Membatasi gadget adalah salah satu cara mengatasi anak susah tidur - AlteaCare | Foto: Freepik

Tidak sedikit anak yang kerap susah sekali disuruh tidur padahal hari sudah malam. Bisa jadi ini karena orangtua belum tahu cara mengatasi anak susah tidur yang efektif! Seharusnya, anak berusia di bawah 12 tahun tidur setidaknya delapan sampai 10 jam per hari. Jika keesokan harinya ia bersekolah pukul 07.00, berarti harus bangun tidur setidaknya pukul 05.30 atau 06.00. Nah, kalau bangunnya jam segitu, berarti waktu terbaik untuk tidur adalah pukul 20.00 hingga 21.00. Sayangnya, beberapa anak susah untuk tidur. Ada banyak penyebab anak susah tidur. Bisa karena takut gelap, hantu, mimpi buruk, atau bahkan karena ulangan di keesokan harinya. Alasan lain tidur anak tidak lelap dan akhirnya terbangun dan tidak bisa tidur lagi adalah karena sedang tidak enak badan, kepanasan, kedinginan, atau tiba-tiba lapar di malam hari. Di luar itu, anak juga bisa susah tidur saat ada perubahan besar di rumah, misalnya orang tua bertengkar atau baru bercerai. Bisa juga karena baru pindah rumah, sehingga belum merasa nyaman dengan lingkungan baru. Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua? Yuk, ikuti cara mengatasi anak susah tidur berikut ini! <h2>6 Cara Mengatasi Anak yang Susah Tidur </h2>Kurang tidur bisa membuat anak jadi tidak fokus saat bersekolah keesokan harinya. Jadi, kita perlu pakai trik berikut ini agar anak tidur tepat waktu. <h3>1. Ubah Desain Kamar</h3>Kenapa <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/8-cara-membuat-kamar-tidur-sehat-tidur-lebih-nyenyak-1653057439328" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">desain kamar tidur</a> anak jadi penting? Soalnya, desain atau dekorasi di dalamnya menjadi penentu apakah anak merasa nyaman tidur atau tidak. Jika anak merasa tidak nyaman, dia pun akan sulit untuk tidur. Supaya kamar terasa lebih nyaman, Anda bisa melakukan perubahan kecil sebagai berikut: <ul><li>jauhkan alat elektronik dari tempat tidur </li><li>cat dinding dengan warna pastel yang menonjolkan kesan homey dan kalem </li><li>gunakan gorden berwarna sedikit gelap untuk mendukung suasana tidur </li><li>jauhkan buku-buku dan peralatan sekolah dari tempat tidur </li><li>pasang kipas angin jika cuaca cukup panas </li></ul><h3>2. Buat Rutinitas Sebelum Tidur </h3>Adanya ritual sebelum tidur bisa membantu anak lebih mudah terlelap. Bahkan, menurut penelitian yang dimuat di Sleep Medicine Reviews, terbiasa dengan pola rutinitas sebelum tidur secara tidak langsung bisa berdampak pada peningkatan kesehatan mental anak. Contoh rutinitas tidur yang bisa Anda lakukan bersama anak di antaranya adalah makan camilan sehat, mandi, sikat gigi, membaca, dan memberikan pijatan. Kalau sudah terbiasa dengan ritual ini, pasti anak juga terbiasa tidur tepat waktu. <h3>3. Tetapkan Jadwal Tidur dan Bangun </h3>Pastikan anak selalu tidur dan bangun pada jam yang sama setiap harinya. Ini bisa membantu mengatur jam biologis di tubuh anak. Bila anak punya jam tidur yang tetap, seiring waktu tubuhnya tahu sendiri kapan waktunya beristirahat. Dengan sendirinya, hormon melatonin pun akan keluar secara teratur. Hormon ini berfungsi mengatur kapan waktu untuk tidur dan bangun. Saat hormon melatonin muncul, tubuh kita pun akan lebih mudah terlelap. <h3>4. Putar Musik </h3>Anda bisa putar musik sebelum anak tidur. Namun, jangan musik yang keras, ya! Pilihlah musik yang bertempo pelan atau musik klasik untuk membantunya tidur. Menurut penelitian yang dimuat di Journal of Advanced Nursing, musik dapat membuat tubuh anak menjadi lebih relaks. Anak tidak hanya jadi cepat tidur, tetapi juga kualitas tidurnya terjaga. Kita pun bisa meminimalkan kemungkinan anak terbangun di tengah malam atau kurang tidur. <h3>5. Matikan Lampu dan Jauhkan Gawai </h3>Salah satu kesulitan membuat anak tidur tepat waktu adalah karena ia sangat bergantung pada gawai, baik smartphone atau tablet. Jadi, sebaiknya beberapa jam sebelum tidur, kita menjauhkan gawai dari anak. Apalagi, cahaya dari gawai akan membuat anak semakin sulit tidur. Menurut studi Physiological Reports, gawai memancarkan cahaya yang disebut cahaya biru. Nah, cahaya ini bisa menekan kadar hormon melatonin dalam tubuh anak. Padahal hormon ini penting untuk membuat anak tidur lelap. Jika kadarnya berkurang, anak pun semakin <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/penyebab-badan-capek-tapi-susah-tidur-dan-solusinya-1670217782559" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">susah tidur</a>. Nah, supaya hormon melatonin meningkat, kita harus menciptakan suasana tidur yang baik. Salah satu caranya adalah dengan menghindari cahaya biru dan mematikan lampu kamar tidur. <h3>6. Terapi Perilaku Kognitif </h3>Cognitive behavioral therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif adalah terapi yang digunakan untuk mengubah perilaku seseorang. Berkaitan dengan perilaku sulit tidur, terapi ini akan mengubah pola pikir anak mengenai hal-hal yang menghambat tidur. Beberapa contoh praktik terapi ini adalah dengan mengajarkan anak teknik relaksasi, membuat rencana tidur, dan memberikan pujian jika anak berhasil tidur tepat waktu. Mengenai metode CBT seperti apa yang harus dilakukan pada anak, Anda harus <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-manfaat-konsultasi-psikologi-mental-sehat-stres-minggat" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">berkonsultasi lebih lanjut dengan psikolog</a>. Berdasarkan penelitian yang dimuat di Brazilian Journal of Medical and Biological Research, terapi CBT terbukti memberikan dampak signifikan dalam mengatasi masalah tidur anak, termasuk insomnia. Itulah sejumlah cara mengatasi masalah anak susah tidur. Kabar baiknya, kini Anda tidak perlu jauh-jauh ke rumah sakit untuk melakukan CBT. Anda tinggal manfaatkan saja fitur Emotional Healing di aplikasi AlteaCare untuk mendiskusikan masalah tidur yang dialami, lalu mendapat pengalaman CBT dengan didampingi psikolog terpercaya. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat booking jadwal dengan psikolog! Sumber: <ul><li>Kids Health. Diakses pada Maret 2023. What to Do if You Can't Sleep </li><li>North East Ohio Parent. Diakses pada Maret 2023. Simple Bedroom Fixes to Improve Your Child’s Sleep </li><li>Jodi A. Mindell dan Ariel A. Williamson. (2019). Benefits of a bedtime routine in young children: Sleep, development, and beyond. Sleep Medicine Reviews, 40: 93–108 </li><li>Monique K. LeBourgeois, Kenneth P. Wright, Jr., Hannah B. LeBourgeois, dan Oskar G. Jenni. (2014). Dissonance Between Parent-Selected Bedtimes and Young Children's Circadian Physiology Influences Nighttime Settling Difficulties. Mind, Brain, and Education, 7(4): 234–242 </li><li>Laszlo Harmat, Johanna Takacs, dan Robert Bodizs. (2008). Music improves sleep quality instudents. Journal of Advanced Nursing, 62(3): 327–335 </li><li>Sang‐il Lee, et al. (2018). Melatonin suppression and sleepiness in children exposed to blue‐enriched white LED lighting at night. Physiological Reports, 6(24): e13942 </li></ul>

6 Cara Mengatasi Anak yang Susah Tidur. Ubah Suasana!

Orangtua perlu cermat mengamati gejala trauma pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

Berbagai peristiwa negatif di masa lalu dapat membekas dalam diri anak, baik secara mental maupun emosional, sehingga akhirnya menimbulkan trauma. Untuk itu, orangtua perlu lebih peka dalam membaca gejala trauma pada anak. Di balik sikap polos dan ceria yang diperlihatkannya setiap hari, anak dapat menyimpan kejadian-kejadian yang buruk di dalam ingatannya. Mulai dari pengalaman kecelakaan, kehilangan orang yang disayang, jadi korban perundungan, mendapatkan kekerasan di rumah atau sekolah, dilecehkan, dan lain-lain. Akibatnya pun tidak main-main. Anak bisa mengalami trauma, yang kemudian membuatnya rendah diri, serta mengalami <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">depresi</a> maupun <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan kecemasan</a>. Jika tidak ditangani secara baik, trauma bisa membuat anak mencari pelarian ke arah negatif. Akibatnya, ia bisa terjebak dalam penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Nah, supaya hal itu tidak sampai terjadi, kita perlu tahu gejala trauma yang dialami oleh anak. Apa saja itu? Yuk, simak uraian lengkap berikut ini! <h2>6 Gejala Trauma pada Anak </h2>Anak yang mengalami trauma umumnya sulit untuk mengidentifikasi, mengekspresikan, serta mengelola emosinya. Itu sebabnya, respons yang diberikan juga tidak dapat diduga, terutama saat emosinya sedang tinggi. Beberapa perubahan perilaku ini umumnya diperlihatkan oleh anak yang mengalami trauma tertentu: <h3>1. Tidak Mau Lagi Pergi ke Sekolah </h3>Gejala pertama yang terlihat jelas ketika anak mengalami trauma adalah menolak pergi ke sekolah. Jika hal ini terjadi, tanyakan alasannya pada anak Anda dengan pendekatan yang halus. Coba cari tahu, apakah ia takut dengan teman yang merundungnya, atau ada staf sekolah yang melakukan kekerasan. atau karena tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah? Mencari tahu alasannya itu sangat penting. Meski menolak bersekolah tidak termasuk dalam kriteria diagnosis gangguan kesehatan mental, perubahan ini bisa menjadi satu gejala yang bisa berhubungan dengan gangguan lain. Antara lain: <ul><li>gangguan kecemasan sosial </li><li><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan cemas menyeluruh</a> </li><li><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-ansietas-fobik-1660883320684" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">fobia</a> </li><li><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">depresi</a> </li><li><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-stres-pasca-trauma-1659441823433" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan stres pasca trauma</a> </li></ul>Bila dibiarkan, dalam jangka panjang penolakanke sekolah bisa berdampak terhadap perkembangan kemampuan sosial, emosional, dan pendidikannya. Jadi, sangat penting untuk mengidentifikasi gejala ini sedini mungkin. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/depresi-anak-meningkat-saat-pandemi-ortu-perlu-lakukan-ini-1658834076952" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Depresi Anak Meningkat Saat Pandemi, Ortu Perlu Lakukan Ini</a> <h3>2. Jadi Pendiam </h3>Bila anak yang tadinya periang tiba-tiba jadi sangat pendiam, Anda harus curiga. Bisa saja terjadi sesuatu padanya. Menurut the Journal of Lifelong Learning in Psychiatry, mengalami peristiwa traumatis bisa membuat anak kemudian berusaha menyangkal perasaan dalam dirinya sendiri. Setelah itu, anak dapat saja menutup diri secara emosional (emotional shutdown) dan tampak seperti mati rasa. Kondisi inilah yang kemudian membuatnya jadi lebih banyak diam. Banyak orangtua yang luput dari gejala ini. Sebab, dari luar anak tampaknya baik-baik saja dan bisa menjalani aktivitas sehari-harinya. Hanya saja, bila diamati, ia seperti tak punya emosi. <h3>3. Sering Berhalusinasi </h3>Trauma yang cukup berat juga dapat menyebabkan anak mengalami halusinasi. Halusinasi tersebut dapat berupa didatangi "hantu" orang yang disayanginya atau bayangan dari sesuatu yang dikenalnya. Menurut pakar psikologi, halusinasi itu merupakan indikasi bahwa kejiwaan seorang anak sedang terguncang. Ketika anak mengalami hal ini, cobalah meminta bantuan psikolog atau psikiater memberikan terapi. <h3>4. Jadi Mudah Marah </h3>Perubahan sifat tiba-tiba jadi pemarah bisa menjadi gejala trauma pada anak yang juga perlu diwaspadai. Kemarahan yang meluap-luap, termasuk terhadap diri sendiri, kerap ditemukan pada anak yang pernah alami peristiwa traumatis, seperti kekerasan yang berulang atau dalam jangka panjang. Perilaku ini dapat berdampak buruk jika terus dibiarkan. Menurut pakar, saat besar anak bisa mengalami gangguan kepribadian seperti antisosial, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/borderline-personality-disorder-bpd-1675223613171" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan kepribadian ambang</a>, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/8-ciri-ciri-orang-narsis-tak-seperti-yang-anda-duga-1663305489378" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">narsistik</a>, dan gangguan kepribadian ganda. <h3>5. Mengalami Gangguan Tidur </h3>Trauma pada anak bisa menurunkan kualitas hidupnya, termasuk juga kualitas tidurnya. Penelitian di Journal of Child &amp; Adolescent Trauma menyebutkan, banyak anak dengan trauma kerap mengalami gangguan tidur, misalnya: <ul><li>sering mimpi buruk </li><li>sulit terlelap </li><li>sering merasa sangat kelelahan </li><li>tidur lebih sering daripada anak lain </li><li>tidur lebih jarang daripada anak lain </li><li>tidur sambil berjalan atau sambil berbicara </li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-dampak-broken-home-pada-anak-bisa-depresi-1660188065785" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">6 Dampak Broken Home pada Anak. Bisa Depresi!</a> <h3>6. Gangguan Pola Makan </h3>Selain pola tidur, pola makan pada anak dengan trauma juga bisa berantakan. Akibatnya pun tidak hanya terlihat secara fisik, namun juga mental. Gangguan pola makan bisa menjadi pertanda bahwa anak mengalami depresi, kecemasan, gangguan body image, masalah marah, dan gangguan lainnya. Itulah sejumlah gejala trauma pada anak yang harus kita sadari sebagai orangtua. Jangan ragu untuk segera membawa anak ke psikolog bila tanda-tanda ini terlihat. Bila anak sulit diajak keluar, Anda bisa membujuknya untuk bicara dengan psikolog melalui video call dari rumah, sehingga ia bisa merasa lebih nyaman. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Diakses pada Oktober 2022. Understanding Child Trauma </li><li>Downey, C., &amp; Crummy, A. (2022). The impact of childhood trauma on children's wellbeing and adult behavior. European Journal of Trauma &amp; Dissociation, 6(1), 100237. </li><li>Kawsar, M. D. S., Yilanli, M., &amp; Marwaha, R. (2022). School Refusal. In StatPearls. StatPearls Publishing. </li><li>Terr, L. C. (2003). Childhood traumas: An outline and overview. Focus, 1(3), 322-334. </li><li>Wamser-Nanney, R., &amp; Chesher, R. E. (2018). Presence of sleep disturbances among child trauma survivors: Comparison of caregiver and child reports. Journal of Child &amp; Adolescent Trauma, 11(4), 391-399. </li><li>Rabito-Alcon, M. F., Baile, J. I., &amp; Vanderlinden, J. (2021). Mediating factors between childhood traumatic experiences and eating disorders development: a systematic review. Children, 8(2), 114. </li></ul>

6 Gejala Trauma pada Anak yang Perlu Diketahui Orangtua

Ada cara menghukum anak yang baik tanpa melukai hatinya - AlteaCare | Foto: Envato

Anak yang melakukan kesalahan boleh saja dihukum. Tapi, orangtua perlu tahu bagaimana cara menghukum anak yang benar agar dia bisa memahami kesalahannya dan memperbaiki diri. Saat menghukum anak, yang terpenting bukanlah hukuman itu sendiri. Namun, bagaimana anak bisa mengubah dirinya dan tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Selain itu, anak juga harus paham bahwa segala yang dilakukannya ada konsekuensinya. Kita tahu, para orangtua zaman dulu kerap memberi hukuman fisik, semisal memukul atau menampar. Sebagian orangtua pun masih melakukannya di masa sekarang. Namun, pakar psikologi tidak merekomendasikan hukuman seperti ini, ya, Sobat Altea. Sebab, cara ini berpotensi menimbulkan trauma dan berdampak buruk pada psikologis anak. Akhirnya, sia-sia saja. Anak tersakiti, tapi tidak juga paham kesalahannya. Singkat kata, pesan kita tidak tersampaikan. Lalu, bagaimana cara menghukum anak yang baik? Yuk, simak paparan lengkap di bawah ini! <h2>7 Cara Menghukum Anak yang Lebih Efektif </h2>Beberapa pendekatan ini bisa dilakukan untuk menegur anak dengan cara lebih tegas tanpa harus menyakiti hatinya. <h3>1. Berikan Time Out </h3>Konsep time out mengharuskan anak yang melakukan kesalahan untuk duduk diam di tempat tertentu dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, saat kedapatan merebut paksa mainan adiknya, Anda bisa minta sang kakak duduk di kursi yang ada di ruang bermain selama 30 menit. Sementara itu, sang adik bisa lanjut bermain sendiri. Menurut penelitian, lewat metode time out anak bisa belajar merenungkan kesalahannya dan belajar mengendalikan diri. Bila anak dalam kondisi marah, aturan untuk duduk diam ini juga bisa membantu menenangkan emosinya. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-memarahi-anak-biar-tidak-sampai-luka-batin-1658936053066" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">8 Cara Memarahi Anak Biar Tidak Sampai Luka Batin</a> <h3>2. Menarik atau Menunda Haknya </h3>Terkadang, anak melakukan kesalahan karena memikirkan dampak perbuatannya. Untuk itu, orangtua perlu memberikan hukuman yang menyadarkannya bahwa setiap perbuatan ada akibatnya. Salah satu caranya adalah dengan menarik atau menundanya menikmati apa yang ia miliki atau sukai. Dengan begitu, dia belajar merasakan kondisi akibat kesalahannya itu. Contoh: karena dimainkan dengan cara dilempar dari ketinggian, anak merusak mainannya, Saat itu, anak mungkin kesal, sedih, bahkan menangis. Sementara, kita juga jengkel karena sudah sering beri peringatan untuk tidak melempar-lempar mainan. Sebagai hukuman, kita bisa saja tidak segera membelikannya mainan baru. Jadi, anak belajar bahwa bila mainan rusak dia tidak bisa bermain. <h3>3. Kondisikan Anak Agar Tidak Lepas Kendali </h3>Saat anak mulai tantrum, sebagian orangtua ambil jalan pintas dengan mencubit atau memukul. Meski bisa membuat diam, bukan berarti anak paham kalau perilakunya tidak bisa diterima. Akan lebih baik jika Anda mengalihkan si Kecil dari kegiatannya atau dari situasi yang membuatnya tantrum. Ini terutama berlaku buat batita, yang sering tidak bisa mengontrol perilakunya meski sudah diberitahu dan diingatkan. Contoh: Bila anak mulai tantrum dan mengamuk di tempat umum, bawa dia ke tempat yang lebih sepi dan peluk hingga ia akhirnya bisa tenang. Setelahnya, beri instruksi lisan singkat, lalu berikan contohnya. Biarkan anak melakukannya dalam pengawasan kita. <h3>4. Terapkan Sistem Poin </h3>Selain hukuman, apresiasi juga harus kita berikan agar anak termotivasi berperilaku baik. Supaya memudahkan, Anda bisa menggunakan sistem poin disertai aturan seputar jumlah poin yang diberikan sesuai perilaku anak. Contoh: <ul><li>mengerjakan PR tepat waktu: 25 poin </li><li>membantu adik mengerjakan PR: 15 poin </li><li>menyapu lantai: 20 poin </li><li>bertengkar dengan adik: -10 poin </li><li>lupa mengerjakan PR: -15 poin </li><li>tidak membereskan kamar tidur: -20 poin </li></ul>Jelaskan apa yang bisa anak dapatkan bila sudah mencapai 100 poin. Misalnya, bisa dapat makanan favorit atau mainan baru. Ini bisa mendorong anak berperilaku baik dengan cara menyenangkan. <h3>5. Abaikan Saat Berperilaku Buruk </h3>Orangtua pasti selalu ingin perhatikan anaknya. Tapi, terkadang anak bisa berulah hanya demi mendapat perhatian lebih dari orangtuanya. Nah, untuk itu kita perlu tahu kapan momen pas untuk mengabaikan perilaku anak. Misalnya, saat ia merengek minta sesuatu padahal Anda yang sedang WFH dan lagi meeting. Kita tidak perlu merespons dan tetap lanjutkan aktivitas. Saat sikapnya melunak, barulah kita jelaskan bahwa dia tidak bisa mengganggu orangtua yang sedang bekerja, apalagi sedang rapat online. Dengan begitu, anak tahu cara berperilaku yang baik dan sesuai situasi dan kondisi. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/tak-perlu-marah-marah-begini-cara-atasi-anak-yang-tantrum" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum</a> <h3>6. Biarkan Anak Belajar dari Kesalahannya </h3>Anak terkadang tidak menurut saat diminta bawa payung ke sekolah, pakai jaket saat cuaca sedang dingin, atau bawa botol minum saat main bola di lapangan komplek. Sejauh itu masih aman, biarkan dia dengan sikap keras kepalanya. Dengan begitu, anak akan belajar sendiri kalau tidak bawa payung bisa kehujanan, tidak pakai jaket bisa kedinginan, serta tidak bawa botol minum bisa kehausan. Anak pun akan belajar juga bahwa sebenarnya permintaan kita adalah untuk kebaikannya. Setelahnya, ia akan lebih menuruti kita. Itulah sejumlah cara menghukum anak yang baik dan efektif. Sobat Altea yang mengalami kesulitan dalam mendisiplinkan anak, jangan ragu untuk video call dengan psikolog di AlteaCare, ya! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Durrant, J., &amp; Ensom, R. (2012). Physical punishment of children: lessons from 20 years of research. CMAJ, 184(12), 1373-1377. </li><li>Dadds, M. R., &amp; Tully, L. A. (2019). What is it to discipline a child: What should it be? A reanalysis of time-out from the perspective of child mental health, attachment, and trauma. American Psychologist, 74(7), 794–808. </li><li>Nieman, P., Shea, S., Canadian Paediatric Society, &amp; Community Paediatrics Committee. (2004). Effective discipline for children. Paediatrics &amp; Child Health, 9(1), 37-41.</li><li>Swiezy, N. B., Matson, J. L., &amp; Box, P. (1993). The good behavior game: A token reinforcement system for preschoolers. Child &amp; Family Behavior Therapy, 14(3), 21-32. </li><li>Very Well Family. Diakses pada Oktober 2022. 8 Ways to Discipline Your Child Without Spanking </li></ul>

6 Cara Menghukum Anak yang Baik. Hindari Memukul!

Perlu cara menasihati anak yang khusus agar ia paham maksudnya - AlteaCare | Foto: Envato

