonfirmasi COVID-19 (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain)</li><li>	Memberikan perawatan langsung kepada orang yang diduga atau terkonfirmasi COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri sesuai standar</li><li>	Situasi lain yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat</li></ul>Selain itu, orang-orang yang juga berisiko tinggi terhadap COVID-19 adalah:<ul><li>	Berusia lanjut</li><li>	Memiliki gangguan kesehatan kronis, seperti kanker, gagal ginjal kronis, penyakit paru obstruktif kronis, maupun diabetes</li><li>	Obesitas </li><li>	Berada di tempat tertutup dengan ventilasi buruk</li></ul> Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan COVID-19

COVID-19 (Coronavirus Disease of 2019)

Bila sudah vaksinasi COVID-19, anak sekolah dasar bisa aman jalani pembelajaran tatap muka di sekolah - AlteaCare | Foto: Envato

Tidak sedikit anak yang ingin kembali belajar di sekolah lagi. Sobat Altea sebagai orangtua pasti mendukung. Apalagi, pembelajaran jarak jauh selama hampir dua tahun ini ternyata kurang efektif. Nah, biar aman saat belajar, anak sekolah dasar sebaiknya vaksinasi dulu.Sejak 14 Desember 2021 lalu, pemerintah secara resmi memulai program vaksinasi COVID-19 untuk anak sekolah dasar usia 6-11 tahun. Seperti dilansir di situs <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20211214/1838977/pemerintah-gelar-kick-off-vaksinasi-covid-19-anak-usia-6-11-tahun-serentak-di-3-provinsi/" target="_blank">Kementerian Kesehatan RI</a>, vaksin COVID ini ditargetkan untuk sekitar 26,5 juta anak.Vaksin untuk kelompok usia ini, menurut Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Jumeri, dapat membantu mempercepat pemulihan pembelajaran di masa pandemi COVID-19. Seperti dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, vaksin memang bukan syarat untuk penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Tapi, bisa mendukung agar anak aman dan selamat selama pembelajaran secara langsung di sekolah. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/menunggu-kepastian-vaksin-covid-untuk-anak-usia-5-11-tahun-1635304252933" target="_blank">Menunggu Kepastian, Vaksin COVID Untuk Anak Usia 5-11 Tahun</a>
 
<h2>Ortu siap, anak mantap</h2>Ragu memberi izin buah hati menjalani vaksinasi untuk anak sekolah dasar? Beberapa informasi berikut bisa menambah wawasan dan bikin Anda yakin dan tenang:<h3>1. Sekolah online ataupun tatap muka, semua anak perlu divaksin</h3>Dengan dibukanya sekolah untuk pembelajaran tatap muka secara bertahap, anak bisa berpotensi jadi pembawa virus COVID-19 setelah beraktivitas di luar rumah. Meski tanpa gejala, ini bisa berbahaya jika di rumah terdapat anggota keluarga yang termasuk kelompok rentan, seperti ibu hamil atau lansia. Sekolah pun bisa berubah jadi kluster penularan. Si Kecil masih sekolah online? Tetap perlu divaksin. Sebab, menurut data Satuan Tugas COVID-19, saat tingkat infeksi COVID-19 sedang tinggi pada Juni 2021 lalu, kasus yang terjadi di kelompok anak cukup banyak. Jadi, sebaiknya semua anak sekolah dasar, yang belajar di rumah maupun di sekolah, menjalani vaksinasi. <h3>2. Sudah dapat rekomendasi ahli</h3>Saat membuka kick-off vaksinasi anak usia 6-11 tahun di Jakarta, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan bahwa pelaksanaan vaksinasi berdasarkan rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization/ITAGI). Menurut surat rekomendasi, vaksin COVID-19 dapat diberikan kepada anak usia 6-11 tahun. Ini juga dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07./MENKES/6688/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Bagi Anak Usia 6 (Enam) Sampai Dengan 11 (Sebelas) Tahun.<h3>3. Jenis vaksin dipilih yang aman</h3>Vaksinasi untuk anak sekolah dasar usia 6-11 tahun akan menggunakan vaksin Sinovac yang sudah dapat Emergency Use Of Authorization (EUA) dari Badan POM. Ini mungkin berbeda dengan negara lain yang menjalankan program vaksin dengan jenis lainnya, seperti Pfizer. Vaksin Sinovac dianggap memiliki KIPI yang kecil, sehingga dapat diprioritaskan untuk anak-anak. Sebelumnya, vaksin ini juga diberikan untuk kelompok anak usia 12 tahun ke atas. Aspek khasiat dan keamanan vaksin Sinovac pada anak dinilai berdasarkan studi klinik di China. Dengan total subjek penelitian 1.050 anak, penggunaan vaksin pada usia 6-11 tahun dianggap aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Selain itu, profil keamanan vaksin pada anak usia 6-11 tahun sebesar 11%, sebanding dengan profil keamanan pada usia 12-17 tahun yang sudah disetujui, yaitu sebesar 14%. Sejauh ini, semua laporan kejadian yang tidak diinginkan yang teramati masuk dalam kategori ringan dan sedang.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/mengenal-vaksin-sinovac-lebih-dekat-1632186029093" target="_blank">Mengenal Vaksin Sinovac Lebih Dekat</a><h3>4. Diberikan dalam dua dosis</h3>Vaksinasi COVID-19 untuk anak sekolah dasar diberikan sebanyak dua kali, dengan interval minimum 28 hari. Vaksin disuntikkan secara intramuskular di bagian lengan atas, dengan dosis 0,5 ml. Mirip dengan pada kelompok usia lain, pelaksanaan vaksin didahului dengan skrining. Pastikan si Kecil dalam kondisi sehat saat akan vaksin. Anak yang pernah mengalami reaksi anafilaksis karena komponen vaksin pada pemberian vaksin sebelumnya tidak dianjurkan untuk divaksin.<h3>5. Lengkapi dulu imunisasi wajibnya</h3>Situasi pandemi membuat orangtua menunda jadwal imunisasi dasar untuk anaknya, mulai dari kategori imunisasi dasar maupun lanjutan (booster). Karena itu Ikatan Dokter Anak Indonesia menyarankan agar anak terlebih dulu lengkap imunisasi wajib dan lanjutannya sesuai dengan jadwal. Setelahnya, baru vaksinasi COVID-19 untuk anak sekolah dasar. Beri jarak antara vaksin COVID-19 dengan vaksin lainnya minimum 2 (dua) minggu.Program vaksin COVID-19 untuk anak usia 6-11 tahun dilaksanakan secara bertahap, jadi Anda tidak perlu takut tidak kebagian. Vaksinasi dilakukan di puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, seperti pembukaan pos pelayanan vaksinasi di sekolah.Sobat Altea yang punya anak sekolah dasar juga dapat mendaftarkan vaksinasi melalui AlteaCare. Segera download AlteaCare untuk daftar melalui aplikasi, atau kunjungi AlteaCare.com. 
 Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Desember 2021. Pemerintah Gelar Kick Off Vaksinasi COVID-19 Anak Usia 6-11 Tahun Serentak di 3 Provinsi</li><li>Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses pada Januari 2022. Vaksinasi Covid-19 bagi Anak Usia 6-11 Tahun Dorong Optimalisasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas</li><li>Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KMK) Nomor HK.01.07./MENKES/6688/2021</li><li>Han, B., Song, Y., Li, C., Yang, W., Ma, Q., Jiang, Z., ... &amp; Gao, Q. (2021). Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine (CoronaVac) in healthy children and adolescents: a double-blind, randomised, controlled, phase 1/2 clinical trial. The Lancet Infectious Diseases, 21(12), 1645-1653.</li><li>Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Diakses pada Desember 2021. Persetujuan Penggunaan Vaksin Sinovac untuk Anak Usia 6 – 11 Tahun</li><li>Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Pemberian Vaksin COVID-19 (Coronavac®) pada Anak Usia 6-11 Tahun Pemutakhiran 16 Desember 2021</li></ul>

Anak Sekolah Dasar Sudah Bisa Vaksinasi, Ini Tips Buat Ortu

Vaksin untuk ibu hamil bisa melindungi dari virus corona - AlteaCare | Foto: Envato

Kondisi sedang hamil maupun menyusui tidak boleh jadi halangan untuk ikut vaksinasi COVID-19. Justru, vaksin untuk ibu hamil dan menyusui bisa berikan perlindungan dari virus corona yang semakin bermutasi.Melansir dari Kementerian Kesehatan RI, wanita hamil punya risiko mengalami gejala berat jika sampai terinfeksi COVID-19. Apalagi, kalau bumil memang sudah punya kondisi medis tertentu. Itu sebabnya, awal Agustus 2021 pemerintah mengeluarkan surat edaran untuk pelaksanaan vaksin untuk ibu hamil dan menyusui. Program ini juga direkomendasikan oleh Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI).<h2>Amankah vaksin untuk ibu hamil dan menyusui?</h2>Sobat Altea pasti pernah baca infomasi seputar jenis-jenis vaksin, khususnya vaksin COVID-19. Tidak salah juga kalau akhirnya Anda jadi cemas. Jangan-jangan habis vaksin saya malah jadi kena COVID? Nanti bayi saya bagaimana?Stop overthinking! Faktanya, menurut Centers of Disease Control and Prevention (CDC), tidak ada vaksin COVID-19 yang mengandung virus hidup. Jadi, vaksin tidak akan bikin Anda kena COVID-19, termasuk ibu yang sedang hamil, menyusui, maupun bayi yang disusui.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kupas-tuntas-berbagai-jenis-vaksin-cara-kerja-dan-pembuatannya-1634183011414" target="_blank">Kupas Tuntas Berbagai Jenis Vaksin, Cara Kerja, dan Pembuatannya</a>Tiga fakta berikut bisa bulatkan niat Anda buat daftar vaksin untuk ibu hamil dan menyusui:<h3>1. Bermanfaat untuk ibu dan janin</h3>Vaksinasi COVID-19 selama kehamilan tidak hanya melindungi bumil yang punya risiko kesehatan tinggi, namun juga bayi dalam kandungannya. Seperti dilansir di CDC, ibu hamil yang mendapat vaksin jenis mRNA bisa membangun antibodi terhadap virus corona, seperti halnya orang lain yang tidak hamil. Antibodi yang terbentuk setelah bumil divaksin jenis mRNA ditemukan juga di dalam darah yang ada di area tali pusat. Artinya, vaksin juga dapat melindungi janin di kandungan. 
<h3>2. Tidak menyebabkan keguguran</h3>Ada miskonsepsi di luar sana yang bilang bumil sebaiknya tidak divaksin dulu dan lebih baik tunggu hingga sudah melahirkan. Alasannya? Konon vaksin untuk ibu hamil bisa sebabkan keguguran. Studi yang dimuat di New England Journal of Medicine menyatakan, tidak ada kaitan antara meningkatnya risiko keguguran pada awal kehamilan dengan vaksin COVID-19. Temuan para ahli ini mendukung bukti yang sudah ada, bahwa pemberian vaksin COVID-19 selama kehamilan aman. 
<h3>3. Bayi ASI juga aman</h3>Vaksin COVID-19 juga aman untuk ibu menyusui dan bayinya. Menurut WHO, hingga kini belum ada bukti yang menyatakan vaksin bisa bikin bayi ASI terpapar virus corona.Sejauh ini, studi yang sudah dilakukan menemukan adanya antibodi pada ASI dari busui yang divaksin jenis mRNA. Antibodi di tubuh ibu dapat diteruskan pada bayi yang sedang disusui. Jadi, tidak ada alasan menunda. Daftarkan diri dalam program vaksin untuk ibu hamil dan menyusui agar bisa menjaga kesehatan selama menyusui. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/menyusui-investasi-terbaik-bagi-si-buah-hati-1639977136588" target="_blank">Menyusui, Investasi Terbaik Bagi si Buah Hati</a> 
<h2>Hal penting yang harus diperhatikan</h2>Hal berikut ini perlu diketahui Sobat Altea jika ingin ikut program vaksinasi untuk bumil dan busui:<ul><li>Jenis vaksin. Vaksin yang bisa digunakan adalah jenis mRNA, seperti Pfizer dan Moderna, atau Sinovac. Semua bergantung ketersediaan vaksin di daerah Anda, ya. </li><li>Waktu pemberian dosis. Untuk ibu hamil, pemberian dosis pertama bisa dilakukan pada trimester kedua kehamilan. Lalu, dosis kedua menyesuaikan dengan interval jenis vaksin yang didapat.</li><li>Jika punya penyakit penyerta namun dalam kondisi terkontrol dan tidak ada komplikasi akut, vaksin untuk ibu hamil tetap dapat diberikan.</li><li>Ibu menyusui boleh tetap menyusui setelah divaksinasi, karena manfaat menyusui lebih besar dibandingkan potensi risiko penularan COVID-19.</li></ul>Pelaksanaan vaksinasi untuk ibu hamil maupun menyusui sama dengan vaksinasi COVID-19 umum. Saat kedatangan, ibu diperiksa kondisinya oleh dokter atau tenaga kesehatan, kemudian melakukan skrining awal. Setelah itu, barulah menerima vaksin. Sejauh ini, tidak ada efek samping ataupun KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) yang khusus pada ibu hamil dan menyusui. Tapi, kalau ibu masih ragu, tidak ada salahnya bila berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter. Jadwalkan telekonsultasi melalui video call di AlteaCare untuk bicara dengan dokter spesialis kandungan berpengalaman. Ibu juga bisa sekaligus daftar vaksin untuk ibu hamil dan menyusui di AlteaCare. Yuk, <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">download </a>AlteaCare sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Oktober 2021. Surat Edaran HK.02.01/I/2007/2021 tentang Vaksinasi COVID-19 Bagi Ibu Hamil dan Penyesuain Skrining Dalam Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19</li><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Oktober 2021. COVID-19 Vaccines While Pregnant or Breastfeeding</li><li>Magnus, M. C., Gjessing, H. K., Eide, H. N., Wilcox, A. J., Fell, D. B., &amp; Håberg, S. E. (2021). Covid-19 Vaccination during pregnancy and first-trimester miscarriage. New England Journal of Medicine, 385(21), 2008-2010.</li><li>WHO. Diakses pada Desember 2021. Episode #51 - Breastfeeding &amp; COVID-19</li><li>Healthy Children. Diakses pada Desember 2021. Breastfeeding During the COVID-19 Pandemic</li><li>Valcarce, V., Stafford, L. S., Neu, J., Cacho, N., Parker, L., Mueller, M., Burchfield, D. J., Li, N., &amp; Larkin, J., 3rd (2021). Detection of SARS-CoV-2-Specific IgA in the Human Milk of COVID-19 Vaccinated Lactating Health Care Workers. Breastfeeding medicine : the official journal of the Academy of Breastfeeding Medicine, 10.1089/bfm.2021.0122.</li><li>Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Diakses Pada Oktober 2021. Vaksin COVID-19 Aman untuk Ibu Menyusui</li></ul>

Aman! Vaksin Untuk Ibu Hamil Bisa Cegah COVID-19

Vaksinasi lengkap dapat melindungi kita dari varian Omicron - AlteaCare | Foto: Envato

Sejak pertama kali dilaporkan pada 24 November 2021, varian COVID-19 baru, yaitu varian B.1.1.529 Omicron langsung menjadi pusat perhatian dunia. Dua hari berselang, WHO mengumumkan varian ini sebagai salah satu variant of concern (VOC).Kematian pertama yang diumumkan secara resmi di dunia terjadi di Inggris pada 13 Desember 2021, setelah terjadi rantai penyebaran yang sangat cepat. Varian Omicron memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan varian sebelumnya, juga dengan varian Delta yang sempat bikin geger dan menelan banyak korban. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/dari-delta-sampai-kappa-yuk-ketahui-varian-varian-virus-corona-1631196231344" target="_blank">Dari Delta Sampai Kappa, Yuk Ketahui Varian-varian Virus Corona</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/dari-delta-sampai-kappa-yuk-ketahui-varian-varian-virus-corona-1631196231344" target="_blank"> 
</a>Berikut ini sejumlah fakta seputar varian Omicron yang perlu Anda ketahui:<h2>1. Penularannya lebih cepat dibandingkan varian lain</h2>Di Afrika Selatan, negara tempat varian ini pertama kali ditemukan, terjadi peningkatan jumlah kasus yang tajam. Pada 1 Desember, negara ini mencatat adanya 8.561 kasus, meningkat dari 3.402 kasus yang dilaporkan pada 26 November, dan sekitar ratusan kasus di pertengahan November. Angka ini membuat para peneliti khawatir akan adanya lonjakan besar kasus COVID-19 di tempat lainnya. Centers of Disease and Prevention Control (CDC) menyebutkan bahwa varian ini lebih mudah menular dibandingkan virus SARS-CoV-2 awal. Siapa pun yang terpapar Omicron bisa menyebarkan virus ini pada orang lain, meskipun sudah divaksinasi atau tidak merasakan gejala apa pun.<h2>2. Kemampuan lolos dari imunitas yang lebih tinggi </h2>Dari tingginya kasus di Afrika Selatan, para peneliti menduga bahwa Omicron memiliki kemampuan yang tinggi untuk lolos dari imunitas tubuh. 
Saat itu, sekitar seperempat populasi di Afrika Selatan telah mendapat vaksin lengkap dan sebagian besar juga pernah terpapar virus corona pada beberapa gelombang sebelumnya. Namun, Omicron ternyata tetap dapat menginfeksi yang sudah divaksin, serta orang yang sudah sembuh dari paparan COVID-19 akibat varian Delta maupun lainnya. Pada awal Desember, para peneliti juga menemukan bahwa angka reinfeksi di Afrika Selatan meningkat sejak terjadi penyebaran Omicron. <h2>3. Gejalanya relatif ringan</h2>Saat pertama kali menemukan varian Omicron, dokter Afrika Selatan Dr. Angelique Coetzee mengamati adanya beberapa gejala khas. Secara umum, dibandingkan varian Delta gejala yang dialami orang yang terpapar Omicron relatif ringan.Keluhan yang sering dirasakan adalah:<ul><li>Rasa lelah </li><li>Sakit kepala</li><li>Nyeri di seluruh tubuh </li><li>Tenggorokan gatal</li></ul>Tidak seperti pada varian Delta, orang yang terpapar Omicron tidak mengalami gangguan pada indera penciuman (anosmia ataupun hiposmia) maupun pada indera perasa. Selain itu, tidak didapati juga penurunan drastis pada kadar oksigen. <h2>4. Masih dapat terdeteksi lewat skrining COVID-19</h2>Hingga kini, metode pemeriksaan yang ada, seperti tes PCR maupun antigen, masih dapat mengidentifikasikan keberadaan varian Omicron. <h2>5. Tingkat keparahan penyakit belum diketahui</h2>Para ahli menyatakan belum memiliki data resmi yang menggambarkan, apakah orang yang terpapar Omicron mengalami sakit yang lebih parah dibanding varian lain. Yang jelas, sejumlah obat antivirus yang ada masih efektif dalam mengatasi varian virus ini.<h2>6. Vaksin masih efektif melindungi</h2>Berbagai jenis vaksin yang sudah ada saat ini berfungsi untuk melindungi diri dari tingkat keparahan penyakit yang tinggi, kemungkinan dirawat di rumah sakit, hingga risiko kematian. Namun, peluang untuk kembali terinfeksi virus pada orang yang sudah mendapat vaksinasi lengkap tetap ada. Terhadap varian lain seperti Delta, vaksin tetap memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Sementara itu, para peneliti masih memelajari dampak Omicron terhadap vaksin yang telah ada. Untuk mengantisipasi varian baru ini, CDC kembali menekankan pentingnya mendapatkan vaksinasi lengkap serta vaksin booster.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/10-langkah-daftar-vaksinasi-covid-19-di-alteacare-1634530564661" target="_blank">10 Langkah Daftar Vaksinasi COVID-19 di AlteaCare</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/10-langkah-daftar-vaksinasi-covid-19-di-alteacare-1634530564661" target="_blank"> 
</a>Untuk mempersiapkan diri menghadapi varian Omicron, kita bisa melindungi diri dengan melakukan tiga hal berikut ini:<ul><li>Terapkan protokol kesehatan dengan ketat dan aman. Jangan lupa juga untuk selalu kenakan masker saat keluar rumah. Penggunaan masker dapat melindungi kita dari berbagai jenis varian COVID-19.</li><li>Jangan takut untuk lakukan tes saat mengalami gejala yang mengarah pada COVID-19. Segera datang ke fasilitas layanan kesehatan agar bisa mendapatkan pengobatan tepat sesuai gejala.</li><li>Perkuat imunitas tubuh melalui vaksinasi. Vaksin dapat memperlambat transmisi penyakit. Dengan divaksin Anda berkontribusi menurunkan risiko penyebaran Omicron.</li></ul>Sobat Altea yang belum menerima vaksin COVID-19, yuk daftar melalui AlteaCare. Caranya mudah, yaitu dengan memilih menu “Vaksinasi Untuk Umum” di menu utama aplikasi. Segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">unduh </a>AlteaCare di ponsel Anda! Sumber:<ul><li>Centers for Disease Prevention and Control. Diakses pada Desember 2021. Omicron Variant: What You Need to Know</li><li>Reuters. Diakses pada Desember 2021. Britain reports first death with Omicron coronavirus variant</li><li>Nature. Diakses pada Desember 2021. How bad is Omicron? What scientists know so far</li><li>Johns Hopkins Medicine. Diakses pada Desember 2021. COVID Omicron Variant: What You Need to Know</li><li>Euronews. Diakses pada Desember 2021. Omicron: What are the symptoms of the latest COVID variant and should we be worried?</li></ul>

6 Fakta Seputar Varian Virus Corona Omicron

Badai sitokin dapat terjadi pada orang dengan COVID-19 yang dirawat di ICU - AlteaCare | Foto: Envato

Fenomena badai sitokin mungkin baru kita dengar di masa pandemi. Sesungguhnya istilah badai sitokin sudah muncul sejak tahun 1993, yaitu dalam sebuah artikel yang membahas seputar gangguan graft versus host disease (GvHD). Penyakit GvHD adalah respons imun yang terjadi ketika sel yang dicangkokkan dari donor menyerang sel tubuh penerimanya.Sejak tahun 2000, istilah badai sitokin telah dikaitkan pada sejumlah gangguan infeksi. Kondisi ini pun dimaknai sebagai respons peradangan yang tidak terkontrol, yang diberikan oleh sistem imun tubuh.<h2>Apa yang dimaksud dengan badai sitokin?</h2>Merujuk pada News Medical, sitokin adalah glikoprotein kecil yang diproduksi oleh berbagai jenis sel di seluruh tubuh kita. Setelah dilepaskan, sitokin memiliki beberapa fungsi yang berbeda-beda.&nbsp;Ada yang berkaitan dengan sel imun, ada yang bertugas mempercepat pembekuan darah. Ada yang menimbulkan inflamasi (pro-inflamasi), sehingga membuat pembuluh darah lebih melebar. Ada juga yang&nbsp;meredam respons inflamasi (anti-inflamasi) dalam tubuh, sehingga mengimbangi sitokin pro-inflamasi. Dalam kondisi normal, ketika ada virus atau bakteri yang masuk, sitokin akan mengatur respons pada sistem imun untuk melawan. Tapi, terkadang respons yang diberikan bisa tidak terkendali. Misalnya, tubuh memproduksi terlalu banyak sitokin pro-inflamasi, sementara jumlah sitokin anti-inflamasi terlalu sedikit. Seperti serangan badai, sitokin pro-inflamasi lalu bisa berdampak buruk terhadap sistem imunitas serta organ-organ tubuh yang terkait. <h2>Badai sitokin dan COVID-19</h2>Menurut WHO, secara umum COVID-19 adalah infeksi yang membuat seseorang mengalami gangguan pernapasan ringan hingga sedang. Namun, sebagian bisa mengalami gangguan yang berat, seperti kaum lansia atau mereka yang punya gangguan penyerta, salah satu contohnya adalah gangguan pernapasan kronis.Pada COVID-19, peningkatan sitokin pro-inflamasi diduga berkaitan dengan perkembangan gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome-ARDS). Seperti dilansir dalam Journal of Infection, sejumlah studi mengamati bahwa orang dengan COVID-19 yang dirawat di ICU dapat mengalami badai sitokin. Jumlah sitokin pro-inflamasi yang berlebihan dapat menciptakan peradangan yang menyebabkan paru-paru dipenuhi oleh cairan. Cairan juga dapat masuk ke kantung udara (alveoli) dan menyebabkan sesak napas. <h2>Gejala badai sitokin</h2>Beberapa gejala umum yang dapat dialami ketika mengalami badai sitokin, antara lain adalah:<ul><li>Demam</li><li>Kelelahan</li><li>Pembengkakan</li><li>Mual dan muntah</li><li>Nyeri pada otot dan sendi</li><li>Sakit kepala</li><li>Ruam</li><li>Batuk</li><li>Napas pendek-pendek </li><li>Sesak napas</li><li>Kejang</li><li>Gemetar tidak terkendali</li><li>Kesulitan dalam bergerak</li><li>Bingung dan halusinasi</li><li>Kurang responsif</li></ul>Khusus terkait COVID-19, badai sitokin terdeteksi jika seseorang memiliki sitokin pro-inflamasi dalam jumlah tinggi dan kondisi lymphophenia atau limfosit yang rendah. Keduanya dapat terlihat melalui hasil tes darah.Penelitian di Journal of Clinical Medicine menyebutkan, mereka yang dirawat di ICU akibat COVID-19 gejala berat atau kritis umumnya mengalami dua hal tersebut. Jumlah sitokin pro-inflamasi, terutama jenis interleukin (IL) 6 pada penderita COVID-19 gejala berat didapati dalam jumlah lebih tinggi. Ini bila dibandingkan orang dengan COVID-19 bergejala sedang. Selain berdasarkan tes darah, badai sitokin yang berkaitan dengan COVID-19 juga dapat dilihat melalui hasil rontgen dada.<h2>Antisipasi sejak fase awal</h2>Bila tidak segera ditangani, badai sitokin pada COVID-19 tidak hanya menimbulkan dan memperburuk kondisi gangguan ARDS. Dalam beberapa kasus, badai sitokin juga bisa menyebabkan kerusakan jaringan, kegagalan organ, dan kematian.Sejumlah penelitian menemukan periode kritikal selama 5-7 hari dalam penanganan COVID-19, yang terbagi menjadi beberapa fase. Periode ini terhitung sejak pertama kali seseorang didiagnosis COVID-19 hingga mengalami sindrom disfungsi multi organ (multiple organ dysfunction syndrome-MODS). MODS seringkali disebut juga dengan kegagalan multi organ. Dalam periode ini, sekitar 80% orang yang terkena COVID-19 mengalami kesembuhan. Sementara itu, 20% lainnya mengalami pneumonia berat dan sekitar 2% di antaranya dapat meninggal.Untuk itu, peneliti merekomendasikan agar orang dengan COVID-19 perlu mendapatkan terapi yang tepat sedini mungkin. Adanya terapi untuk mengendalikan sisitem imun dapat membantu mencegah terjadinya badai sitokin pada fase akhir penyakit. 
Bagi kita yang masih belum terpapar COVID-19, cara terbaik untuk melindungi diri adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, terapkan protokol kesehatan yang baik dalam aktivitas sehari-hari. Sobat Altea yang belum menerima vaksin COVID-19, yuk daftar melalui AlteaCare. Buka aplikasi, lalu pilih menu “Vaksinasi Untuk Umum” di menu utama. Ayo, segera <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">unduh </a>AlteaCare di ponsel Anda! 
Sumber:<ul><li>News Medical. Diakses pada Desember 2021. What is a Cytokine Storm?</li><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Desember 2021. Graft vs Host Disease</li><li>WHO. Diakses pada Desember 2021. Coronavirus Disease (COVID-19)</li><li>Very Well Health. Diakses pada Desember 2021. What Is Cytokine Storm Syndrome</li><li>Ye, Q., Wang, B., &amp; Mao, J. (2020). The pathogenesis and treatment of the Cytokine Storm'in COVID-19. Journal of infection, 80(6), 607-613.</li><li>Cappanera, S., Palumbo, M., Kwan, S. H., Priante, G., Martella, L. A., Saraca, L. M., ... &amp; Tiri, B. (2021). When does the cytokine storm begin in COVID-19 patients? A quick score to recognize it. Journal of Clinical Medicine, 10(2), 297.</li><li>Sun, X., Wang, T., Cai, D., Hu, Z., Liao, H., Zhi, L., ... &amp; Wang, A. (2020). Cytokine storm intervention in the early stages of COVID-19 pneumonia. Cytokine &amp; Growth Factor Reviews, 53, 38-42.</li></ul>

Memahami Terjadinya Badai Sitokin

Meski berisiko rendah, anak sekolah dasar tetap dapat menularkan virus pada orang lain - AlteaCare | Foto: Envato

Setelah remaja dan kelompok berkebutuhan khusus, sasaran vaksin yang selanjutnya adalah anak sekolah dasar. Apalagi dengan sejalan dengan kondisi pandemi yang berjalan, sekolah-sekolah sudah boleh dibuka dan pelajaran tatap muka sudah bisa dimulai. Semakin banyak orangtua berharap anaknya dapat divaksin sehingga bisa belajar dengan lebih aman di sekolah.Untuk menjawab kebutuhan ini, saat ini Pfizer bersama mitranya perusahaan Jerman BioNTech sedang menguji vaksin anak untuk kelompok usia 5-11 tahun. Seperti disampaikan oleh Dr. Bill Gruber, Senior Vice President Pfizer kepada The Associated Press, vaksin COVID untuk kelompok anak ini memiliki dosis yang berbeda. Namun, tujuannya tetap untuk membentuk antibodi dalam tubuh anak sehingga memiliki imunitas yang sama seperti para remaja dan dewasa. 
<h2>Kenapa anak sekolah dasar perlu divaksin?</h2>Sama seperti kelompok usia lainnya, anak-anak berusia 5-11 tahun pun dapat terinfeksi virus corona dan terkena COVID-19. Meski sebagian anak bisa mengalami komplikasi serius, secara umum gangguan yang dialami cenderung tidak separah kelompok dewasa dan lansia.Lantas, kenapa anak usia sekolah dasar tetap perlu menerima vaksin anak yang tengah dikembangkan lebih lanjut oleh Pfizer?Ini dia alasannya:<ul><li>Jumlah anak yang meninggal akibat COVID-19 lebih sedikit dibandingkan kaum lansia. Namun, bukan berarti risikonya lantas nol persen.</li><li>Ada pertimbangan seputar dampak jangka panjang dari infeksi virus corona. Long covid diketahui dapat menimbulkan efek yang menetap, seperti rasa lelah, gangguan pernapasan, hingga gangguan pencernaan. Hal ini juga dapat dialami oleh anak bila tidak dapat vaksin COVID.</li><li>Ketika terpapar virus corona, anak kelompok usia 5-11 tahun sering tidak bergejala atau hanya bergejala ringan. Namun, mereka tetap dapat menularkan virus tersebut kepada anggota keluarga lainnya. Vaksin Pfizer yang akan didistribusikan untuk anak sekolah dasar ini dapat menekan potensi penyebaran diam-diam yang dapat luput dari pendeteksian.</li></ul>

Seiring dengan semakin banyaknya penerima vaksin, baik itu vaksin anak maupun dewasa, kemungkinan penyebaran virus penyebab COVID-19 pun dapat ditekan. 
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kalau-alami-long-covid-apa-saja-gejalanya-1632714947935" target="_blank">Kalau Alami Long Covid, Apa Saja Gejalanya?</a> 
<h2>Seperti Ini Gambaran Formulanya</h2>Saat ini status vaksinasi COVID-19 dengan merek Pfizer yang ditujukan untuk anak berusia 5-11 tahun masih belum ketuk palu. Sebab, ketentuan vaksinasi masih bergantung pada regulasi, persetujuan, serta berbagai uji klinik lainnya.Melansir dari American Academy of Pediatrics, ada kemungkinan jenis vaksin yang digunakan pada kelompok usia sekolah dasar ini akan berbeda dengan kelompok remaja dan dewasa. Perbedaan ini terletak pada besaran dosisnya.Formula yang digunakan untuk vaksin COVID adalah sebagai berikut:<ul><li>Vaksin remaja dan dewasa saat ini diberikan dalam dosis sebesar 30 mikrogram, yang diberikan dalam dua kali penyuntikan dengan interval selama 21 hari (3 minggu). </li><li>Vaksin anak akan diberikan dalam dosis sebesar 10 mikrogram, yang diberikan dalam dua kali penyuntikan dengan interval selama 21 hari (3 minggu). Dosis ini adalah sepertiga dari dosis yang diterima oleh remaja dan dewasa. </li></ul>

<h2>Status persetujuan untuk vaksin anak sekolah dasar</h2>Hingga awal Oktober 2021, status vaksin Pfizer untuk kelompok usia 5-11 tahun masih dalam proses untuk mendapatkan Persetujuan Penggunaan Dalam Kondisi Darurat (Emergency Use Authorization-EUA) dari badan pangan dan obat-obatan Amerika Serikat FDA. Permohonan ini disampaikan seiring dengan data uji klinik yang menunjukkan bahwa vaksin COVID yang satu ini aman untuk diberikan pada anak-anak. Selain itu, studi juga memperlihatkan bahwa vaksin ini dapat memberikan respons imun sebaik yang diharapkan. Efek samping yang dialami oleh anak setelah mendapatkan vaksin ini tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh kelompok remaja. Misalnya saja, rasa nyeri pada titik suntikan ataupun nyeri otot, maupun demam. 
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank">Panduan Vaksin Pfizer yang Perlu Anda Tahu</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank"> 
</a>Mari kita berharap vaksin COVID untuk anak kelompok usia ini akan dapat segera disetujui dan didistribusikan hingga di negara kita. Sambil menunggu kabar, ingatkan selalu anak-anak untuk tetap disiplin menaati protokol kesehatan yang telah ditentukan. 
 Sumber:<ul><li>TIME. Diakses pada September 2021. Pfizer Says COVID-19 Vaccine Works in Kids Ages 5 to 11</li><li>	National Public Radio. Diakses pada Oktober 2021.FAQ: What You Need To Know About Pfizer's COVID Vaccine And Adolescents</li><li>	American Academy of Pediatrics. Diakses pada Oktober 2021. Pediatricians can start preparing to vaccinate children against COVID-19</li><li>	American Academy of Pediatrics. Diakses pada Oktober 2021. Pfizer’s COVID-19 vaccine for kids would require different doses, dilution, storage</li><li>	WebMD. Diakses pada Oktober 2021. Pfizer Asks FDA to Authorize COVID Vaccine for Kids 5-11</li></ul>

Menunggu Kepastian, Vaksin COVID Untuk Anak Usia 5-11 Tahun 

Teknologi pembuatan vaksin mRNA juga digunakan dalam penelitian kanker - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika dunia tersentak akibat COVID-19, sejumlah penelitian dan pengembangan di bidang vaksin diupayakan dengan teknologi tercanggih. Tujuannya tak lain dapat mencegah penyebaran virus corona, sehingga pandemi dapat dikendalikan. 
Program vaksinasi COVID-19 mencakup beberapa jenis vaksin. Ada yang terbuat dari virus yang telah dimatikan (inactivated virus) atau dari jenis virus berbeda yang tidak berbahaya (viral vector). Jenis lainnya yang juga kini digunakan untuk mencegah COVID-19 adalah vaksin mRNA, seperti Pfizer dan Moderna. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/kupas-tuntas-berbagai-jenis-vaksin-cara-kerja-dan-pembuatannya-1634183011414" target="_blank">Kupas Tuntas Berbagai Jenis Vaksin, Cara Kerja, dan Pembuatannya</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/kupas-tuntas-berbagai-jenis-vaksin-cara-kerja-dan-pembuatannya-1634183011414" target="_blank"> 
</a><h2>Apa itu vaksin mRNA?</h2>Yang membedakan vaksin mRNA dengan jenis lainnya adalah kandungan vaksinnya. Vaksin jenis lain kebanyakan menggunakan virus yang telah dimatikan atau dilemahkan. Sedangkan, vaksin mRNA berisi materi genetik, yang ketika sudah masuk ke dalam tubuh berubah menjadi messenger RNA atau mRNA. Kemudian, mRNA akan memberi instruksi pada tubuh untuk memproduksi sejenis protein (spike protein). Jenis protein ini ditemukan pada permukaan virus penyebab COVID-19. 
Protein ini akan memicu reaksi kekebalan di dalam tubuh untuk membentuk antibodi. Pasca divaksin, tubuh kita mengenali dan bisa mendeteksi ketika virus corona sesungguhnya masuk, serta melawannya. 
Dua jenis vaksin mRNA yang sudah masuk ke Indonesia dan digunakan dalam program vaksinasi pemerintah adalah vaksin Pfizer dan Moderna. 