Cara menasihati anak perlu pendekatan tersendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Karena itu, orangtua perlu kuasai trik khusus supaya anak bisa menurut setelah diberi nasihat. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua tentu perlu menegur agar dia tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Masalahnya, anak sering kali tidak menurut ketika diberii tahu mana yang benar dan salah. Jika kita menegurnya dengan cara yang keras, dikhawatirkan anak jadi menurut tapi tidak pernah paham apa kesalahannya. Sementara, jika kita bersikap terlalu permisif dan membiarkan anak berbuat apa saja, anak bisa jadi manja. Perilakunya jadi buruk dan sulit untuk disiplin. Nah, karena itu kita perlu tahu cara menasihati anak agar dia mau menurut sekaligus paham apa kesalahannya. Diharapkan, di masa mendatang dia tidak melakukan hal yang sama. Sobat Altea ingin tahu tipsnya? Yuk, simak paparan lengkapnya di bawah ini! <h2>7 Cara Menasihati Anak Agar Menurut </h2>Beberapa cara ini bisa dicoba saat memberi nasihat pada anak di rumah: <h3>1. Hindari Mengulang-ulang </h3>Hal pertama yang harus Anda hentikan adalah mengulangi perintah atau nasihat. Sobat Altea perlu tahu, mengulangi nasihat tidak sama dengan menindaklanjuti, ya! Sebab, kalau kita memberi nasihat atau permintaan berulang-ulang, anak bisa terpikir untuk menunda hal yang harus dilakukan. Anak bisa berpikir, “ah, nanti juga diulang lagi. Tunggu sampai tiga kali baru aku lakuinI” Cara terbaik adalah memastikan anak paham instruksi atau nasihat Anda sejak awal. Setelahnya, minta dia melakukannya dalam kurun waktu tertentu. Bila ini tidak dipenuhi, Anda bisa ambil tindakan, semisal dengan memberi hukuman ringan atau menarik mainannya. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-ciri-pola-asuh-otoriter-dan-dampaknya-pada-anak-1663160373072" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Ciri Pola Asuh Otoriter dan Dampaknya pada Anak</a> <h3>2. Beri Aturan dan Jelaskan Tujuannya </h3>Terkadang, orangtua inginnya dapat hasil instan, yaitu anak langsung menurut dan melakukan apa yang kita inginkan. Padahal, anak juga punya pikirannya sendiri. Jadi, harap sabar dalam menjalani proses, ya! Saat membuat maupun mengingatkan aturan yang berlaku di rumah, beri tahu juga apa alasan aturan itu ada. Misalnya, Anda melarang anak memukuli temannya. Cobalah memberi pemahaman bahwa memukuli teman itu akan menyakitkan dan pastinya dia juga tidak mau dipukul oleh temannya. <h3>3. Berikan Pilihan </h3>Memaksakan keinginan hanya bikin anak jadi resisten dan melawan. Tapi, saat yang kita tawarkan adalah kesepakatan, anak mungkin lebih mau menurut. Sebab, ia merasa dilibatkan. Nah, saat membuat kesepakatan, tawarkan juga beberapa pilihan agar dia tidak merasa terpaksa untuk mengiyakan. Namun, perlu diingat, apa pun yang dipilih anak, Anda harus menerima dan menghormati keputusannya. Misalnya, Anda menasihati anak agar belajar karena keesokan harinya ada ulangan. Setelah mengingatkan bahwa materi ulangan besok termasuk sulit, berikan anak pilihan waktu belajar. "Kamu mau belajarnya sekarang atau nanti setelah tidur siang, saja?" Pilihan tersebut akan membuat anak merasa punya keleluasaan dalam mengatur dirinya sendiri. <h3>4. Inspirasi, Bukannya Perintah </h3>Perintah memang bisa bikin anak cepat menurut. Tapi, ini bukan cara terbaik. Soalnya, anak lebih senang mengerjakan sesuatu jika itu berasal dari inisiatifnya sendiri, bukan instruksi dari orang lain. Jadi, cobalah sesekali memancing anak untuk berpikir mengenai apa yang harus dilakukan. Misalnya, kita ingin menasihati anak untuk memperhatikan kebersihan diri dan hal tersebut dimulai dari membersihkan kamarnya sendiri. Daripada beri instruksi langsung, Anda bisa berkata, "wah, kamar kamu berantakan, ya! Kalau kamar berantakan, harus diapain, ya?". Atau, bisa juga dengan cara halus seperti “kamar kamu kalau dibereskan pasti kelihatan lebih bagus, deh. Koleksi mainannya jadi lebih kelihatan. Diberesin, yuk!” <h3>5. Jangan Pelit Mengapresiasi </h3>Tidak hanya dinasihati, anak juga perlu mendapat apresiasi ketika dia menuruti perkataan orangtua dan berperilaku baik. Misalnya, kita sudah beberapa kali menasihati anak menaruh sepatuhnya dengan rapi di rak saat pulang sekolah. Ketika dia berhasil melakukannya secara rutin, berilah pujian. "Wah, rajin banget anak Mama sekarang. Sepatunya sudah di tempatnya, rumah jadi lebih rapi. Terima kasih, ya, kamu sudah bantu Mama!”. <h3>6. Tarik-ulur Sedikit </h3>Anak tidak selalu terima saat dinasihati, lo! Jadi, kalau dia malah marah atau menangis, cobalah bersabar dan tunda sebentar nasihatnya. Ganti fokus untuk bertanya padanya, apa yang membuatnya marah atau menangis. Lalu, pahami dan validasi perasaannya. Misalnya, saat menasihatinya untuk belajar agar nilainya bagus, anak menangis karena ingin main. Anda bisa tanya, kenapa dia menangis, lalu biarkan anak cerita kenapa dia ingin bermain dan tidak belajar. Setelahnya, Anda bisa bilang, “O, ya. Sekarang Mama tahu kenapa kamu menangis. Main itu memang menyenangkan. Tpi kamu juga perlu belajar supaya bisa dapat nilai bagus di sekolah. Setelah belajar, kamu boleh main lagi, kok!” Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-tips-pola-asuh-anak-usia-prasekolah-1663159945397" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">7 Tips Pola Asuh Anak Usia Prasekolah</a> <h3>7. Waktunya Harus Tepat </h3>Tidak hanya kata-kata yang tepat, nasihat yang baik juga harus diberikan pada waktu yang tepat. Misalnya, ketika anak kesal, carilah waktu lain untuk menasihatinya. Saat kekesalannya sudah reda, anak lebih bisa berpikir jernih dan memahami maksud kita. Itulah cara menasihati anak yang bisa Anda coba praktikkan di rumah. Sobat Altea yang punya masalah dalam pengasuhan anak atau ingin berdiskusi seputar masalah anak dengan ahlinya, jangan ragu untuk video call Psikolog di AlteaCare, ya! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Aha Parenting. Diakses pada Oktober 2022. What's Wrong with Strict Parenting? </li><li>Michigan State University. Diakses pada Oktober 2022. Permissive parenting style </li><li>Child Central. Diakses pada Oktober 2022. 5 Ideas for Raising an Obedient Child </li><li>PennState Extension. Diakses pada Oktober 2022. Teaching children to cooperate </li><li>Aha Parenting. Diakses pada Oktober 2022. When Kids Won't Cooperate: Give Choices </li><li>Naomi Aldort. Diakses pada Oktober 2022. How to Give Advice to Children </li></ul>

7 Cara Menasihati Anak Agar Menurut pada Orangtua

Pola asuh permisif membuat anak menuntut semua keinginan harus dipenuhi orangtua - AlteaCare | Foto: Envato

Apakah Sobat Altea tipe orangtua yang hampir selalu menuruti keinginan anak? Kalau iya, bisa jadi Anda sedang menerapkan pola asuh permisif. Jika gaya parenting atau pola asuh otoriter adalah gaya mengasuh yang relatif keras pada anak, permisif adalah kebalikannya. Pola asuh permisif adalah gaya mengasuh yang ditandai membiarkan anak melakukan apa saja dan memenuhi semua keinginan anak. Tidak heran bila banyak orang bilang orangtua yang mengadopsi pola asuh ini sangat memanjakan anaknya. Biasanya orangtua tipe ini juga tidak tega memberikan hukuman yang keras pada anak. Lantas, ciri-ciri gaya parenting yang permisif itu apa saja, sih? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini! <h2>Ciri-Ciri Pola Asuh Permisif </h2>Berikut adalah beberapa karakteristik dari gaya parenting yang permisif: <ul><li>tidak banyak menuntut anak </li><li>responsif terhadap kemauan anak </li><li>jarang mengawasi anak </li><li>jarang mengendalikan perilaku anak </li><li>jarang mendisiplinkan anak atau memberi hukuman atas kesalahannya </li><li>selalu memberi kehangatan dan perhatian pada anak </li><li>berupaya untuk selalu memfasilitasi aktivitas anak </li><li>sering memenuhi hasrat atau keinginan anak </li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-ciri-pola-asuh-otoriter-dan-dampaknya-pada-anak-1663160373072" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Ciri Pola Asuh Otoriter dan Dampaknya pada Anak</a> <h2>Dampak Pola Asuh Permisif </h2>Semua orangtua tentu ingin yang terbaik buat anaknya. Orangtua mana, sih, yang tidak bahagia melihat anaknya selalu tertawa dan senang? Namun, jika orangtua terlalu permisif, dikhawatirkan tumbuh kembang anak akan terdampak, bahkan hingga ia dewasa. Apa saja dampak dari gaya parenting satu ini pada anak? Yuk, simak paparan lengkap di bawah ini! <h3>1. Jadi Pribadi yang Egois </h3>Kita pasti tidak ingin, 'kan, anak yang kita sayangi punya sifat egois dan hanya mementingkan diri sendiri? Nah, menurut penelitian, gaya parenting permisif membuat kita gagal memberikan batasan pada anak, mana yang boleh dan boleh. Begitu juga dengan keinginan mana yang bisa dikabulkan dan mana yang tidak. Konsekuensi dari pola asuh ini adalah tumbuhnya jiwa narsistik dan punya pola pikir yang selalu mengutamakan diri sendiri. Lebih jauh lagi, saat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, anak cenderung tidak bertanggung jawab dan tentu saja bisa merepotkan orang di sekitarnya. <h3>2. Sulit Mengendalikan Diri </h3>Selain egois, anak juga sulit mengendalikan diri. Ia akan memaksa orang tua memenuhi keinginannya, bahkan bisa jadi agresif saat keinginan tidak diikuti. Sementara itu, kita sebagai orangtua juga semakin tidak nyaman saat mau membatasi perilaku anak. Akhirnya, yang terjadi kita malah menoleransi perilaku buruk mereka. <h3>3. Pola Hidup Berantakan </h3>Terbiasa bebas dan apa saja boleh, akhirnya hidup anak pun jadi tidak teratur. Soalnya, kita tidak pernah membiasakan anak punya jadwal aktivitas, mulai dari jam tidur, belajar, makan, hingga bermain. Bila dibiarkan hingga besar nanti, anak akan jadi orang yang tidak disiplin. Dampak lainnya, ketika pola hidupnya tidak teratur, risiko gangguan kesehatan fisik pun meningkat. <h3>4. Prestasi Belajar Rendah </h3>Pola asuh yang terlalu memanjakan anak juga berpengaruh pada prestasinya di sekolah. Karena kita tidak pernah menerapkan disiplin belajar, anak pun tidak terdorong untuk meraih pencapaian belajar yang baik. Selain itu, anak pun tidak berpikir bahwa sebagai anak dan pelajar mereka punya tanggung jawab untuk belajar. Yang ia tahu dan kejar mungkin hanya keinginan main saja. <h3>5. Berpotensi Jadi Pelaku Perundungan </h3>Anak mungkin tidak jadi korban perundungan di sekolah, tetapi bisa saja dia menjadi pelakunya. Pasti Anda juga tidak mau, 'kan? Nah, menurut penelitian, orang tua yang permisif cenderung tidak memberi target pada anak. Ini membuat anak tidak berfokus untuk belajar di sekolah namun bermain, bahkan mengganggu teman-temannya. Karena apa yang ia lakukan selalu dianggap benar oleh orangtua, anak pun menganggap sah-sah saja bila melakukan bullying terhadap temannya. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/kenali-pola-asuh-otoritatif-penerapannya-anak-jadi-mandiri" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Kenali Pola Asuh Otoritatif &amp; Penerapannya. Anak Jadi Mandiri!</a> <h2>Cara Mengubah Pola Asuh Permisif </h2>Sekarang Anda sudah tahu bahwa gaya parenting permisif ini terlalu memanjakan anak dan bisa berdampak buruk terhadap masa depannya. Nah, sebaiknya Anda mengubah pola asuh menjadi lebih baik, yaitu lebih mengarah ke gaya otoritatif. Ayo, lakukan sebelum terlambat! Beberapa hal ini bisa Anda terapkan pada anak di rumah: <ul><li>berikan aturan yang wajib ditaati anak di rumah </li><li>tetapkan konsekuensi yang akan ditanggung anak jika aturan tidak diikuti </li><li>berikan "hadiah kecil" jika anak melakukan pekerjaan rumah atau membantu orang tua. Contoh: boleh menonton Youtube selama 30 menit jika sudah mengerjakan PR atau boleh bermain gim setelah membantu ibu menyapu lantai rumah </li><li>tetap sabar dalam proses adaptasi anak terhadap peraturan baru </li></ul>Itulah karakteristik dan dampak dari pola asuh permisif. Sobat Altea yang punya masalah dalam mengasuh anak di rumah dan ingin berdiskusi dengan ahlinya, jangan ragu untuk lakukan video call dengan psikolog anak di AlteaCare, ya! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Michigan State University. Diakses pada Oktober 2022. Permissive parenting style </li><li>Hosokawa, R., &amp; Katsura, T. (2019). Role of parenting style in children’s behavioral problems through the transition from preschool to elementary school according to gender in Japan. International journal of environmental research and public health, 16(1), 21. </li><li>Odame-Mensah, S., &amp; Gyimah, E. K. (2018). The role of permissive and neglectful parenting style in determining the academic performance of adolescents in the senior high schools in the Birim Municipality. Journal of Education and Practice, 9(4), 73-82. </li></ul>

Dampak Pola Asuh Permisif dan Ciri-cirinya. Anak Jadi Egois!

Pola asuh otoritatif mendekatkan anak dengan orangtua - AlteaCare | Foto: Envato

Banyak ahli menganjurkan orangtua untuk mengadopsi pola asuh otoritatif. Sebab, tipe parenting ini dianggap sebagai jalan tengah antara gaya parenting yang keras dan permisif. Tidak sedikit orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter atau relatif keras dalam mendidik anaknya. Biasanya, mereka berharap mental anaknya jadi kuat dengan pola asuh seperti itu. Sebaliknya, ada juga orangtua yang sering tidak tegaan alias permisif. Mereka cenderung mengabulkan semua permintaan anak dan sering memanjakannya. Kita bisa lihat, dua jenis pola asuh ini adalah dua kubu yang saling bertentangan. Sementara itu, ada juga kelompok orangtua yang tidak mau mendidik anaknya secara keras, tetapi tidak ingin juga memanjakan anaknya. Nah, para orangtua ini menerapkan gaya parenting yang disebut otoritatif. Seperti apa pola asuh otoritatif dan bagaimana menerapkannya dalam keluarga? Yuk, simak paparan di bawah ini! <h2>Pengertian Pola Asuh Otoritatif </h2>Pola asuh otoritatif adalah pendekatan pola asuh yang menggabungkan nuansa kehangatan dan kepekaan, tetapi tetap ada batasannya. Dalam mendidik anak, orangtua mendorong anak dengan cara yang positif dan disertai dengan memberikan pemahaman kenapa hal itu harus dilakukan.&nbsp;Mereka juga bersedia mendengarkan pendapat anak, meski tidak selalu menerimanya.Gaya parenting seperti ini juga menghindari menggunakan ancaman atau hukuman agar anak menurut. Orangtua yang otoritatif mengizinkan anak untuk mandiri dalam melakukan berbagai hal.Hasilnya, kebebasan yang diberikan orangtua bisa mengajarkan anak mencapai segala keinginannya sendiri dengan karakter diri yang kuat. Menurut penelitian, pola asuh&nbsp;ini terbukti berdampak positif pada anak. Kebanyakan anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif memiliki karakteristik seperti berikut: <ul><li>lebih dewasa </li><li>mentalnya kuat </li><li>optimis dalam melakukan segala hal </li><li>lebih mandiri </li><li>punya kemampuan sosial yang baik </li><li>punya self-esteem yang tinggi </li><li>pencapaian akademik yang baik </li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-ciri-pola-asuh-otoriter-dan-dampaknya-pada-anak-1663160373072" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Ciri Pola Asuh Otoriter dan Dampaknya pada Anak</a> <h2>Karakteristik Pola Asuh Otoritatif </h2>Sudah terbayang, bagaimana cara menerapkan gaya parenting otoritatif? Nah, gaya parenting ini punya beberapa karakteristik khas, yang membedakannya dengan pola asuh lain. Berikut ini adalah beberapa di antaranya: <h3>1. Punya Aturan di Rumah </h3>Meski tidak keras, pola asuh otoritatif tetap menerapkan aturan agar anak tahu mana yang benar dan yang salah. Misalnya, sepulang sekolah anak langsung pergi main ke rumah teman,&nbsp;tanpa pamit pada orangtua. Anda bisa berikan sanksi berupa tidak boleh main ke rumah teman selama dua pekan. Dengan begitu, anak tahu pentingnya pamit pada orangtua saat mau pergi ke luar rumah. Jangan lupa, beri tahu juga pada anak kenapa tindakannya tidak benar. Misalnya, orangtua jadi cemas, bingung, atau khawatir terjadi sesuatu saat dia dalam perjalanan pulang dari sekolah. <h3>2. Beri Kesempatan Anak Beropini </h3>Orangtua otoriter biasanya hanya akan memaksakan aturan ketat dan anak tidak boleh bertanya alasannya. Nah, orangtua otoritatif biasanya menyampaikan aturan yang penting, lalu anak boleh menyampaikan opini atau keberatannya. Misalnya, anak protes ketika Anda membatasi durasi main gim hanya satu jam sehari. Berikan anak kesempatan berargumentasi. Bisa saja dia protes karena durasinya sangat singkat. Setelahnya, Anda bisa buat kesepakatan, bahwa dia boleh main gim lebih dari satu jam tapi di hari Jumat, karena besoknya sudah akhir minggu. <h3>3. Tetap Ekspresikan Kasih Sayang pada Anak </h3>Aturan di rumah perlu dipatuhi. Tapi, jangan lupa untuk mengungkapkan rasa sayang pada anak, ya! Sering-seringlah memeluknya saat sedang bersantai. Ajak bercanda dan berikan ciuman sayang. Elus kepala dan tepuk bahunya saat sedang berjuang menyelesaikan tugas sekolahnya. <h3>4. Latih Disiplin Anak </h3>Sobat Altea tahu tidak, anak tetap bisa punya mental disiplin tanpa harus dididik secara keras. Disiplin bisa diterapkan antara lain dengan adanya jadwal rutinitas. Jadi, dia tahu kapan saatnya belajar, makan, main, dan istirahat. Contoh lainnya, minta anak bereskan barang-barang dan area pribadinya, seperti kamar tidur, lemari pakaian, rak buku, hingga meja belajar. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-cara-membesarkan-anak-yang-tahan-banting" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">7 Cara Membesarkan Anak yang Tahan Banting</a> <h3>5. Beri Pengertian Tentang Perilaku yang Diharapkan </h3>Teriakan yang ngegas memang bisa bikin anak jadi berperilaku sesuai keinginan kita. Namun, hal tersebut tidak membuatnya paham tentang perilaku yang benar dan salah. Akan lebih efektif dan baik jika Anda berfokus untuk memberi pemahaman pada anak seputar perilaku yang baik dan salah. Prosesnya memang lebih lama dan Anda perlu sering mengoreksi dan menegurnya. Tetapi ini dapat membantu membentuk mentalnya. Setelah anak mulai paham, buat aturan dan batasan seputar mana yang boleh dilakukan. Contohnya, saat anak marah dan uring-uringan karena tidak dibelikan mainan, sebisa mungkin jangan membentaknya. Ingatkan anak lagi bahwa tidak semua keinginan bisa dituruti. Lalu, katakan juga bahwa dia boleh marah tapi caranya harus lebih baik. Bukan dengan cara menjerit-jerit atau melempar-lempar barang. Itulah pengertian pola asuh otoritatif dan cara menerapkannya. Sobat Altea yang punya masalah dalam pengasuhan anak dan ingin berdiskusi dengan psikolog, segera lakukan video call di AlteaCare saja! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Parenting Science. Diakses pada Oktober 2022. The authoritative parenting style: An evidence-based guide </li><li>Kuppens, S., &amp; Ceulemans, E. (2019). Parenting styles: A closer look at a well-known concept. Journal of child and family studies, 28, 168-181. </li><li>Very Well Mind. Diakses pada Oktober 2022. Authoritative Parenting Characteristics and Effects </li></ul>

Kenali Pola Asuh Otoritatif & Penerapannya. Anak Jadi Mandiri!

Memberikan tantangan sesuai kebutuhan adalah cara membesarkan anak tahan banting - AlteaCare | Foto: Envato

Kita pasti ingin punya anak yang bermental baja dan tahan banting. Namun, dengan banyaknya tantangan zaman sekarang, cara membesarkan anak yang tahan banting sedikit sulit. Mendidik anak memang butuh strategi tersendiri. Kita tentu ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang bermental kuat dan tahan banting. Karena itu, kita terkadang berlaku sedikit "keras" pada anak. Apalagi, menurut pakar psikologi, anak yang tahan banting memiliki insting lebih tajam untuk mengetahui apa yang ia perlu lakukan, serta rasa percaya diri yang lebih tinggi. Masalahnya, sebagai orangtua kita pun ingin anak selalu nyaman dan hidup enak. Lalu, bagaimana cara agar anak memiliki mental yang kuat sekaligus bisa menikmati kenyamanan hidup? Yuk, ikuti tips cara membesarkan anak yang tahan banting berikut ini! <h2>7 Cara Membesarkan Anak Tahan yang Banting </h2>Anak-anak belajar dan melihat dari orangtuanya, sehingga kita perlu menjadi model bagi mereka. Berikut ini adalah tips membentuk anak supaya jadi lebih tangguh: <h3>1. Jangan Berikan Semua yang Diminta </h3>Anak kecil pasti akan meminta berbagai hal yang dianggapnya menyenangkan. Namun, sebagai orangtua, Anda harus punya batasan. Permintaan mana yang bisa dikabulkan dan mana yang tidak. Misalnya, ketika anak bosan dan ingin jalan-jalan, kita begitu mudah mengabulkannya. Atau, ketika ingin jajan, kita akan membelikan makanan apa saja yang ia mau. Menurut psikolog, perilaku seperti ini malah akan membuat anak sulit mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-cara-menghadapi-anak-cengeng-harus-sabar" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">7 Cara Menghadapi Anak Cengeng. Harus Sabar!</a> <h3>2. Jangan Overprotektif </h3>Tidak aneh bila kita sering mencemaskan anak. Bagaimana kalau dia sampai jatuh, terluka saat main, atau ujiannya sampai dapat nilai buruk. Tapi, hal ini terkadang malah bikin kita jadi sering melarang anak mencoba beberapa jenis permainan. Atau, kita juga tidak segan membuatkan tugas sekolahnya supaya dapat nilai bagus. Dalam jangka waktu yang lama, memproteksi anak terlalu berlebihan bisa membuatnya terlalu bergantung pada Anda. Bahkan, menurut peneliti, orangtua overprotektif bisa menjadikan anaknya lebih rentan terhadap <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan kecemasan</a>. Selain itu, anak akan cenderung berusaha menghindar ketika menghadapi tantangan. <h3>3. Ajari Anak Menyelesaikan Masalah </h3>Salah satu cara membesarkan anak tahan banting adalah meningkatkan kemampuan anak memecahkan masalah. Anda dapat melatihnya dengan cara tidak memberikan solusi instan untuk berbagai masalahnya. Misalnya, anak stres karena esok hari ada pelajaran olahraga dan dia sering salah tendang bola. Orangtua yang terlalu memanjakan akan membiarkan anak sesekali bolos untuk menghindari salah satu masalahnya. Nah, semoga Sobat Altea tidak melakukan ini, ya! Sebaiknya, ajari anak menghadapinya. Kita bisa terlebih dulu ajak anak bermain oper-operan bola di lapangan dekat rumah. Atau, perlihatkan video orang yang berlatih sepakbola, sehingga dia dapat mengamati cara menendang bola yang benar. <h3>4. Ajak Berolahraga </h3>Ajaklah anak Anda berolahraga saat ada waktu senggang. Menurut penelitian, aktivitas fisik seperti berolahraga dapat mengasah karakter tahan banting. Sebab, saat berolahraga anak akan banyak berpikir dan bereaksi terhadap segala tantangan. Anda bisa mulai dari jenis olahraga permainan, seperti sepakbola atau bulutangkis.&nbsp;Pastikan anak juga bergembira saat berpartisipasi dalam aktivitas yang diikuti. Ini membantunya untuk tetap seimbang dan lebih mampu menghadapi stres.<h3>5. Ubah Cara Bertanya </h3>Ketika anak melakukan kesalahan, kita bertanya kenapa ia sampai berbuat demikian. Tapi, sebenarnya ada cara yang lebih baik yang dapat memancingnya mencari solusi. Misalnya, anak lupa mengerjakan pekerjaan rumah dan ditegur guru di sekolah. Alih-alih menanyakan, "kenapa kamu bisa lupa buat PR?", cobalah menanyakan, "bagaimana caranya supaya kamu tidak bakal lupa bikin PR lagi?" Dari situ, anak akan berpikir untuk mencari solusi atas kelemahannya. Mulai dari buat catatan dan menempelkannya di meja belajar, mengecek buku tugas sekolah mereka, dan lain-lain. <h3>6. Biarkan Anak Melakukan Kesalahan </h3>Sebagai orang tua, kita mungkin lebih sering mencegah agar anak tidak sampai berbuat salah. Ya, daripada nanti kita juga yang harus membereskan dampaknya, ‘kan? Namun, selama kesalahan tersebut tidak membahayakan nyawa dan kesehatan, sebenarnya tidak apa-apa, lo, membiarkan anak berbuat salah. Sebab, dari kesalahan ini anak akan berpikir seputar konsekuensi dari tindakannya. Ini bisa jadi pembelajaran untuk memperbaiki diri di masa depan. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-memarahi-anak-biar-tidak-sampai-luka-batin-1658936053066" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">8 Cara Memarahi Anak Biar Tidak Sampai Luka Batin</a> <h3>7. Ajarkan Anak Kendalikan Emosi </h3>Pengendalian diri adalah modal penting agar anak tetap tahan banting dalam segala tantangan. Tanamkan pengendalian emosi sejak ia masih balita, karena ini juga dapat mendukung tumbuh kembangnya. Sebab, bila seorang anak mampu meredam amarah saat situasi membuatnya frustrasi, emosinya makin terkendali. Namun, bukan berarti anak tidak boleh marah, ya! Namun, ajarkan dia mencari tahu apa yang harus dilakukan saat sedang kesal.Beri pengertian juga padanya bahwa sebenarnya semua emosi itu baik dan bisa membantunya belajar dan bertumbuh, asal bisa dikelola dengan efektif.Itulah sejumlah cara membesarkan anak yang tahan banting yang bisa Anda coba terapkan. Sobat Altea yang butuh saran atau ingin berdiskusi seputar pengasuhan anak, langsung saja video call Psikolog di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Psych Central. Diakses pada Agustus 2022. 10 Tips For Raising Resilient Kids </li><li>Wu, Q., Zhang, J., &amp; Slesnick, N. (2020). Intergenerational transmission of maternal overprotection and child anxiety in substance-using families. Journal of anxiety disorders, 73, 102236. </li><li>Arida, R. M., &amp; Teixeira-Machado, L. (2021). The contribution of physical exercise to brain resilience. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 279. </li><li>Cole, P. M., &amp; Jacobs, A. E. (2018). From children’s expressive control to emotion regulation: Looking back, looking ahead. European Journal of Developmental Psychology, 15(6), 658-677. </li></ul>

7 Cara Membesarkan Anak yang Tahan Banting

Anak cengeng sebenarnya adalah kondisi yang normal terjadi - AlteaCare | Foto: Envato