<h2>Fakta seputar vaksinasi jenis mRNA</h2>Berikut beberapa fakta penting yang perlu Anda tahu seputar vaksinasi ini: 
<h3>1. Bukan benar-benar vaksin baru</h3>Para peneliti sudah lama memelajari dan menggodok vaksin mRNA ini selama puluhan tahun. Ketertarikan untuk mengembangkan vaksin ini didasarkan pertimbangan bahwa vaksin ini bisa dikembangkan di laboratorium menggunakan material yang sudah jadi. Dengan demikian prosesnya bisa lebih cepat daripada metode pembuatan vaksin konvensional. 
Studi seputar vaksinasi berbasis mRNA yang sudah dilakukan meliputi virus flu, Zika, rabies, dan cytomegalovirus (CMV). Selain itu, teknologi mRNA digunakan dalam penelitian seputar kanker. Begitu informasi seputar virus penyebab COVID-19 tersedia, para ahli pun mulai mendesain vaksin mRNA khusus untuk virus corona. 
<h3>2. Tidak akan mengubah DNA dalam tubuh manusia</h3>Menerima vaksin Pfizer atau Moderna tidak akan mengubah DNA Anda. Itu adalah mitos. Faktanya, seperti dilansir di Centers for Disease Control and Prevention (CDC), cara kerja vaksin adalah dengan memberi instruksi kepada sel untuk membuat protein. Jadi, bukannya masuk ke dalam sel DNA. 
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/10-langkah-daftar-vaksinasi-covid-19-di-alteacare-1634530564661" target="_blank">10 Langkah Daftar Vaksinasi COVID-19 di AlteaCare 
</a>Dr. Katherine O'Brien, Direktur WHO dari Department of Immunization, Vaccines and Biologicals memberi penjelasan lengkap dalam video “Science in 5” di situs <a href="https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/media-resources/science-in-5/episode-24---vaccine-myths-vs-science" target="_blank">WHO</a>. Kebanyakan vaksin dikembangkan dengan cara memasukkan protein atau komponen kecil dari virus, bakteri, atau kuman tertentu. Sedangkan dalam pendekatan vaksin mRNA, alih-alih memasukkan bagian kecil protein, tubuh kita justru diinstruksikan untuk membuat sendiri bagian kecil protein itu. 
Sistem imunitas akan mengenali dan merespons protein ini, lalu memiliki kekebalan terhadap penyakit. Setelah itu sel-sel kita akan menghancurkan dan menyingkirkan komponen mRNA. 
<h3>3. Menimbulkan penolakan akibat salah satu efek sampingnya</h3>Banyak orang ragu memilih vaksin Pfizer atau Moderna karena mendengar berita seputar efek sampingnya, yaitu miokarditis dan perikarditis. Miokarditis adalah peradangan pada otot jantung, sementara perikarditis adalah peradangan pada dinding luar jantung. 
Sebuah studi melaporkan peningkatan risiko anak laki-laki sehat berusia 12-15 tahun mengalami miokarditis setelah menerima vaksin Pfizer dosis kedua. Studi ini menuai kritik karena dianggap mengambil data dari sumber yang tidak layak demi memberikan pesan antivaksin, demikian dilansir di jurnal BMJ. 
Sementara menurut CDC vaksin mRNA, seperti Pfizer dan Moderna, dapat berkaitan dengan gangguan miokarditis dan perikarditis pada remaja laki-laki. Namun, sebenarnya efek samping tersebut sangat langka dan bila sampai terjadi pun dalam derajat ringan. 
<h3>4. Manfaat vaksin lebih besar daripada risiko efek sampingnya</h3>Terlepas dari efek samping yang diberitakan, manfaat vaksinasi dengan teknologi terbaru ini sangat besar dalam menekan penyebaran virus corona. <ul><li>Bila dibandingkan jenis vaksin lain yang mengandung virus hidup maupun yang telah dilemahkan, mRNA sifatnya non-infeksius. </li><li>Vaksin mRNA juga aman dari kemungkinan kontaminasi agen beracun, tidak seperti vaksin berisi virus yang dimatikan, yang diproses menggunakan zat kimia dan kultur sel. </li><li>Teknologi terkini telah memodifikasi molekul mRNA sehingga lebih stabil, sehingga dapat bekerja dengan lebih efisien. Jumlah spike protein yang diproduksi juga meningkat, sehingga respons imun yang dihasilkan jauh lebih efektif.</li></ul>Bila Anda termasuk yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19, termasuk vaksin Pfizer atau Moderna, segera daftarkan diri melalui AlteaCare. Tentukan lokasi vaksinasi sesuai yang diinginkan, kemudian isi bagian skrining. Lalu, datanglah pada hari yang ditentukan. 
Ayo, segera download AlteaCare sekarang di <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">ponsel </a>Anda! 

 Sumber: <ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada September 2021. Understanding mRNA COVID-19 Vaccines </li><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. Science in 5: Episode #24 - Vaccine myths vs science </li><li> Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Oktober 2021. Myocarditis and Pericarditis After mRNA COVID-19 Vaccination </li><li>The BMJ. Diakses pada Oktober 2021. Covid-19: Study that claimed boys are at increased risk of myocarditis after vaccination is deeply flawed, say critics </li><li>Vanderbilt Institute for Infection, Immunology and Inflammation. Diakses pada Oktober 2021. How does a mRNA vaccine compare to a traditional vaccine?</li></ul>

4 Fakta Tentang Jenis Vaksin mRNA Untuk Cegah COVID-19

Daftar vaksinasi lewat AlteaCare lebih efektif dan mudah - AlteaCare | Foto; Envato

Apakah Anda sudah mendapatkan vaksin COVID-19? Jika belum, Anda bisa mendaftar melalui AlteaCare.Pendaftaran melalui AlteaCare dapat jadi pilihan yang mudah dan cepat, serta menghemat waktu Anda. Anda bisa pilih sendiri tanggal vaksinasi sesuai dengan yang diinginkan. Program vaksinasi ini diselenggarakan bekerja sama dengan jaringan Rumah Sakit Mitra Keluarga, sehingga Anda tinggal pilih rumah sakit terdekat dari lokasi tempat tinggal.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/7-alasan-untuk-gunakan-alteacare-1632729704623" target="_blank">7 Alasan Untuk Gunakan AlteaCare</a> 
<h2>Bagaimana cara mendaftar vaksinasi di AlteaCare?</h2>Ada dua cara yang bisa Anda lakukan untuk mendaftar vaksinasi, yaitu melalui aplikasi AlteaCare di ponsel Anda dan melalui situs web AlteaCare. 
<h3>Cara mendaftar melalui fitur Vaksinasi di aplikasi AlteaCare:</h3>1. Buka aplikasi AlteaCare kemudian login dengan e-mail yang telah Anda daftarkan. 
2. Pilih tulisan “daftar sekarang” pada banner Vaksinasi Untuk Umum (12+). 3. Klik pilihan “Tambah Daftar Pasien”. 4. Pilih jalur vaksinasi antara dua opsi yang tersedia: <ul><li>Vaksinasi Perusahaan&nbsp;ditujukan bagi karyawan perusahaan yang telah bekerja sama dengan AlteaCare. Untuk menggunakan jalur ini, Anda tinggal&nbsp;masukkan passcode yang telah diberikan</li><li>Vaksinasi umum adalah program vaksinasi yang bisa didapatkan oleh masyarakat umum. Anda bisa pilih yang ini dengan mengeklik “Pilih Lokasi”</li></ul>5. Tentukan rumah sakit yang Anda inginkan, lalu baca informasi seputar program vaksinasi yang sedang berjalan di rumah sakit tersebut, terutama catatan seputar jenis vaksin yang diberikan dan dokumen yang perlu disiapkan. Klik “Pilih” untuk lanjut ke halaman berikutnya. 6. Di halaman selanjutnya, pilih program vaksinasi sesuai kebutuhan, kemudian isi data pasien dengan lengkap dan benar. Unggah dokumen-dokumen yang dibutuhkan, lalu klik “Simpan, Lanjutkan”. 7. Pada halaman selanjutnya akan terlihat detail data terkait pendaftaran vaksinasi. Periksa kembali informasi yang Anda berikan. 8. Isi kuesioner skrining vaksin sesuai kondisi kesehatan yang sebenarnya. Bila memenuhi syarat untuk menerima vaksin, lanjutkan klik “Lanjutkan, Pilih Jadwal”. 
9. Pilih tanggal dan jam vaksinasi yang diinginkan, lalu tandai semua kotak yang tersedia dan klik “Konfirmasi”. 10. Terakhir, Anda bisa klik untuk “Lihat Status Pendaftaran”. Nah, Anda kini sudah terdaftar untuk vaksinasi COVID-19. Pastikan Anda datang sesuai hari yang ditentukan dan tepat waktu. Tunjukkan histori pendaftaran vaksinasi yang terdapat di aplikasi kepada petugas. Jangan lupa, pada hari vaksinasi Anda perlu membawa beberapa dokumen penunjang yang diperlukan, seperti KTP atau surat domisili, serta surat keterangan dari dokter apabila diperlukan. Pendaftaran juga bisa dilakukan di situs web dengan mekanisme yang sama. Silakan kunjungi situs AlteaCare, lalu pilih menu “Vaksin COVID-19” di bagian atas. Anda akan diminta untuk login menggunakan e-mail yang telah didaftarkan sebelumnya. Bila terjadi kendala saat pendaftaran, segera hubungi Layanan Pelanggan AlteaCare melalui Whatsapp di 0811-1913-9235 / 0811-1913-9245 atau melalui e-mail di cs@alteacare.com.

10 Langkah Daftar Vaksinasi COVID-19 di AlteaCare

Tahap uji klinik vaksin Zifivax melibatkan responden dari Indonesia - AlteaCare | Foto: Envato

Hingga kini, kondisi pandemi yang selalu berubah-ubah dan munculnya berbagai varian virus baru. Kekebalan kelompok atau herd immunity menjadi kebutuhan mendesak dan bisa dipenuhi salah satunya melalui program vaksinasi.Zifivax adalah vaksin yang dikembangkan dan diproduksi oleh Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical, China, yang termasuk jenis vaksin sub-unit. Vaksin ini dibuat dari bagian sangat spesifik dari virus (disebut juga sub-unit).Di Indonesia, Zifivax telah mengantungi izin penggunaan darurat&nbsp;– EUA) dari Badan POM dan siap didistribusikan ke masyarakat. <h2>5 Fakta seputar vaksin Zifivax yang perlu diketahui</h2>Apa yang membedakan Zifivax dengan vaksin COVID lainnya? Yuk telusuri seluk-beluk jenis vaksin di Indonesia yang satu ini!<h3>1. Zifivax termasuk jenis vaksin sub-unit</h3>Zifivax adalah vaksin COVID yang dibuat dengan menggunakan pendekatan platform rekombinan protein sub-unit. Seperti diungkap para peneliti vaksin ini di jurnal The Lancet Infectious Disease, antigen yang digunakan dalam vaksin Zifivax berasal dari protein sub-unit yang diambil dari spike protein virus SARS-CoV-2, tepatnya protein bentuk dimer dari receptor-binding domain (RBD). 
Sebelum diproduksi secara massal sebagai vaksin COVID-19, Zifivax telah melalui beberapa tahap uji klinik, antara lain untuk memeriksa aspek keamanan, imunogenitas, serta efikasi atau khasiatnya. Uji klinik tahap ke-3 dilakukan dengan merekrut 28,500 peserta dari berbagai negara, yaitu China, Uzbekistan, Indonesia, Pakistan, dan Ekuador. <a href="https://alteacare.com/article-detail/kupas-tuntas-berbagai-jenis-vaksin-cara-kerja-dan-pembuatannya-1634183011414" target="_blank">Baca juga: Kupas Tuntas Berbagai Jenis Vaksin</a> 
<h3>2. Dosis Zifivax diberikan sebanyak 3 kali</h3>Dalam siaran persnya awal Oktober 2021 lalu, <a href="https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/624/Badan-POM-Terbitkan-EUA-untuk-Vaksin-Zifivax-sebagai-Jenis-Vaksin-COVID-19-Kesepuluh-di-Indonesia.html" target="_blank">Badan POM </a>merekomendasikan vaksin Zifivax digunakan dalam program vaksinasi untuk pencegahan COVID-19 pada orang berusia 18 tahun ke atas. 
Zifivax diberikan sebanyak 3 (tiga) dosis melalui suntikan intramuskular, dengan interval antara penyuntikan dosis selama satu bulan. Untuk setiap suntikan, dosis yang diberikan adalah 25 mcg (0,5 mL). 
Menurut peneliti, vaksin Zifivax berpotensi efektif dalam melawan COVID-19. Selain itu, pemberian tiga dosis Zifivax dapat meningkatkan respons antibodi terhadap virus corona yang lebih signifikan. Hal ini didapati dalam penelitian dan jika dibandingkan dengan pemberian dua dosis untuk vaksin yang sama. 
<h3>3. Efek samping dan KIPI relatif ringan </h3>Hasil uji klinik yang dilakukan memperlihatkan, pemberian vaksin Zifivax sebagai vaksin COVID secara umum dapat ditoleransi dengan baik. 
Efek samping dan keluhan lainnya yang paling sering terjadi adalah:<ul style="list-style-type: disc;"><li>
Rasa nyeri, kemerahan, dan bengkak pada tempat suntikan</li><li>Sakit kepala</li><li>Kelelahan</li><li>Demam</li><li>Nyeri otot (myalgia)</li><li>Batuk</li><li>Mual</li><li>Diare dengan tingkat keparahan level 1 dan 2</li></ul>

Penelitian dalam jurnal The Lancet Infectious Disease memaparkan perbandingan efek samping dan KIPI pada vaksin Zifivax dan jenis vaksin lainnya. Pertama, dibandingkan dengan vaksin mRNA atau vaksin viral vector, kejadian demam dan kelelahan yang dialami penerima vaksin Zifivax relatif lebih rendah.Kedua, dibandingkan jenis vaksin protein sub-unit lainnya, yaitu Novavax yang menggunakan Matrix-M1 sebagai adjuvan (komponen atau zat yang ditambahkan ke vaksin untuk membantu meningkatkan kemampuan atau imunogenisitas dari antigen atau vaksin), keluhan yang dirasakan relatif lebih rendah. Antara lain keluhan rasa nyeri pada lokasi suntikan, kelelahan, sakit kepala, dan mual. 
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau respons tubuh terhadap vaksin pada setiap orang dapat berbeda-beda. Umumnya KIPI yang dilaporkan untuk vaksin Zifivax tergolong ringan atau sedang dan hilang sekitar 3-4 hari setelah vaksinasi.<h3>4. Memiliki efikasi yang baik terhadap sejumlah varian virus corona</h3>Izin penggunaan darurat diterbitkan oleh Badan POM setelah melalui pengkajian secara intensif bersama Tim Komite Nasional Penilai Khusus Vaksin COVID-19 dan ITAGI (Indonesia Technical Advisory Group on Immunization). Pengkajian ini berkaitan dengan aspek keamanan, efikasi, dan mutu vaksin. 
Mengutip dari Badan POM RI, hasil pengkajian efikasi, data interim uji klinik fase 3 menunjukkan efikasi yang baik dari vaksin Zifivax. Hal ini termasuk terhadap virus SARS CoV-2 varian Alfa (92,93%), Gamma (100%), Delta (77,47%), dan Kappa (90,0%). 
Efikasi atau khasiat vaksin mencapai 81,71%, dihitung mulai 7 hari setelah mendapatkan vaksinasi lengkap. Atau, mencapai 81,4% bila dihitung mulai 14 hari setelah mendapatkan vaksinasi lengkap. 
Secara umum, efikasi vaksin Zifivax untuk populasi Indonesia adalah 79,88%. Sementara bila dilihat dari kelompok usia, efikasi vaksin pada kelompok dewasa usia 18-59 tahun adalah 81,51%, sementara pada kelompok lansia berusia 60 tahun ke atas sebesar 87,58%. 
<h3>5. Belum dapat digunakan sebagai vaksin booster</h3>Hingga saat ini, vaksin Zifivax belum diindikasikan untuk penggunaan booster. Apabila akan digunakan sebagai vaksin booster pun, Zifivax harus melalui tahapan uji klinik booster. 
Untuk sampai ke tahap tersebut, perlu didapatkan terlebih dulu data respons imun persisten dari uji klinik primer terhadap vaksin tersebut. Suatu vaksin baru dapat digunakan untuk booster apabila telah mendapat persetujuan Badan POM. 
Nah, setelah membaca penjelasan lengkap seputar Zifivax, jenis vaksin COVID ke-10 dari sederetan vaksin di Indonesia, semoga Anda semakin mantap untuk melakukan vaksinasi.Jika Anda hingga hari ini belum mendapat vaksin COVID-19 karena terkendala gangguan kesehatan tertentu, cobalah berkonsultasi dengan dokter. Sesi telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare dapat memberikan Anda solusi jenis vaksin yang sesuai dengan kondisi kesehatan Anda. Selain itu, Anda juga bisa daftar vaksinasi melalui AlteaCare.Segera download dan daftar, lalu jadwalkan tele&nbsp;konsultasi dengan dokter pilihan Anda!Sumber:<ul style="list-style-type: disc;"><li>WHO. Diakses pada Oktober 2021. The different types of COVID-19 vaccines</li><li>
Badan POM. Diakses pada Oktober 2021. Badan POM Terbitkan EUA untuk Vaksin Zifivax sebagai Jenis Vaksin COVID-19 Kesepuluh di Indonesia</li><li>
Reuters. Diakses pada Oktober 2021. China's Zhifei says unit's COVID shot shows 81.76% efficacy in late-stage trial</li><li>
The Lancet Infectious Disease. Diakses pada Oktober 2021. Safety and immunogenicity of a recombinant tandem-repeat dimeric RBD-based protein subunit vaccine (ZF2001) against COVID-19 in adults</li></ul>