Sebagian anak terlahir dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, sehingga terlihat lebih cengeng. Sebenarnya ini adalah perilaku anak yang wajar sebagai salah satu bentuk ekspresi. Orangtua tidak bisa mencegah anak rewel, tapi bisa melakukan pendekatan berbeda untuk menghadapinya. Anak yang sensitif terkadang bikin kita kesal dan bingung. Soalnya, banyak hal yang bisa membuatnya menangis. Bahkan, ketika guru sedang memarahi temannya saja, dia bisa menangis. Biasanya, anak yang sangat sensitif cenderung memiliki perilaku berikut: <ul><li>mudah terkejut dan tidak suka kejutan </li><li>mudah mengeluh, misalnya saat pakaian membuatnya sedikit gatal atau label pakaian bergesekan dengan kulitnya </li><li>tidak nyaman jika mencium aroma yang tidak biasa </li><li>terlalu banyak bertanya </li><li>tidak nyaman bila ada perubahan besar </li><li>lebih nyaman mengerjakan banyak hal jika tidak ada orang asing di sekitarnya </li></ul>Nah, jika anak Anda mengalami hal-hal di atas, bisa jadi mereka akan menjadi super sensitif atau cengeng. Lalu bagaimana cara menghadapinya? Yuk, simak tips berikut ini! <h2>7 Cara Menghadapi Anak Cengeng </h2>Berikut ini beberapa trik yang bisa Anda coba untuk mengasuh anak yang sensitif dan mudah rewel: <h3>1. Jangan Terburu-buru Menyuruhnya Diam </h3>Ketika anak kecil mulai menangis, mungkin bagi sebagian orang akan mengganggu. Makanya, banyak orang tua yang langsung meminta anaknya untuk diam. Namun ternyata, tindakan ini hanya menjadi pemicu bagi anak untuk menangis semakin kencang. Karena itu, biarkan dia menangis beberapa saat. Lalu, minta dia untuk ambil napas pelan-pelan, lalu embuskan. Lakukan beberapa kali hingga dia tenang. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-mengatasi-cyberbullying-pada-anak-butuh-edukasi-1660021320447" target="_blank">8 Cara Mengatasi Cyberbullying pada Anak. Butuh Edukasi!</a><h3>2. Alihkan Perhatiannya </h3>Cara lain untuk mengatasi anak cengeng adalah dengan mengalihkan perhatiannya saat mulai menangis. Misalnya, saat sedang menangis, Anda bisa bilang, "Eh, itu ada kucing lewat bawa anaknya. Itu ada berapa ya anak kucingnya?" atau "Eh, sekarang Spongebob sudah tayang, nonton yuk!" Trik seperti ini dipercaya pakar cukup ampuh membuat anak berhenti menangis. <h3>3. Jangan Buat Anak Merasa Dihukum </h3>Anak sensitif cenderung cepat merasa malu atau merasa bersalah ketika sesuatu terjadi tidak sesuai ekspektasi. Misalnya ketika tidak sengaja merusak mainan atau mendapat nilai jelek. Setelah ini terjadi, mereka takut akan dimarahi atau dihukum oleh orang tua dan guru. Maka dari itu, Anda sebagai orang tua, perlu kreatif membuatnya merasa nyaman. Tenangkan anak dan beri pengertian bahwa ia tidak akan dihukum. Namun, kalau itu memang salahnya, beri teguran dengan lembut dan minta dia tidak mengulanginya lagi. <h3>4. Perlahan Bangun Percaya Dirinya </h3>Saat tahu si Kecil cengeng, banyak orang pasti menyarankan Anda untuk mengajarkan anak lebih tangguh. Tidak sedikit juga yang percaya bahwa pola asuh atau didikan keras bisa membuat anak sensitif menjadi bermental kuat. Nyatanya, tidak semua anak dapat dididik seperti itu. Memaksa anak sensitif untuk jadi tangguh malah bisa membuat mentalnya jadi lemah dan makin sangat sensitif terhadap kritikan orang lain. Bahkan, jika terus dipaksa, bisa memicu gangguan <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">depresi</a>&nbsp;atau <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">kecemasan</a>. Akan lebih baik kalau kita mendekati anak dan membangun rasa percaya dirinya secara perlahan. <h3>5. Jangan Selalu Turuti Keinginannya </h3>Meski sampai menangis menjerit-jerit, jangan selalu menuruti keinginan anak, ya! Sebab, ini hanya akan menjadikannya manja. Katakan "tidak" dengan tegas pada hal yang sulit dikabulkan atau berbahaya. Ini akan membuat memahami bahwa orangtua yang pegang kendali. Sementara itu, Anda juga bisa berikan hadiah saat anak bisa bekerja sama dengan baik. Hal ini dapat membuatnya menjadi pribadi yang lebih tenang. <h3>6. Ajarkan Cara Menyampaikan Keinginan </h3>Terkadang, anak yang cengeng hanya menangis tanpa memberi tahu yang dia inginkan. Latihlah dia untuk menjelaskan hal yang membuatnya menangis dan ajari dia cara untuk mengutarakan apa yang diinginkan. Misalnya, dengan memberi kata-kata pancingan. Dengan begitu, anak akan terbiasa mengatakan apa yang dia inginkan tanpa perlu merengek atau minta dikasihani. Di sisi lain, orangtua juga dapat memvalidasi perasaan anak tanpa perlu berfokus pada rengekannya. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-cara-melatih-kesabaran-anak-cari-momen-yang-tepat-1659099186285" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Cara Melatih Kesabaran Anak. Cari Momen yang Tepat!</a> <h3>7. Ciptakan Suasana Tenang Sebelum Tidur </h3>Anak yang sensitif atau cengeng biasanya kewalahan dengan emosinya sendiri, apalagi setelah menjalani hari yang panjang. Akibatnya, dia bisa sulit tertidur di malam hari. Untuk membuatnya lebih tenang, lakukanlah aktivitas bisa menenangkan hatinya sebelum tidur. Misalnya, ajak nonton film sambil minum cokelat hangat atau membaca komik, dan lain-lain. Itulah cara menghadapi anak cengeng yang bisa Anda coba. Sobat Altea yang butuh saran dan rekomendasi dari ahli untuk menangani anak yang sensitif dan cengeng, jangan ragu untuk video call dengan psikolog terpercaya di AlteaCare, ya! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber:<ul><li>Parent. Diakses pada September 2022. How to Help Your Highly Sensitive Child </li><li>Baryła-Matejczuk, M., Artymiak, M., Ferrer-Cascales, R., &amp; Betancort, M. (2020). The Highly Sensitive Child as a challenge for education–introduction to the concept. </li><li>PBS. Diakses pada September 2022. How to Support Your Highly Sensitive Child </li><li>Ernzen, M. A. (1998). Early lessons can help prevent spoiling. International Journal of Childbirth Education, 13(4), 17. </li><li>Hand in Hand Parenting. Diakses pada September 2022. What’s the Cure for Whining? </li><li>Today's Parent. Diakses pada September 2022. 9 signs you have a highly sensitive kid </li></ul>

7 Cara Menghadapi Anak Cengeng. Harus Sabar!

Sibling rivalry bisa berawal bahkan sebelum anak kedua lahir - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap orangtua yang punya anak lebih dari satu pasti ingin semua anaknya akur, saling berbagi, dan saling menyayangi. Nyatanya, mengasuh dua anak atau lebih membuat orangtua mungkin menghadapi masalah sibling rivalry atau persaingan antarsaudara. Sibling rivalry adalah konflik yang terjadi antara anak-anak yang dibesarkan dalam satu keluarga. Bukan hanya saudara kandung, persaingan juga bisa terjadi antara saudara tiri dan saudara angkat. Melansir dari Healthline, bentuk persaingannya bisa bermacam-macam: <ul><li>bertengkar atau adu mulut </li><li>berkelahi fisik </li><li>saling mengejek </li><li>berebut perhatian orangtua </li><li>memperlihatkan rasa iri </li></ul>Lalu, kenapa semua ini bisa terjadi? Yuk, kita kenali lebih dalam seputar persaingan antarsaudara berikut ini! Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-pertanyaan-tentang-parenting-yang-pengaruhi-masa-depan-1675249141691" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">8 Pertanyaan Tentang Parenting yang Pengaruhi Masa Depan</a> <h2>Seperti Apa Sibling Rivalry Itu? </h2>Sibling rivalry bisa berangkat dari adanya rasa cemburu. Sebagian ahli menyebutkan, masalah ini bisa berakar pada dorongan anak untuk berkompetisi demi mendapat kasih sayang orangtuanya. Sementara ahli lain menyebutkan bahwa tujuan persaingan ini tak lain adalah perhatian dan pengakuan dari orangtua. Konflik antara anak-anak ini bisa dimulai bahkan sebelum anak kedua lahir. Yang menarik, konflik ini juga bisa terjadi hingga anak-anak sudah dewasa, lo! Mengutip dari Very Well Mind, riset memperlihatkan bahwa pola asuh orangtua punya peran penting terhadap sibling rivalry di masa dewasa, yang tentunya bila ditelusuri akan kembali pada masa kecil anak-anak. Inilah beberapa penyebab terjadinya konflik antarsaudara menurut studi: <h3>1. Favoritisme Negatif </h3>Meski menyayangi semua anaknya, tidak bisa dihindari kalau orangtua sebenarnya tetap punya favorit. Tapi, favoritisme yang negatif bisa berpengaruh pada mental semua anak. Beberapa dampak dari sikap orangtua memperlihatkan perhatian berlebihan pada anak favorit antara lain adalah: <ul><li>rasa marah atau sedih dari anak yang tidak difavoritkan </li><li>stres pada anak yang difavoritkan karena tingginya ekspektasi orangtua terhadapnya </li><li>relasi antara kakak-adik jadi renggang </li></ul><h3>2. Orangtua Merasa Lebih Dekat pada Salah Satu Anak </h3>Studi dari Cornell University terhadap orangtua, terutama yang sudah berusia lanjut, menyebutkan, 70% ibu bisa menunjuk anak yang dianggapnya dekat dengan dirinya. Menariknya, hanya 15% anak yang merasa mendapatkan perlakuan sama rata dari ibunya. Beberapa hal yang membuat orangtua punya hubungan lebih dekat dengan anaknya adalah: <ul><li>faktor geografis, misalnya salah satu anak tidak tinggal satu rumah dengan orangtua karena dititipkan pada kerabat </li><li>faktor budaya, misalnya pandangan bahwa anak laki-laki harus didahulukan karena merupakan penerus keluarga </li><li>kondisi kesehatan anak, misalnya anak termasuk berkebutuhan khusus atau mengidap penyakit kronis sehingga butuh perhatian dan waktu khusus </li><li>kedekatan khusus antara orangtua dan anak tertentu, misalnya ayah dan anak laki-laki atau ibu dan anak perempuan paling tua, karena punya sifat atau karakter yang mirip </li><li>di masa dewasa, faktor penentu lainnya bisa karena perbedaan cara pandang maupun gaya hidup anak yang dianggap tidak sesuai dengan orangtua </li></ul><h2>Cara Mengatasi Sibling Rivalry </h2>Dampak dari sibling rivalry bisa dirasakan sepanjang hidup.&nbsp;Sedangkan anak yang dalam pertumbuhannya bisa belajar bagaimana mencegah dan mengatasi konflik dengan saudaranya, cenderung lebih dapat bernegosiasi dan kompromi di masa depannya. Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya: <h3>1. Lakukan Aktivitas Bersama </h3>Melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh keluarga, seperti pergi ke pantai atau gunung saat liburan, bisa jadi salah satu cara untuk mengatasi masalah sibling rivalry. Kebersamaan yang terjalin selama bermain, makan, dan mengobrol bersama bisa memperkuat ikatan batin atau bonding antara anak serta dengan orangtua. Tips: Cari permainan yang membutuhkan kerjasama tim, lalu atur agar anak yang bersaing ada dalam satu kelompok sehingga bisa belajar untuk kompak. <h3>2. Luangkan Waktu untuk Setiap Anak </h3>Banyak orang bilang, orangtua harus berlaku adil pada setiap anaknya. Tapi, bukan berarti perlakuan Anda harus setara pada setiap anak, ya. Tips: <ul><li>Fokuslah meluangkan waktu berkualitas dengan setiap anak. Sempatkan setidaknya 10 menit setiap hari untuk mendengar cerita mereka satu per satu. </li><li>Saat terjadi pertengkaran, dengarkan cerita dari kedua pihak. Pastikan anak merasa ia didengarkan tanpa perlu memihak dan menginterupsi. </li><li>Berikan perhatian dan pahami karakter setiap anak serta kebutuhan emosionalnya. Misalnya, ada anak yang perlu diberi kepercayaan lebih karena sifatnya sangat mandiri. Sementara yang lainnya mungkin lambat saat belajar, sehingga perlu banyak didampingi saat mengerjakan tugas sekolah. </li></ul><h3>3. Tidak Perlu Membandingkan </h3>Karena kita sudah tahu bahwa setiap anak punya keunikan masing-masing, tentu tidak ada lagi alasan untuk membandingkan mereka. Apalagi, jika dilakukan terang-terangan di depan anak. Ini bisa bikin sibling rivalry jadi makin panas. Tips: <ul><li>hargai keunikan anak dan terima kekurangannya sambil beri dorongan untuk terus memperbaiki diri </li><li>hindari melontarkan kata-kata yang menyudutkan salah satu anak. Misalnya, “Kakak selalu dapat seratus kalau tes matematika, kenapa kamu hanya tiga puluh?” </li><li>stop beri nama panggilan khusus untuk setiap anak, baik yang positif seperti Princess-nya Mama, hingga yang negatif seperti “Anak Rewel”</li><li>Tekankan pada anak-anak bahwa keharmonisan antar saudara dalam keluarga itu penting dan keluarga bagaikan satu tim yang harus bekerja sama agar rumah menjadi tempat yang penuh damai dan kasih sayang</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-ciri-keluarga-harmonis-dan-bahagia-perlu-ditiru-1659098161003" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">7 Ciri Keluarga Harmonis dan Bahagia. Perlu Ditiru!</a> <h3>4. Buat Aturan Main Dalam Keluarga </h3>Untuk mengatasi persaingan antara anak-anak, orangtua perlu ambil posisi sebagai mediator. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membuat aturan main di keluarga, agar semua sama-sama nyaman dan senang. Beberapa hal ini bisa dilakukan: <ul><li>minta anak selalu menghargai dan menyayangi saudaranya, dengan bicara yang sopan dan berperilaku yang baik satu sama lain </li><li>ajari anak cara yang positif untuk mendapatkan perhatian dari anggota keluarga lain </li><li>dorong anak-anak untuk bekerjasama dan berbagi </li><li>saat terjadi pertengkaran, hindari memihak dan menyalahkan salah satu anak, namun dorong mereka untuk berpikir, berdiskusi, dan mencari solusi </li><li>tegaskan pada anak bahwa tindakan kekerasan dan bullying tidak bisa diterima </li></ul>Dengan ada aturan main seperti ini, anak tidak dibuat jadi takut atau tertekan, namun jadi lebih paham mana yang baik dan apa yang tidak. Itulah beberapa hal penting seputar sibling rivalry yang perlu diketahui orangtua dan cara mengatasinya. Sobat Altea yang ingin berdiskusi lebih lanjut seputar konflik antara anak-anak di rumah maupun masalah perilaku yang dialami oleh salah satu anak, jangan ragu untuk bercerita pada psikolog di AlteaCare lewat video call. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Raising Children. Diakses pada Februari 2023. Preventing sibling fights: eight tips </li><li>Cleveland Clinic. Diakses pada Februari 2023. 10 Tips for Dealing With Sibling Rivalry </li><li>Web MD. Diakses pada Februari 2023. How to Handle Sibling Conflict and Rivalry </li><li>Healthline. Diakses pada Februari 2023. Give Peace a Chance: Sibling Rivalry Causes and Solutions </li><li>Very Well Mind. Diakses pada Februari 2023. How to Handle the Stress of Adult Sibling Rivalry </li><li>MedicineNet. Diakses pada Februari 2023. What Are the Main Causes of Sibling Rivalry? </li></ul>

Mengenal dan Mengatasi Sibling Rivalry pada Anak

Sebagai orangtua baru, pasti kepala kita banyak dipenuhi pertanyaan tentang parenting yang baik untuk anak. Wajar jika overthinking, karena kita selalu ingin yang terbaik untuk anak, 'kan? Pola asuh anak berperan vital terhadap tumbuh kembang anak. Pasalnya, interaksi pertama anak tentu saja dilakukan dengan keluarga di rumah. Hal utama yang harus kita lakukan sebagai orangtua adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai pola asuh yang benar. Banyak studi sudah membuktikan bahwa wawasan orangtua mengenai pola asuh sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, motorik, dan perilaku anak. Tidak hanya perkembangan di rumah, pola asuh kita juga dapat berpengaruh terhadap prestasi akademik anak, lo! Penasaran ingin tahu jawaban dari pertanyaan Anda tentang parenting? Yuk, simak berikut ini! <h2>8 Pertanyaan Tentang Parenting dan Jawabannya </h2>Berikut adalah daftar pertanyaan paling umum seputar pola asuh dari orangtua:. <h3>1. Pola Asuh Apa yang Tepat Agar Anak Berprestasi di Sekolah? </h3>Sebenarnya, tidak ada jawaban yang pasti. Namun, sebagai orangtua, kita bisa membantu merangsang otak anak untuk belajar. Misalnya, mengajari anak menggunakan komputer sejak dini di rumah. Kita bisa mulai dari yang sederhana, semisal mengetik atau mencari informasi di mesin pencari. Alternatif lain, ajak anak ke perpustakaan. Ini akan merangsang otaknya untuk selalu penasaran hingga akhirnya mau belajar. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/seperti-apa-pola-asuh-yang-tepat-untuk-anak-adhd-1632297601254" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Seperti Apa Pola Asuh Yang Tepat Untuk Anak ADHD?</a> <h3>2. Bagaimana Cara Menghukum Anak yang Tepat? </h3>Hukuman ditujukan agar anak disiplin dan bertanggung jawab. Namun, kita harus selektif memilih jenis hukuman. Soalnya, jika sembarangan menghukum, bisa jadi anak bukannya makin bertanggung jawab, malah jadi takut pada orangtuanya. Beberapa studi menuliskan, salah satu cara menghukum yang baik adalah menerapkan time out atau menghilangkan hak dia untuk sementara waktu. Misalnya, anak tidak bikin PR. Anda boleh larang dia menyentuh gawai untuk menonton Youtube atau main gim. Setelah PR-nya selesai, baru kembali berikan gawainya. Dengan cara ini, anak diharapkan paham bahwa setiap tindakannya punya konsekuensi. <h3>3. Bagaimana Agar Anak Mau Bantu Pekerjaan Rumah Tangga? </h3>Kalau mau anak belajar hidup mandiri, Anda harus mulai dengan perlahan sejak masa anak-anak. Salah satunya dengan membiasakan anak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, semisal menyapu, mengepel, mencuci piring, melipat pakaian, dan lain-lain. Namun, namanya juga anak-anak. Pasti terkadang ada rasa malas jika disuruh mengerjakan hal tersebut. Nah, Anda bisa menyiasatinya dengan beberapa langkah berikut: <ul><li>ajak anak melakukan pekerjaan rumah tangga bersama (jangan sekadar menyuruh) </li><li>jelaskan tugas dan tanggung jawab setiap anggota keluarga </li><li>jelaskan dengan sederhana kenapa piring harus dicuci, lantai harus dibersihkan, dan baju dilipat </li><li>tunjukkan kalau Anda gembira ketika anak mengerjakan tugasnya </li><li>berikan pujian setelah anak menyelesaikan tugasnya </li><li>berikan hadiah kecil saat anak menyelesaikan tugasnya, semisal camilan atau diperbolehkan menonton Youtube </li></ul><h3>4. Tipe Parenting Seperti Apa yang Efektif? </h3>Setiap keluarga punya gaya mendidik anak sendiri. Namun, menurut penelitian, pola asuh positif atau positive parenting adalah yang paling efektif. Parenting positif adalah pola asuh yang mengutamakan kasih sayang, edukasi, dan komunikasi. Dengan begitu, diharapkan ada keseimbangan antara mendisiplinkan dengan pemberian kasih sayang. Contoh pola asuh positif yang bisa Anda coba di antaranya adalah: <ul><li>jelaskan ekspektasi Anda terhadap anak dengan jelas </li><li>berikan kasih sayang dan apresiasi kepada anak </li><li>pahami kelebihan dan kelemahan anak </li><li>pancing rasa penasaran dan ingin tahunya </li><li>latih kemandiriannya </li><li>berikan hukuman jika anak melakukan kesalahan </li></ul><h3>5. Bagaimana Cara Menghentikan Kakak-Adik yang Bertengkar? </h3>Pertengkaran kakak-adik bukanlah hal aneh dalam keluarga. Tapi, kita perlu bersikap hati-hati supaya anak tidak menganggap orangtuanya pilih kasih. Menurut sejumlah studi, komunikasi adalah hal paling utama dalam menangani konflik ini. Jadi, ketika Anda bertindak untuk menengahi pertengkaran, jelaskan alasan Anda melakukannya. Misalnya, Anda minta si Kakak mengalah. Jelaskan pada si Kakak kenapa dia harus mengalah. Lalu, beri penjelasan juga pada sang adik, apa yang harus dia lakukan lain kali supaya tidak bertengkar lagi dengan kakaknya. <h3>6. Kapan Waktu Terbaik Bahas Soal Seks? </h3>Mungkin topik ini kurang nyaman dibahas bersama anak. Meski begitu, pendidikan seks penting karena akan berpengaruh pada hidupnya. Anda bisa mulai sedini mungkin. Misalnya, saat anak berusia 6 tahunan, Anda bisa menjelaskan proses terbentuknya bayi lewat metafora tentang benih. Ketika usianya bertambah besar, Anda bisa jelaskan dari mana benih itu datang. Lalu, ketika mulai remaja, Anda bisa jelaskan perubahan tubuh yang dapat ia alami saat masa pubertas, begitu juga seputar cinta dan hubungan asmara. Dengan begitu, anak dapat informasi seputar seks secara baik dari orang tua, bukan dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-kesalahan-orangtua-dalam-pola-asuh-anak-1657627432827" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">6 Kesalahan Orangtua Dalam Pola Asuh Anak</a> <h3>7. Usia Berapa Anak Diperbolehkan Pacaran? </h3>Tidak ada jawaban yang pasti untuk ini. Soalnya, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, semisal perkembangan emosi anak, budaya keluarga, dan lain-lain. Cara terbaik untuk tahu kapan anak sudah cukup umur untuk pacaran adalah dengan membuka dialog. Anda bisa gali pandangan anak seputar lawan jenisnya. Lalu, Anda juga bisa jelaskan apa bedanya perasaan dalam pertemanan dan dalam hubungan romantis. Dari sini, Anda bisa nilai apa anak sudah siap berpacaran. Namun, jika Anda menganut budaya yang tidak menyetujui pacaran, tetaplah berdialog dengan anak. Tanyakan pendapatnya, lalu berikan pemahaman kenapa Anda tidak memperbolehkannya berpacaran. <h3>8. Apakah Prestasi Akademik Itu Penting? </h3>Sebenarnya, masa depan anak memang tidak ditentukan dari nilai di sekolah. Sukses bisa didapat selama anak bekerja keras dan mendalami bidang yang ditekuni. Namun, Anda harus tetap perhatikan prestasi akademiknya. Soalnya, dari sini Anda bisa tahu apakah anak mengalami gangguan belajar atau tidak. Bila masalah belajar lebih cepat diidentifikasi, ini sangat membantu perkembangan anak ke depan. Itulah sejumlah pertanyaan tentang parenting yang banyak ditanyakan orang beserta jawabannya. Sobat Altea yang butuh diskusi lebih lanjut seputar pola asuh anak, jangan ragu untuk video call dengan Psikolog terpercaya yang sudah bergabung di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul><li>Breiner, H., Ford, M., Gadsden, V. L., &amp; National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2016). Parenting knowledge, attitudes, and practices. In Parenting Matters: Supporting Parents of Children Ages 0-8. National Academies Press (US). </li><li>Kong, C., &amp; Yasmin, F. (2022). Impact of Parenting Style on Early Childhood Learning: Mediating Role of Parental Self-Efficacy. Frontiers in Psychology, 13. </li><li>Nieman, P., Shea, S., Canadian Paediatric Society, &amp; Community Paediatrics Committee. (2004). Effective discipline for children. Paediatrics &amp; Child Health, 9(1), 37-41. </li><li>Raising Children. Diakses pada Januari 2023. Household chores for children </li><li>Positive Psychology. Diakses pada Januari 2023. What is Positive Parenting? 33 Examples and Benefits </li><li>UC Davis Health. Diakses pada Januari 2023. The Power of Positive Parenting </li><li>Loeser, M. K., Whiteman, S. D., &amp; McHale, S. M. (2016). Siblings’ perceptions of differential treatment, fairness, and jealousy and adolescent adjustment: A moderated indirect effects model. Journal of child and family studies, 25, 2405-2414. </li><li>Parenting First Cry. Diakses pada Januari 2023. The Most Important Parenting Questions – Where Do You Stand? </li></ul>

8 Pertanyaan Tentang Parenting yang Pengaruhi Masa Depan

Borderline personality disorder adalah gangguan yang berkaitan dengan peristiwa traumatis di masa lalu - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Borderline Personality Disorder </h2>Borderline personality disorder atau gangguan kepribadian ambang adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan ketidakstabilan suasana hati, hubungan dengan orang lain, dan citra diri. Gangguan ini termasuk gangguan yang berat sehingga dapat menghambat seseorang dalam menjalankan fungsinya baik di lingkungan sosial maupun pekerjaan.<h2>Penyebab Borderline Personality Disorder </h2>Gangguan kepribadian ambang sering dikaitkan dengan peristiwa traumatis di masa kecil. Beberapa peristiwa traumatis tersebut antara lain: <ul><li>mengalami pelecehan seksual atau fisik </li><li>dibesarkan dengan orang tua dengan masalah perilaku atau gangguan mental (seperti skizofrenia, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-bipolar-1655444499510" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan bipolar</a>) </li><li>berpisah dengan orang yang dicintai </li><li>peristiwa duka di masa kecil </li><li>tinggal dalam keluarga yang sering berkonflik atau banyak masalah </li><li>riwayat pelecehan fisik dan seksual saat remaja </li><li>pernah ditelantarkan </li><li>berpisah dengan orangtua </li><li>salah satu orangtua meninggal dunia </li></ul>Rasa trauma yang dialami melalui peristiwa ini dapat membuat seseorang mengalami <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-stres-pasca-trauma-1659441823433" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan stres pasca trauma</a> di masa anak-anak.<h2>Faktor Risiko Borderline Personality Disorder </h2>Hingga kini, para peneliti belum mengetahui dengan jelas apa yang menyebabkan gangguan kepribadian ambang. Namun, penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik, lingkungan, dan sosial dapat meningkatkan risiko berkembangnya gangguan ini. Faktor-faktor ini dapat meliputi: <h3>1. Riwayat Keluarga </h3>Orang yang memiliki anggota keluarga dekat (seperti orangtua atau saudara kandung) dengan gangguan kepribadian ambang erisiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan serupa. <h3>2. Struktur dan Fungsi Otak </h3>Penelitian menunjukkan, orang dengan gangguan kepribadian ambang mungkin mengalami perubahan struktural dan fungsional di otak, terutama di area yang mengontrol impuls dan regulasi emosi. Namun, penelitian tidak menemukan dengan jelas apakah perubahan ini merupakan faktor risiko gangguan borderline personality disorder (BPD). Atau, sebaliknya, apakah ada kemungkinan justru BPD-lah yang menjadi penyebab perubahan struktur dan fungsi otak. <h3>3. Faktor Lingkungan, Budaya, dan Sosial </h3>Banyak orang dengan gangguan kepribadian ambang melaporkan mengalami peristiwa kehidupan yang traumatis, seperti pelecehan, pengabaian, atau kesulitan selama masa kanak-kanak. Sementara itu, sebagian orang lainnya mungkin pernah memiliki relasi yang tidak stabil dengan orang lain dalam hidupnya. Meskipun faktor-faktor ini dapat meningkatkan risiko, bukan berarti seseorang pasti mengalami BPD bila memiliki salah satu faktor ini. Di sisi lain, orang yang tidak punya faktor risiko di atas juga bisa saja mengalami BPD.<h2>Gejala Borderline Personality Disorder </h2>Beberapa ciri khas orang yang mengalami borderline personality disorder antara lain adalah: <ul><li>sangat berusaha keras supaya tidak diabaikan, ditinggalkan, atau ditelantarkan </li><li>tidak bisa menjalin hubungan yang stabil dengan orang lain </li><li>perasaan dan emosinya tidak stabil </li><li>berperilaku impulsif dan sering kali berbahaya, seperti menghabiskan banyak uang, melakukan seks yang tidak aman, penyalahgunaan zat terlarang, mengemudi dengan ceroboh, dan makan tidak terkendali </li><li>berusaha melukai diri sendiri secara berulang, bahkan mencoba bunuh diri </li><li>suasana hatinya mudah berubah-ubah </li><li>selalu diliputi perasaan hampa yang kronis </li><li>menyimpan rasa marah yang intens dan tidak terkendali </li><li>saat sedang stres, cenderung punya pikiran paranoid dan gejala disosiatif</li></ul><h2>Diagnosis Borderline Personality Disorder </h2>Borderline personality disorder (BPD) dapat didiagnosis oleh psikiater, psikolog, atau pekerja sosial klinis yang berpengalaman. Diagnosis dapat ditegakkan setelah melakukan wawancara secara menyeluruh dan mendiskusikan gejala yang dialami oleh orang yang diperiksa. Pemeriksaan medis yang cermat dan menyeluruh dilakukan untuk membantu menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab gejala lainnya. Selain membahas gejala yang dialami, diagnosis juga didukung oleh informasi seputar riwayat medis keluarga, termasuk riwayat penyakit mental. Gangguan BPD biasanya didiagnosis pada masa akhir remaja atau dewasa awal. Namun, tidak tertutup kemungkinan orang berusia di bawah 18 tahun didiagnosis BPD, apabila gejala yang diperlihatkan signifikan dan bertahan setidaknya selama satu tahun. Gangguan kepribadian ambang sering terjadi bersamaan dengan gangguan kesehatan mental lainnya, seperti <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-stres-pasca-trauma-1659441823433" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan stres pasca-trauma </a>(PTSD). Gangguan yang terjadi bersamaan ini dapat mempersulit diagnosis dan pengobatan BPD, terutama jika gejala kedua gangguan ini saling tumpang tindih. Misalnya, orang dengan BPD lebih mungkin mengalami gejala <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">depresi</a> berat, PTSD, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-bipolar-1655444499510" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan bipolar</a>, <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan kecemasan</a>, penyalahgunaan zat terlarang, atau gangguan makan.<h2>Pengobatan Borderline Personality Disorder </h2>Borderline personality disorder dapat ditangani melalui serangkaian perawatan yang terdiri atas psikoterapi dikombinasikan dengan bantuan obat-obatan. <h3>1. Metode Psikoterapi </h3>Beberapa metode psikoterapi untuk gangguan kepribadian ambang antara lain seperti terapi perilaku kognitif, interpersonal, atau psikodinamik. Sementara itu, terapi lain yang juga sering diberikan adalah: <h4>a. DBT (Dialectical Behavior Therapy) </h4>Terapi ini dikembangkan khusus untuk individu dengan gangguan kepribadian ambang. DBT menggunakan konsep mindfulness atau kesadaran akan situasi dan keadaan emosi seseorang pada saat ini. DBT juga mengajarkan keterampilan untuk membantu orang mengendalikan emosi yang intens, mengurangi perilaku yang merusak diri sendiri, dan memperbaiki hubungan. <h4>b. MBT (Mentalization-Based Therapy) </h4>MBT adalah jenis psikoterapi jangka panjang yang membantu seseorang untuk bisa memahami pemikiran, kepercayaan, harapan, dan perasaan yang ada dalam dirinya. Setelah itu, juga untuk menghubungkannya dengan tindakan dan perilakunya setiap hari. Dalam kondisi normal, hal ini mudah dilakukan orang. Namun, dalam situasi tertentu, sebagian orang bisa mengalami kesulitan untuk menyelaraskan antara pikiran dan perilakunya. <h4>c. TFP (Transference-Focused Psychotherapy) </h4>Terapi ini juga dikembangkan untuk membantu seseorang dengan borderline personality disorder agar bisa melihat dirinya sendiri dan berperilaku lebih positif dan konstruktif. Dalam terapi ini, seseorang akan belajar mengidentifikasikan emosi, harapan, serta perilakunya secara verbal. Dari situ, ia akan dapat mengenali mana yang positif dan mana yang destruktif.. <h4>d. GPM (General Psychiatric Management) </h4>Terapi GPM juga sering diberikan untuk perawatan bagi orang dengan gangguan kepribadian ambang. Terapis akan berfokus pada perilaku hipersensitif yang dialami orang dengan BPD, terutama yang berkaitan dengan situasi yang dialaminya dalam hubungan dengan orang lain. Selain itu, terapis akan membantu menghubungkan emosi dan perilaku dari orang yang mengalami BPD, dengan penyebab stres dalam hubungan mereka. Terapi juga akan mengajarkan cara untuk memahami gejala dan perilaku yang sering dialami, serta cara mengatasinya. <h3>2. Pemberian Obat </h3>Obat-obatan biasanya tidak digunakan sebagai cara utama untuk mengatasi gangguan kepribadian ambang. Peran obat-obatan hanyalah sebagai pelengkap tambahan dalam proses perawatan. Namun, dalam beberapa kasus, psikiater dapat merekomendasikan obat untuk mengobati gejala tertentu. Begitu juga apabila orang tersebut mengalami gangguan mental lainnya pada saat bersamaan seperti mood swing atau depresi. Perawatan dengan obat-obatan perlu dikoordinasikan dengan lebih dari satu tenaga medis profesional. <h2>Pencegahan Borderline Personality Disorder </h2>Hingga kini, belum ditemukan cara yang pasti untuk mencegah borderline personality disorder. Sebab, penyebabnya pun belum jelas. Selain itu, BPD kerap berakar dari faktor-faktor yang tidak dapat kita kontrol, seperti faktor genetik ataupun trauma yang dialami pada masa lalu. <h2>Kapan Harus ke Dokter? </h2>Apabila Sobat Altea mengalami gejala dan tanda gangguan kepribadian ambang di atas, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Begitu juga bila ada anggota keluarga atau orang terdekat yang mengalami beberapa karakteristik yang mengarah pada borderline personality disorder. Anda bisa lakukan video call dengan Psikiater maupun Psikolog di aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a>. Konsultasi bisa dilakukan dari rumah agar Anda lebih nyaman dalam berbicara dan mendiskusikan kondisi yang dialami dengan ahlinya. Referensi: <ul><li>Davison, G. C., Neale, J. M., &amp; Kring, A. M. (2014). Abnormal psychology (p. 710). New York: John Wiley. </li><li>American Psychological Association. Diakses pada Desember 2022. Borderline Personality Disorder </li><li>National Institute of Mental Health. Diakses Desember 2022. Borderline Personality Disorder Perrotta, G. (2020). Borderline Personality Disorder: definition, differential diagnosis, clinical contexts and therapeutic approaches. Ann Psychiatry Treatm, 4(1), 043-056. </li><li>Mental Illness Research, Education and Clinical Center. Diakses Desember 2022. Borderline Personality Disorder </li><li>Leichsenring, F., Leibing, E., Kruse, J., New, A. S., &amp; Leweke, F. (2013). Borderline personality disorder. Focus, 11(2), 249-260. </li><li>The Tavistock and Portman NHS Foundation Trust. Diakses pada Januari 2023. Mentalization-based therapy (MBT) </li><li>Good Therapy. Diakses pada Januari 2023.Transference-Focused Therapy (TFP) </li></ul>

Borderline Personality Disorder (BPD)

Tetapkan waktu khusus untuk baca buku bisa membantu meningkatkan minat baca anak - AlteaCare | Foto: Envato

“Untuk bisa mengerti dan paham tentang segala apa pun di dunia ini, Anda harus membaca”, demikian kutipan dari Jiddu Krisna Murti, filsuf terkenal dari India. Di tengah angka literasi di Indonesia yang begitu memprihatinkan, meningkatkan minat baca anak bisa jadi misi yang sulit buat para orangtua.Survei yang dilakukan oleh Program of International Student Assessment (PISA) pada 2019 menempatkan Indonesia pada posisi ke-62 dari 70 negara untuk urusan literasi. Ini berarti, ketertarikan masyarakat untuk membaca masih sangatlah rendah.Ini bisa jadi tantangan terbesar kita sebagai orangtua dalam membesarkan anak. Tidak hanya memberikan kehidupan yang baik, kita juga harus membentuk kebiasaan membaca yang baik demi masa depannya.Apalagi, berbagai penelitian sudah menunjukkan manfaat membaca buku sejak dini. Tidak hanya membuat anak unggul dalam sisi akademis, membaca juga bisa menyehatkan mental dan fisik secara keseluruhan.Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara meningkatkan minat baca anak agar mencintai literasi?Yuk, simak selengkapnya di sini!<h2>Tips Untuk Meningkatkan Minat Baca Anak Sejak Dini</h2>Membangun kebiasaan anak suka baca buku itu susah-susah gampang. Nah, berikut ini beberapa trik jitu yang bisa dilakukan oleh para orangtua:<h3>1. Berikan Contoh</h3>Kalau ingin meningkatkan minat baca anak, akan lebih mudah jika orangtua juga memang gemar membaca. Semakin sering anak melihat Anda membaca, mereka akan menirunya. Mereka juga akan penasaran apa yang kita baca. Kita bisa ceritakan apa yang sedang dibaca dan mendorong mereka untuk ikut membaca.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-cara-agar-orangtua-bisa-dekat-dengan-anak-1659098645978" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">7 Cara Agar Orangtua Bisa Dekat Dengan Anak</a> 
<h3>2. Membaca Bersama</h3>Anak yang masih kecil belum tentu betah membaca setiap kata yang ada di bukunya, meskipun sudah ada gambar. Lama-lama, mereka bisa bosan dan tidak lagi membaca. Maka dari itu, orangtua bisa mengajaknya membaca bersama. Awalnya, bacakan cerita buat anak. Setelah beberapa kali, Anda dan anak bisa bergiliran membaca. Misalnya, anak membaca beberapa halaman awal, setelahnya Anda yang selesaikan.Membaca bersama bisa sangat efektif mengingat anak sering punya pertanyaan. Selain itu, gaya penuturan orangtua yang menarik bisa membuat si Kecil juga penasaran akan isi bukunya.<h3>3. Mulai dari yang Simpel Dulu</h3>Meski anak Anda sudah masuk usia sekolah dasar, belum tentu ia bisa nyaman membaca buku tebal tanpa gambar. Sebaiknya, perkenalkan dulu buku-buku yang simpel dan disertai ilustrasi gambar. Anda bisa pilihkan buku yang temanya sesuai minat, dengan penulisan yang pendek-pendek, atau dalam bentuk puisi maupun sajak. Selain itu Anda juga bisa manfaatkan buku tiga dimensi, yang bisa dibolak-balik, atau yang bisa dipegang oleh anak. Ini akan menarik perhatian anak usia balita. Trik ini bisa meningkatkan minat baca anak sekaligus membentuk persepsinya bahwa membaca itu bukan kegiatan yang membosankan.<h3>4. Cari Tahu Minatnya</h3>Saat membaca bersama, coba tanyakan padanya bagian mana yang paling jadi favorit anak dan karakter mana yang disukainya. Intinya, bahas isi buku dan cari tahu cerita dan topik seperti apa yang bikin anak tertarik.Sebab, ketika sudah tertarik akan sesuatu, anak akan rela mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya. Saat Anda memberinya buku dengan jenis cerita yang ia suka, anak akan membacanya sampai selesai.<h3>5. Sediakan Lokasi Khusus</h3>Terkadang sulitnya meningkatkan minat baca anak itu bukan karena anak tidak tertarik, tapi karena tidak bisa mengakses buku dengan mudah.Nah, Anda jadi punya PR, nih. Coba lihat, apa sudah ada ruangan atau rak buku khusus di rumah, sehingga anak bisa ambil dan baca buku dengan nyaman dan mudah? Di mana Anda biasa meletakkan koleksi buku, apakah di rak tinggi, dalam lemari terkunci, atau di meja dekat anak sering beraktivitas?Posisi menentukan prestasi, Sobat Altea! Jadi, pastikan letakkan buku di tempat yang mudah diambil anak. Mau punya perpustakaan khusus anak? Lebih keren lagi!<h3>6. Tumbuhkan Sebagai Kebiasaan</h3>Studi yang dimuat di European Journal of Social Psychology menyebutkan, dibutuhkan 18 sampai dengan 254 hari hingga seseorang bisa punya kebiasaan baru.Begitu juga untuk urusan membaca. Kalau mau anak punya rutinitas membaca, Anda tidak boleh lelah dan berusaha tetap sabar membangun aktivitas membaca menjadi suatu kebiasaan.Misalnya, beri target pada anak untuk membaca 15-30 menit sehari. Untuk anak lebih kecil, Anda bisa bangun rutinitas membacakan buku buatnya sebelum tidur.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-aktivitas-ini-perlu-dilakukan-bareng-anak-biar-lebih-bonding-1658115725950" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">5 Aktivitas Ini Perlu Dilakukan Bareng Anak. Biar Lebih Bonding!</a> 
<h3>7. Jadikan Sebagai Hadiah</h3>Si Kecil pasti suka kalau diberi hadiah. Nah, Anda bisa minta keluarga jauh atau bahkan teman-teman anak untuk memberikannya hadiah berupa buku kesukaannya, disertai pesan khusus buatnya. Hadiah spesial ini akan membuatnya tertarik membaca dan menyimpan buku tersebut. Sebab, ada kenangan dan pesan istimewa yang tertulis di buku tersebut.Dengan adanya hadiah berupa sebuah buku, ini akan jauh lebih mengesankan dibandingkan dengan hadiah lainnya. Itulah beberapa cara meningkatkan minat baca anak yang bisa dimulai sejak masih kecil.Sobat Altea yang ingin tahu lebih banyak seputar kiat-kiat parenting atau ingin diskusi seputar tumbuh kembang si Kecil, jangan ragu untuk video call dengan dokter spesialis maupun Psikolog di AlteaCare, ya!Anda juga bisa manfaatkan fitur chat yang ada di aplikasi untuk bicara dengan dokter maupun konselor.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Agustus 2022. How Long Does It Take for a New Behavior to Become Automatic?</li><li>
Healthy Children. Diakses pada Agustus 2022. 10 Tips to Help Your Child Fall in Love with Reading</li><li>
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses pada Agustus 2022. Tingkat Literasi Indonesia Memprihatinkan, Kemenko PMK Siapkan Peta Jalan Pembudayaan Literasi Nasional</li><li>
Raising Children. Diakses pada Agustus 2022. Literacy activities for children</li><li>
UNICEF. Diakses pada Agustus 2022. How to teach your child to love reading</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Agustus 2022. How to Raise a Child Who Loves Reading</li></ul>

7 Cara Meningkatkan Minat Baca Anak. Biasakan Sejak Kecil!

Trauma healing pada anak setelah mengalami bencana bisa dilakukan melalui terapi bermain - AlteaCare | Foto: Envato

Tidak hanya merugikan dari segi materi, bencana alam seperti gempa dan longsor juga bisa memberi dampak psikologis, terutama pada anak. Trauma healing pada anak sangat dibutuhkan supaya mereka terbebas dari rasa takut.Jangankan anak-anak, yang sudah dewasa pun bisa alami stres dan trauma berkepanjangan akibat bencana. Berbagai gangguan kejiwaan bisa dialami, termasuk salah satunya adalah <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-stres-pasca-trauma-1659441823433" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">gangguan stres pasca trauma</a>.Gangguan ini muncul akibat mengalami peristiwa yang traumatis, seperti gempa bumi atau longsor. Rasa sedih, takut, dan cemas berlebihan bisa membuat orang yang mengalaminya sulit menjalani kehidupan normal. Nah, supaya keceriaan yang sempat terenggut akibat bencana bisa kembali seperti sedia kala, dibutuhkan trauma healing yang tepat.<h2>Apa Itu Trauma Healing pada Anak?</h2>Trauma healing adalah proses pemulihan setelah mengalami kejadian yang menimbulkan trauma. Tujuan trauma healing adalah untuk mengantisipasi gangguan stres pasca trauma pada anak. Proses ini butuh waktu serta dukungan dari banyak pihak, terutama orangtua dan keluarga dekat. Terutama mengingat anak cenderung agak sulit bercerita seputar kecemasannya pada orang dewasa. Melansir dari Centers for Disease Control and Prevention, anak butuh waktu 2-4 minggu untuk berdamai dengan trauma pasca bencana. Dalam kurun waktu ini, dapat muncul beberapa gejala seperti berikut:<ul><li>Usia 1-5 tahun: tidak menurut, takut saat terpisah dengan pengasuh atau orangtua, dan sulit tidur</li><li>
Usia 6-10 tahun: tidak menurut, takut kembali ke sekolah, dan sulit berkonsentrasi saat melakukan tugas</li><li>
Usia 11-18 tahun: menunjukkan perilaku membangkang, antisosial, dan depresi.</li></ul>Agar gejala yang diperlihatkan ini tidak semakin memburuk, baik orangtua maupun pengasuh perlu memahami metode trauma healing yang tepat. Yuk simak selengkapnya berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/apa-itu-healing-sebenarnya-ini-penjelasan-caranya-1661250408465" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Apa Itu Healing Sebenarnya? Ini Penjelasan &amp; Caranya!</a> 
<h2>Metode Trauma Healing yang Cocok untuk Anak</h2>Beberapa hal ini bisa dilakukan untuk memulihkan anak dari trauma setelah mengalami bencana alam:<h3>1. Bangun Rasa Aman</h3>Langkah pertama yang perlu dilakukan saat trauma healing pada anak adalah mengembalikan rasa amannya. Sebab, anak bisa jadi selalu ketakutan dan cemas bencana akan datang lagi.Tips: rasa aman dan nyaman bisa diciptakan dengan cara sering memeluknya. Sentuhan fisik atau pelukan dari orangtua akan menenangkan hati anak. <h3>2. Batasi Informasi</h3>Informasi yang simpang-siur baik di televisi maupun gadget pada akhirnya bisa juga sampai ke telinga anak. Ini bisa turut memicu rasa traumanya.Untuk itu, orangtua perlu sigap batasi akses media sosial. Sebab, jika si Kecil sampai melihat kejadian bencana, akan sulit berdamai dengan rasa trauma.Dia akan teringat lagi akan bencana yang pernah dialami dan sulit untuk melupakannya.<h3>3. Rutin Ajak Ngobrol</h3>Bencana bisa bikin perasaan anak jadi campur aduk. Namun, terkadang sulit buatnya untuk mengekspresikan emosinya. Sementara memendam perasaan bisa membuatnya semakin tertekan dan traumanya jadi sulit pulih. Tips: sebaiknya orangtua sering mengajaknya ngobrol. Validasi emosi yang sedang dia rasakan, dengarkan isi hatinya. Rasa nyaman yang anak dapatkan setelah bicara dari hati ke hati dengan orangtua bisa membantunya mengatasi rasa takut.<h3>4. Biarkan Anak Banyak Bermain</h3>Tidak ada kegiatan yang lebih disukai anak selain bermain. Itu sebabnya, para ahli menggunakan aktivitas bermain sebagai salah satu jenis terapi untuk memulihkan trauma pada anak setelah bencana.Sejumlah penelitian yang dilakukan di Indonesia pasca bencana menemukan, terapi bermain dapat membantu menurunkan stres akibat trauma pada anak. Terapi ini dapat membantu mengalihkan fokus anak dari situasi yang membuatnya khawatir, sekaligus mempersiapkan mental untuk menghadapi situasi yang dihadapinya sekarang.Penelitian yang dimuat di International Journal of Nursing and Health Services memaparkan, terapi bermain terbukti efektif karena anak dapat berkomunikasi dengan lebih baik melalui permainan. Para ahli juga menyebutkan, melakukan terapi bermain di sekolah memungkinkan anak untuk mengekspresikan perasaannya lewat berbagi cerita dengan teman sebayanya. Ini bisa membawa dampak yang positif, mengingat temannya mungkin memiliki pengalaman dan perasaan yang sama. Meski terapi ini dianggap lebih efektif dilakukan di sekolah daripada di rumah, tidak ada salahnya bila orangtua juga mengadopsi terapi ini dalam keluarga.Misalnya, dengan memberi lebih banyak waktu bermain untuk anak atau mengajaknya bermain bersama di luar. Atau, seperti saran dari studi di Frontiers Psychology melakukan aktivitas seni seperti menggambar bersama si Kecil. Ini bisa membuat mood si Kecil jadi lebih baik dan ia pun bisa bebas mengekspresikan dirinya.<h3>5. Perhatikan Pola Makannya</h3>Makanan dan nutrisi juga kerap jadi masalah saat terjadi bencana maupun setelahnya. Studi yang dimuat di The Tohoku Journal of Experimental Medicine memaparkan, terganggunya pasokan makanan selama bencana membuat anak lebih rentan terhadap penyakit. Faktor kekurangan nutrisi dan faktor sanitasi yang kurang juga bisa membuat anak mengalami gangguan seperti infeksi pencernaan, infeksi saluran pernapasan, dan diare. Tidak hanya itu, asupan makanan dan kondisi pemberian makan yang tidak memadai juga bisa memperburuk kondisi emosional anak. Menurut ahli, makanan yang bergizi serta kondisi pemberian makan yang ideal bisa membantu proses trauma healing pada anak. Sebaiknya, perbanyak pemberian makanan bernutrisi pada anak pasca bencana. Selain itu, hindari makanan yang tinggi karbohidrat dan minuman manis karena bisa memperburuk mood serta gejala stres akibat trauma.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/penyebab-dan-cara-mengatasi-anak-picky-eater-harus-sabar-1666586094684" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Penyebab dan Cara Mengatasi Anak Picky Eater. Harus Sabar!</a> 
<h3>6. Bangun Support Group</h3>Supaya bisa mengatasi trauma yang dialami anak secara tuntas, orangtua perlu bekerjasama dengan pihak lain, mulai dari guru di sekolah, lingkungan sekitar, maupun institusi lain yang biasa menangani kasus trauma pada anak.Adanya support group bisa memberikan orangtua lebih banyak informasi dan panduan untuk mendampingi anaknya pasca bencana.Itulah beberapa cara trauma healing pada anak setelah terjadi bencana.Sobat Altea yang membutuhkan dukungan profesional dalam mendampingi anak melalui proses pemulihan traumanya, jangan ragu untuk video call dengan Psikolog atau Psikiater berpengalaman di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> dan buat janji dengan profesional andalan! Sumber:<ul><li>Centers for Diseases Control and Prevention. Diakses pada November 2022. Helping Your Child Cope with a Disaster</li><li>
Drake, J., E. (2021). How Drawing to Distract Improves Mood in Children. Frontiers in Psychology, 12: 622927</li><li>
Help Guide. Diakses pada November 2022. Helping Children Cope with Traumatic Events</li><li>
Triasari, L., Yusuf, A., Retno, S., Triyana, P. D., &amp; Abidin, Z. (2020). Play Therapy to Reduce Traumatic Stress in Earthquake-affected Children in North Lombok, West Nusa Tenggara. International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), 3(1), 133-140.</li><li>
Adeoya, A. A., Sasaki, H., Fuda, M., Okamoto, T., &amp; Egawa, S. (2022). Child Nutrition in Disaster: A Scoping Review. The Tohoku Journal of Experimental Medicine, 256(2), 103-118.</li></ul>