Yuk, Selisik Zifivax, Jenis Vaksin COVID ke-10 di Indonesia 

Vaksinasi memungkinkan kita mendapatkan kekebalan tubuh tanpa perlu jatuh sakit - AlteaCare | Foto: Envato

Sejak pertama hadir pada akhir abad 18, vaksin adalah salah satu sarana yang membantu mencegah penularan banyak penyakit serta menyelamatkan banyak jiwa. Program vaksinasi yang diselenggarakan secara luas di seluruh dunia pun berhasil menekan penyebaran banyak penyakit menular berbahaya.Ambil contoh wabah cacar (smallpox) yang telah berhasil diberantas sepenuhnya di seluruh dunia. Atau, gangguan polio, campak, cacar air (chickenpox), dan penyakit khas anak lainnya yang berhasil dikurangi secara signifikan dengan beberapa jenis vaksin.Cara kerja vaksin berhubungan erat dengan apa yang terjadi pada sistem imunitas kita, terutama saat melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. <h2>Seperti apa sistem imunitas tubuh bekerja?</h2>Setiap hari, tubuh tidak pernah lepas dari paparan benda asing, seperti patogen atau organisme yang dapat menimbulkan penyakit, baik itu bakteri, virus, jamur, atau parasit. Tubuh punya sistem untuk melindungi dirinya dari patogen yang masuk, yang disebut sistem imunitas. Sementara reaksi yang diberikan sistem imunitas ketika ada patogen yang masuk disebut respons imun.Sebagai gambaran mudah, cara kerja sistem imunitas dapat diibaratkan seperti sistem pertahanan suatu wilayah ketika berperang:<ul><li>Saat “musuh” bernama patogen masuk ke tubuh, sistem imunitas mengidentifikasi dan menyiapkan “tentara” yang disebut antibodi. Sementara itu, bagian kecil patogen menghasilkan “tentara musuh”, yang disebut antigen. </li><li>Ketika terjadi “perang” antara antibodi melawan antigen, seseorang jadi rentan terhadap penyakit. </li><li>“Tentara” antibodi terus berusaha melawan dan menghancurkan “tentara musuh” antigen. Setelah berhasil, antibodi memproduksi “sel memori” yang akan mengingat jenis patogen yang sudah dikalahkan, juga jenis patogen lain yang mirip.</li><li>Saat itu, kondisi kesehatan seseorang akan pulih dan kekebalan tubuhnya terbentuk. Jika suatu hari patogen yang sama atau mirip menyerang lagi, sistem imunitas bisa bekerja dengan lebih cepat dan efektif untuk melawannya. </li></ul>





Selain dengan melawan paparan patogen yang masuk ke dalam tubuh, ada cara lain untuk mendapatkan kekebalan tubuh. Vaksin adalah cara kedua untuk mendapatkan kekebalan tubuh menyerupai infeksi secara alami, namun dengan komplikasi yang lebih kecil.<h2>Cara kerja vaksin 
</h2>Vaksinasi bekerja dengan cara merangsang sistem imunitas tubuh untuk membuat antibodi. Antibodi ini akan melawan antigen yang dimasukkan ke dalam tubuh kita melalui vaksin. Kandungan antigen yang terdapat dalam vaksin adalah bagian organisme yang telah dilemahkan atau dimatikan, namun masih dapat memicu respons imun dalam tubuh kita. Sementara itu jenis vaksin yang lebih baru mengandung cetak biru yang memproduksi antigen ketimbang berisi antigen itu sendiri. Semua vaksin ini akan merangsang sistem imun untuk memberi respons imun seperti ketika melawan patogen yang sesungguhnya.Sejumlah vaksin perlu diberikan dalam beberapa dosis dengan interval beberapa minggu atau beberapa bulan. Interval ini memberi waktu bagi tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan antigen dan memproduksi sel memori. Setelahnya, tubuh akan terlatih melawan patogen penyebab penyakit tertentu dan siap melawan dengan cepat saat patogen tersebut menyerang.<h2>Jenis vaksin yang sudah digunakan di seluruh dunia</h2>Penelitian dan pengembangan vaksin mengalami kemajuan yang besar. Berbagai jenis vaksin kini telah tersedia di pasaran, begitu juga dengan vaksin di Indonesia. <h3>1. Vaksin dari mikroba utuh</h3>Ada tiga tipe vaksin yang dibuat dari mikroba utuh:<ul><li>
Vaksin dari virus, bakteri, atau jenis lainnya yang telah dimatikan. Jenis vaksin ini dikembangkan secara khusus di laboratorium agar aman saat digunakan. Teknologi ini telah digunakan dalam membuat vaksin flu dan polio.</li><li>Vaksin dari virus atau jenis lain yang telah dilemahkan. Teknologi yang digunakan sama seperti jenis sebelumnya dan contohnya adalah vaksin MMR (untuk campak, gondongan, dan rubella), vaksin cacar air, dan vaksin herpes zooster. Vaksinasi ini mungkin kurang cocok untuk orang yang memiliki gangguan imun.</li><li>Vaksin viral vector atau menggunakan virus hidup. Virus yang digunakan dalam vaksin adalah virus yang aman, untuk memasukkan sub bagian virus yang disebut protein. Virus ini kemudian menjadi vector yang akan membawa protein ke dalam tubuh, sehingga bisa memicu respons imun tanpa membuat seseorang sakit. Contoh vaksin viral vector adalah vaksin Ebola.</li></ul><h3>2. Vaksin sub-unit</h3>Vaksin sub-unit dibuat dari bagian yang sangat spesifik dari suatu virus atau bakteri (disebut juga sub-unit) yang perlu dikenali oleh sistem imun tubuh. Sub-unit ini bukan merupakan mikroba utuh ataupun virus aman seperti pada vaksin viral vector, namun berupa protein atau gula. Kebanyakan vaksin untuk anak-anak adalah vaksin sub-unit. Contohnya adalah vaksin untuk pertusis, tetanus, difteri, dan meningitis. Beberapa vaksin COVID-19 juga merupakan vaksin sub-unit. <h3> 

3. Vaksin nucleic acid atau vaksin DNA</h3>Vaksin ini berbeda dengan jenis vaksin sebelumnya. Penggunaan DNA dan RNA pada vaksin adalah untuk memberi instruksi pada sel tubuh agar memproduksi protein. Dalam sel-sel kita, DNA akan berubah menjadi messenger RNA atau mRNA, yang kemudian digunakan sebagai cetak biru untuk membuat protein secara spesifik. Sistem imun kemudian akan mengenali dan merespons protein ini.Jenis vaksin mRNA adalah jenis baru, yang di masa pandemi COVID-19 kemudian dikembangkan menjadi salah satu vaksin untuk mencegah virus corona. Demikianlah berapa jenis vaksin di Indonesia dan juga di dunia. Sejumlah besar vaksin diberikan sejak masa anak-anak dan telah menjadi bagian dari program imunisasi wajib. Bila anak Anda termasuk kategori usia untuk mendapatkan imunisasi wajib, manfaatkan kemudahan vaksinasi drive thru lewat AlteaCare.&nbsp;Fasilitas ini memungkinkan si Kecil mendapatkan vaksin yang diperlukan tanpa perlu menunggu terlalu lama di rumah sakit. Cukup buat janji telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare, lalu jadwalkan imunisasi. Pada hari-H, imunisasi akan diberikan secara aman dan nyaman di kendaraan.Mudah, bukan? Yuk, segera unduh AlteaCare di ponsel Anda! 

Sumber:<ul><li>Nature Reviews Drug Discovery. Diakses pada Oktober 2021. mRNA vaccines — a new era in vaccinology</li><li>
WHO. Diakses pada Oktober 2021. The different types of COVID-19 vaccines</li><li>
WHO. Diakses pada Oktober 2021. Dasar-dasar Keamanan Vaksin-Modul 1: Introduksi Keamanan Vaksin</li><li>
WHO. Diakses pada Oktober 2021. How do vaccines work?</li></ul>

Kupas Tuntas Berbagai Jenis Vaksin, Cara Kerja, dan Pembuatannya

Sebagai aplikasi telemedisin, AlteaCare memudahkan pengguna mendapat layanan kesehatan - AlteaCare

Perkembangan teknologi yang pesat membuat segalanya mudah didapat. Tak hanya urusan mencari tempat makan terbaru atau destinasi liburan yang seru, urusan kesehatan pun bisa segera didapat tanpa buang waktu.
Kondisi pandemi membuat kebutuhan akan fasilitas kesehatan dan layanan rumah sakit makin meningkat. Di satu sisi mobilitas jadi terbatas, di sisi lain keluhan kesehatan yang dialami butuh penanganan yang cepat dan tuntas. 
Kehadiran AlteaCare sebagai aplikasi telemedicine memberikan solusi yang lengkap untuk menjaga kesehatan Anda. Sebagai aplikasi telemedicine, AlteaCare memudahkan Anda mendapat berbagai layanan kesehatan dari satu sumber.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/7-alasan-untuk-gunakan-alteacare-1632729704623" target="_blank">7 Alasan Untuk Gunakan AlteaCare</a>
Mulai dari telekonsultasi klinis dengan dokter spesialis berpengalaman, pembelian obat, hingga pemesanan layanan laboratorium dan tes diagnosis. Semua bisa diakses secara daring di ponsel Anda. 


Peluncuran resmi AlteaCare secara virtual pada Selasa, 21 September 2021 lalu mendapat dukungan positif dari Kementerian Kesehatan RI. 
<h4 style="text-align: center;">"Inovasi berupa ekosistem digital yang diberikan oleh AlteaCare diharapkan dapat memberi kemudahan akses bagi masyarakat, berupa layanan pasien secara virtual," ujar dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D., Wakil Menteri Kesehatan Indonesia, yang hadir dalam acara virtual press conference tersebut.</h4>
Menggunakan AlteaCare, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter secara virtual, sehingga tidak perlu keluar rumah. Rasa aman dan nyaman saat menggunakan layanan kesehatan menjadi misi utama AlteaCare. 
<h4 style="text-align: center;">"Konsultasi melalui panggilan video menjadi salah satu fitur utama AlteaCare, agar sesi konsultasi efektif dan maksimal. Dokter spesialis dapat melihat langsung kondisi Anda. Lalu, memberi informasi dan edukasi seputar diagnosis, evaluasi, hingga pencegahan dan pengobatan penyakit," jelas Mikaela Oen, Chief Executive Officer AlteaCare.</h4>
Anda tidak perlu repot soal membeli obat, karena AlteaCare juga menjamin ketersediaan obat. Resep dari dokter dapat dibeli di rumah sakit terdekat dan diantarkan langsung ke rumah. 
Hal ini dimungkinkan karena AlteaCare didukung mitranya, yaitu Rumah Sakit Mitra Keluarga, yang merupakan salah satu jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia. Sejumlah fitur lainnya akan dikembangkan oleh AlteaCare agar dapat memberikan layanan kesehatan virtual yang lebih komprehensif lagi untuk masyarakat Indonesia. 
Bagi Anda yang butuh layanan vaksinasi, AlteaCare juga menawarkan fitur pendaftaran vaksinasi. Mulai dari vaksinasi COVID-19, hingga vaksinasi lain untuk anak dan dewasa.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/7-alasan-untuk-gunakan-alteacare-1632729704623" target="_blank">7 Alasan Untuk Gunakan AlteaCare</a>
Dengan AlteaCare, konsultasi dari rumah saja bisa begitu lengkap dan mudah. Penasaran? Segera download AlteaCare di ponsel Anda melalui<a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank"> Google Playstore</a> atau <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>!
Kenali lebih dekat aplikasi AlteaCare lewat video di bawah ini.&nbsp;
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/ckg53npx5hY?start=9" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;"> </iframe> Di update pada: 11/10/2021

Jaga Kesehatan Makin Mudah Bersama AlteaCare

Dengan telekonsultasi, Anda bisa dapat solusi kesehatan tanpa harus keluar rumah - AlteaCare

Bila dulu saat sakit Anda harus menempuh perjalanan ke dokter, klinik, atau rumah sakit, kini tidak lagi. Semua layanan ala rumah sakit bisa Anda dapat hanya lewat satu aplikasi canggih: AlteaCare. 
AlteaCare hadir sebagai aplikasi telemedisin yang terintegrasi, sehingga Anda bisa dapatkan layanan kesehatan secara lengkap. Apa saja kelebihan yang bisa jadi alasan buat Anda untuk menggunakan layanan telemedisin AlteaCare? Simak saja di bawah ini!
<h2>1. Telekonsultasi dengan dokter spesialis berpengalaman</h2>
AlteaCare menggandeng salah satu jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia, yaitu Rumah Sakit Mitra Keluarga, sebagai mitra pertamanya. 
Dengan begitu, masalah kualitas dan pengalaman dokter tidak perlu diragukan lagi. Anda tinggal pilih salah satu di antara banyaknya dokter spesialis yang sudah bergabung di AlteaCare.
Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/jaga-kesehatan-makin-mudah-bersama-alteacare-1632716385604" target="_blank">Jaga Kesehatan Makin Mudah Bersama AlteaCare</a>
<h2>2. Fitur konsultasi yang user-friendly</h2>
Sering segan melakukan telekonsultasi karena capek harus mengetik di layar chat? Dengan AlteaCare, telekonsultasi virtual dilakukan melalui video. 
Jadi, Anda dapat langsung bicara dengan dokter dan sampaikan keluhan yang dirasakan. Dokter pun bisa lebih cermat mengamati kondisi Anda, sehingga mempermudah dalam memberi informasi dan edukasi seputar diagnosis, evaluasi, hingga pencegahan dan pengobatan penyakit Anda.
<h2>3. Tidak perlu takut "salah kamar"</h2>
Tidak yakin mau konsultasi dengan dokter spesialis bidang apa? Tenang, ada medical advisor yang siap membantu. 
Di tahap awal konsultasi, Anda bisa terlebih dulu menyampaikan keluhan yang dirasakan pada para dokter umum yang tergabung dalam tim Medical Advisor AlteaCare. 
Berdasarkan gejala yang dialami, Anda akan dirujuk untuk melakukan konsultasi dengan dokter spesialis yang tepat. Sesi konsultasi juga akan efektif karena dokter spesialis sudah lebih dulu mempelajari keluhan Anda.
 <img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1632729307162-Medical%20Advisor-%20AlteaCare.jpeg" title="Medical Advisor - AlteaCare" alt="Medical Advisor - AlteaCare" style="width: 800px; height: 500px; display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;">
<h2>4. Layanan penunjang yang lengkap</h2>
Butuh obat? Tidak perlu repot cari apotek karena AlteaCare juga menjamin ketersediaan obat untuk para penggunanya. Anda bisa beli obat langsung dari rumah sakit terdekat melalui AlteaCare, lalu obat akan diantar langsung ke rumah. 
Begitu juga jika dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium dan tes diagnosis lainnya. Anda bisa memesan layanan ini melalui AlteaCare, lalu tinggal datang sesuai jadwal yang ditentukan di rumah sakit yang telah dipilih. Semua bisa diakses lewat satu aplikasi.
<h2>5. Pembayaran yang fleksibel</h2>
Pembayaran untuk seluruh layanan AlteaCare, baik telekonsultasi, obat, hingga laboratorium dan tes diagnosis, bisa dilakukan dengan mudah. Ada berbagai pilihan yang tersedia, mulai dari virtual account, GoPay, hingga kartu kredit. 
<h2>6. Mau daftar vaksin? Bisa juga!</h2>
AlteaCare menawarkan fitur pendaftaran vaksinasi, baik vaksinasi COVID-19 maupun vaksinasi lainnya untuk anak dan dewasa. 
<a href="https://alteacare.com/article-detail/mengenal-vaksin-sinovac-lebih-dekat-1632186029093" target="_blank">Untuk vaksinasi COVID-19</a>, Anda bisa memilih lokasi terdekat yang tersedia, lalu mengisi pertanyaan di bagian skrining. Pada hari H, Anda cukup pastikan kondisi fit untuk divaksin dan datang sesuai jadwal.
Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank">&nbsp;</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-vaksin-pfizer-yang-perlu-anda-tahu-1630834859078" target="_blank">Panduan Vaksin Pfizer yang Perlu Anda Tahu</a>
<h2>7. Terbuka juga untuk pengguna asuransi</h2>
Untuk memberikan layanan terpadu, ke depannya AlteaCare akan bekerjasama dengan pihak asuransi dan perusahaan. Dengan begitu, Anda bisa menggunakan asuransi saat berobat melalui AlteaCare.
Setelah menyimak 7 alasan di atas, semakin yakin 'kan, untuk menggunakan AlteaCare? Dengan AlteaCare, konsultasi dari rumah saja jadi lebih praktis dan efektif.
Yuk, segera download AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google playstore </a>dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a> dari ponsel Anda!
<iframe width="560px" height="315px" src="https://www.youtube.com/embed/ckg53npx5hY?start=9" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;"> </iframe>
 Di update pada: 11/10/2021

7 Alasan Untuk Gunakan AlteaCare

Long COVID biasanya dialami oleh para penyintas COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Meski sudah dinyatakan sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa, tidak sedikit penyintas yang masih mengalami beberapa keluhan di masa pasca COVID-19. Seperti batuk-batuk, <a href="https://alteacare.com/article-detail/belum-tentu-covid-19-inilah-5-penyebab-sesak-napas-anda-1632709193424" target="_blank">sesak napas</a>, atau sering merasa mudah lelah. Bahkan, sebagian masih kesulitan untuk melakukan kegiatan ringan seperti membersihkan rumah. 