6 Cara Trauma Healing pada Anak Pasca Bencana

Sandwich generation adalah generasi yang harus menanggung hidup orangtua di samping keluarganya sendiri - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea pernah dengar istilah sandwich generation? Atau jangan-jangan Anda malah salah satunya. Istilah ini mulai populer beberapa tahun ini di kalangan anak muda. Lalu, seperti apa sebenarnya kehidupan generasi sandwich ini?Secara umum, sandwich generation adalah orang-orang yang hidup bersama orangtua yang sudah tidak produktif, sementara mereka juga punya anak berusia di bawah 18. Atau, punya anak yang sudah dewasa tapi masih belum mandiri.Seperti apa kehidupannya? Di satu sisi, mereka harus menghidupi orangtua yang sudah masuk usia pensiun. Namun, di lain sisi mereka juga harus menghidupi keluarganya sendiri, mulai dari mencukupi kebutuhan sehari-hari, membayar uang sekolah anak, serta menabung untuk masa depan. Tidak jarang, generasi sandwich ini harus menanggung kebutuhan dari dua pasang orangtua. Jadi, tidak hanya orangtua sendiri melainkan juga mertua.Bisa dibayangkan, ini tentu perlu dukungan finansial yang cukup besar.Orang yang menjadi penopang utama dalam keluarga ini bisa diibaratkan isi dalam roti lapis. Sementara, kedua potong roti yang menutupi isinya diibaratkan sebagai beban yang harus ditanggung.Lalu, apa saja ciri-ciri sandwich generation dan apa saja tantangan yang setiap hari harus dihadapinya? Yuk, simak lebih lanjut!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/6-tantangan-jadi-single-parent-mental-harus-kuat-1664180836120" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">6 Tantangan Jadi “Single Parent”. Mental Harus Kuat!</a> 
<h2>3 Tipe Sandwich Generation</h2>Umumnya, generasi sandwich punya ciri khas yang sama, yaitu harus menanggung biaya hidup dan kebutuhan orangtua, rumah tangganya sendiri, serta anak-anaknya.Namun, bila dilihat lebih dekat, generasi ini bisa dibagi lagi menjadi tiga kategori besar berdasarkan karakteristik beban yang ditanggungnya.<h3>1. Generasi Sandwich Tradisional</h3>Yang masuk dalam tipe generasi sandwich ini adalah orang berusia produktif yang menanggung hidup orangtua yang tidak produktif dan anak mereka.<h3>2. Club Sandwich Generation</h3>Kelompok ini meliputi orang yang sudah berusia 50-60an tahun, namun masih memiliki orangtua yang perlu dirawat. Selain itu, kelompok ini juga masih menanggung hidup anak, bahkan cucu-cucunya.<h3>3. Generasi Open-Faced Sandwich</h3>Orang masuk kategori ini adalah yang harus menanggung orangtua dan orang dewasa lain. Bisa anaknya yang sudah dewasa tapi belum mandiri, bisa juga saudara kandung.<h2>Tantangan yang Dihadapi Sandwich Generation</h2>Hidup dengan banyak anggota keluarga yang harus ditanggung tentu memberikan masalah tersendiri bagi para generasi sandwich. Beberapa kondisi ini kerap dialami oleh mereka:<h3>1. Sering Stres dan Cemas</h3>Dengan tanggungan finansial yang cukup besar, tidak heran bila orang bisa stres.&nbsp;Apalagi bila ditambah tuntutan harus menyeimbangkan peran antara merawat orangtua dan juga anak.Inilah yang banyak dirasakan generasi sandwich. Selain stres, beban yang ditanggung juga selalu membuat mereka cemas dan sedih.Tingkat stres tinggi yang dialami generasi sandwich tak hanya berpengaruh pada relasi personalnya dengan pasangan, anak, dan keluarga, namun juga terhadap diri sendiri. Selain stres, mereka juga rentan terhadap kelelahan fisik dan mental, perasaan bersalah, khawatir, hingga hilang minat terhadap aktivitas yang disukainya. 
<h3>2. Gaya Hidup Tidak Sehat</h3>Para sandwich generation juga cenderung punya gaya hidup yang tidak sehat. Banyak di antara mereka yang jarang berolahraga atau makan tidak teratur.Menurut Journal of Applied Developmental Psychology, hal ini terjadi karena mereka merasa tidak punya waktu lebih. Mereka terlalu sibuk untuk mengurus orang tua atau anak mereka.Selain itu, para generasi sandwich ini juga kerap memprioritaskan kesehatan orang lain dibandingkan kesehatannya sendiri.<h3>3. Sering Sakit</h3>Menanggung beban yang berat ditambah tingkat stres tinggi, membuat imun para generasi sandwich ini relatif lemah.&nbsp;Maka dari itu, sangat lumrah jika mereka menjadi sering sakit.Tambahan juga, beratnya beban yang dialami membuat generasi ini jadi mengalami gangguan tidur. Padahal, istirahat yang cukup sangat berperan untuk kesehatan secara menyeluruh. 
<h3>4. Lebih Berisiko Alami Obesitas</h3>Menurut penelitian dalam Innovation in Aging yang diterbitkan oleh Oxford University, obesitas sangat umum ditemukan di kalangan generasi sandwich. Disebutkan, indeks massa tubuh rata-rata kelompok ini mencapai 24,2. Angka ini lebih tinggi daripada batas ukuran normal, yaitu 23,7.Diduga, kondisi ini berkaitan dengan tingginya tingkat stres dan gaya hidup yang tidak sehat, sehingga risiko gangguan kesehatan pun meningkat.<h3>5. Rentan Depresi</h3>Menurut penelitian, kelompok sandwich generation punya risiko mengalami gejala <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">depresi</a> lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki beban tanggungan.Tingginya risiko ini bisa karena mereka kewalahan dengan tanggung jawab ganda sebagai orangtua bagi anak-anaknya, sekaligus anak yang harus memenuhi kebutuhan orangtuanya.Studi juga memaparkan gejala depresi pada generasi sandwich lebih rentan dialami oleh wanita dibandingkan pria.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/6-gaya-hidup-tidak-sehat-ini-berawal-dari-stres-awas-bablas-1656429946139" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">6 Gaya Hidup Tidak Sehat Ini Berawal dari Stres. Awas Bablas!</a> 
<h2>Tips Mengelola Stres Buat Generasi Sandwich</h2>Jika Anda adalah salah satu dari sandwich generation, mengelola stres adalah jurus utama yang perlu dikuasai agar bisa kuat menjalani hidup.Apa saja yang bisa dilakukan untuk mengendalikan stres? Ikuti beberapa tips berikut!<ul><li>Berkonsultasi dengan psikolog profesional</li><li>
Jika mungkin, miliki asisten rumah tangga yang bisa membantu pekerjaan di rumah</li><li>
Bergabung dengan support group untuk berbagi keluh kesah dan mendapat solusi dari orang dengan masalah serupa</li><li>
Curhat kepada orang terpercaya, baik itu saudara atau teman terdekat</li><li>Tetap luangkan waktu berolahraga, tidur yang cukup, dan makan yang sehat</li><li>Tingkatkan self-compassion, yaitu menyayangi diri sendiri, memahami keterbatasan diri, serta selalu berusaha melindungi diri agar kesehatan mental tetap terjaga.</li></ul>Itulah seluk-beluk seputar sandwich generation serta tantangan yang dihadapinya.Sobat Altea yang termasuk generasi sandwich dan merasa mengalami tekanan mental yang berat, jangan ragu untuk lakukan video call dengan Psikolog atau Psikiater berpengalaman di AlteaCare! Anda juga bisa manfaatkan fitur chat dengan Konselor Psikologis yang ada di aplikasi.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan Psikolog atau Psikiater andalan! Sumber:<ul><li>Pew Research Center. Diakses pada Agustus 2022. The Sandwich Generation</li><li>
First Story Parenting. Diakses pada Agusuts 2022. The Sandwich Generation – Meaning, Problems, and Management</li><li>
Northwest Primary Care. Diakses pada Agustus 2022. Health Care and the Sandwich Generation</li><li>
Solberg, L. M., Solberg, L. B., &amp; Peterson, E. N. (2014). Measuring impact of stress in sandwich generation caring for demented parents. GeroPsych: The Journal of Gerontopsychology and Geriatric Psychiatry, 27(4), 171.</li><li>
Chassin, L., Macy, J. T., Seo, D. C., Presson, C. C., &amp; Sherman, S. J. (2010). The association between membership in the sandwich generation and health behaviors: A longitudinal study. Journal of applied developmental psychology, 31(1), 38-46.</li><li>
Liu, J., &amp; Chen, F. (2020). Intergenerational caregiving patterns, BMI, and gender gaps among the Sandwich Generation in China. Innovation in Aging, 4(Suppl 1), 510.</li><li>
Brenna, E. (2021). Should I care for my mum or for my kid? Sandwich generation and depression burden in Italy. Health Policy, 125(3), 415-423.</li><li>
AACI. Diakses pada Agustus 2022. Healthy Living Blog – Caregiving Concerns within the Sandwich Generation: Part 1</li></ul>

Mengenal Tipe Sandwich Generation dan Tantangannya

Beberapa jenis gangguan kecemasan membuat kita sampai tidak bisa beraktivitas normal - AlteaCare | Foto: Envato

Tidak sedikit dari kita yang terkadang cemas. Namun, sebagian orang mengalami gangguan kecemasan yang bisa menghambat aktivitasnya sehari-hari. Pada setiap orang, gejalanya bisa berbeda, bergantung dari jenis gangguan kecemasan yang dialami.Gangguan kecemasan adalah kondisi kejiwaan yang membuat seseorang merasakan cemas berlebihan akan hal yang tidak rasional. Biasanya, orang yang mengalami gangguan ini memiliki tingkat stres yang tinggi.Psikolog dari Askar Pelangi, Nidya Dwika Puteri, M.Psi, mengatakan, sebenarnya cemas adalah sebuah reaksi yang normal ketika kita menghadapi ancaman. Bila hal itu dikelola secara baik, kecemasan tersebut malah akan berbuah hal baik pada kita.Namun, pada orang yang memiliki gangguan kecemasan, biasanya rasa cemasnya menetap lebih lama."Normalnya, saat situasi yang memicu sudah berlalu, biasanya rasa cemas akan hilang. Namun, pada gangguan kecemasan, waktunya jadi lebih panjang," ujarnya dalam sesi live streaming AlteaTalk Episode 47 di Instagram AlteaCare (<a href="https://www.instagram.com/alteacare.id/" style="color: rgb(0, 0, 255);">@alteacare.id</a>), pada Sabtu, 12 November 2022.Menurut Nidya, secara umum gangguan kecemasan bisa dibagi menjadi beberapa tipe. Anda ingin tahu? Yuk, baca artikel ini sampai habis!<h2>4 Jenis Gangguan Kecemasan yang Sering Dialami</h2>Nidya menjelaskan, setidaknya ada empat kategori gangguan kecemasan. Setiap kategori dapat menimbulkan reaksi dan gejala yang berbeda. 
Berikut adalah jenis-jenis gangguan kecemasan tersebut.<h3>1. Gangguan Kecemasan Berpisah (Separation Anxiety)</h3>Jenis gangguan kecemasan ini biasanya dialami anak-anak. Menurut Nidya, anak yang sudah masuk TK atau SD bisa merasakan kecemasan ini.Anak dengan gangguan ini biasanya punya rasa khawatir berlebihan saat harus berpisah dengan orang tuanya. Misalnya, sewaktu harus masuk sekolah, ikut kursus, atau saat ditinggal orangtua yang berangkat bekerja.Biasanya, rasa cemasnya akan hilang ketika sudah bersama dengan orang tuanya."Dia takut diculik, enggak ketemu mami, dan lain-lain. Sementara kalau ada di rumah, dia tidak mengalami gejala gangguan kecemasan apa pun. Rasa cemasnya hilang," kata Nidya.<h3>2. Selective Mutism</h3>Jenis gangguan ini juga biasanya dialami anak-anak. Tentu saja, kondisi ini berbeda dengan anak yang pendiam dan pemalu, ya! Intinya, anak merasa takut saat harus berhadapan dengan orang lain selain anggota keluarganya di rumah.Rasa takut ini membuatnya tidak bisa merespon saat diajak ngobrol oleh orang lain. Sementara kalau bicara dengan anggota keluarga di rumah, dia bisa jadi sangat cerewet.Contohnya: ada tetangga yang mampir ke rumah, lalu mengajak anak Anda bicara dan menanyakan kabarnya. Anak Anda diam saja seolah-olah bisu. Nah ini bisa jadi pertanda si Kecil mengalami kecemasan tipe selective mutism. "Diam ini cara dia mereduksi kecemasannya," ujar Nidya.<h3>3. Kecemasan Fobia Spesifik</h3>Jenis kecemasan berikutnya berkaitan dengan fobia, atau rasa takut yang tidak rasional terhadap sesuatu. Beberapa jenis gangguan kecemasan atau ansietas yang berkaitan dengan <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-ansietas-fobik-1660883320684" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">fobia</a> adalah:<ul><li>fobia ketinggian</li><li>
fobia keramaian</li><li>
fobia benda tajam</li><li>
fobia terhadap hewan tertentu, misalnya laba-laba</li><li>
fobia terhadap rasa sakit, dan lain-lain</li></ul>Sekilas, gejala yang dialami hampir sama dengan orang yang sekadar takut biasa. Namun, orang yang fobia ini akan mengalami sensasi rasa takut yang berlebihan dan tidak masuk akal.Saking tidak masuk akalnya, dia tidak mampu lagi bekerja atau berfungsi secara efektif. Misalnya, karena fobia keramaian, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan tidak mau keluar rumah.<h3>4. Gangguan Kecemasan Menyeluruh</h3><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/gangguan-cemas-menyeluruh-1660016388288" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gangguan kecemasan menyeluruh</a> adalah gangguan rasa cemas yang umum terjadi. Orang yang mengalaminya selalu khawatir akan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan.Soalnya, pola pikir kita akan memprediksi berbagai hal-hal buruk yang terjadinya masih jauh di depan. Makanya, kita akan menjadi merasa sangat cemas.Padahal, tidak ada bukti bahwa kekhawatiran kita itu nyata. Sementara itu, salah satu dampak buruk dari gangguan ini adalah kita jadi sulit tidur atau insomnia.“Bahkan, saat orang tersebut mengalami cemas berlebihan dan tubuhnya memberi reaksi fisik, respons ini pun bisa bikin dia tambah cemas,” kata Nidya. Misalnya, saat jantung terasa berdebar-debar sebagai respons alami dari rasa cemas, kita berpikir yang tidak-tidak dan takut akan mengalami serangan jantung.<h2>Cara Mendiagnosis Gangguan Kecemasan</h2>Meski sudah tahu gejala-gejalanya, tidak lantas kita tidak boleh mendiagnosis diri sendiri. Kita perlu bantuan psikolog atau psikiater profesional untuk mengidentifikasi apa yang terjadi pada kita.Menurut Nidya, psikolog biasanya akan melakukan beberapa tahap sebelum menegakkan diagnosis. Di antaranya adalah sebagai berikut:<ul><li>Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Psikolog akan mengajak kita berdiskusi dan melatih cara berpikir kita agar lebih rasional</li><li>
Rekomendasi konsultasi dengan psikiater. Ini khususnya jika Anda mengalami gejala medis, semisal tidak tidur berhari-hari. Setelah sesi dengan Psikiater, kita bisa mendapatkan obat resep bila dirasa perlu</li><li>
Diagnosis. Setelah penilaiannya jelas, barulah psikolog atau psikiater menegakkan diagnosis</li></ul>Itulah empat jenis gangguan kecemasan yang sering dialami orang, termasuk anak-anak.Sobat Altea yang kerap merasa cemas berlebihan, jangan ragu untuk lakukan video call dengan psikolog terpercaya di aplikasi AlteaCare. Psikolog akan melakukan pengamatan untuk memahami kondisi Anda sebenarnya dan merekomendasikan penanganan yang tepat. Anda juga manfaatkan layanan chat dengan konselor di aplikasi untuk berbagi cerita saat rasa cemas melanda.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji dengan psikolog andalan!

4 Jenis Gangguan Kecemasan Sering Dialami. Anak-anak Juga!

Kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia diduga disebabkan oleh konsumsi obat sirup - AlteaCare | Foto: Envato

Kasus gagal ginjal akut pada anak yang berlangsung menjelang akhir 2022 dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini diduga disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kandungan dalam obat sirup.Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, telah mengonfirmasi, per 22 Oktober 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia telah mencapai 241 kasus di 22 provinsi. Dari jumlah tersebut, 133 anak di antaranya dinyatakan meninggal dunia.Berdasarkan laporan terbaru, Budi Gunadi menyampaikan, bahwa kemungkinan besar penyebabnya adalah obat sirup. 
Lalu, adakah faktor lainnya yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak? Yuk, simak paparan lengkap berikut ini!<h2>Gejala Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Secara medis, penyakit ini dinamakan gagal ginjal akut progresif atipikal. Lalu, bagaimana kita bisa mendeteksi anak yang mengalami penyakit ini?Kementerian Kesehatan RI telah merangkum berbagai gejala seperti berikut ini.<ul><li>diare</li><li>
mual</li><li>
muntah</li><li>
demam selama tiga sampai lima hari</li><li>
pilek</li><li>
sering mengantuk atau kesadaran berkurang</li><li>
jumlah air kencing sangat sedikit atau tidak kencing sama sekali</li><li>
tekanan darah tinggi</li><li>
pembengkakan pada jaringan palpebra di dekat mata, perut, atau alat reproduksi</li><li>
dehidrasi</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/gagal-ginjal-akut-1658195604506" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gagal Ginjal Akut</a> 
<h2>Penyebab Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Beberapa sumber menyebutkan, gagal ginjal akut pada anak bisa disebabkan beragam faktor. Jadi, pemicu gejala yang dialami anak tidak hanya satu.Berikut adalah beberapa penyebab yang bisa memicu terjadinya gagal ginjal akut:<h3>1. Gangguan Aliran Darah</h3>Beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan aliran darah dan memicu gagal ginjal di antaranya adalah:<ul><li>infeksi</li><li>
gangguan liver</li><li>
obat pengendali tekanan darah</li><li>
gagal jantung</li><li>
luka bakar serius</li><li>
dehidrasi</li><li>
kehilangan darah atau cairan</li><li>
obat yang terlalu banyak mengandung etilen glikol</li></ul><h3>2. Hambatan Saluran Kemih 
</h3>Gagal ginjal juga bisa disebabkan oleh hambatan aliran urine, sehingga tidak bisa keluar dengan normal. Hal itu bisa dipicu oleh beberapa faktor berikut:<ul><li>kanker prostat, serviks, usus besar, dan kandung kemih</li><li>
pembekuan darah</li><li>
pembesaran prostat</li><li>
batu ginjal</li><li>
kerusakan saraf di kandung kemih</li></ul><h3>3. Terjadi Kerusakan pada&nbsp;Ginjal</h3>Beberapa kondisi berikut ini juga dipercaya dapat merusak ginjal, yang berujung pada gagal ginjal akut:<ul><li>pembekuan darah</li><li>
kadar kolesterol terlalu tinggi</li><li>
mengonsumsi obat-obatan tertentu, semisal ibuprofen, kemoterapi, dan antibiotik</li><li>
peradangan pada saringan di ginjal (bisa berawal dari gangguan autoimun)</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/gagal-ginjal-kronis-1656383694942" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">Gagal Ginjal Kronis</a> 
<h2>Cara Menangani Gagal Ginjal Akut pada Anak</h2>Kementerian Kesehatan RI juga telah menerbitkan dokumen yang berisi cara penanganan gagal ginjal akut pada anak.Berikut adalah prosedur penanganannya yang bisa Anda lakukan jika suatu saat anak menunjukkan gejala penyakit ini.<ol><li>Saat anak menunjukkan gejala sakit, segera bawa ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit.</li><li>
Dokter akan memantau jumlah dan warna urine (kalau jumlah urine kurang dari 0,5 ml/kg BB/jam dalam waktu enam sampai 12 jam, anak harus segera dibawa ke rumah sakit)</li><li>
Dokter di rumah sakit memonitor volume cairan dan urine, kondisi kesadaran anak, serta memeriksa tekanan darah. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan kreatinin (zat limbah dalam darah yang dibuang melalui urine) per 12 jam</li><li>
Selama menunggu rujukan, dokter dapat memberikan metilprednisolson IV sebanyak 10-30 mg/kg BB per hari selama satu hingga dua hari</li><li>
Ketika sudah dalam perawatan, dokter akan melakukan stabilisasi kondisi anak</li><li>
Saat dirawat, anak juga akan menjalani pemeriksaan medis lengkap, termasuk cek darah, urin, pencitraan, pencarian etiologi, komplikasi, dan proses penyaringan limbah dalam rongga perut</li><li>
Penanganan lain yang juga dilakukan antara lain adalah pemberian cairan sesuai jumlah cairan yang keluar tanpa disadari (insensible water loss), injeksi immunoglobin, serta pemberian sejumlah obat</li><li>
Anak juga dapat menjalani dialisis untuk menyaring limbah dan cairan dalam tubuh</li></ol>
Kabar baik dari Kementerian Kesehatan RI, kini di Indonesia telah tersedia paket obat untuk gangguan ginjal akut ini, yaitu fomepizole. Rencananya, obat ini akan diberikan secara gratis kepada semua anak yang menderita gagal ginjal akut.Itulah seluk-beluk mengenai penyebab dan cara penanganan gagal ginjal akut pada anak.Bila anak Anda mengalami gejala yang dapat mengarah ke gagal ginjal akut seperti di atas, Anda bisa video call dokter spesialis AlteaCare yang berpengalaman lewat aplikasi.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(0, 0, 255);">AlteaCare</a> dan segera buat janji video call konsultasi dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Kompas. Diakses pada November 2022. Ratusan Anak Meninggal Karena Gagal Ginjal Akut, BPOM: Ini Pembelajaran Bagi Kami</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat, Orang Tua Diminta Waspada</li><li>
Web MD. Diakses pada November 2022. Acute Kidney Failure</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada November 2022. 200 Vial Fomepizole Tiba di Indonesia</li><li>Unit&nbsp;Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Diakses pada November 2022.&nbsp;Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan</li></ul>

Penyebab dan Cara Menangani Gagal Ginjal Akut pada Anak

Meski sudah kembali sekolah tatap muka, anak tetap dapat mengalami learning loss - AlteaCare | Foto: Envato

Gara-gara pandemi, banyak anak jadi kesulitan belajar. Akibatnya, anak dapat mengalami learning loss. Lalu, bagaimana cara mengatasinya, ya?Learning loss adalah berkurangnya atau mundurnya pengetahuan dan keterampilan akademis. Sederhananya, anak jadi sulit belajar karena pemahamannya kurang atau proses belajarnya terganggu.Sebenarnya, hal ini wajar saja terjadi kalau anak baru saja kembali sekolah setelah libur kenaikan kelas atau absen beberapa hari karena sedang sakit. Tapi, fenomena ini juga terjadi di masa pandemi. Padahal, anak-anak tetap bersekolah, lo!<h2>Tidak Bisa Dihindari, Namun Bisa Disiasati</h2>Lantas apa yang bikin anak alami kesulitan belajar di masa pandemi COVID-19? Tak lain akibat ia harus belajar dari rumah. Tentunya, suasana belajarnya berbeda sekali dengan di sekolah. Metode pembelajaran online yang menyebabkan gangguan teknis juga membuat anak kesulitan memahami penjelasan dari gurunya. Tak heran bila Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan adanya penurunan&nbsp;capaian belajar pada anak-anak sekolah.Bahkan, setelah anak-anak kembali belajar di sekolah secara tatap muka, orangtua tetap khawatir prestasi akademik anak tetap turun drastis.Menurut Psikolog Rumah Sakit Mitra Keluarga, Liza Marielly Djaprie, M.Psi, CH., learning loss tidak bisa dicegah, tetapi kita bisa membantu anak untuk bisa belajar lagi."Kalau ditanya apakah bisa dicegah, sebenarnya tidak bisa menyeluruh, karena itu pasti terjadi," kata Liza dalam talkshow “Mempersiapkan Anak Kembali Keluar Rumah setelah Pandemi” di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bintaro, 1 Oktober 2022.Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua? Yuk, simak tips berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank">Sekolah dan Belajar Online, Apa Dampaknya Buat Anak?</a><a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/sekolah-dan-belajar-online-apa-dampaknya-buat-anak-1642477529067" target="_blank"> 
</a><h2>6 Tips Mengatasi Learning Loss pada Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi masalah belajar anaknya:<h4>1. Terima Kondisi Anak</h4>Sebagai orangtua, wajar saja kalau cemas saat prestasi anak di sekolah merosot drastis.Namun, menurut Liza, jangan buru-buru tancap gas dan terlalu menekan anak untuk mengejar prestasinya seperti dulu."Jangan berharap anak selalu excellent seperti dulu. Nanti anak jadi stres dan tidak berkembang," kata Liza.&nbsp;Pahami dulu bahwa anak butuh waktu buat kembali beradaptasi dengan pembelajaran di sekolah. Terima bahwa terkadang anak bisa alami masalah belajar dan dapat nilai kurang bagus di sekolah.<h4>2. Dampingi Terus</h4>Meski kita menerima kondisi anak, bukan berarti membiarkannya begitu saja, ya! 
Anak juga harus paham bahwa dia punya tanggung jawab untuk belajar. Nah, tugas kita adalah mendampingi anak setiap merasa kesulitan.Peran kita tidak hanya sebagai orang tua, tetapi juga teman curhat anak."Dampingi dan dengarkan dia. Anak jadi lega ketika dia paham dan merasa bahwa orangtua mendengarkan," ujar Liza.<h4>3. Temukan Penyebab Masalah</h4>Coba cari tahu apa pangkal masalah yang dihadapi anak. Apakah sulit bangun pagi sehingga tidak bisa konsentrasi belajar di sekolah? Atau tidak tenang saat di sekolah karena takut terpapar virus corona?Setelah itu, coba bantu dia beradaptasi dengan gaya hidup yang baru."Misalnya, penyebab learning loss karena takut ketemu orang. Kita bisa ajari etika ketemu orang. Cara beri salam ke guru atau teman. Banyak hal yang harus kita pelajari," ujar Liza mencontohkan.<h4>4. Ikutkan Kelas Tambahan</h4>Tips selanjutnya, kata Liza, orangtua minta guru memberikan pelajaran tambahan buat anak setelah jam sekolah. Atau, luangkan waktu buat temani anak mengulang kembali pelajaran di hari itu.Bagaimana kalau orangtua tidak punya waktu? Kita bisa cari guru les atau daftarkan anak ke kursus. Sesuaikan kursus dengan kebutuhan belajar anak.<h4>5. Bantu Atur Jadwalnya</h4>Dalam proses transisi dari pembelajaran online ke offline, anak harus belajar disiplin, terutama soal waktu. Selain itu, anak juga perlu punya jadwal rutinitas yang teratur.Tugas kita sebagai orangtua adalah membantu membuat jadwal dan mengingatkannya. "Anak perlu keteraturan, kapan waktunya dia belajar, main, dan lain-lain. Jika kita bisa bantu anak melewati transisi ini, dia mampu mengejar ketertinggalan," ujar Liza.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/tips-siapkan-anak-beraktivitas-di-luar-rumah-setelah-pandemi-1665567017678" target="_blank">Tips Siapkan Anak Beraktivitas di Luar Rumah Setelah Pandemi</a> 
<h4>6. Gunakan Metode Active Learning</h4>Active learning atau pembelajaran aktif adalah sistem belajar yang memancing anak untuk aktif. Jadi, dia tidak hanya diam mendengarkan materi yang disampaikan. Kita juga perlu memberi kesempatan buatnya untuk menjelaskan kembali apa yang ia pelajari, atau sekadar berkomentar tentang apa yang ia pahami. Dengan begitu, ada komunikasi dua arah saat belajar.Menurut penelitian, metode ini sangat efektif untuk membantu anak memahami tugasnya. Bahkan metode ini lebih unggul daripada sistem pembelajaran satu arah. Sebab, tak hanya membantu mengejar ketertinggalan, metode ini juga mendorong anak jadi lebih kritis.Itulah sejumlah tips yang bisa Anda coba lakukan untuk mengatasi learning loss pada anak.Bila anak mengalami masalah dalam belajar, jangan ragu untuk dapatkan bantuan dari Psikolog di AlteaCare, ya. Anda bisa lakukan video call dengan Psikolog dari rumah saja bersama anak.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan temui Psikolog andalan Anda! Sumber:<ul><li>Liza Marielly Djaprie, M.Psi. Talkshow "Mempersiapkan Anak Kembali Keluar Rumah setelah Pandemi". 1 Oktober 2022</li><li>
Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (2021). Data Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi</li><li>
Ed Glossary. Diakses pada Oktober 2022. Learning Loss</li><li>
Yoo, D., &amp; Kweon, I. S. (2019). Learning loss for active learning. In Proceedings of the IEEE/CVF conference on computer vision and pattern recognition (pp. 93-102).</li></ul>

6 Tips Mengatasi Learning Loss pada Anak setelah Pandemi

Anak dengan gangguan autoimun perlu jalani pemeriksaan rutin di dokter - AlteaCare | Foto: Envato

Penyakit autoimun pada anak memang terasa masih asing di telinga kita. Namun, kita harus waspada agar anak kita tidak sampai mengalaminya.Pada prinsipnya, penyakit autoimun adalah gangguan yang dipicu oleh kesalahan sistem imun dalam mendeteksi sel tubuh yang sehat sebagai musuh.Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Mitra Keluarga, dr. Damar Prasetya, Sp.A, M.Sc, mengatakan, penyakit ini bisa berbahaya dan menimbulkan berbagai komplikasi.“Pada orang yang alami autoimun, sistem imunnya salah mengenali. Jadi, sel di dalam tubuh dianggap benda asing berbahaya. Akhirnya kekebalan tubuh menyerang tubuh, sehingga terjadi kerusakan jaringan," ujar dr. Damar dalam sesi live streaming AlteaTalk Episode 40 di akun Instagram AlteaCare (@alteacare.id), Kamis 22 September 2022.Gangguan autoimun umum didapati pada orang dewasa. Tapi, tidak mustahil anak juga mengalaminya. Sayangnya, sering kali orang tua tidak menyadari anaknya menderita autoimun.Kira-kira apa penyebab penyakit autoimun pada anak dan bagaimana cara mengenali gejalanya? Yuk, simak paparan di bawah ini!<h2>Gejala Penyakit Autoimun pada Anak</h2>Menurut dr. Damar, gejala autoimun pada anak memang sulit dikenali, terutama sebelum anak beranjak remaja. Soalnya, belum ada tanda-tanda signifikan yang mengarah pada gangguan autoimun.Namun, sebagai orang tua, kita perlu curiga bila ada tanda-tanda berikut:<ul><li>Nyeri tenggorokan dalam waktu lama (bisa jadi gejala jantung rematik)</li><li>
Nyeri sendi selama lebih dari enam minggu (gejala juvenile idiopathic arthritis)</li><li>
Kulit memerah seperti iritasi</li><li>
Demam, tetapi setelah dicek ke dokter, tidak ada infeksi</li><li>
Muncul gejala seperti terinfeksi penyakit tertentu, tetapi ternyata tidak ada infeksi bakteri atau virus</li></ul>Intinya, menurut dr. Damar, ketika anak mengalami gejala penyakit tertentu tetapi akar masalahnya tidak ketemu, Anda boleh curiga si Kecil mengalami gangguan autoimun."Ada gejala penyakit yang sebenarnya sering terjadi. Tetapi ketika dicek negatif semua. Itu harus dipertimbangkan ke arah gangguan autoimun," ujarnya.Untuk itu, dr. Damar menyarankan orangtua segera periksakan anak ke dokter. Anak dapat diminta menjalani beberapa prosedur tes laboratorium. Setelah hasil tes keluar, barulah dokter dapat menegakkan diagnosis.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/alergi-makanan-1644984928562" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Alergi Makanan </a><h2>Apa Saja yang Bisa Jadi Penyebabnya?</h2>Bicara soal penyebab gangguan autoimun, hingga sekarang peneliti belum dapat memastikannya. Namun, berdasarkan studi, ada sejumlah faktor risiko yang dianggap ahli bisa memicu gangguan ini. Apa saja itu? Simak paparan berikut ini!<h4>1. Jenis Kelamin</h4>Menurut dr. Damar, hasil penelitian menyebut gangguan autoimun lebih banyak menyerang perempuan. Jika dibandingkan jumlah perempuan yang alami kondisi autoimun tiga kali lipat lebih banyak daripada laki-laki.Meski begitu, bukan berarti kita yang punya anak laki-laki jadi santai saja. Soalnya, kemungkinan anak laki-laki mengalami autoimun juga masih tetap ada.<h4>2. Usia</h4>Penyakit autoimun lebih banyak dialami oleh orang dewasa muda. Bahkan, sangat jarang penyakit ini muncul pada anak-anak. Jikapun anak sampai mengalaminya, biasanya ia sudah memasuki usia remaja.Contoh gangguan autoimun yang dapat dialami pada usia ini adalah lupus, juvenile idiopathic arthritis (artritis pada remaja), henoch schonlein purpura (autoimun yang menyerang ginjal)."Kemungkinan bisa berkaitan dengan faktor hormonal. Saat remaja terjadi peningkatan hormon secara signifikan. Itu salah satu yang diduga dapat mencetuskan penyakit autoimun," kata dr. Damar.<h4>3. Riwayat Keluarga</h4>Jika Anda mengidap gangguan autoimun, kemungkinan anak untuk juga mengalaminya lebih besar daripada anak lain yang tak punya riwayat penyakit autoimun dalam keluarga.Meski begitu, tidak dapat dipastikan 100% bahwa penyakit autoimun ini diturunkan.Sebagai antisipasi, jika Anda atau pasangan mengidap gangguan ini, segera periksakan anak sedini mungkin ke dokter. Jadi, bisa segera diketahui apakah ia termasuk berisiko atau tidak.<h4>4. Pola Makan Tidak Sehat</h4>Menurut dr. Damar, makanan yang mengandung oksidasi stres tinggi dicurigai sebagai salah satu pemicu penyakit autoimun pada anak.Contoh makanan tidak sehat yang dimaksud adalah makanan cepat saji. Soalnya, kandungan antioksidan dalam makanan ini sangat rendah.<h4>5. Reaksi Terhadap Obat Tertentu</h4>Penyakit autoimun juga diduga dapat dipicu oleh obat-obatan tertentu. Menurut dr. Damar, belum ada penelitian yang secara spesifik menyebutkannya. "Obat apa pun bisa memicu. Tapi, obat anti kejang, beberapa jenis antibiotik, juga vaksin bisa memicu kondisi autoimun pada sebagian orang. Ini termasuk jarang sebenarnya,” jelasnya.Selain itu, imbuh dr. Damar, reaksi terhadap obat bukanlah faktor tunggal pemicu penyakit autoimun. Jadi, selain pengaruh obat perlu ada faktor penyerta lain, misalnya keturunan atau gaya hidup.<h2>Cara Mengatasi Autoimun pada Anak</h2>Inilah yang perlu dilakukan orangtua bila punya anak yang mengidap gangguan autoimun:<h4>1. Jangan Anggap Remeh</h4>Kita perlu sadar kalau gangguan autoimun bisa menyerang anak. Jangan tunda-tunda bawa si Kecil untuk diperiksa di dokter!<h4>2. Pastikan Anak Minum Obat</h4>Dokter dapat memberikan sejumlah obat yang perlu dikonsumsi untuk mengendalikan kondisi autoimun. Pastikan anak minum obat itu secara teratur.<h4>3. Rutin Konsultasi ke Dokter</h4>Gangguan autoimun perlu dipantau dengan cermat selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tujuannya untuk mencegah hal buruk, misalnya kondisi kesehatan yang menurun.<h4>4. Konsultasi ke Dokter Sebelum Vaksinasi</h4>Banyak orangtua terpengaruh mitos, yang bilang anak dengan gangguan autoimun tidak boleh divaksin. Faktanya, vaksin justru dapat membuat daya tahan tubuhnya lebih kuat. Hanya saja, sebaiknya Anda konsultasi dengan dokter dulu sebelum anak divaksin.Soalnya, obat yang dikonsumsi orang dengan kondisi autoimun bersifat menurunkan keaktifan imun. Sementara itu, vaksin malah bisa memicu penyakit aktif. Jadi, tunggu waktu yang tepat untuk anak mengikuti vaksinasi.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/5-cara-meningkatkan-imunitas-tubuh-agar-tidak-mudah-sakit-1632713175127" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Cara Meningkatkan Imunitas Tubuh Agar Tidak Mudah Sakit</a> 
<h4>5. Ajak Anak Berolahraga</h4>Meski daya imun perlu diperhatikan, bukan berarti dia lantas berdiam diri di dalam rumah.Olahraga justru sangat penting buat anak penderita gangguan autoimun, karena bisa menjaga kondisi kesehatannya, kata dr. Damar.Itulah gejala dan penyebab penyakit autoimun pada anak.Sobat Altea yang memiliki anak dengan gangguan autoimun, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare, ya!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan!

Ini Dia Penyebab Penyakit Autoimun pada Anak!

Single parent dituntut untuk bisa bagi waktu antara urusan pekerjaan dan keluarga - AlteaCare | Foto: Envato

Status orangtua tunggal atau single parent seringkali bukanlah pilihan, namun karena kondisi. Tidak mudah menjalaninya dan dalam perjalanan pasti ada banyak tantangan yang harus dihadapi.Apalagi, jika Anda harus jadi single parent ketika anak masih kecil. Di satu sisi Anda harus bekerja untuk mencari nafkah keluarga, namun juga harus membangun relasi yang dekat dengan anak. Kondisi ini bisa menguras waktu, pikiran, tenaga, dan emosi dua kali lipat. Sebab, Anda juga harus berperan sebagai ayah maupun ibu. Semua beban harus dipikul seorang diri. Stres yang tinggi pun jadi teman sehari-hari.Apa saja sebenarnya tantangan yang harus dihadapi oleh seorang single parent?Yuk, simak selengkapnya di sini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-dampak-broken-home-pada-anak-bisa-depresi-1660188065785" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Dampak Broken Home pada Anak. Bisa Depresi!</a> 
<h2>Seperti Ini Tantangannya Single Parent!</h2>Setiap orangtua tunggal bisa punya tantangan yang berbeda-beda. Beberapa permasalahan yang umum dihadapi mereka antara lain adalah sebagai berikut:<h4>1. Lebih Rentan Depresi</h4>Tidak hadirnya lagi pasangan, baik istri maupun suami, bisa menimbulkan rasa kehilangan dan kesepian.Kondisi ini bisa memicu stres dan bahkan berujung pada depresi. Studi dari International Journal of Social Psychiatry memaparkan, sekitar 48,8% perempuan yang menjadi single parent selama sekitar sembilan tahun rentan terhadap depresi dan gangguan kecemasan. Data menunjukkan, sekitar 17,3% ibu tunggal dapat mengalami gangguan depresi, sementara 21,2% rentan terhadap gangguan kecemasan. Yang menarik, 10,3% ibu tunggal mengalami dua gejala tersebut sekaligus. Wah, berat, ya. Kondisi ini tidak lepas dari beratnya beban emosional yang dirasakan oleh para ibu ini. Sementara, dukungan emosional dari orang sekitarnya pun bisa jadi kurang didapatkan.<h4>2. Kesulitan Dalam Mendidik Anak</h4>Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh, baik karena salah satu orangtuanya meninggal atau terpisah karena perceraian, tentu punya cara pikiran dan nilai yang berbeda dengan anak lain yang orangtuanya masih lengkap.Tantangan single parent terletak pada bagaimana ia dapat menanamkan nilai dan prinsip hidup yang penting, serta mengajarkan kebaikan pada anak. Ini tentu tidak mudah, terutama saat anak sudah tumbuh remaja dan dalam proses menemukan jati dirinya. Penolakan tentu dapat terjadi. Namun, orangtua tunggal perlu tetap berjuang dan berusaha supaya anak tetap mendapat pola asuh yang baik, serta untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.<h4>3. Didera Rasa Bersalah</h4>Status single parent yang diperoleh akibat perceraian dapat memberi tantangan emosional tersendiri. Sebab, ingatan akan masa lalu dan alasan perpisahan dengan pasangan akan selalu menghantui. Tidak jarang, orangtua tunggal pun jadi kerap menyalahkan diri sendiri. Apalagi jika kemudian ada pertanyaan maupun protes dari anak, yang dalam kesehariannya melihat teman-temannya begitu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Selain itu, anak pun bisa rentan mengalami kecemasan berlebihan dan berperilaku agresif. Ini pastinya jadi beban tambahan bagi single parent. Rasa bersalah pun jadi makin memuncak.Bila kondisi ini tidak ditangani dengan tepat, rasa menyesal dan bersalah yang tidak berujung ini bisa berujung pada depresi.<h4>4. Beban Finansial</h4>Ketika pemasukan hanya berasal dari satu sumber, masalah keuangan pun jadi lebih mudah terjadi. Mau tidak mau, para single parent harus bekerja ekstra, lebih ngoyo dari orang lain. Sebab, ada kebutuhan keluarga yang harus terpenuhi. Misalnya, ketika anak mulai masuk sekolah dan butuhkan biaya yang tidak sedikit.<h4>5. Menjaga Work-Life Balance</h4>Single parent dituntut untuk bisa multitasking. Setiap hari, ia harus berupaya menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan anak maupun keluarga.Berat? Pastinya. Sebab, keduanya sebenarnya sama-sama penting. Karena itu, para orangtua tunggal harus pintar-pintar atur waktu, tenaga, dan pikiran antara anak dan pekerjaan.<h4>6. Tertekan Saat Harus Ambil Keputusan</h4>Saat masih ada pasangan, pengambilan keputusan mungkin lebih mudah karena bisa dipikirkan bersama dan ditanggung bersama. Namun, ketika hidup sebagai single parent, semua harus diputuskan sendiri. Hal ini dapat menyulitkan, sebab tidak ada teman diskusi yang bisa memberi saran atau perspektif lain. Semua harus dipertimbangkan sendiri, mulai dari risiko hingga konsekuensi dari pilihan yang diambil. Bebannya jadi berlipat ketika yang perlu diputuskan adalah hal yang berat dan menyangkut banyak pihak. Ini bisa bikin orangtua tunggal jadi merasa tertekan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/8-cara-mengurangi-overthinking-agar-mental-tetap-sehat-1663563943773" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Cara Mengurangi Overthinking agar Mental Tetap Sehat</a> 
Itulah tantangan menjadi single parent.Adanya support system dari orang terdekat, seperti keluarga dan sahabat, bisa membantu para orangtua tunggal untuk bertahan dan menang dalam setiap pertandingan hidup ini. Tidak ketinggalan, mental yang tangguh juga perlu terus diasah agar bisa mengontrol emosi dan berpikir dengan jernih.Bila Sobat Altea adalah salah satu single parent yang mengalami stres berlebihan atau butuh teman diskusi tepercaya dalam mengasuh anak, jangan ragu untuk curhat dengan Psikolog di AlteaCare.Anda juga bisa manfaatkan fitur chat dengan konselor di aplikasi untuk melakukan konseling dengan kerahasiaan yang terjamin.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Acenda Integrated Health. Diakses pada Juli 2022. 4 Obstacles Single Mothers Face and How to Overcome Them</li><li>
Nahar, J. S., Algin, S., Sajib, M. W. H., Ahmed, S., &amp; Arafat, S. Y. (2020). Depressive and anxiety disorders among single mothers in Dhaka. International Journal of Social Psychiatry, 66(5), 485-488.</li><li>
Marriage. Diakses pada Juli 2022. The 5 Challenges and Solutions of Being a Single Parent</li><li>
Medicine Net. Diakses pada Juli 2022. What Are the Disadvantages of a Single-Parent Family?</li></ul>

6 Tantangan Jadi “Single Parent”. Mental Harus Kuat!

Kehilangan anak yang sudah hidup mandiri bisa memunculkan empty nest syndrome - AlteaCare | Foto: Envato

Saat anak jauh dari rumah dalam waktu lama, rasanya sedih pastinya. Tapi, kalau sedihnya jadi berlarut-larut, bisa jadi Anda mengalami yang disebut empty nest syndrome.Memang, tidak ada yang salah jika anak meninggalkan keluarga dan hidup sendiri. Pastinya itu juga dengan seizin orangtua, bukan? Anda pun pasti sudah berikan restu buat anak yang mau masuk pesantren, jadi biarawan, kuliah dan kerja di luar kota atau negeri, atau berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri. Tapi, tetap saja. Buat orangtua yang selalu dekat dengan anak, rasa kehilangan pasti tetap ada. Ruang-ruang yang tadinya diisi oleh kebisingan anak saat bermain, kini jadi sepi.Tak heran kalau sebagian orangtua, terutama ibu, jadi diliputi rasa hampa dan sedih. Mereka pun bisa mengalami kondisi yang disebut oleh ahli sebagai empty nest syndrome.Apa itu empty nest syndrome dan cara mengatasinya? Yuk, simak selengkapnya di sini!Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/apa-itu-overthinking-yang-bikin-lelah-mental-fisik-1663563145001" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Apa itu Overthinking yang Bikin Lelah Mental &amp; Fisik?	</a> 
<h2>Apa Itu Empty Nest Syndrome?</h2>Empty nest syndrome adalah kondisi psikologis yang dialami orangtua, yang ditandai oleh hadirnya rasa sedih, kehilangan dan takut. Kondisi ini berkaitan dengan kesulitan menyesuaikan peran sebagai orangtua saat anak pergi meninggalkan rumah.Sindrom ini sangat lumrah dialami orangtua yang berusia di atas 50 tahun. Sebab pada fase itu, anak mereka melalui proses transisi menuju dewasa.Menurut penelitian, rasa sedih mendalam yang dialami orangtua ini tidak jarang diikuti gejala depresi, perubahan perilaku, dan gangguan kognitif.Selain itu, munculnya sindrom ini juga kerap dikaitkan dengan kualitas hubungan pernikahan yang buruk dan kurangnya dukungan sosial. Faktor-faktor tersebut membuat kondisi orangtua jadi memburuk ketika sang anak pergi.<h2>Seperti Apa Gejala Empty Nest Syndrome?</h2>Orangtua yang merasa kehilangan saat anaknya pergi, biasanya mengalami beberapa hal berikut ini:<ul><li>stres</li><li>
merasa kehilangan tujuan hidup</li><li>
khawatir berlebihan</li><li>
merasa hilang kendali atas anak</li><li>
kesepian</li></ul>Kondisi hati yang hampa juga bisa membuat emosi jadi tidak stabil. Anda bisa saja menangis sambil melihat foto anak saat masih kecil, tapi semenit kemudian membayangkan apa yang mau Anda lakukan karena sekarang sudah bebas dari tugas mengurus anak.<h2>8 Cara Mengatasi Empty Nest Syndrome</h2>Bagi Anda yang mengalami empty nest syndrome, tidak perlu khawatir berlebihan dan sedih terus-menerus, ya! Anda bisa isi waktu dengan berbagai kegiatan yang bikin bahagia. Berikut adalah beberapa di antaranya:<h4>1. Mau Nangis? Boleh!</h4>Pertama kali ditinggal anak yang kuliah ke luar daerah, rasanya pasti sedih. Anda tidak perlu berpura-pura kuat dan menahannya.Sedih dan menangis dalam situasi ini adalah reaksi yang normal. Akuilah kesedihan itu sebagai proses adaptasi terhadap situasi baru.Kesedihan mendalam pun tidak berlangsung lama, asalkan Anda dapat menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai orang tua.<h4>2. Tekuni Hobi dan Nikmati Me-Time</h4>Ketika sibuk merawat anak, mungkin Anda tidak sempat menekuni hobi menanam bunga, olahraga, menyanyi, dan lain-lain.Nah, karena sekarang anak sudah mandiri, Anda bisa gunakan waktu yang ada untuk melakukan kesenangan-kesenangan tersebut. Atau, eksplorasi hobi baru, seperti ikut yoga, senam irama, merangkai bunga, sampai belajar main biola!Selain itu, Anda juga bisa nikmati me-time sendirian, misalnya dengan solo traveling, ke spa, wisata kuliner, olahraga, atau tulis jurnal.Berdasarkan penelitian, semakin banyak aktivitas yang dilakukan saat masih sehat, semakin tinggi pula kualitas hidup Anda.<h4>3. Kontak Teman Lama</h4>Selain menikmati hobi baru, cobalah sesekali hubungi teman lama. Ikut acara reuni sekolah, agendakan acara ngopi bareng di kafe, atau kunjungi rumah teman.Mengisi waktu dengan bersosialisasi bisa mengalihkan kesedihan dan mengurangi rasa kesepian.<h4>4. Curhat dengan Pasangan</h4>Kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran anak bisa jadi momen tepat buat lebih dekat lagi dengan pasangan. Anda justru bisa punya lebih banyak waktu buat curhat padanya.Berbagilah apa yang Anda rasakan saat ini. Tanyakan padanya, apa yang ia rasakan. Bukan mustahil, pasangan juga alami rasa kehilangan yang sama.Lalu, buatlah rencana bersama. Apa yang mau Anda berdua lakukan ke depannya. Aktivitas bersama bisa membuat waktu Anda jadi lebih bermakna.<h4>5. Rutin Janjian Ketemu Anak</h4>Salah satu pemicu empty nest syndrome adalah pikiran bahwa tugas orangtua sudah usai dan anak tidak butuh mereka lagi. Ini adalah pola pikir yang keliru.Sedewasa apa pun, anak tetap butuh orangtua. Meski telah bekerja dan sukses di kantor, mereka tetap ingin pulang dan makan masakan orangtua. Atau, curhat tentang masalah yang sedang dialami.Jadi, melepas anak pergi dari rumah bukan berarti komunikasi jadi terputus. Kalau anak pindah ke rumah sendiri atau kos di luar kota, Anda masih bisa, kok, janjian untuk saling mengunjungi. Tinggal atur saja waktunya bersama-sama.Atau, bila anak kuliah di luar negeri, misalnya, hubungi dia sesekali untuk mengurangi rasa sedih. Menurut studi, komunikasi melalui chatting, telepon, atau panggilan video bisa membuat orangtua tetap merasa terhubung dengan anaknya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/5-alasan-anda-sah-sah-saja-sedih-jangan-disimpan-sendiri-1652269786859" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Alasan Anda Sah-sah Saja Sedih. Jangan Disimpan Sendiri!</a> 
Itulah penjelasan mengenai empty nest syndrome dan cara mengatasinya.Bila rasa sedih Anda sangat mendalam hingga sepertinya tidak punya tenaga untuk beraktivitas seperti biasa dan menangis selama berhari-hari, coba curhat dengan ahlinya.Psikiater atau psikolog dapat mendampingi Anda melalui masa-masa sulit ini. Sesi konseling juga dapat mencegah Anda jatuh dalam depresi, yang gejalanya sulit dibedakan dengan gejala empty nest syndrome.Anda bisa lakukan konseling dengan nyaman dari rumah saja menggunakan aplikasi AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji telekonsultasi! Sumber:<ul><li>Bougea, A., Despoti, A., &amp; Vasilopoulos, E. (2019). Empty-nest-related psychosocial stress: Conceptual issues, future directions in economic crisis. Psychiatriki, 30(4), 329-338.</li><li>
Better Up. Diakses pada Juli 2022. Empty nest syndrome: How to cope when kids fly the coop</li><li>
Chen, D., Yang, X., &amp; Aagard, S. D. (2012). The empty nest syndrome: Ways to enhance quality of life. Educational Gerontology, 38(8), 520-529.</li><li>
Better Health Channel. Diakses pada Juli 2022. Empty nest syndrome</li><li>
Mansoor, A., &amp; Hasan, S. S. (2019). Empty nest syndrome and psychological wellbeing among middle aged adults. Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology, 17(1), 55-60.</li><li>
Very Well Family. Diakses pada Juli 2022. How to Re-Feather Your Empty Nest</li></ul>