 

Lho, katanya sudah sembuh, tapi kok badan masih tidak enak rasanya? Pertanyaan ini mungkin terlintas di pikiran. Bila setelah mengalami gangguan kesehatan yang berat kita akan menjalani masa pemulihan, keluhan yang dialami pasca COVID-19 ini mungkin bisa dianggap sebagai bagian dari proses kesembuhan. 

 

Tapi, menurut para ahli, yang Anda alami itu sebenarnya bukanlah bagian dari pemulihan, melainkan gejala yang berkelanjutan. Artinya, setelah mengalami fase akut akibat paparan virus corona, sebagian gejala masih menetap di tubuh kita dalam jangka panjang. Inilah yang kemudian diberi nama “long Covid”. 

 

Sebenarnya, fenomena seperti ini bukan hal baru. Ini juga terjadi ketika infeksi SARS (severe acute respiratory syndrome) pertama kali muncul di Hong Kong pada 2002. Infeksi ini juga disebabkan oleh virus corona (SAR-CoV), yang masih satu keluarga dengan virus corona penyebab COVID-19. Pasca dua tahun setelah terkena SARS, sebagian penyintasnya masih mengalami gangguan pada fungsi paru-parunya. 

 

Masalahnya, jumlah orang yang terdiagnosis SARS di seluruh dunia saat itu hanyalah 8.096 orang. Bagaimana dengan pandemi COVID-19 dengan jumlah kasus aktif sudah mencapai ratusan juta orang di seluruh dunia? Seperti apa kondisi long covid yang dialami sebagian besar penyintas? Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/terapi-plasma-konvalesen-untuk-obati-covid-19-efektifkah-1632710502667" target="_blank">Terapi Plasma Konvalesen untuk Obati COVID-19, Efektifkah?</a><h2>Siapa yang bisa alami long covid? </h2>Gejala sisa setelah terkena COVID-19 dapat dialami oleh para penyintas yang bergejala sedang hingga berat, yang sempat menghabiskan waktu lama di unit perawatan intensif atau rumah sakit. 

 

Bagi yang bergejala berat, pemulihan pasca sakit mungkin wajar karena tubuh butuh waktu untuk kembali ke kondisi seperti sedia kala. Setelah mengalami infeksi paru yang berat akibat virus corona, dalam masa pasca infeksi akan terbentuk jaringan ikat paru atau fibrosis. Ini bisa menyebabkan fungsi paru menurun. 

 

Yang menarik, ternyata long covid juga bisa dialami kelompok lainnya. Seperti dilansir di JAMA Network, kebanyakan penyintas COVID adalah mereka yang memiliki gejala ringan dan menjalani isolasi mandiri di rumah. 

 

Karena perjalanan pandemi masih panjang, para ahli belum dapat menarik banyak kesimpulan dari data-data penelitian yang sudah dikumpulkan. Namun, hingga saat ini sebagian besar orang yang mengalami long covid berusia di bawah 50 tahun dan kebanyakan perempuan. Kelompok orang yang mengalami long covid ini juga banyak yang awalnya mengalami gangguan dengan gejala ringan. <h2>Kenapa bisa ada long covid? </h2>Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan kenapa long covid bisa terjadi pasca paparan virus corona. Para ahli menduga, paparan COVID-19 dapat berdampak langsung pada organ tubuh, tapi sekaligus meningkatkan sejumlah respons yang abnormal. 

 

Respons ini bisa berupa respons terhadap kondisi imun maupun kondisi peradangan yang berlangsung di tubuh. Caranya bisa dengan meningkatkan kekentalan darah atau dengan melepaskan zat-zat untuk mengatasi peradangan. 

 

Sementara teori lainnya menyebutkan, long covid adalah kondisi yang terjadi ketika infeksi COVID-19 memicu terjadinya sindrom kelelahan kronis. Sindrom ini ini terjadi pasca paparan virus dan dampaknya dialami dalam kurun waktu yang cukup lama. <h2>Apa saja keluhan umum saat alami long covid? </h2>Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, 5-20% orang yang terkena COVID-19 dapat mengalami gejala yang bertahan hingga lebih dari empat minggu. 

 

Keluhan pasca COVID dapat sangat bervariasi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: <ul><li>

Kelelahan </li><li>

Mudah lupa </li><li>

Depresi </li><li>

Sakit kepala </li><li>

Telinga berdenging </li><li><a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-akibat-covid-19-inilah-penyebab-terjadinya-anosmia-1632706240470" target="_blank">

Kehilangan indra penciuman </a></li><li>

Batuk terus-menerus, napas pendek-pendek </li><li>

Nyeri dada, radang jantung, atau jantung berdebar </li><li>

Nyeri otot </li><li>

Diare dan sakit perut </li><li>

Ruam kulit </li><li>

Sering demam</li></ul>Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/4-jenis-ruam-kulit-yang-sering-dialami-1632714044433" target="_blank">4 Jenis Ruam Kulit yang Sering Dialami</a><h2>Kapan keluhan ini menghilang? </h2>Dalam beberapa penelitian awal, keluhan long covid diperkirakan bisa dialami hingga melewati 12 minggu, bahkan sampai enam bulan. Ternyata, penelitian jangka panjang yang diterbitkan pada akhir Agustus 2021 menyebutkan, keluhan long covid masih dirasakan oleh penyintas hingga setahun ke depan. 

 

Hasil penelitian di Wuhan, China, yang dimuat di jurnal The Lancet memaparkan, kondisi kesehatan para penyintas COVID-19 mulai membaik setelah satu tahun. Mereka pun sudah kembali bekerja dan beraktivitas. Namun, secara umum status kesehatan mereka masih di bawah rata-rata. 

 

Setelah membandingkan persentase keluhan yang disampaikan para penyintas pada sesi kontrol 6 bulan dan 12 bulan, dokter menemukan adanya beberapa peningkatan. 

 

Lebih banyak penyintas yang mengeluh masalah sesak napas, gangguan kecemasan, dan depresi. Sementara itu, sebagian besar penyintas perempuan mengaku mengalami kelelahan dan kelemahan pada otot. 

 

Hingga saat ini belum ditemukan tes untuk mendiagnosis long covid. Sebab, gangguan pasca covid ini berbeda dengan gangguan kesehatan yang sudah ada, sehingga penanganannya pun harus berdasarkan keluhan yang dialami. 

 

Para penyintas COVID-19 sebaiknya tetap memantau kondisi kesehatan dan berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Di samping itu, tetaplah menjalani pola hidup yang sehat dan menaati protokol kesehatan yang berlaku. 

 

Bila terdapat keluhan, dokter dapat menyarankan sejumlah pemeriksaan, misalnya pemeriksaan fungsi paru bila ada keluhan sesak napas Atau pemeriksaan rekam jantung untuk yang mengalami keluhan pada jantung. Atau, pemeriksaan darah maupun fungsi organ-organ lainnya yang terkait. 

 

Kalau Anda termasuk penyintas COVID-19, diskusikan kondisi kesehatan pasca infeksi Anda dengan dokter spesialis penyakit dalam berpengalaman yang bergabung di AlteaCare. Dengan layanan telekonsultasi menggunakan video call, dokter dapat lebih mudah memantau kondisi Anda serta memberikan rujukan yang dibutuhkan. 

 

Aplikasi AlteaCare bisa didapatkan secara gratis di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>. Segera unduh, daftar, lalu buat jadwal bertemu dengan dokter yang diinginkan. 

 

Sumber: <ul><li>

JAMA Network. Diakses pada 2021. As Their Numbers Grow, COVID-19 “Long Haulers” Stump Experts </li><li>

TIME. Diakses pada 2021. A Year Into the Pandemic, Long COVID Is Still Burdening Patients—and Their Caregivers </li><li>

WHO Regional Office for Europe. Diakses pada 2021. Policy Brief: In the wake of the pandemic: preparing for Long COVID (2021) </li><li>

The Lancet. Diakses pada 2021. 1-year outcomes in hospital survivors with COVID-19: a longitudinal cohort study </li></ul>

Kalau Alami Long Covid, Apa Saja Gejalanya? 

Terapi plasma konvalesen jadi salah satu cara mengatasi COVID-19 - AlteaCare | Foto: Envato

Seiring meningkatnya angka COVID-19, berbagai terobosan di bidang medis pun semakin gencar dilakukan. Sejumlah terapi dan pengobatan direkomendasikan. Tidak ketinggalan, terapi plasma konvalesen. 

 

Jenis pengobatan menggunakan plasma konvalesen sebenarnya bukan hal baru. Terapi ini sejak dulu telah digunakan untuk mengatasi sejumlah wabah penyakit, mulai dari flu spanyol pada 1918, flu babi, SARS, Ebola, dan MERS. 

 

Cara kerja terapi plasma konvalesen adalah dengan memberikan plasma atau bagian darah yang mengandung antibodi dari orang yang telah sembuh (penyintas) kepada orang COVID-19 yang masih sakit. Tujuannya agar plasma tersebut melawan virus, sehingga infeksi bisa terputus. Selain itu, terapi ini juga diharapkan bisa membantu memperbaiki sistem imunitas orang yang positif virus corona. <h2>Siapa yang bisa menjalani terapi plasma konvalesen? </h2>Dalam konteks sebagai terapi untuk menangani infeksi COVID-19, terapi plasma konvalesen hingga kini hanya boleh digunakan untuk kondisi kedaruratan. 

 

Artinya, orang yang boleh menerima hanyalan yang memiliki gejala sedang dan berat, atau kondisinya dinilai gawat darurat karena <a href="https://alteacare.com/article-detail/berbeda-dengan-flu-seperti-ini-gejala-pneumonia-pada-anak-1632378447253" target="_blank">ada indikasi pneumonia </a>dengan hipoksia. Selain itu, terapi ini juga dapat diberikan para mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang dapat memperburuk kondisi COVID-19. 

 

Seperti dilansir oleh situs Kementerian Kesehatan RI, terapi plasma konvalesen bukanlah bagian dari pencegahan melainkan untuk pengobatan. Sebab, terapi ini belum diuji coba di seluruh dunia dan belum ada protokolnya. 

 

Syarat lainnya yang harus dipenuhi jika ingin menerima terapi plasma konvalesen adalah: <ul><li>

Berusia minimal 18 tahun </li><li>

Sedang dalam perawatan dengan gejala sedang ke berat </li><li>

Mau dirawat selama minimal 14 hari </li><li>

Memiliki golongan darah yang sama dengan pendonor </li><li>

Mengikuti prosedur dan tahap-tahap penelitian</li></ul>Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/panduan-seputar-aplikasi-p-care-bpjs-kesehatan-1632376315297" target="_blank">Panduan Seputar Aplikasi P-Care BPJS Kesehatan</a>

 <h2>Siapa yang bisa menjadi menjadi donor plasma konvalesen? </h2>Tidak sembarang orang bisa menjadi donor untuk terapi ini. Mereka yang bisa mendonorkan plasma konvalesen adalah para penyintas COVID-19. Bukti kesembuhan dari COVID-19 ini berupa surat keterangan dari rumah sakit yang merawat dapat diperlihatkan saat mengajukan diri menjadi donor. 

 

Syarat untuk menjadi donor plasma konvalesen adalah sebagai berikut: <ul><li>

Minimal berusia 18 tahun </li><li>

Memiliki berat badan &gt;55 Kg </li><li>

Pernah terkonfirmasi positif COVID-19 dengan<a href="https://alteacare.com/article-detail/apa-itu-pcr-swab-test-simak-penjelasan-lengkapnya-1632277582300" target="_blank"> pemeriksaan PCR </a></li><li>

Tidak mempunyai gejala COVID-19 (bebas gejala) selama 14 hari </li><li>

Tidak menerima tranfusi darah selama 3 bulan terakhir </li><li>

Lebih diutamakan laki-laki atau wanita yang belum pernah hamil </li></ul>

 Saat mendaftar untuk menjadi pendonor, petugas akan mengajukan pertanyaan untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi lain yang dapat membatalkan keikutsertaan dalam donor plasma konvalesen. Misalnya, faktor riwayat hipertensi dan gangguan pembekuan darah. Calon pendonor juga akan menjalani skrining pemeriksaan yang meliputi: <ul><li>

Pemeriksaan fisik. Seperti pengukuran suhu, tekanan darah, penimbangan berat badan, dan pemeriksaan fisik lainnya untuk memastikan kesehatan pendonor. </li><li>

Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan antibodi terhadap SARS CoV-2, golongan darah, rhesus dan antibodi golongan darah. </li><li>

Pemeriksaan terhadap Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah, seperti HIV/AIDS Hepatitis (HBV, HCV), sifilis, melalui pemeriksaan serologi dan Nucleic Acid Test (NAT). </li><li>

Pemeriksaan darah lengkap, terutama menentukan kadar Hemoglobin (Hb) </li><li>

Pemeriksaan albumin dan protein total seperti yang dilakukan pada pendonor rutin. </li><li>

Tambahan pemeriksaan anti-HLA yang dilakukan pada donor wanita. </li></ul>

 Jika dari hasil syarat administrasi dan laboratorium layak, pendonoran dapat dilakukan dengan rentang waktu minimal 3 bulan pasca sembuh dari COVID-19. Pengambilan plasma konvalesen dilakukan dengan metode aphresis sebanyak 400-600 ml, yang kemudian dipisahkan secara tertutup menjadi masing-masing 200 ml. Atau, cara konvensional (kantong 450 ml untuk mendapatkan 200 ml plasma). <h2>Seberapa efektif terapi plasma konvalesen untuk menangani COVID-19?</h2>Di Indonesia, tahap uji klinis terkait pemberian terapi plasma konvalesen sebagai terapi tambahan COVID-19 secara resmi dimulai pada awal September 2020. Sejauh ini, hasil uji klinis fase 1 terapi ini dinilai aman. Tidak ada efek samping yang membahayakan serta sebaiknya diberikan kepada pasien COVID-19 dalam kondisi sedang. 

 

Penelitian ini dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, bekerja sama dengan Lembaga Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional, Palang Merah Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, 

 

Seperti dilansir di situs Kementerian Riset dan Teknologi, Bambang PS Brodjonegoro selaku Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset Inovasi Nasional menyebutkan, bahwa terapi plasma konvalesen adalah alternatif tambahan untuk penanganan pasien Covid-19 di Indonesia saat ini. Terapi ini dapat berkontribusi untuk memperbesar atau meningkatkan peluang kesembuhan pasien. 

 

Perhatian utama para peneliti adalah faktor keamanan dan efikasi dari terapi tersebut. Selama uji klinis, dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta pemantauan terhadap kadar virus, kadar antibodi netralisasi, dan perubahan pada skala perawatan. 

 

Sementara hasil uji klinis yang dilakukan oleh National Institutes of Health yang berakhir pada Februari 2021 menunjukkan bahwa terapi ini tidak dapat mencegah perkembangan penyakit pada pasien rawat jalan yang berisiko tinggi. Kondisi ini didapati apabila terapi diberikan dalam minggu pertama gejala COVID-19 muncul.&nbsp;<h2>Apakah terapi plasma konvalesen memiliki efek samping? </h2>Seperti halnya proses transfusi darah, terapi plasma konvalesen juga memiliki efek samping yang hampir mirip. Efek sampingnya berupa demam dan reaksi alergi, kelebihan cairan, kerusakan paru-paru dengan kesulitan bernapas, ketidakteraturan irama jantung serta pembekuan darah. 

 

Masih ada juga risiko lain yang bisa terjadi dari proses tranfusi seperti paparan virus HIV, hepatitis B dan C. Meskipun begitu risiko ini bisa sangat rendah dan ditekan jika pendonor sudah sesuai syarat yang ditentukan. 

 

Penelitian dan uji klinis terkait pemberian terapi plasma konvalesen untuk penanganan COVID-19 masih terus berlanjut. Saat ini Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman juga sedang mengembangkan metode yang lebih praktis untuk mengukur kadar antibodi netralisasi plasma konvalesen.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/article-detail/dari-delta-sampai-kappa-yuk-ketahui-varian-varian-virus-corona-1631196231344" target="_blank">&nbsp;Dari Delta Sampai Kappa, Yuk Ketahui Varian-varian Virus Corona</a>Metode ini akan dapat mempercepat keputusan pemberian plasma konvalesen kepada penyintas COVID-19. Sebab, pengukuran kadar antibodi netralisasi ini penting dalam menentukan apakah donor plasma yang diberikan kepada orang yang terkena COVID-19 sudah memadai atau belum. 

 

Mari kita berharap agar hasil uji klinis terapi plasma konvalesen bisa benar-benar efektif dalam pengobatan COVID-19. Dengan begitu, akan semakin banyak orang yang terpapar virus corona bisa mendapatkan kesembuhan. 

 

Sumber: <ul><li>

Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Terapi Plasma Konvalesen, Harapan Baru Tangani COVID-19 </li><li>

Mimbar Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Diakses pada 2021. "Terapi Plasma Konvalesen, Harapan Baru Tangani COVID-19" </li><li>

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Laporan Uji Klinis Pemberian Plasma Konvalesen Sebagai Terapi Tambahan Corona Virus Disease 19 (COVID-19)-PlaSenTer </li><li>

Badan Riset Inovasi Nasional. Diakses pada 2021. Menristek/Kepala BRIN: Terapi Tambahan Plasma Konvalesen Perbesar Peluang Kesembuhan Pasien COVID-19 </li><li>

National Institutes of Health. Diakses pada 2021. NIH study shows no significant benefit of convalescent plasma for COVID-19 outpatients with early symptoms </li></ul>

Terapi Plasma Konvalesen untuk Obati COVID-19, Efektifkah? 

Obesitas bisa menjadi salah satu sebab sesak napas - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap hari membaca dan menonton berita seputar perkembangan pandemi, bisa jadi Anda jadi makin waspada. Bila keluhan-keluhan kesehatan tertentu yang dialami ternyata ada dalam daftar gejala COVID-19, Anda pun jadi bertanya-tanya. Ini karena virus corona atau bukan, ya? 