5 Cara Atasi Empty Nest Syndrome. Tak Perlu Galau!

Pola asuh yang otoriter bisa bikin anak mengalami stres dan gangguan perilaku - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika anak bisa ikut aturan, disiplin, dan menurut pada orangtua, mungkin kelihatannya baik. Tapi, pola asuh otoriter yang diwarnai oleh dominasi orangtua seperti ini bisa berdampak buruk pada anak. Tidak berlebihan bila ada yang bilang, pola asuh otoriter adalah bentuk lain dari toxic family atau toxic relationship. Melansir dari WebMD, pola asuh otoriter adalah pola asuh yang sangat ketat. Orangtua menuntut anak untuk patuh dan memegang kendali penuh dalam hidup si Kecil. Relasi yang hangat dan dekat antara orangtua dan anak tidak ada dalam pola asuh yang satu ini. Namun, di lain sisi, anak yang dibesarkan oleh orangtua yang otoriter cenderung lebih bertanggung jawab dan target-oriented. Mereka juga terbiasa melakukan segala hal dengan benar dan jarang melanggar hukum. Menyimak penjelasan ini, mungkin kita jadi berpikir-pikir. Apakah selama ini sikap dan perlakuan kita bisa mengarah ke pola asuh yang otoriter? Atau, tanpa sadar kita malah sudah melakukannya?Nah, daripada menerka-nerka dan salah, yuk simak penjelasan lengkap terkait ciri ortu yang otoriter berikut!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-tanda-toxic-relationship-dan-cara-mengatasinya-1655898312455" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Tanda Toxic Relationship dan Cara Mengatasinya</a> 
<h2>Seperti Ini Ciri-ciri Pola Asuh Otoriter</h2>Jangan sampai kita terjebak pada pola asuh otoriter. Berikut ini adalah beberapa ciri orangtua dengan pola asuh otoriter:<h4>1. Menuntut</h4>Orangtua otoriter sangat menuntut anak untuk melakukan segala hal sesuai dengan keinginannya. Tidak jarang ekspektasi yang diberikan sangat tinggi, sehingga anak merasa tak sanggup mencapainya.Misalnya saja, anak harus selalu jadi juara satu di kelas, masuk di sekolah favorit, hingga ikut kejuaraan olimpiade. Bisa jadi, ini mustahil dan sangat sulit bagi anak, karena tidak sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila anak jadi terbebani, bahkan berujung pada depresi.<h4>2. Tidak Mudah Percaya</h4>Pola asuh otoriter membuat anak tak punya banyak pilihan. Sebab, sebagian besar selalu diputuskan orangtua. Bahkan, saat anak diberi kesempatan untuk berperan pun, keputusan yang diambil anak selalu dikritik oleh orangtua. Baik ayah maupun ibu tidak percaya akan pertimbangan dan pemikiran anaknya, serta menganggapnya tidak mengerti apa-apa. Walhasil, anak dapat terjebak dalam pilihan-pilihan hidup yang ditentukan oleh orangtua, walau tidak sejalan dengan keinginannya.<h4>3. Suka Menghukum</h4>Sesekali menghukum anak boleh. Tapi orangtua perlu tahu batasnya dan menelaah dulu alasannya.Orangtua yang otoriter termasuk yang sering memberikan hukuman tanpa sebab dan penjelasan, serta terkadang untuk hal-hal yang sepele. Misalnya, anak lupa merapikan tempat tidur atau lupa menutup kulkas.<h4>4. Punya Aturan yang Kaku</h4>Orangtua yang otoriter mau mengatur segalanya dan hingga sekecil-kecilnya. Mulai dari gaya berpakaian, warna sepatu, hingga cara berbicara dan bahasa tubuh.Jika peraturan tersebut tidak dipatuhi, anak akan dapat hukuman. Tapi, kalau ditanya apa alasan punya aturan seperti itu, orangtua tidak bisa memberikan penjelasan.<h4>5. Melakukan Kekerasan</h4>Saat anak melakukan kekerasan, orangtua yang otoriter tidak segan memukul. Tidak hanya kekerasan fisik, pola asuh ini juga memungkinkan adanya kekerasan psikis dan emosional.Sementara anak ketakutan dan tertekan, orangtuanya tidak memberikan empati sedikit pun. Mereka menganggap anak layak dipukul karena salah.<h2>Dampak Pola Asuh Otoriter pada Anak</h2>Alih-alih merasakan siraman kasih sayang di rumah, pola asuh yang otoriter malah bisa meninggalkan luka batin pada hati anak. Berikut ini beberapa dampak pola asuh otoriter terhadap perkembangannya: <h4>1. Tidak Percaya Diri</h4>Pilihan hidup yang selalu ditentukan orangtua membuat anak tidak bisa ambil keputusan sendiri. Saat besar, ia pun jadi pribadi yang tidak percaya diri.Penelitian yang dilakukan di Indonesia memaparkan, ternyata dari 54,2% anak sekolah dasar yang mendapatkan pola asuh otoriter, sebanyak 45,8% di antaranya punya rasa percaya diri yang rendah.Dampak ke depannya, anak bisa selalu galau saat harus ambil keputusan penting dalam hidup. Misalnya, saat mau kuliah, bekerja, hingga menikah.<h4>2. Jadi Agresif</h4>Mengutip dari Community Mental Health Journal, dampak lain yang terlihat ketika orangtua menerapkan pola asuh yang otoriter adalah anak menjadi lebih agresif.Sikap ini bisa ditunjukkan di dalam maupun di luar rumah. Bahkan, bisa mendorong anak melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain yang tidak disukainya.<h4>3. Mengalami Depresi</h4>Pola asuh otoriter bisa bikin anak selalu dilanda kecemasan berlebihan, yang akhirnya bisa berujung pada depresi. Bagaimana tidak, jika setiap hari anak tertekan oleh sikap dan perlakuan orangtuanya.Studi dari International Journal of Psychological Research menyebutkan, sebanyak 38,6% dari anak berusia 8-13 tahun yang mendapatkan pola asuh otoriter dapat mengalami depresi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/mengenal-toxic-positivity-dan-ciri-cirinya-harus-waspada-1648692915294" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Mengenal Toxic Positivity dan Ciri-cirinya. Harus Waspada!</a> 
Itulah beberapa ciri pola asuh otoriter serta dampaknya terhadap anak. Sobat Altea yang alami kesulitan saat menerapkan pola asuh yang tepat untuk anak, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog. Jangan sampai Anda malah terjebak dalam pola asuh otoriter ini, ya. Anda bisa lakukan konseling melalui sesi telekonsultasi dengan psikolog di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Kurniyawan, E. H., Mulyaningsasi, R. B., Wuryaningsih, E. W., &amp; Sulistyorini, L. (2021). Correlation between Authoritarian Parenting and Self-Confidence in School-Age Children in Indonesia: A Cross-Sectional Study. Nursing and Health Sciences Journal (NHSJ), 1(1), 6-11.</li><li>
Masud, H., Ahmad, M. S., Cho, K. W., &amp; Fakhr, Z. (2019). Parenting styles and aggression among young adolescents: a systematic review of literature. Community mental health journal, 55(6), 1015-1030.</li><li>
Romero-Acosta, K., Gómez-de-Regil, L., Lowe, G. A., Lipps, G. E., &amp; Gibson, R. C. (2021). Parenting styles, anxiety and depressive symptoms in child/adolescent. International Journal of Psychological Research, 14(1), 12-32.</li><li>
Michigan State University. Diakses pada Juli 2022. Authoritarian parenting style</li><li>
Very Well Mind. Diakses pada Juli 2022. 8 Characteristics of Authoritarian Parents</li><li>
Web MD. Diakses pada Juli 2022. What Is Authoritarian Parenting?</li></ul>

5 Ciri Pola Asuh Otoriter dan Dampaknya pada Anak

Pemeriksaan bisa menemukan perbedaan bronkitis dan pneumonia - AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orang sering salah memahami gejala penyakit pneumonia dan bronkitis. Padahal, ada perbedaan bronkitis dan pneumonia yang sangat jelas.Umumnya, orang menganggap gangguan pneumonia sama dengan bronkitis. Betul, keduanya memang sama-sama menginfeksi paru. Namun, jika diperhatikan secara saksama, gejala kedua penyakit ini sangat berbeda.Perbedaan ini biasanya dapat dilihat setelah kita mendapat hasil rontgen.Sobat Altea penasaran apa perbedaan bronkitis dan pneumonia?Yuk, simak uraian lengkapnya di bawah ini!<h2>Seperti Apa Gangguan Bronkitis dan Pneumonia?</h2>Secara umum, pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut, yang membuat paru terisi&nbsp;cairan. Ini bisa membuat orang merasa nyeri dan sulit bernapas.Biasanya, pneumonia disebabkan infeksi bakteri atau virus.Penyakit ini tidak dapat dianggap remeh. Menurut data WHO, pneumonia adalah infeksi tunggal yang dapat menyebabkan kematian pada anak terbesar di dunia.Pada 2019, sebanyak lebih dari 740 ribu anak di bawah lima tahun meninggal dunia karena pneumonia.Sementara itu, bronkitis adalah peradangan pada saluran udara besar paru-paru. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, termasuk anak dan dewasa.Penyakit bronkitis pada umumnya disebabkan infeksi virus, alergi, iritasi, dan bakteri. Iritasi yang dimaksud bisa dipicu dari polusi udara, debu, menghirup asap rokok, dan lain-lain.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/belum-tentu-covid-19-inilah-5-penyebab-sesak-napas-anda-1632709193424" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Belum Tentu COVID-19, Inilah 5 Penyebab Sesak Napas Anda</a> 
<h2>Perbedaan Bronkitis dan Pneumonia dari Gejalanya</h2>Berikut ini adalah gejala dari bronkitis dan pneumonia:<h4>1. Gejala Bronkitis</h4>Gangguan bronkitis dibedakan menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Sederhananya, bronkitis akut akan sembuh dalam waktu beberapa minggu. Sementara, bronkitis kronis adalah kondisi jangka panjang yang akan terulang ketika tubuh terkena iritasi atau paparan asap beracun (asap rokok, polusi, dan lain-lain).Gejala yang dialami bila Anda terkena bronkitis akut adalah batuk berdahak selama beberapa minggu, yang disertai juga dengan:<ul><li>badan terasa lelah</li><li>
tenggorokan kering</li><li>
pilek</li><li>
hidung tersumbat</li><li>
demam</li><li>
merasa dingin</li><li>
nyeri badan</li><li>
sakit kepala</li></ul>Sementara itu, orang dengan bronkitis kronis biasanya mengalami batuk hingga tiga bulan. Semakin parah peradangannya, intensitas batuk pun semakin sering dan parah.Beberapa gejala yang dialami saat mengalami bronkitis kronis:<ul><li>napas pendek</li><li>
batuk-batuk</li><li>
muncul bunyi mengi ketika bernapas</li><li>
tubuh terasa lelah</li><li>
dada terasa tidak nyaman</li></ul><h4>2. Gejala Pneumonia</h4>Sebenarnya, orang yang pneumonia juga mengalami batuk-batuk yang disertai dahak. Namun, ada beberapa gejala yang berbeda dari bronkitis. Beberapa gejala pneumonia yang umum adalah:<ul><li>tubuh lelah</li><li>
demam</li><li>
badan menggigil</li><li>
nyeri pada dada</li><li>
berkeringat</li><li>
mual, muntah-muntah, atau diare</li><li>
napas pendek</li></ul><h2>Perbedaan Bronkitis dan Pneumonia dari Penyebabnya</h2>Kita juga bisa mengetahui perbedaan antara bronkitis dan pneumonia berdasarkan penyebab penyakitnya.<h4>1. Penyebab Bronkitis</h4>Bronkitis bisa dipicu berbagai faktor, antara lain adalah:<ul><li>paparan asap rokok atau polusi</li><li>
menghirup asap beracun</li><li>
infeksi virus influenza tipe A dan B, parainfluenza, rhinovirus, dan lain-lain</li><li>
infeksi bakteri Staphylococcus dan Streptococcus</li><li>
adanya pemicu alergi</li></ul>Jika Anda memiliki riwayat penyakit gangguan pernapasan, seperti asma atau fibrosis kistik, sebaiknya berhati-hati. Sebab, Anda jadi lebih rentan terkena bronkitis.<h4>2. Penyebab Pneumonia</h4>Berbeda dengan bronkitis yang disebabkan multifaktor, penyebab pneumonia adalah infeksi virus dan bakteri.Beberapa infeksi yang bisa menyebabkan pneumonia antara lain:<ul><li>infeksi virus Streptococcus pneumoniae</li><li>
infeksi virus Haemophilus influenzae tipe B</li><li>
infeksi virus sinsitium saluran pernapasan</li><li>
infeksi jamur&nbsp;Pneumocystis jiroveci pada orang dengan HIV</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/pneumonia-pada-anak-1655095518567" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Pneumonia Pada Anak</a> 
<h2>Perbedaan Bronkitis dan Pneumonia dari Penanganannya</h2>Kalau penyakitnya berbeda, berarti penanganannya juga akan berbeda. Berikut ini adalah perbedaan pendekatan dalam mengatasi kedua penyakit paru ini:<h4>1. Penanganan Bronkitis</h4>Untuk mengatasi bronkitis, Anda perlu jalani pengobatan medis dan nonmedis.Pengobatan medis dilakukan dengan mengonsumsi beberapa obat-obatan yang bertujuan untuk melegakan saluran pernapasan dan meredakan peradangan. Dokter juga bisa memberikan obat untuk membuat otot lebih relaks, sehingga jalannya pernapasan lebih lancar. Sejumlah obat juga diberikan untuk meredakan gejala terkait, seperti mengi atau demam.<h4>2. Penanganan Pneumonia</h4>Mengingat sebagian besar pneumonia disebabkan infeksi bakteri, salah satu penanganan paling umum adalah pemberian antibiotik.Namun, jika kondisi semakin parah, orang yang terkena pneumonia harus segera dirawat di rumah sakit. Perawatan akan didukung oksigen tambahan atau alat ventilasi.Itulah perbedaan bronkitis dan pneumonia yang harus Anda ketahui.Gangguan pada paru dapat dicegah melalui pola hidup sehat. Beberapa hal berikut bisa Anda lakukan:<ul><li>berhenti merokok</li><li>
perbaiki gaya hidup</li><li>
rutin berolahraga</li><li>
hindari polusi</li></ul>Sobat Altea yang mengalami gangguan pernapasan, jangan didiamkan saja, ya. Segera lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis paru berpengalaman di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>WHO. Diakses pada Juni 2022. Pneumonia</li><li>
Singh, A., Avula, A., &amp; Zahn, E. (2022). Acute bronchitis. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. Is It Bronchitis or Pneumonia?</li><li>
Widysanto, A., Mathew, G. (2021). Chronic Bronchitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing</li></ul>

Apa Perbedaan Bronkitis dan Pneumonia?

Vaksinasi hepatitis A perlu diberikan sejak dini, namun juga bisa saat dewasa - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Apa Itu Vaksin Hepatitis A?</h2>Hepatitis A adalah penyakit yang menyerang hati, yang disebabkan oleh virus hepatitis A. Virus hepatitis A bisa menular saat kita mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi, atau melalui kontak langsung dengan orang yang terpapar virus tersebut. Penyakit hepatitis A banyak terjadi di daerah dengan kondisi sanitasi yang rendah dan perilaku hidup yang kurang&nbsp;higienis. Menurut WHO, sekitar 90% anak terpapar virus hepatitis A sebelum usia 10 tahun dan kebanyakan tanpa gejala. Penyakit ini juga bisa dialami oleh remaja dan dewasa yang termasuk kategori berisiko tinggi.Sebagian besar orang yang terkena hepatitis A dapat pulih dan memiliki kekebalan seumur hidup. Namun, pemberian vaksin untuk mengatasi virus hepatitis A ini diketahui memiliki efektivitas yang tinggi, sehingga perlu dilakukan.Vaksin ini juga aman dan tidak ada efek samping berat yang pernah dilaporkan. 
<h2>Penyakit yang Bisa Dicegah</h2>Vaksin hepatitis A dapat mencegah infeksi hepatitis A. Hepatitis A tidak seperti hepatitis B dan C yang dapat menyebabkan gangguan hati kronis, tapi tetap merupakan penyakit yang serius. Dalam kasus jarang, hepatitis A bisa menyebabkan terjadinya hepatitis fulminan atau gagal hati akut. 
Gejala yang bisa terjadi saat terinfeksi hepatitis adalah:<ul><li>	cepat lelah</li><li>
	hilang nafsu makan</li><li>
	mual dan muntah</li><li>
	nyeri perut</li><li>
	Kulit atau mata berwarna kuning</li><li>
	urine berwarna gelap</li><li>
	tinja berwarna pucat</li></ul><h2>Siapa yang Bisa Divaksin?</h2>Orang yang disarankan untuk menerima vaksin hepatitis A adalah:<ul><li>	anak berusia 12 bulan-23 bulan</li><li>
	bayi berusia 6-11 bulan yang akan dibawa bepergian ke luar negeri.</li><li>
	anak berusia di atas 2 tahun hingga 18 tahun yang belum pernah mendapatkan vaksinasi ini </li><li>
	orang dewasa yang belum pernah mendapatkan vaksinasi ini </li></ul>Selain itu, vaksin hepatitis A juga disarankan untuk diberikan pada orang-orang sebagai berikut: <ul><li>	wisatawan yang akan melakukan perjalanan internasional</li><li>
	orang yang memiliki profesi berisiko terpapar infeksi virus ini</li><li>
	pengidap gangguan hati kronis</li><li>
	orang dengan HIV</li><li>
	orang yang tinggal di wilayah dengan tingkat penularan infeksi hepatitis A yang tinggi</li><li>
	pengguna obat-obatan dengan jarum suntik</li><li>
	para tunawisma</li><li>
	orang yang melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi </li></ul>Sedangkan orang yang tidak disarankan untuk mendapatkan vaksinasi ini adalah orang yang memiliki alergi terhadap kandungan vaksin hepatitis A. 
<h2>Dosis dan Jadwal Pemberian Vaksin Hepatitis A</h2>Imunisasi hepatitis A untuk anak diberikan dalam dua dosis, yaitu:<ul><li>	dosis pertama diberikan mulai usia 1 tahun</li><li>
	dosis kedua diberikan dalam kurun waktu 6 bulan sampai 12 bulan kemudian </li></ul>Sementara untuk orang dewasa yang belum pernah menerima vaksin, segera jadwalkan vaksinasi hepatitis A di dokter, terutama bila Anda termasuk kelompok yang berisiko. Bila Anda berencana untuk melakukan perjalanan ke daerah dengan tingkat penularan hepatitis A yang tinggi, jadwalkan vaksinasi setidaknya sebulan sebelum berangkat. Dosis kedua diberikan dalam jarak enam hingga 12 bulan setelah yang pertama.<h2>Efek Samping Vaksin Hepatitis A</h2>Efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin hepatitis A biasanya ringan seperti:<ul><li>	demam</li><li>
	nyeri kepala</li><li>
	kelelahan</li><li>
	kehilangan nafsu makan</li><li>
	nyeri dan kemerahan di lokasi penyuntikan </li></ul>Vaksin ini bisa menimbulkan reaksi alergi berat atau anafilaksis, yang sangat berbahaya dan butuh penanganan medis segera. Segera informasikan pada dokter bila Anda atau anak Anda mengalami gejala seperti ruam, gatal, lidah dan tenggorokan bengkak, atau sulit bernapas setelah menerima vaksin.<h2>Hal Lain yang Perlu Diperhatikan</h2>Ibu hamil boleh menerima vaksinasi hepatitis A. Begitu juga dengan ibu menyusui, yang bisa segera kembali menyusui setelah menerima vaksin.Vaksin ini mungkin tidak memberikan perlindungan terhadap hepatitis A seperti yang diharapkan, bila Anda ternyata sudah terinfeksi virus ini sebelum divaksin.Jika Anda sempat melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar hepatitis A dan belum pernahdivaksin, sebaiknya dapatkan vaksin hepatitis A sesegera mungkin, maksimal dalam waktu dua minggu setelah paparan.Sangat penting untuk memastikan Anda maupun anak Anda mendapatkan dosis kedua vaksin hepatitis A tepat waktu. Catat juga apa saja keluhan yang mungkin dirasakan setelah vaksin pertama diberikan, lalu informasikan pada dokter. Bila Anda mengalami keluhan kesehatan, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Segera gunakan AlteaCare sebagai solusi kesehatan Anda dan keluarga! Referensi: <ul><li>Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses November 2021. Jadwal Imunisasi Anak usia 0 - 18 tahun tahun 2020</li><li>
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses November 2021. Hepatitis A Vaccine</li><li>
National Health Service. Diakses November 2021. Hepatitis A Vaccine</li><li>
WebMD. Diakses November 2021. Hepatitis A Vaccine</li><li>
WHO. Diakses pada September 2022. Hepatitis A</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada September 2022. Hepatitis A Vaccine (Intramuscular Route)</li><li>
WebMD. Diakses pada September 2022. Hepatitis A Vaccine for Adults</li></ul>

Sekilas Tentang Vaksin Hepatitis A untuk Anak dan Dewasa

Banyak mitos kopi yang buat orang menjauhi minuman ini - AlteaCare | Foto: Envato

Kopi adalah jenis minuman yang dikonsumsi orang sejak ratusan tahun silam. Tak heran bila ada banyak mitos kopi yang beredar. Apakah ada di antara mitos tersebut yang benar?Sobat Altea mungkin termasuk punya ritual ngopi di pagi atau sore hari. Banyak orang percaya, minum kopi bisa hilangkan kantuk dan bikin kita lebih semangat kerja.Namun, apakah semua hal tersebut benar atau sekadar mitos belaka?Yuk, simak fakta dan mitos kopi di bawah ini!<h2>6 Mitos Kopi dan Faktanya</h2>Berikut ini adalah berbagai testimoni seputar kopi berdasarkan pengalaman orang. Sejauh mana hal ini benar dan bisa dijelaskan secara ilmiah?<h4>1. Kopi Bikin Susah Tidur</h4>Banyak orang bilang, minum kopi bisa bikin tidak bisa tidur. Benarkah demikian?Fakta: menurut penelitian, kandungan kafein pada kopi memang terbukti dapat mengganggu waktu tidur.Minum sekitar 400 mg kafein atau setara dengan empat cangkir kopi bisa bikin kita tetap terjaga hingga enam jam ke depan. 
Maka dari itu, usahakan tidak ngopi lagi sekitar tiga hingga enam jam sebelum tidur.Baca Juga:<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Gizi%20dan%20Nutrisi/artikel/7-manfaat-minum-kopi-untuk-kesehatan-cocok-buat-yang-diet-1653611945376" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);"> 7 Manfaat Minum Kopi Untuk Kesehatan. Cocok Buat yang Diet!</a> 
<h4>2. Kopi Bikin Tubuh Langsing</h4>Kalau mau badan kurus, minum kopi saja, begitu saran banyak orang saat ada kenalannya yang baru mulai diet. Namun, apa faktanya?Fakta: kopi tidak secara langsung bikin badan lantas langsing. Tapi, kopi memang bisa membantu mengurangi lemak tubuh.Melansir laman Harvard T.H. Chan School of Public Health, minum empat cangkir kopi setiap hari dapat menurunkan kadar lemak hingga 4%. Meski begitu, jangan lantas kebablasan sampai minum kopi seharian demi kurus, Sobat Altea! Sebab, kopi pun punya dampak negatif bila asupannya berlebihan.Biar lebih mantap, imbangi konsumsi kopi dengan olahraga teratur, ya!<h4>3. Kopi Bikin Wanita Mandul</h4>Mitos kopi lainnya yang banyak beredar di masyarakat berkaitan dengan tingkat kesuburan perempuan.Fakta: sampai sekarang, tidak ada bukti bahwa kopi bisa menurunkan kesuburan atau bikin mandul. Apalagi jika konsumsi kopi Anda di bawah 200 mg kafein per hari.Meski begitu, sejumlah peneliti menyarankan agar wanita hamil menghindari kopi. Pasalnya, konsumsi kafein yang tinggi bisa meningkatkan risiko keguguran atau bayi meninggal dalam kandungan. 
<h4>4. Kopi Bikin Dehidrasi</h4>Sering haus setelah banyak ngopi? Apa rasa haus ini sudah bisa masuk tanda dehidrasi?Fakta: kafein dalam kopi memang punya efek diuretik alias bisa bikin Anda sering pipis. Namun, banyaknya cairan yang Anda konsumsi saat minum kopi bisa mengimbangi hilangnya cairan saat buang air kecil.Intinya, kopi memang bisa bikin Anda sering pipis, tapi bila tidak diminum secara berlebihan tidak akan menyebabkan dehidrasi.<h4>5. Kopi Bisa Mengatasi Mabuk Alkohol</h4>Tips ini banyak beredar di antara mereka yang hobi minum alkohol. Supaya efek mabuk setelah minum bisa cepat hilang, orang sering minum secangkir espreso atau kopi hitam kental. Banyak orang juga berasumsi, minum kopi saat mabuk bisa bikin segar sehingga ia bisa mengendarai kendaraan. Tapi, sejauh mana asumsi ini benar?Fakta:&nbsp;University of Arkansas for Medical Sciences&nbsp;menyatakan, kopi tidak bisa mengatasi efek alkohol.Selain itu, melansir WebMD, meski sudah minum kopi, kondisi mabuk alkohol akan tetap berpengaruh pada kecepatan reaksi atau refleks serta kemampuan orang menilai situasi yang dihadapi. Nah, ini tetap berbahaya kalau Anda sedang mengendarai mobil atau sepeda motor.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Gizi%20dan%20Nutrisi/artikel/apakah-kopi-bisa-menurunkan-berat-badan-1662352862091" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Apakah Kopi Bisa Menurunkan Berat Badan?</a><h4>6. Anak Kecil Tidak Boleh Minum Kopi</h4>Tidak sedikit orangtua yang melarang anaknya minum kopi, terutama bila di bawah usia 18 tahun. Ada apa sebenarnya di balik mitos tentang kopi satu ini?Fakta: banyak anak yang sensitif terhadap kandungan kafein di dalam kopi. Menurut penelitian, konsumsi kafein dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan kecemasan.Semakin banyak anak-anak dan remaja mengonsumsi kafein, semakin tinggi pula kemungkinannya untuk mengalami gangguan kecemasan di masa mendatang.Itulah sejumlah mitos kopi dan faktanya yang perlu kita ketahui.Jika Anda mengalami masalah kesehatan setelah mengonsumsi kopi, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Drake, C., Roehrs, T., Shambroom, J., &amp; Roth, T. (2013). Caffeine effects on sleep taken 0, 3, or 6 hours before going to bed. Journal of Clinical Sleep Medicine, 9(11), 1195-1200.</li><li>
Harvard School of Public Health. Diakses pada Juli 2022. Four cups of coffee a day associated with modest loss of body fat</li><li>
Hey, E. (2007). Coffee and pregnancy. BMJ, 334(7590), 377-377.</li><li>
Mayo Clinic. Diakses pada Juli 2022. Female fertility: Why lifestyle choices count</li><li>
Web MD. Diakses pada Juli 2022. Caffeine Myths and Facts</li><li>
O’Neill, C. E., Newsom, R. J., Stafford, J., Scott, T., Archuleta, S., Levis, S. C., ... &amp; Bachtell, R. K. (2016). Adolescent caffeine consumption increases adulthood anxiety-related behavior and modifies neuroendocrine signaling. Psychoneuroendocrinology, 67, 40-50.</li></ul>