 

Padahal, keluhan yang berkaitan paru-paru dan seputar pernapasan itu belum tentu selalu mengarah ke COVID-19. Misalnya saja keluhan sesak napas, yang dalam bahasa medis sering disebut dyspnea. Meski paparan virus corona dapat menimbulkan keluhan ini, penyebab sesak napas dapat berkaitan dengan kondisi kesehatan lainnya. <h2>Yuk, kita kenali dulu ciri-ciri sesak napas </h2>Banyak orang mengira, sesak napas itu adalah kondisi ketika kita sulit bernapas, sehingga napas jadi lebih cepat. Setelah mencoba mengatur napas, nanti kondisi akan normal lagi seperti biasa. 

 

Tapi, apa benar sesak napas seperti itu? Seperti dilansir di Medical News Today, sesak napas atau dyspnea adalah kondisi kekurangan udara yang membuat seseorang merasa tidak nyaman. 

 

Ciri-ciri sesak napas yang umumnya dialami orang adalah: <ul><li>

Napas terengah-engah setelah melakukan kegiatan fisik atau karena kondisi kesehatan tertentu </li><li>

Merasa tercekik atau kehabisan napas </li><li>

Sulit bernapas </li><li>

Dada terasa sesak </li><li>

Napas jadi lebih cepat dan pendek </li><li>

Dada berdebar </li><li>

Saat bernapas terdengar suara mengi </li><li>

Batuk-batuk</li></ul>Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-penyebab-nyeri-dada-sebelah-kanan-yang-tidak-biasa-1629898578817" target="_blank">5 Penyebab Nyeri Dada Sebelah Kanan Yang Tidak Biasa</a><h2>Penyebab sesak napas yang sering dijumpai</h2>Pada sebagian orang, sesak napas yang dialami hanya sebentar dan ringan. Namun, ada juga yang sudah merasakan keluhan ini dalam jangka waktu cukup lama dan berat. Berikut ini beberapa kondisi yang bisa menjadi penyebab sesak napas:<h3 style="margin-left: 30px;">1. Mengidap asma </h3>Gangguan asma umumnya memiliki ciri-ciri sesak napas. Selain itu, Anda juga sulit bernapas, batuk-batuk, sesak napas, dan saat menarik napas terdengar suara mengi. 

 

Keluhan asma terjadi ketika saluran udara menyempit dan memproduksi mukus atau lendir secara berlebihan, serta otot-otot di sekitarnya jadi lebih kencang. Banyaknya lendir di saluran udara membuat jumlah udara yang masuk pun semakin terbatas. 

 

Ada beberapa kondisi yang bisa memicu kambuhnya asma, antara lain adalah: <ul><li style="margin-left: 30px;">

Bekerja di lingkungan yang banyak paparan zat kimia, baik berupa bau maupun asap atau debu hasil pembakaran bahan kimia. </li><li style="margin-left: 30px;">

Berolahraga dalam kondisi udara yang terlalu dingin atau kering </li><li style="margin-left: 30px;">

Ada paparan alergen atau penyebab alergi, seperti serbuk bunga atau bulu binatang. </li></ul><h3 style="margin-left: 30px;">2. Berat badan termasuk kategori obesitas </h3>Faktor obesitas juga dapat jadi penyebab sesak napas. Seperti dilansir dalam situsnya, National Heart, Lung, and Blood Institute menyebutkan bahwa kondisi obesitas berkaitan erat dengan gangguan pernapasan. 

 

Gangguan ini disebut sindrom hipoventilasi obesitas atau obesity hypoventilation syndrome terjadi ketika dalam darah tidak terdapat cukup banyak oksigen, sedangkan kadar karbon dioksidanya terlalu banyak. 

 

Orang yang mengalami sindrom ini umumnya mengalami keluhan sebagai berikut: <ul><li style="margin-left: 30px;">

Sulit mengambil napas dalam-dalam, karena pengaruh penumpukan lemak di daerah leher, dada, dan perut </li><li style="margin-left: 30px;">

Terkadang juga mengalami sleep apnea, yaitu gangguan tidur yang menyebabkan pernapasan terhenti sementara selama beberapa kali ketika sedang tidur. </li><li style="margin-left: 30px;">

Lesu dan mengantuk di siang hari, sementara di malam hari sering mengalami gangguan seperti mengorok, tercekik, atau terbangun tiba-tiba. </li><li style="margin-left: 30px;">

Sakit kepala dan sesak napas </li></ul><h3 style="margin-left: 30px;">3. Akibat serangan panik </h3>Pernahkah Anda panik menghadapi sesuatu, sampai-sampai jantung berdebar cepat, gemetaran, hingga napas jadi sesak? Bisa jadi itu adalah serangan panik atau panic attack. 

 

Serangan panik berbeda dengan rasa panik yang kita rasakan ketika materi power point belum selesai padahal 5 menit lagi harus presentasi di rapat. Saat mengalami serangan panik, kita juga merasa takut dan muncul beberapa tanda-tanda fisik tertentu. Misalnya saja: <ul><li style="margin-left: 30px;">

Jantung berdebar lebih cepat </li><li style="margin-left: 30px;">

Keringatan dan gemetaran </li><li style="margin-left: 30px;">

Mual dan sakit perut </li><li style="margin-left: 30px;">

Pusing atau kepala terasa ringan, terkadang sampai pingsan </li><li style="margin-left: 30px;">

Napas jadi cepat, terasa sesak napas, atau seperti tercekik </li></ul>

 Serangan panik bisa dibedakan menjadi dua: <ul><li style="margin-left: 30px;">Serangan panik terantisipasi, yaitu jika Anda sudah mengetahui apa yang menjadi pemicu serangan, sehingga bisa mengantisipasi rasa panik yang muncul. Misalnya, Anda takut dengan jarum suntik kemudian harus ikut program vaksinasi COVID-19.</li><li style="margin-left: 30px;">Serangan panik tidak dapat diantisipasi, dengan pemicu kepanikan berasal dari luar dan tidak dapat diprediksi. Tidak ada hubungannya dengan fobia yang Anda miliki, tidak juga karena Anda melihat kejadian menakutkan. Sebelum serangan, bisa jadi Anda sedang dalam kondisi tenang dan relaks. </li></ul><h3 style="margin-left: 30px;">4. Riwayat gangguan jantung </h3>Faktor lain yang menjadi penyebab sesak napas adalah gangguan pada jantung, seperti gagal jantung. 

 

Keluhan awal saat mengalami gagal jantung umumnya hanya sulit bernapas setelah melakukan aktivitas yang berat serta mudah merasa lelah. Tetapi jika kondisi jantung terus melemah, Anda pun dapat mengalami sesak napas, bahkan ketika sedang berbaring. 

 

Sangat mudah mengecek apakah Anda mengalami gangguan jantung atau tidak. Coba perhatikan, apakah selepas berolahraga timbul pembengkakan di area pergelangan kaki, tungkai, atau bagian tengah tubuh. Bila ya, ini dikarenakan jantung kesulitan memompa darah ke seluruh tubuh. <h3 style="margin-left: 30px;">5. Kebiasaan merokok&nbsp;</h3>Sebenarnya, seiring dengan pertambahan usia paru-paru kita akan mengalami penurunan fungsi terlepas kita itu perokok atau bukan. Tapi kalau kita merokok, kesehatan paru pun dapat terpengaruh dan kita rentan terhadap gangguan paru-paru kronis. 

 

Gangguan paru-paru yang bersifat kronis, seperti emfisema misalnya, dapat menimbulkan keluhan sesak napas. Emfisema adalah kondisi kronis akibat adanya kerusakan pada alveolus atau kantung udara kecil di paru-paru. Selain sesak napas, Anda juga dapat mengalami batuk-batuk, kelelahan, gangguan pada jantung dan gangguan tidur, depresi, dan penurunan berat badan yang drastis. 

 

Tidak semua penyebab sesak napas bisa disembuhkan. Sebagai contoh, hingga kini belum ada obat khusus untuk gangguan asma. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah mencegah, memantau gejala, dan melakukan terapi untuk mengendalikan asma saat sedang kambuh. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-akibat-covid-19-inilah-penyebab-terjadinya-anosmia-1632706240470" target="_blank">Selain Akibat COVID-19, Inilah Penyebab Terjadinya Anosmia</a>Bila Anda mengalami kondisi yang mengarah pada ciri-ciri sesak napas, sebaiknya segera hubungi dokter spesialis. Anda bisa lakukan konsultasi dari rumah saja untuk bertemu dengan dokter berpengalaman di AlteaCare. Dengan fitur panggilan video, dokter akan bisa dengan mudah mengamati kondisi dan memberi saran pengobatan. Segera unduh AlteaCare di<a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank"> Google Playstore</a> dan <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, daftarkan diri, lalu buat jadwal dengan dokter yang diinginkan. 

 

Sumber: <ul><li>

Medical News Today. Diakses pada 2021. What is Dyspnea? </li><li>

Healthline. Diakses pada 2021. What Do You Want to Know About Asthma? </li><li>

National Heart, Lung, and Blood Institute. Diakses pada 2021. Obesity Hypoventilation Syndrome </li><li>

Very Well Mind. Diakses pada 2021. An Overview of Panic Attack Types and Symptoms </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Signs of a Panic Attack </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Heart Problems That Affect Your Breathing </li><li>

Johns Hopkins Medicine. Diakses pada 2021. Smoking and Respiratory Diseases </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Asthma </li></ul>

Belum Tentu COVID-19, Inilah 5 Penyebab Sesak Napas Anda 

Cara mengembalikan indra penciuman yang hilang butuh waktu - AlteaCare | Foto: Freepik

Hilangnya indra penciuman atau anosmia adalah salah satu keluhan khas yang sering dialami oleh mereka yang terkena COVID-19. Padahal, keluhan ini juga dialami oleh mereka yang terpapar jenis virus lain, contohnya influenza. Atau saat alergi yang kita miliki sedang kambuh. 

 

 Dampak dari hilangnya indra penciuman, baik akibat COVID-19 maupun paparan virus lainnya, dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup kita. Tidak jarang seseorang mengalami penurunan berat badan yang drastis akibat tidak nafsu makan. Belum lagi risiko lainnya yang mungkin terjadi, seperti masakan hangus atau alat masak yang terbakar karena Anda tidak bisa mencium bau asap di rumah. 

 

 Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/selain-akibat-covid-19-inilah-penyebab-terjadinya-anosmia-1632706240470" target="_blank">Selain Akibat COVID-19, Inilah Penyebab Terjadinya Anosmia </a> 

 

 Cara mengembalikan indra penciuman yang hilang jelas membutuhkan waktu. Lamanya dapat bergantung dari apa yang menjadi penyebab anosmia. Secara garis besar, ada tiga hal yang dapat mengakibatkan Anda kehilangan kemampuan untuk mencium: 


<ul>
 <li>

 Kondisi iritasi atau penyumbatan pada hidung yang bersifat sementara, seperti gangguan sinusitis, flu, atau alergi. </li>
 <li>Sumbatan pada hidung sehingga aliran udara jadi terhambat. Misalnya, posisi tulang rawan yang membagi rongga hidung menjadi dua (septum) tidak berada di tengah. Atau, adanya polip atau tumor di dalam hidung. </li>
 <li>Kerusakan pada saraf yang terhubung ke otak, sehingga tidak dapat mendeteksi bau. Atau bisa juga karena otak mengalami kerusakan. </li>
</ul>


 Jurnal Science Advances menyebutkan, bila keluhan anosmia terkait dengan paparan virus corona yang menyebabkan peradangan di hidung, dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mengembalikan indra penciuman. 

 

 Namun, bila anosmia berhubungan dengan adanya kerusakan pada neuron sensorik olfaktori, proses pemulihan dapat berlangsung selama berbulan-bulan. Neuron sensorik olfaktori adalah saraf yang menerima impuls atau rangsangan dari indra penciuman ke sistem saraf pusat di otak. 

 

 Sementara menurut studi lain yang dimuat di jurnal JAMA Network Open, sebanyak 96% orang yang sembuh dari COVID-19 memperoleh kembali kemampuan penciumannya setelah 12 bulan.

<h2>Cara mengembalikan indra penciuman yang hilang secara alami </h2>
Ketika kita mengalami gangguan kehilangan indra penciuman, dokter mungkin akan memberikan resep berupa obat untuk mengatasi peradangan. Jenis obat seperti kortikosteroid dianggap dapat menurunkan peradangan dalam tubuh. 

 

 Untuk mereka yang mengalami keluhan terkait dengan paparan virus corona, dokter juga sering memberikan obat jenis steroid. Hanya saja, belakangan para ahli mulai tidak setuju dan mengkhawatirkan efek dari obat ini. Sebab, ada banyak efek balik yang dapat berdampak buruk terhadap sistem tubuh bila kita mengonsumsi obat golongan ini dalam jangka panjang dan tidak terkontrol. 

 

 Sebab, ada banyak efek balik yang dapat membahayakan sistem tubuh apabila seseorang mengonsumsi obat golongan steroid dalam jangka panjang dan tidak terkontrol oleh dokter. Tidak mustahil, obat jenis ini bahkan dapat menyebabkan kematian. 

 

 Untuk keluhan anosmia yang tidak terkait dengan gangguan pada saraf olfaktori, ada beberapa cara alami yang bisa dicoba untuk mengembalikan indra penciuman. Dua hal ini bisa Anda coba lakukan di rumah: <h3 style="margin-left: 30px;">1. Buat cairan irigasi untuk hidung </h3>Kiat pertama untuk mengembalikan indra penciuman adalah dengan membuat cairan irigasi untuk hidung menggunakan air garam. 

 

 International Journal of Immunopathology and Pharmacology menyebutkan cara ini efektif untuk membersihkan saluran hidung dan melegakan pernapasan akibat alergi atau peradangan sinus. Selain itu, kiat ini juga dapat dijadikan sebagai pencegahan terhadap gangguan infeksi saluran pernapasan. 

 

 Cara membuat cairan irigasi hidung untuk mengatasi anosmia sangat mudah. Ikuti langkah-langkah berikut:
<ul style="margin-left: 30px;">
 <li style="margin-left: 30px;">

 Siapkan secangkir air bersih, bisa berupa air mineral ataupun air yang direbus. </li>
 <li style="margin-left: 30px;">

 Masukkan ½ sendok teh garam dan ½ sendok teh soda kue ke air tersebut, lalu aduk. </li>
 <li style="margin-left: 30px;">

 Siapkan alat irigasi berupa botol kecil yang bisa dipencet, atau suntikan kosong tanpa jarum. Isi dengan cairan irigasi. </li>
 <li style="margin-left: 30px;">

 Tengadahkan kepala, lalu masukkan cairan tersebut melalui salah satu lubang hidung. Arahkan sedemikian agar cairan itu mengarah ke bagian belakang kepala, bukannya bagian atas. Anda bisa minta bantuan orang bila tidak bisa melakukannya sendiri. </li>
 <li style="margin-left: 30px;">

 Biarkan cairan tersebut kemudian keluar lagi melalui lubang hidung sebelahnya atau dari mulut Anda. </li>
 <li style="margin-left: 30px;">

 Lakukan irigasi ini beberapa kali sehari. </li>
</ul>
<h3 style="margin-left: 30px;">2. Lakukan latihan penciuman
</h3>Cara mengembalikan indra penciuman yang hilang bisa dilakukan melalui latihan penciuman secara rutin. Dengan begitu, indra penciuman bisa kembali mengenali berbagai aroma dan pada akhirnya pulih. 

 Untuk memulai latihan, Anda bisa mencoba tips dari Fifth Sense, yaitu organisasi amal yang memiliki misi membantu orang-orang yang mengalami gangguan pada indra penciuman dan perasa. Seperti dimuat dalam jurnal BMJ, latihan penciuman ini dapat menggunakan bahan-bahan yang ada di rumah, seperti bubuk kopi, merica, buah jeruk, daun-daunan bumbu, atau eukaliptus. 

 Seperti ini latihan mengembalikan indra penciuman yang harus Anda lakukan setiap harinya: <ul><li style="margin-left: 30px;">

 Letakkan bahan-bahan beraroma pada mangkuk atau stoples terpisah. Atau, bisa juga diletakkan di telapak tangan. </li><li style="margin-left: 30px;">

 Rilekskan tubuh, lalu perlahan tarik napas dan endus sedikit-sedikit salah satu bahan selama 10 detik. Tidak perlu memaksakan diri saat mengendus, karena ini malah membuat Anda tidak bisa mencium apa pun. </li><li style="margin-left: 30px;">

 Lakukan 2-3 kali, lalu beristirahatlah 5 menit. </li><li style="margin-left: 30px;">

 Pindahlah ke bahan lainnya, lalu ulangi latihan. </li><li style="margin-left: 30px;">

 Catat pengalaman Anda saat mencium aroma bahan-bahan tersebut. </li></ul>Supaya dapat segera pulih dari anosmia, sebaiknya Anda lakukan latihan dua kali sehari—idealnya pagi dan malam hari. Kemajuan yang didapat oleh setiap orang bisa berbeda-beda. Namun, yang penting Anda tidak putus asa dan terus mencoba.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/6-cara-mengatasi-hidung-tersumbat-dijamin-ampuh-1632371998273" target="_blank" style="">6 Cara Mengatasi Hidung Tersumbat, Dijamin Ampuh</a>Nah, seperti itulah cara mengembalikan indra penciuman yang hilang secara alami yang bisa Anda lakukan di rumah saja. Bila kondisi indra penciuman setelah sembuh dari COVID-19 tidak kunjung mengalami perubahan, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi dengan dokter. 

 Anda bisa lakukan konsultasi dari rumah saja melalui video call dengan para dokter spesialis berpengalaman di AlteaCare. Dapatkan aplikasinya melalui <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau <a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank">Appstore</a>, lalu daftarkan diri. Setelahnya, Anda bisa buat jadwal bertemu dengan dokter yang dipilih. Yuk, langsung download! 

 Sumber: <ul><li>

 Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Loss of smell </li><li>

 Science Advances. Diakses pada 2021. Non-neuronal expression of SARS-CoV-2 entry genes in the olfactory system suggests mechanisms underlying COVID-19-associated anosmia </li><li>

 JAMA Netwotk Open. Diakses pada 2021. Clinical Outcomes for Patients With Anosmia 1 Year After COVID-19 Diagnosis </li><li>

 University of East Anglia. Diakses pada 2021. Smell Training, Not Steroids, Best Treatment fo COVID-19 Smell Loss </li><li>

 Healthline. Diakses pada 2021. How to Regain Your Sense of Smell Naturally </li><li>

 International Journal of Immunopathology and Pharmacology. Diakses pada 2021. Could nasal irrigation and oral rinse reduce the risk for COVID-19 infection? </li><li>

 BMJ. Diakses pada 2021. Sixty seconds on . . . smell training </li><li>

 Fifth Sense. Diakses pada 2021. Using What You Have at Home</li></ul>

Begini Cara Mengembalikan Indra Penciuman yang Hilang 

Ruam kulit bisa terlihat seperti bercak merah, luka lecet, atau luka lepuh - AlteaCare | Foto: Envato

Saat sedang kepanasan atau usai beraktivitas di bawah terik matahari, kulit wajah atau tangan kita bisa tampak kemerahan. Namun, apa jadinya kalau kulit tampak kemerahan disertai rasa gatal? Bisa jadi ini adalah ruam kulit! 

 

 Ruam pada kulit sering kali luput dari pengamatan. Kita berpikir, nanti hilang sendiri. Atau hilang setelah pakai krim yang dijual bebas di apotik. Namun ternyata tidak sesimpel itu. 

 

 Seperti dilansir American Academy of Dermatology Association, ruam dapat terlihat seperti bercak merah, luka lecet, atau luka lepuh. Kulit dapat terlihat merah, gatal, bersisik, atau kering. Keluhan tersebut bisa muncul di salah satu bagian tubuh atau bisa juga di seluruh tubuh. 

 

 Meski kebanyakan ruam merah pada kulit tidak berbahaya, beberapa bisa jadi tanda adanya kondisi kesehatan yang perlu dicermati.

<h2>Ciri-ciri khusus keluhan kulit yang perlu diwaspadai </h2>
Ketika kulit tampak memerah dan gatal, sebaiknya langsung periksa kondisi diri. Apakah ini disertai dengan sejumlah keluhan lain, seperti ini: 
<ul>
 <li>

 Ruam didapati di sekujur tubuh </li>
 <li>

 Disertai demam </li>
 <li>

 Ruam muncul tiba-tiba dan menyebar dengan cepat </li>
 <li>

 Ruam berubah menjadi luka lepuh. Periksa apakah luka ini terdapat di sekitar mata, mulut, atau kelamin. </li>
 <li>

 Rasanya sakit </li>
</ul>
Muncul tanda infeksi seperti ruam kulit berisi cairan berwarna kuning atau hijau, bengkak, permukaan kulit mengeras, dan teraba hangat
Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-fakta-penting-seputar-cacar-air-pada-anak-1632377287667" target="_blank">5 Fakta Penting Seputar Cacar Air Pada Anak</a>
<h2>Jenis-jenis ruam pada kulit yang sering dialami </h2>
Ruam merah pada kulit ada banyak jenis dan penyebabnya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya yang sering kita alami sehari-hari: 
<h3>1. Gigitan serangga </h3>
Ada banyak serangga yang bisa menimbulkan rasa gatal dan bentol-bentol pada kulit bila tergigit. Terkadang, rasa gatal ini juga bisa disertai dengan munculnya ruam, terutama jika kita menggaruk-garuk daerah tersebut. 

 

 Biang gara-garanya bisa jadi kutu dari binatang peliharaan di rumah. Bisa juga serangga lainnya di luar rumah. Masih ingat serangga bernama tomcat, yang beberapa tahun silam sempat bikin heboh? Serangga ini tidak menggigit atau menyengat. Tapi saat kita tidak sengaja menepuk atau memencet tomcat yang menempel di anggota badan hingga mati, racun bernama pederin akan keluar dan mengenai kulit. 

 

 Keluhan yang dialami antara lain ruam kulit kemerahan, gatal, teriritasi, melepuh, serta terasa perih seperti terbakar. Keluhan ini bisa diatasi dengan segera membasuh area yang terkena cairan tubuh tomcat dengan air dan sabun. Bersihkan juga tangan yang terkena racun pederin dan tahan diri untuk tidak menyentuh area kulit lainnya. Sebab ini bisa mengakibatkan penularan.

<h3>2. Ruam popok pada bayi </h3>
Ruam pada kulit yang satu ini sering dialami bayi yang baru lahir maupun bayi yang lebih besar. Ruam merah pada kulit si Kecil ini sangat mudah dilihat ketika popoknya dibuka. 

 

 Biasanya, bagian bokongnya ada bercak merah atau bentol-bentol. Kulitnya kelihatan seperti teriritasi dan hangat bila diraba. Si Kecil mungkin menjadi sedikit rewel karena merasa tidak nyaman. 

 

 Ruam popok umumnya disebabkan beberapa hal berikut:

<ul>
 <li>Gesekan antara lembaran popok dengan kulit bayi yang sensitif </li>
 <li>

 Paparan urin atau feses di popok ke kulit bayi dalam waktu lama </li>
 <li>

 Popok jarang diganti </li>
 <li>

 Kulit kurang dibersihkan saat mengganti popok </li>
 <li>

 Penggunaan tisu basah mengandung alkohol </li>
 <li>

 Si Kecil sedang mengonsumsi obat antibiotik </li>
</ul>

Ruam kulit akibat popok biasanya hilang dalam tiga hari jika Anda sering mengganti popok si Kecil. Bersihkan area kulit dengan baik dan biarkannya kering terlebih dulu sebelum memakaikan popok lagi. Jika si Kecil tampak tidak nyaman atau ruam tidak kunjung hilang dan daerah yang kemerahan semakin parah, sebaiknya hubungi dokter. 
<h3>3. Iritasi kulit atau reaksi alergi </h3>
Ruam pada kulit ini disebut dermatitis kontak. Seperti dilansir di situs Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, dermatitis kontak muncul ketika kulit terpapar bahan yang menjadi alergen. Akibatnya, kulit pun terkena iritasi atau mengalami reaksi alergi. 

 

 Area yang paling sering mengalami dermatitis kontak adalah yang sering terpapar alergen, biasanya di tangan. Selain tampak ruam merah pada kulit, rasanya juga gatal. Adanya peradangan bisa buat area kulit jadi membengkak dan terasa seperti terbakar. Area kulit pun pedih bila disentuh dan cenderung basah. 

 

 Dermatitis kontak umumnya dapat disebabkan beberapa hal ini:

<ul>
 <li>

 Wewangian atau bahan kimia dalam produk perawatan diri, produk kecantikan, maupun kosmetik </li>
 <li>

 Paparan bahan kimia dari produk pembersih rumah tangga, seperti deterjen atau bleach </li>
 <li>

 Jenis logam atau emas pada perhiasan yang digunakan </li>
 <li>

 Mengenakan sarung tangan berbahan karet atau lateks </li>
 <li>

 Terkena tanaman beracun </li>
</ul>

Ruam kulit akibat iritasi atau reaksi alergi biasanya hilang sendiri. Cari tahu apa yang menjadi penyebabnya dan segera hentikan penggunaan. Bila rasa gatal yang dialami tidak tertahankan atau Anda tidak tahu apa yang jadi pemicunya, berkonsultasilah dengan dokter spesialis kulit. 
<h3>4. Ruam sebagai gejala penyakit tertentu </h3>
Beberapa jenis gangguan kesehatan sering diawali dengan munculnya ruam pada kulit. Sebut saja seperti campak, cacar air, flu singapura, atau herpes zoster, yang sering disebut cacar api. 

 

 Keempatnya ini memiliki kesamaan, yakni disebabkan oleh adanya infeksi virus. Ketika ada paparan virus, tubuh akan merespons sehingga berbagai reaksi akan muncul. Pada area kulit, reaksinya dapat berupa munculnya ruam merah pada kulit yang gatal. 

 

 Sebagian ruam bisa muncul pada lokasi-lokasi yang khas. Misalnya, ruam kulit saat terkena flu singapura biasanya didapati di area tangan, kaki, dan mulut. Ruam juga bisa berkembang menjadi luka lepuh berisi cairan, seperti pada cacar air dan herpes zoster. 

 

 Paparan virus corona penyebab COVID-19 juga bisa menimbulkan ruam. Laporan kasus yang dimuat di Journal of Medical Case Reports memaparkan, munculnya ruam kulit dapat menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis COVID-19. 

 

 Pada kasus yang dilaporkan, ruam dialami tanpa diketahui asal-usulnya. Yang jelas, pasien adalah perawat yang sering kontak dengan orang yang terkena COVID-19. Keluhan lainnya yang khas COVID baru dialami beberapa hari setelahnya. 

 

 Dari laporan ini kita bisa belajar untuk tidak lekas anggap enteng saat mendapati ruam pada kulit. Karenanya, segera hubungi dokter apabila mendapati ruam merah pada kulit, apalagi bila disertai dengan keluhan lainnya.

 Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/terapi-plasma-konvalesen-untuk-obati-covid-19-efektifkah-1632710502667" target="_blank">Terapi Plasma Konvalesen untuk Obati COVID-19, Efektifkah?</a> 

 

 Anda bisa berkonsultasi dengan dokter dari rumah saja dengan memanfaatkan fasilitas video call di AlteaCare. Dokter bisa dengan mudah memeriksa kondisi Anda dan memberikan saran serta rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>kemudian daftarkan diri. Setelahnya Anda bisa langsung pilih jadwal dokter spesialis kulit yang diinginkan. 
 
Sumber: 
<ul>
 <li>

 American Academy of Dermatology Association. Diakses pada 2021. 
 </li>
 <li>

 American Osteopathic College of Dermatology. Diakses pada 2021. Paederus dermatitis </li>
 <li>

 National Health Service. Diakses pada 2021. Nappy Rash </li>
 <li>

 Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Diakses pada 2021. Beberapa Penyebab Wajah Jadi Berwarna Kemerahan </li>
 <li>

 Healthline. Diakses pada 2021. What are the symptoms of contact dermatitis? </li>
 <li>

 Medical News Today. Diakses pada 2021. Contact dermatitis </li>
 <li>

 Journal of Medical Case. Diakses pada 2021. An itchy erythematous papular skin rash as a possible early sign of COVID-19: a case report </li>
</ul>

4 Jenis Ruam Kulit yang Sering Dialami 

Hilangnya indra penciuman bisa membuat Anda tidak nafsu makan - AlteaCare | Foto: Envato

Anosmia atau gangguan pada indra penciuman bisa berkaitan dengan banyak hal. Hanya saja, maraknya kasus COVID-19 yang terjadi hampir dua tahun belakangan membuat orang jadi semakin mengenal istilah yang satu ini. 

 

Keluhan yang dialami sebenarnya mirip dengan yang dialami orang saat terkena COVID-19. Dapat diawali dengan hidung tersumbat, lalu Anda jadi tidak bisa mencium bau-bauan di sekitar, misalnya makanan. Saat ini terjadi, tidak heran bila selera makan pun jadi terganggu. <h2>Penyebab hilangnya indra penciuman </h2>Ada sejumlah kondisi yang bisa membuat Anda kehilangan kemampuan untuk mencium bau. Selain COVID-19, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: <ul><li>Sedang sakit. Bila Anda sakit flu, otomatis hidung akan tersumbat dan penciuman akan tumpul. Begitu juga bila gangguan sinusitis akut sedang menyerang. </li><li>

Gangguan kesehatan lain yang juga menyebabkan hilangnya indra penciuman adalah alergi, baik terhadap serbuk bunga, terkait dengan rinitis alergi atau peradangan pada rongga hidung. Gangguan kesehatan yang juga dapat menimbulkan anosmia adalah Parkinson, Alzheimer, multiple sclerosis, juga kekurangan nutrisi. </li><li>

Adanya kelainan seperti polip hidung, yaitu pertumbuhan daging kecil di dalam hidung dan rongga sinus yang dapat menghalangi pernapasan. Selain itu, adanya trauma cedera pada hidung juga dapat berdampak pada saraf penciuman. </li><li>

Paparan bahan kimia berbahaya yang beraroma kuat, seperti pestisida atau cairan untuk bleaching. </li><li>

Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antidepresan, antibiotik, anti imflamasi, dan obat jantung </li><li>

Penyalahgunaan narkoba, terutama bila dilakukan dengan cara dihirup </li><li>

Sedang menjalani terapi radiasi untuk penyembuhan kanker, terutama di area kepala dan leher. </li></ul>



Faktor usia juga dapat jadi penyebab hilangnya indra penciuman. Orang yang berusia di atas 60 tahun cenderung mengalami berbagai penurunan fungsi tubuh, termasuk indra-indranya.&nbsp;Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/bukan-penyakit-orang-tua-inilah-5-penyebab-sakit-pinggang-1632703378506" target="_blank">Bukan Penyakit Orang Tua, Inilah 5 Penyebab Sakit Pinggang</a><h2>Keluhan lain terkait hilangnya indra penciuman </h2>Ada beberapa nama jenis gangguan untuk keluhan yang berkaitan dengan indra penciuman. Beberapa di antaranya menarik untuk diketahui: <ul><li>

Hiposmia atau penurunan kemampuan indra penciuman dalam mendeteksi bau melalui hidung </li><li>

Anosmia, yaitu ketidakmampuan untuk mencium bau apa pun </li><li>

Phantosmia, suatu kondisi ketika Anda mengira sedang mencium sesuatu seperti bau busuk atau bau terbakar. Padahal sebenarnya bau-bauan tersebut tidak ada dan Anda hanya mengalami halusinasi saja. </li><li>

Parosmia adalah gangguan penciuman yang belakangan ini dilaporkan sering dialami oleh para penyintas COVID-19 atau mereka yang tak kunjung sembuh dari infeksi virus corona. Kondisi ini membuat bau-bauan yang sebelumnya dianggap wajar kini tercium kurang sedapt di hidung. </li></ul>

 <h2>Dampak hilangnya indra penciuman </h2>Ketika hidung tidak bisa mencium bebauan, tentunya ada yang berubah dalam hidup kita. Sebagai contohnya adalah penelitian yang dimuat di jurnal European Archives of Oto-Rhino-Laryngology. Penelitian yang berkaitan dengan COVID-19 sebagai penyebab hilangnya indra penciuman ini memaparkan adanya penurunan kualitas hidup serta kesehatan secara umum pada para penyintas. 

 

Ketika kemampuan untuk mencium hilang, kita mungkin baru menyadari betapa pentingnya indra yang satu ini. Kemampuan mencium aroma membuat kita jadi lebih berselera ketika makan. Sementara saat mengalami anosmia kita tidak hanya kehilangan nafsu makan, namun juga tidak dapat memasak untuk keluarga. 

 

Kondisi ini pun dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Bukan mustahil Anda jatuh sakit karena tidak bisa mencium makanan yang sudah basi dan menyantapnya. Anda pun bisa jadi kurang percaya diri karena tidak bisa memastikan kebersihan diri (misalnya dari bau badan). Ini mungkin membuat Anda sulit bersosialisasi baik di dunia kerja maupun kehidupan pribadi, sehingga dapat mengalami stres dan depresi.

 

Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/begini-cara-mengembalikan-indra-penciuman-yang-hilang-1632707727346" target="_blank">Begini Cara Mengembalikan Indra Penciuman yang Hilang </a>

 Demikianlah beberapa hal yang harus Anda ketahui tentang penyebab hilangnya indra penciuman. Bila tidak terkait dengan COVID-19, keluhan ini sesungguhnya tidak terjadi secara tiba-tiba. Anda bisa saja mengalami penurunan kemampuan mencium sedikit demi sedikit, hingga akhirnya hilang sepenuhnya. 

 

Terkadang, seseorang dapat pulih dan hidungnya dapat mencium bau lagi. Bila ini terjadi saat Anda sedang flu atau alergi, kondisi penciuman akan kembali normal begitu gangguan flu dan alergi pergi. Sayangnya, kebanyakan gangguan pada kemampuan mencium tidak dapat disembuhkan. Terutama bila kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor usia. 

 

Yang bisa Anda lakukan bila sampai mengalami anosmia adalah bersahabat dengan kondisi ini. Sesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Misalnya, lebih berhati-hati saat memasak dan meminta anggota keluarga lain menggantikan tugas untuk mencicipi masakan Anda. Saat merasa tidak yakin apakah makanan sisa di rumah masih layak disantap atau tidak, jangan lakukan. 

 

Jika Anda merasakan kemampuan hidung mulai menumpul tapi penyebab hilangnya indra penciuman bukanlah flu maupun alergi, segera temui dokter. Begitu juga jika serta kondisi ini tidak membaik setelah dua minggu. 

 

Anda bisa membuat janji untuk bertemu dengan dokter spesialis dengan aplikasi AlteaCare. Kemudahan melakukan telekonsultasi dengan video call membuat Anda bisa berdiskusi seputar gangguan yang dialami bersama dokter dari rumah saja. Segera unduh aplikasi AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> dan<a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank"> Appstore</a>, kemudian daftarkan diri, dan pilih jadwal konsultasi yang diinginkan. 

 

Sumber: <ul><li>

UT Health, McGovern Medical School. Diakses pada 2021. Hyposmia and Anosmia </li><li>

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. Phantosmia: What causes olfactory hallucinations? </li><li>

Web MD. Diakses pada 2021. What Is Phantosmia? </li><li>

European Archives of Oto-Rhino-Laryngology. Diakses pada 2021. Impact of the smell loss on the quality of life and adopted coping strategies in COVID-19 patients </li><li>

Yale Medicine. Diakses pada 2021. Loss of Smell (Anosmia). </li></ul>

Selain Akibat COVID-19, Inilah Penyebab Terjadinya Anosmia 

Terlalu lama pakai ponsel bisa buat mata kering dan merah - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap hari sering menggunakan ponsel dan bekerja dengan komputer, gangguan seperti sakit mata dan mata merah mungkin jadi keluhan sehari-hari. Sekarang, ditambah lagi dengan kecurigaan, jangan-jangan penyebab mata merah itu adalah virus corona.Waduh!Jangan panik dulu. Tidak semua keluhan mata merah itu berarti Anda kena COVID-19. Selain dikarenakan aktivitas sehari-hari, bagian putih mata yang memerah itu juga bisa dipengaruhi oleh alergi atau masuknya benda asing ke mata. Supaya lebih tenang, coba baca beberapa hal yang bisa sebabkan mata jadi merah sambil mengamati kondisi mata di cermin: <h2>1. Kondisi mata yang terlalu kering </h2>Terlalu asyik main game atau berkirim pesan dengan ponsel bisa bikin Anda lupa mengedipkan mata. Padahal, berkedip bermanfaat untuk menjaga kelembapan dan melumasi mata agar tidak kering. Bila aktivitas sehari-hari membuat mata kurang beristirahat dan jarang berkedip, otomatis mata jadi mudah kering. Anda pun bisa mengalami sakit mata dan mata merah. Penyebab mata merah dan kering lainnya adalah: <ul><li>Perubahan hormonal </li><li>

Waktu bekerja dengan komputer yang terlalu panjang </li><li>

Kurang tidur </li><li>Penggunaan lensa kontak terlalu lama, sehingga oksigen terhalang untuk masuk ke kornea mata </li><li>

mengonsumsi beberapa jenis obat.&nbsp;</li></ul>

Bila kondisi mata kering dan merah ini masih ringan, Anda bisa meredakannya dengan memberikan obat tetes berisi air mata buatan. Kurangi waktu interaksi dengan gawai, kurangi waktu penggunaan lensa kontak, dan tidurlah yang cukup.&nbsp;Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/antisipasi-dehidrasi-lakukan-4-cara-mengatasi-diare-ini-1632557989399" target="_blank">Antisipasi Dehidrasi, Lakukan 4 Cara Mengatasi Diare Ini</a><a href="https://alteacare.com/article-detail/5-fakta-seputar-penyakit-jamur-hitam-1631196340043" target="_blank"></a> <h2>2. Luka di kornea mata </h2>Paparan infeksi pada kornea mata bisa menyebabkan terjadinya luka. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, maupun parasit. Keluhan yang dirasakan selain mata merah adalah sakit mata, penglihatan menjadi kabur, mata terasa gatal, seperti ada yang mengganjal, dan mengeluarkan cairan. Bila dilihat dengan teliti, akan terlihat bintik putih pada kornea. Anda pun jadi lebih sensitif ketika melihat cahaya. Pemakaian lensa kontak dapat menjadi penyebab mata merah akibat paparan infeksi. Lamanya lensa kontak menempel di mata bisa menimbulkan iritasi. Selain itu, bila tidak menggunakan lensa kontak sekali pakai, proses pembersihan dan penyimpanan yang tidak baik juga berisiko sebabkan infeksi. Bakteri bisa menempel di lensa kontak, ujung botol cairan pembersih, atau pada wadah penyimpanan. Begitu dikenakan kembali, mata dapat terasa gatal dan pedih. Mata merah akibat infeksi sebaiknya segera dikonsultasikan pada dokter. Sebagai pencegahan, para pengguna lensa kontak perlu selalu ingat untuk mencuci tangan sebelum memegang lensa. Lepas lensa kontak sebelum tidur dan hindari penggunaan dalam waktu terlalu lama, termasuk jika jenis yang digunakan adalah sekali pakai. <h2>3. Perdarahan di mata </h2>Tidak seseram sebutan namanya, kita mungkin tidak sadar bahwa ada perdarahan di mata sampai mengamatinya di cermin. Selain tampak merah, mata Anda juga dapat terasa gatal. Namun, Anda tidak mengalami perubahan pada daya penglihatan dan mata tidak terasa sakit.&nbsp;Perdarahan pada mata, yang sering disebut juga subconjunctival hemorrhage atau perdarahan subkonjungtiva, terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, yang akan tampak pada bagian putih mata. Perdarahan ini muncul berupa bintik merah, yang akan bertambah dalam 1-2 hari, kemudian hilang dengan sendirinya. Beberapa aktivitas ini dapat menjadi pemicu pecahnya pembuluh darah dan jadi penyebab mata merah. Misalnya, bersin atau batuk terlalu keras, mengejan terlalu keras, atau mengangkat sesuatu yang berat.&nbsp;Keluhan ini juga dapat disebabkan adanya iritasi mata, seperti ketika Anda mengucek mata terlalu keras atau terkena infeksi. Kemasukan benda asing juga bisa membuat bintik-bintik merah muncul di mata. <h2>4. Alergi </h2>Sewaktu alergi sedang kambuh, hidung dapat terasa gatal dan Anda bisa bersin sampai mengeluarkan air mata. Kemudian kelopak mata terasa membengkak, disusul mata terasa gatal dan terlihat merah.Kondisi peradangan pada konjungtiva, atau lapisan transparan yang terletak antara kelopak dan bagian putih mata, sering disebut juga konjungtivitis. Selain dikarenakan alergi, sakit mata ini juga bisa disebabkan oleh virus, bakteri, maupun paparan zat kimia.&nbsp;&nbsp;Konjungtivitis akibat virus dan bakteri bisa menular, sementara yang dipengaruhi oleh alergi tidak menular. Kabar baiknya, begitu Anda minum obat anti-alergi yang diresepkan dokter, keluhan mata merah pun akan menghilang.&nbsp;<h2>5. Berkaitan dengan COVID-19 </h2>Penyebab mata merah dapat berkaitan dengan kondisi gangguan kesehatan akibat paparan virus corona. Studi yang dimuat di Journal of Ophthalmic &amp; Vision Research menyebutkan keluhan mata merah dialami oleh sejumlah orang dengan COVID-19. Jenis gangguan terkait mata yang juga dialami adalah mata kering, mata berair, gatal dan mata mengeluarkan cairan. Hingga kini, para ahli masih belum mengetahui bagaimana virus corona menyebabkan sakit pada mata, namun konjungtivitis memang dapat disebabkan oleh paparan virus COVID-19. Berdasarkan studi ini, peneliti menganjurkan tenaga kesehatan untuk melindungi area mata saat bertugas. Misalnya dengan mengenakan face shield atau kacamata pelindung (google) pada saat memeriksa pasien. Ini akan sangat membantu ketika mereka bertemu dengan pasien COVID-19 tanpa gejala.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-fakta-seputar-penyakit-jamur-hitam-1631196340043" target="_blank">5 Fakta Seputar Penyakit Jamur Hitam</a> Sementara itu, kita juga dapat menjaga kesehatan mata dan menghindari penyebab mata merah. Misalnya dengan mengurangi waktu interaksi dengan komputer, laptop, maupun gawai lainnya. Kegiatan ini termasuk yang paling sering dilakukan di masa pandemi, karena banyak dari kita bekerja ataupun belajar dari rumah. Bila ada keluhan seputar kondisi mata yang menganggu, lakukan konsultasi dari rumah saja dengan menggunakan AlteaCare. Caranya mudah, cukup unduh aplikasi AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau<a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank"> Appstore</a>, lalu daftarkan diri. Setelah itu, Anda bisa memilih jadwal dokter mata yang tersedia dan membuat janji temu. Sesi telekonsultasi menggunakan video call akan memperlihatkan dokter memeriksa kondisi Anda. Segera unduh dan salam sehat selalu! 
 

Sumber: <ul><li>

Verywell Health. Diakses pada 2021. 18 Reasons You May Have Red and Bloodshot Eyes </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Corneal Ulcer </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Subconjunctival Hemorrhage </li><li>

WebMD. Diakses pada 2021. Allergy Conjunctivitis (Pink Eye) </li><li>

Journal of Ophthalmic &amp; Vision Research. Diakses pada 2021. Ocular Manifestations of COVID-19: A Systematic Review and Meta-analysis </li></ul>

Selain COVID-19, Apa Saja Penyebab Mata Merah? 

Kemunculan virus Corona terus berevolusi kini ada berbagai macam varian yang bisa menjangkiti - AlteaCare |  Foto: Envato

Sejak awal kemunculannya, virus SARS-CoV-2 berevolusi menjadi sejumlah varian virus. Munculnya berbagai varian virus corona baru, contoh varian delta, lambda, dan kappa, memberi tantangan besar bagi para peneliti dan juga tenaga kesehatan. 

 

Sebenarnya, evolusi virus terjadi dari waktu ke waktu. Saat satu jenis virus bereplikasi atau membuat salinan diri, terkadang bisa terjadi perubahan atau mutasi. Virus dengan lebih dari satu mutasi baru sering disebut sebagai “varian” dari virus asli. <h2>Dua kategori varian virus corona </h2>Badan kesehatan dunia WHO membagi varian-varian baru virus corona sebagai variants of interest (VOI) dan variants of concern (VOC). <ul><li>

Variant of concern adalah varian virus corona yang meningkatkan jumlah penularan dan juga kematian. Varian ini dapat memengaruhi efektivitas vaksin, serta terapi dan tindakan medis lainnya. </li><li>

Variant of interest adalah varian virus corona yang kemampuan genetiknya dapat berpengaruh terhadap karakteristik virus. Misalnya, terkait kemampuan untuk lolos dari sistem kekebalan dan diagnostik.</li></ul>

 Apabila VOC dapat berpengaruh pada kondisi epidemi secara luas, karakteristik VOI dapat menyebabkan penularan dalam komunitas atau klaster tertentu. 

 Seperti dilansir di situs Kementerian Kesehatan RI, keberadaan VOC atau varian baru virus dapat berpengaruh terhadap lonjakan kasus COVID-19 di negara kita. Faktor lain yang jadi penyebab peningkatan kasus di Indonesia adalah mobilitas pergerakan masyarakat, sehingga varian virus yang berasal dari satu negara dapat masuk ke negara lainnya. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/5-fakta-seputar-penyakit-jamur-hitam-1631196340043" target="_blank">5 Fakta Seputar Penyakit Jamur Hitam</a><h2>Varian-varian virus corona </h2>Awalnya, varian virus corona diberi nama berupa kode dan sering disebut berdasarkan negara tempatnya ditemukan. Misalnya B.117 atau varian Inggris. WHO kemudian memutuskan memberi nama baru sesuai alfabet Yunani sehingga tidak lagi terkait dengan negara tertentu dan mudah diingat. Berikut ini adalah sejumlah varian virus corona yang sudah ditemukan: <h3 style="margin-left: 20px;">1. Varian Alpha </h3>Dulunya disebut B.117 atau varian Inggris. Terdeteksi pertama kali di Inggris pada akhir 2020, varian ini juga dilaporkan ada di beberapa negara lain. Para ahli memperkirakan, faktor mutasi membuat varian ini memiliki tingkat penularan hingga 70%. Orang yang terpapar lebih berisiko untuk dirawat di rumah sakit serta tingkat kematiannya juga tinggi. 

 

Lembaga Center for Infectious Disease Reasearch Policy (CIDRAP) menyatakan adanya korelasi antara varian dengan usia, jenis kelamin, dan kelompok etnis atau ras. Selain itu, orang yang terpapar varian Alpha umumnya berusia muda. <h3 style="margin-left: 20px;">2. Varian Beta </h3>Mulanya disebut B.1.351 atau varian Afrika Selatan. Beta muncul seiring terjadinya mutasi yang luar biasa banyak di Afrika Selatan. Dibandingkan yang sebelumnya, varian Beta menyebar lebih cepat sehingga memicu terjadinya gelombang kedua COVID-19 di negara asalnya. 

 

Varian ini menyebar ke setidaknya 48 negara di dunia. Salah satu mutasi dari varian Beta adalah E484 atau sering disebut mutasi Eek. Mutasi ini memungkinkan virus menghindari antibodi dalam tubuh manusia. Selain pada varian beta, mutasi Eek juga didapati pada varian Gamma dan Alpha. <h3 style="margin-left: 20px;">3. Varian Gamma </h3>Varian Gamma atau P.1 berasal dari Brasil. Saat baru muncul, varian ini menyebabkan ledakan kasus di kota Manaus, namun Gamma juga sempat ditemukan di Jepang. 

 

Varian Gamma menyebar ke negara-negara lain, terutama yang berbatasan dengan Brasil. Belum ada bukti kuat terkait dengan efek mematikan dari varian ini. Namun, varian Gamma disebut 2,5 kali lebih menular daripada virus corona yang muncul sebelumnya. <h3 style="margin-left: 20px;">4. Varian Delta </h3>Varian Delta atau B.1617.2 saat ini banyak tersebar pada lebih dari 43 negara, termasuk Indonesia. Jenis varian ini muncul di India pada Oktober 2020 dan menimbulkan lonjakan kasus pada pertengahan April 2021. Delta termasuk sangat tinggi tingkat penularannya. 

 

Mengutip dari situs Kementerian Kesehatan RI, paparan Delta sampai ke Indonesia, bersama varian lain seperti Alpha dan Beta. Data dari Public Health England menyebutkan, varian Delta memiliki tingkat penularan 60% lebih tinggi daripada Alpha. Orang yang tidak tahu dirinya terinfeksi varian Delta berisiko menularkan virus kepada sekitar 7 hingga 8 orang di sekitarnya. <h3 style="margin-left: 20px;">5. Varian Kappa </h3>Hasil mutasi ganda virus corona menghasilkan varian Delta dan Kappa. Sama seperti Delta, Kappa atau varian B.1.617.1 muncul pertama kali di Uttar Pradesh, India pada Oktober 2020. 

 

WHO memasukkan Kappa ke dalam kelompok VOI. Hingga saat ini masih belum banyak data yang dihimpun terkait dengan varian ini karena para ahli lebih berfokus pada “saudaranya”, yaitu varian Delta. 

 

Para pakar di India menyebutkan bahwa Kappa sebenarnya bukanlah ancaman baru. Varian ini sudah terdeteksi dari sampel data yang dikumpulkan sejak April 2021. Dari sudut pandang ahli, varian Kappa tidaklah seberbahaya varian Delta, jadi tidak perlu terlalu dikhawatirkan. <h3 style="margin-left: 20px;">6. Varian Lambda</h3>Varian Lambda atau C. 37 ditemukan di Peru pada Desember 2020. Varian ini lebih menular dibanding Alpha dan Gamma. 

 

Kendati demikian, WHO masih mengklasifikasikan Lambda dalam VOI. Menurut ahli, tidak memasukkannya ke dalam VOC membuat orang berpikir varian ini kurang berbahaya. Padahal, varian Lambda termasuk resisten terhadap vaksin. <h3 style="margin-left: 20px;">7. Varian Eta </h3>Eta juga masuk ke dalam VOI. Dengan penyebutan awal B.1.525, varian ini pertama kali dideteksi pada Desember 2020 di Inggris dan Nigeria. 

 

Pada Agustus 2021, varian Eta juga dikonfirmasi telah masuk ke India dan hingga hari ini telah menyebar ke sekitar 69 negara. Namun bila dibandingkan dengan varian lainnya, Eta bukan termasuk yang memiliki tingkat penularan tinggi.<h3 style="margin-left: 20px;">8. Varian Iota </h3>Dikenal juga dengan nama varian B.1.526, varian ini banyak ditemukan di Amerika Serikat, terutama New York. Jumlah orang yang terpapar varian ini meningkat pada akhir 2020. 

 

Studi di Amerika Serikat menyebutkan, varian Iota memiliki tingkat penularan dan kemampuan untuk lolos dari sistem kekebalan yang tinggi. Selain itu, paparan pada orang berusia lanjut bisa meningkatkan risiko kematian hingga 62-82%. Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/article-detail/inilah-protokol-kesehatan-6m-untuk-cegah-covid-19-1630893156314" target="_blank">Inilah Protokol Kesehatan 6M Untuk Cegah COVID-19</a>Salah satu cara yang bisa Anda lakukan untuk mencegah paparan varian-varian baru ini adalah dengan melakukan vaksinasi COVID-19. AlteaCare dapat melayani kebutuhan vaksinasi COVID-19 ke sejumlah fasilitas layanan kesehatan terdekat. Anda hanya perlu membuka aplikasi, lalu mendaftar untuk vaksinasi dan mengisi kuesioner vaksin yang dibutuhkan. Yuk, langsung unduh AlteaCare di <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.dre.loyalty&amp;hl=in&amp;gl=US" target="_blank">Google Playstore</a> atau<a href="https://apps.apple.com/id/app/alteacare/id1571455658" target="_blank"> Appstore</a>! Sumber: <ul><li style="margin-left: 10px;">

The Hindu. Diakses pada 2021. COVID-19: Variants of Concern and Variants of Interest. </li><li style="margin-left: 10px;">

SARS-CoV-2 Variant Classifications and Definitions </li><li style="margin-left: 10px;">

Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 2021. Virus Corona Varian Baru B.117, B.1351, B.1617 Sudah Ada di Indonesia </li><li style="margin-left: 10px;">

WHO. Diakses pada 2021. Tracking SARS-CoV-2 variants </li><li style="margin-left: 10px;">

WHO. Diakses pada 2021. WHO announces simple, easy-to-say labels for SARS-CoV-2 Variants of Interest and Concern </li><li style="margin-left: 10px;">

Web MD. Diakses pada 2021. Variants of Coronavirus </li><li style="margin-left: 10px;">

Mayo Clinic. Diakses pada 2021. COVID-19 Variants: What’s the Concern? </li><li style="margin-left: 10px;">

Global Virus Network. Diakses pada 2021. Beta (B.1.351) </li><li style="margin-left: 10px;">

Science News. Diakses pada 2021. What experts know so far about the delta variant </li><li style="margin-left: 10px;">

Global Virus Network. Diakses pada 2021. Gamma (P.1) </li><li style="margin-left: 10px;">

ABC News. Diakses pada 2021. What makes some COVID-19 variants more contagious than others? </li><li style="margin-left: 10px;">

Indian Express. Diakses pada 2021. Why the Kappa variant of Covid-19 is less of a concern than Delta strain </li><li style="margin-left: 10px;">

Reuters. Diakses pada 2021. Delta infections among vaccinated likely contagious; Lambda variant shows vaccine resistance in lab </li><li style="margin-left: 10px;">

The News Minute. Diakses pada 2021. Eta variant of coronavirus found in Karnataka: What we know about it </li><li style="margin-left: 10px;">

Covariants. Diakses pada 2021. Variant: 21F (Iota) </li><li style="margin-left: 10px;">

News Medical Life Science. Diakses pada 2021. SARS-CoV-2 Iota variant increases mortality risk among older adults</li></ul>