6 Mitos Kopi dan Faktanya. Benarkah Bikin Insomnia?

Cara mengatasi bayi sulit tidur perlu disesuaikan dengan penyebabnya - AlteaCare | Foto: Envato

Salah satu tantangan orangtua baru adalah menghadapi bayi susah tidur. Sebenarnya, kalau pemicunya sudah diketahui, cara mengatasinya pun tidak terlalu sulit.Normalnya, bayi butuh waktu tidur 13-16 jam per hari. Durasi ini merupakan akumulasi dari tidur di siang dan malam hari. Jadi, tidak sepanjang malam. Di malam hari, ia biasanya tidur sekitar 8-11 jam.Sayangnya, seringkali bayi susah tidur di malam hari. Saat ini terjadi, biasanya orangtua langsung menggendong atau menimang bayi, dengan harapan ia segera mengantuk.Tapi, bagaimana kalau trik ini tidak berhasil? Mungkin akan lebih baik kalau Ibu dan Ayah terlebih dulu perhatikan, apa yang sekiranya bikin bayi sulit tidur. <h2>Penyebab Bayi Susah Tidur</h2>Ciri-ciri yang diperlihatkan saat bayi sulit tidur di malam hari adalah mulai uring-uringan atau gelisah saat mendekati jam tidur. Tapi, saat didekati, diusap, hingga digendong sambil dinyanyikan, ia tidak kunjung terlelap. Ada beberapa hal yang bisa jadi penyebab bayi seperti ini, antara lain:<ul><li>merasa kepanasan atau kedinginan</li><li>
lapar</li><li>
popok sudah penuh</li><li>
jam tidurnya tidak teratur</li><li>
terbiasa tidak bisa tidur dengan sendirinya</li><li>
sedang sakit</li><li>
tidak bisa membedakan siang dan malam hari</li><li>
terbiasa masih aktif bermain menjelang waktunya tidur</li></ul><h2>Cara Mengatasi Bayi Susah Tidur</h2>Setelah tahu apa penyebab bayi susah tidur, kita bisa lebih mudah menyiasatinya. Berikut adalah beberapa cara mengatasi bayi susah tidur yang bisa Anda coba:<h4>1. Buat Bayi Terjaga Lebih Lama saat Siang</h4>Salah satu cara mengatasi bayi susah tidur paling mudah adalah mengajaknya bermain lebih lama di siang hari. Ini bisa bikin bayi lebih lelah dan mudah tertidur di malam hari.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/cara-menyusui-bayi-yang-benar-agar-asi-optimal-1632369128932" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Cara Menyusui Bayi yang Benar Agar ASI Optimal</a> 
<h4>2. Bawa Bayi Keluar Rumah</h4>Ada kalanya, bayi susah tidur karena belum bisa bedakan antara waktu beraktivitas (saat masih ada matahari) dan waktunya tidur (saat langit sudah gelap). Itu sebabnya, bayi bisa saja banyak tidur di siang hari, kemudian terjaga sepanjang malam. Nah, bila ini yang terjadi, coba bantu atur ulang jam biologis tubuhnya. Saat siang atau sore hari, bawa bayi keluar rumah. Bila tidak bisa keluar rumah, gendong dia dan duduk dekat jendela atau di ruangan yang terkena sinar matahari. Trik ini bisa bikin si Kecil terjaga lebih lama di siang hari, sehingga malamnya bisa tidur nyenyak.<h4>3. Susui Bayi</h4>Air susu ibu (ASI) ternyata tidak hanya mengandung nutrisi yang baik untuk bayi. Saat menyusui di malam hari, hormon melatonin yang diproduksi oleh tubuh ibu dapat disalurkan ke bayi melalui ASI. Sementara itu, hormon melatonin adalah hormon yang berpengaruh terhadap jam biologis tubuh dan mengatur kapan seseorang harus terjaga dan tidur. Saat hormon melatonin dalam tubuh meningkat, kita pun akan mengantuk dan dapat tidur dengan mudah.<h4>4. Beri Pijatan Lembut</h4>Bayi susah tidur karena alami gangguan pencernaan, misalnya perut kembung? Coba pijat-pijat sedikit area perutnya dengan lembut. Menurut penelitian, pijatan juga bisa bikin tidur lebih pulas, terutama jika ia termasuk sulit tidur. Bingung cara memijat bayi dengan benar? Anda bisa konsultasikan dengan dokter spesialis anak langganan.<h4>5. Atasi Gangguan Hidung Mampetnya</h4>Terkadang, bayi susah tidur gara-gara hidung tersumbat. Untuk itu, Anda harus siap sedia cairan semprot hidung di rumah. Obat ini dijual secara bebas di berbagai apotek, kok!Cairan ini bisa disemprotkan ke lubang hidung bayi untuk meredakan gejala hidung tersumbat. Anda bisa minta rekomendasi yang tepat dari dokter spesialis anak.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/bayi-menangis-karena-kolik-penyebab-dan-cara-mengatasinya-1633051239197" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Bayi Menangis Karena Kolik: Penyebab dan Cara Mengatasinya</a> 
<h4>6. Ciptakan Ritual Tidur</h4>Tidak hanya orang dewasa, bayi pun butuh ritual sebelum tidur. Dengan begitu, dia akan tahu kapan saatnya tidur. 
Anda menciptakan ritual dengan melakukan beberapa hal khusus, seperti:<ul><li>memandikannya dengan air hangat</li><li>
memijat-mijat tubuhnya dengan lembut</li><li>
memutar musik untuk mengantarnya tidur</li><li>
membacakan cerita</li><li>
ikut berbaring, memeluk, dan mengusapnya hingga tidur</li></ul>Rutinitas ini bisa bikin bayi mudah tertidur, serta tidurnya pun nyenyak sepanjang malam tanpa gangguan.Itulah penyebab dan cara mengatasi bayi susah tidur yang dapat Anda coba.Bila setelah mencoba tips di atas bayi tetap sulit tidur, Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Stanford Children's Health. Diakses Juni 2022. Infant Sleep</li><li>
Children's Health. Diakses pada Juni 2022. Why babies have a hard time falling asleep</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. 5 Reasons Why Your Newborn Isn’t Sleeping at Night</li><li>
LA Trobe Univerisity. Diakses pada Juni 2022. Study looking at whether infant feeding type plays a role in babies sleep</li><li>
Saputro, H., &amp; Bahiya, C. (2021). The effects of baby massage to sleep quality in infant age 1-7 months. Journal For Research In Public Health, 2(2), 88-97.</li><li>
Web MD. Diakses pada Juni 2022. Soothing Your Sick Child</li><li>
Mindell, J. A., Telofski, L. S., Wiegand, B., &amp; Kurtz, E. S. (2009). A nightly bedtime routine: impact on sleep in young children and maternal mood. Sleep, 32(5), 599-606.</li></ul>

6 Cara Mengatasi Bayi Susah Tidur. Ketahui Dulu Penyebabnya!

Perselingkuhan bisa berdampak buruk baik secara fisik maupun mental - AlteaCare | Foto: Envato

Apakah hubungan Anda dengan pasangan saat ini baik-baik saja? Jika ya, pertahankan! Jangan pernah tergoda untuk selingkuh, karena pada akhirnya banyak yang dirugikan. Yes, perselingkuhan tak hanya merusak hubungan atau rumah tangga, tapi dampaknya bisa sampai kesehatan lahir batin. Saat berselingkuh, rasanya mungkin senang karena perilaku ini identik dengan kepuasan diri. Bahkan, meski tahu kesenangan tersebut hanya sementara, orang yang selingkuh selalu terdorong untuk memuaskan hasratnya.Namun, saat hubungan gelap tersebut terbongkar, banyak pihak yang dirugikan. Yang terutama adalah pasangan yang diselingkuhi dan anak.Lalu, apa saja yang bisa terjadi akibat perselingkuhan? Dampaknya ternyata bisa secara fisik dan mental.Yuk, simak uraian lengkapnya berikut ini!<h2>7 Bahaya Perselingkuhan Secara Fisik dan Mental</h2>Berikut ini adalah beberapa kondisi yang dapat dialami oleh mereka yang terdampak perselingkuhan:<h4>1. Depresi</h4>Bahaya perselingkuhan yang pertama adalah membuat seseorang depresi, terutama jika perselingkuhan terjadi dalam rumah tangga.Berdasarkan studi yang dipublikasikan di International Journal of Human Rights in Healthcare, sebanyak 38% perempuan mengalami depresi dalam waktu satu bulan setelah mengetahui pasangannya berselingkuh.Wanita yang jadi responden penelitian ini terdiri atas orang yang punya dan tidak punya riwayat gangguan kesehatan mental.Selain itu, penelitian ini juga menyebut bahwa orang yang diselingkuhi akan sangat rentan mengalami depresi bila perselingkuhan terjadi lagi untuk kedua atau ketiga kalinya.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-tanda-toxic-relationship-dan-cara-mengatasinya-1655898312455" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Tanda Toxic Relationship dan Cara Mengatasinya</a> 
<h4>2. Perubahan Kimia dalam Otak</h4>Secara umum, cinta dapat membuat kita bahagia karena tubuh akan melepaskan hormon dopamin dan oksitosin, serta memicu euforia. Mekanisme ini bisa bikin otak jadi kecanduan.Selanjutnya, tubuh pun akan terbiasa menganggap cinta sebagai "pabrik" dopamin dan oksitosin yang membuat bahagia.Nah, saat diselingkuhi, pola ini akan rusak dan mengubah mekanisme kimia dalam otak. Soalnya, ketika kita patah hati, otak tidak lagi dapat pemicu untuk memompa kadar oksitosin dan dopamin di dalam tubuh.Tanpa adanya dua hormon itu, kita akan merasa kurang bahagia dalam hidup. <h4>3. Penyakit Jantung</h4>Bahaya perselingkuhan tidak hanya menyerang mental, tetapi juga fisik seseorang. Salah satunya adalah rentan terkena penyakit jantung.Menurut penelitian di India, wanita yang diselingkuhi rentan mengalami stres, obesitas, dan tekanan darah tinggi. Selain itu, kadar gula darahnya pun bisa naik. Faktor-faktor inilah yang kemudian dapat memicu penyakit jantung.<h4>4. Kurang Tidur</h4>Suatu hubungan yang baik seharusnya membuat kita merasa bahagia dan aman. Namun, perselingkuhan bisa bikin kita stres karena hubungan tidak sehat lagi.Menurut penelitian, hubungan yang sehat dapat meningkatkan kualitas tidur karena membuat kita merasa aman. 
Sebaliknya, hubungan yang tidak sehat bisa meningkatkan gangguan tidur, termasuk kurang tidur, sering terbangun di tengah malam, dan insomnia.<h4>5. Penularan Penyakit Menular Seksual</h4>Salah satu bahaya perselingkuhan yang harus diwaspadai adalah penularan penyakit menular seksual (PMS). Tidak hanya orang yang berselingkuh, pasangan yang diselingkuhi juga rentan tertular PMS. 
Contohnya begini, suami berselingkuh sampai berhubungan intim dengan wanita lain tanpa menggunakan kondom. Sementara saat di rumah, dia berhubungan dengan istrinya. Nah, bila wanita lain itu memiliki PMS, baik sang suami maupun istrinya yang di rumah bisa berisiko tertular.<h4>6. Merusak Mental Anak</h4>Perselingkuhan yang dilakukan oleh orangtua juga bisa berdampak pada anak. Menurut beberapa studi, perselingkuhan bisa membuat anak mengalami kondisi ini:<ul><li>jadi tidak percaya pada orangtua yang berselingkuh</li><li>
bingung, khawatir, dan merasa diabaikan</li><li>
sulit percaya pada pasangannya di masa depan</li><li>
punya persepsi negatif terhadap semua bentuk ketidaksetiaan</li><li>
ada kemungkinan juga berselingkuh di masa depan</li></ul>
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-dampak-broken-home-pada-anak-bisa-depresi-1660188065785" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Dampak Broken Home pada Anak. Bisa Depresi!</a> 
<h4>7. Trauma</h4>Terakhir, perselingkuhan juga bisa menimbulkan trauma pada orang yang diselingkuhi. Tanda-tanda trauma dapat diamati dari sikap atau perilaku yang ditunjukkannya, seperti:<ul><li>hilang rasa percaya diri atau menganggap dirinya rendah</li><li>
mati rasa</li><li>
marah</li><li>
merasa bersalah</li><li>
sulit mengendalikan emosi</li><li>
pikiran selalu diganggu oleh bayangan tentang perselingkuhan yang terjadi</li><li>
hilang kepercayaan pada orang lain</li><li>
curiga berlebihan</li><li>
mengalami gangguan kesehatan mental</li><li>
mengalami gangguan fisik, seperti insomnia, nyeri, atau sakit perut</li></ul>Itulah sejumlah bahaya perselingkuhan bagi fisik dan mental, yang harus diwaspadai.Sobat Altea yang mengalami masalah psikologis maupun kejiwaan, jangan ragu untuk lakukan konsultasi dengan Psikolog atau Psikiater di AlteaCare. Anda juga bisa lakukan konseling psikologis melalui chat di aplikasi, supaya bisa curhat dengan aman sekaligus meringankan beban pikiran.Yuk, unduh dan gunakan aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>untuk menjaga kesehatan mental Anda! Sumber: <ul style=""><li style="">
Ruedy, N. E., Moore, C., Gino, F., &amp; Schweitzer, M. E. (2013). The cheater’s high: The unexpected affective benefits of unethical behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 105(4), 531.</li><li style="">
Azhar, A., Abbas, J., Wenhong, Z., Akhtar, T., &amp; Aqeel, M. (2018). Linking infidelity stress, anxiety and depression: evidence from Pakistan married couples and divorced individuals. International Journal of Human Rights in Healthcare, 11(3), 214-228.</li><li style="">
Psych Central. Diakses pada Juni 2022. Long-Term Psychological Effects of Infidelity</li><li style="">
Hajare, R. Extra-Marital Affair Can Lead Trauma and Connections in Higher Risk for Heart Disease in Indian Women. Drug Des Int Prop Int J 2 (1)-2018. DDIPIJ. MS. ID, 126(1), 2.</li><li style="">
Troxel, W. M., Robles, T. F., Hall, M., &amp; Buysse, D. J. (2007). Marital quality and the marital bed: Examining the covariation between relationship quality and sleep. Sleep medicine reviews, 11(5), 389-404.</li><li style="">
Sleep Foundation. Diakses pada Juni 2022. How To Determine Poor Sleep Quality</li><li style="">
Patient. Diakses pada Juni 2022. How an affair affects your sexual and mental health</li><li style="">
Healthline. Diakses pada Juni 2022. Why Betrayal Can Cause Trauma and How to Start Healing</li></ul>

7 Bahaya Perselingkuhan. Anak Juga Kena Efeknya!

Senam irama bisa jadi alternatif olahraga supaya lebih sehat - AlteaCare | Foto: Envato

Dalam berbagai event, senam irama biasanya dijadikan alternatif aktivitas fisik supaya peserta jadi lebih semangat. Selain menyenangkan, ada banyak manfaat senam irama yang bisa didapat. Tak cuma bikin badan jadi segar, produktivitas kerja kita juga jadi meningkat. Tidak heran bila sejumlah sekolah dan kantor kerap mengadakan senam irama sebagai aktivitas rekreasi sebelum menghadapi rutinitas.Sobat Altea juga tertarik mau coba senam irama? Yuk, simak dulu manfaat senam irama untuk kesehatan selengkapnya di bawah ini!<h2>8 Manfaat Senam Irama Buat Kesehatan</h2>Berikut ini adalah keuntungan yang bisa kita dapatkan bila rajin melakukan senam irama:<h4>1. Gerakan Lebih Fleksibel</h4>Manfaat senam irama yang pertama adalah meningkatkan fleksibilitas tubuh. Ini karena gerakan dalam senam lebih banyak berpusat pada mobilitas sendi dan peregangan otot.Gerakan ini akan meningkatkan elastisitas otot, terutama otot pinggang, bahu, dan tulang punggung.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/6-manfaat-sepakbola-untuk-kesehatan-bisa-tambah-pintar-1656671537912" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Manfaat Sepakbola untuk Kesehatan. Bisa Tambah Pintar!	</a> 
<h4>2. Tulang Lebih Kuat</h4>Senam irama juga ternyata bermanfaat buat kesehatan tulang, lo!Menurut penelitian, orang yang aktif melakukan senam irama punya kadar leptin yang lebih rendah. Leptin adalah hormon yang diproduksi sel lemak untuk mengendalikan nafsu makan.Jika kadar leptin terlalu berlebihan, risiko terjadinya penurunan kadar mineral tulang akan meningkat.<h4>3. Jantung Lebih Sehat</h4>Salah satu manfaat penting senam irama adalah meningkatkan kesehatan jantung.Menurut penelitian, gerakan senam dapat meningkatkan kemampuan jantung memompa darah, sehingga kebutuhan oksigen tubuh dapat terpenuhi.<h4>4. Fokus dan Fungsi Kognitif Lebih Baik</h4>Mengajak anak latihan senam irama bisa membantu mengarahkan serta meningkatkan fungsi kognitifnya. Sebab, saat bergerak, anak harus mendengarkan musik dan menyesuaikan gerakan sesuai irama.Penelitian yang dimuat Frontiers in Psychology menyebutkan, berlatih senam irama selama tujuh minggu bisa bermanfaat buat anak. Mereka jadi lebih mudah mengikuti irama, mengatur keseimbangan, serta punya respons gerak yang lebih baik.Selain itu, anak dinilai dapat lebih perhatian saat mendengarkan perkataan orang tua.<h4>5. Meredakan Stres</h4>Senam tidak hanya baik untuk fisik, tetapi juga untuk mental Anda.Bergerak mengikuti irama musik bisa memicu produksi dopamin. Hormon dopamin adalah salah satu "hormon bahagia" yang akan membuat suasana hati jadi baik.Tingginya hormon dopamin bisa memperbaiki kualitas istirahat dan rileksasi kita. Dengan begitu, kadar stres bisa berkurang. <h4>6. Berat Badan Berkurang</h4>Seperti olahraga lainnya, senam irama juga bisa membakar kalori dan menurunkan berat badan.Menurut penelitian, senam irama sangat baik dilakukan orang yang punya masalah obesitas atau kelebihan berat badan. Sebab, latihan ini bisa menurunkan massa lemak secara signifikan.Dalam jangka panjang, latihan senam irama secara rutin juga bisa memperbaiki bentuk tubuh dan meningkatkan kebugaran.<h4>7. Koordinasi Tubuh Lebih Baik</h4>Supaya bisa bergerak dengan lincah sesuai musik, kita perlu belajar mengatur keseimbangan tubuh. Itu sebabnya, manfaat senam irama lainnya adalah koordinasi tubuh yang semakin baik. Dengan keseimbangan dan koordinasi tubuh yang baik, kita pun lebih gesit dalam menjalani berbagai aktivitas.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/7-latihan-kecepatan-agar-tubuh-makin-gesit-mudah-1660102149857" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Latihan Kecepatan Agar Tubuh Makin Gesit. Mudah!	</a> 
<h4>8. Paru-paru Lebih Sehat</h4>Manfaat senam irama terakhir adalah semakin optimalnya fungsi paru. Menurut American Lung Association, aktivitas aerobik, termasuk senam irama, bisa melatih paru-paru untuk berfungsi secara efisien.Selain itu, senam irama juga dapat jadi sarana untuk melatih pernapasan, agar napas jadi lebih panjang dan diafragma lebih kuat.Itulah sejumlah manfaat senam irama buat kesehatan.Sobat Altea yang mengalami masalah kesehatan atau sedang mencari olahraga yang tepat dan sesuai dengan kondisi kesehatan saat ini, jangan ragu lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Batista, A., Garganta, R., &amp; Ávila-Carvalho, L. (2019). Flexibility and functional asymmetry in rhythmic gymnastics. Athens Journal of Sports, 6(2), 77-94.</li><li>
Courteix, D., Rieth, N., Thomas, T., Van Praagh, E., Benhamou, C. L., Collomp, K., ... &amp; Jaffre, C. (2007). Preserved bone health in adolescent elite rhythmic gymnasts despite hypoleptinemia. Hormone Research in Paediatrics, 68(1), 20-27.</li><li>
Montosa, I., Vernetta, M., &amp; López-Bedoya, J. (2018). Cardiorespiratory capacity and body composition in girls and adolescents practitioners of rhythmic gymnastics. Archivos de Medicina del Deporte, 35(3), 151-156.</li><li>
Vazou, S., Klesel, B., Lakes, K. D., &amp; Smiley, A. (2020). Rhythmic physical activity intervention: exploring feasibility and effectiveness in improving motor and executive function skills in children. Frontiers in Psychology, 11, 556249.</li><li>
Sandari Batulao. Diakses pada Mei 2022. Rhythmic Activities Can Keep You Healthy</li><li>
Monleón, C., Pablos, A., Carnide, F., Martín, M., &amp; Pablos, C. (2014). Effects of a rhythmic and choreographic program in obese and overweight participants. Nutricion hospitalaria, 30(3), 622-628.</li><li>
Sundari, S., Siregar, N. M., &amp; Pelana, R. (2021, July). Analysis of Movement and Rhythmic Skills in Physical Education Students. In 4th International Conference on Sports Sciences and Health (ICSSH 2020) (pp. 136-138). Atlantis Press.</li><li>
American Lung Association. Diakses pada Mei 2022. Exercise and Lung Health</li></ul>

8 Manfaat Senam Irama Buat Kesehatan. Penambah Semangat!

Berenang memiliki banyak manfaat buat kesehatan kita - AlteaCare | Foto: Envato

Di samping bikin hati senang, manfaat renang juga terasa buat kesehatan tubuh. Aktivitas fisik yang dilakukan di air ini bisa jadi alternatif olahraga buat mereka yang ingin rekreasi sambil berolahraga maupun sebagai bentuk terapi.Saat berenang, sejumlah bagian tubuh kita akan bergerak aktif secara teratur, sehingga ini baik untuk pembentukan otot, koordinasi, fleksibilitas, serta keseimbangan tubuh. Berenang juga bisa membentuk postur tubuh anak-anak sehingga lebih tegak saat duduk dan berdiri sewaktu menjalani rutinitas sehari-hari. Olahraga ini bahkan disarankan buat orang yang punya kondisi khusus, sehingga hanya boleh melakukan latihan berintensitas rendah. Misalnya, orang yang di masa pemulihan pasca cedera.Selain itu, olahraga air ini juga bisa berguna bagi orang-orang dengan kebutuhan tertentu. Siapa saja yang bisa dapat manfaat optimal dari berenang? Yuk simak lebih lanjut manfaat renang untuk kesehatan berikut!<h2>Siapa yang Bisa Dapatkan Manfaat Renang?</h2>Berikut ini adalah sebagian orang yang bisa dapatkan manfaat renang bila mau latihan secara teratur:<h4>1. Lagi Program Turunkan Berat Badan</h4>Main air saja bisa kurus? Siapa yang tidak mau! Ternyata, gerakan yang kita lakukan saat berenang bisa bakar kalori, lo!Tapi, perlu diingat bahwa jumlah kalori yang terbakar itu masih bergantung pada berat badan, gaya renang, kecepatan renang, hingga durasi dan intensitas latihannya.Misalnya, kalau berat badan Anda 68 kg, berenang selama satu jam dengan kecepatan sedang bisa bakar sekitar 400 kalori.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/6-olahraga-untuk-mengatasi-depresi-murah-meriah-1658061637734" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Olahraga untuk Mengatasi Depresi. Murah Meriah!	</a> 
<h4>2. Pengidap Asma</h4>Sobat Altea yang asmanya sering kambuh ada baiknya mulai rutin berenang.Sebab, menurut penelitian yang dimuat di jurnal Sport Medicine, berenang bisa redakan gejala asma dan bikin tubuh lebih bugar.Dibandingkan melakukan aktivitas olahraga lainnya, kontraksi pada otot bronkus lebih ringan saat berenang. Selain itu, olahraga dalam air juga bikin tubuh lebih lembap, sehingga suhu pada organ pernapasan tetap terjaga.<h4>3. Ingin Mengencangkan Otot</h4>Berenang menggerakkan banyak anggota tubuh, sehingga otot-otot kita pun terlatih. Otot yang dilatih saat berenang antara lain adalah otot perut, punggung, lengan bawah, bahu, gluteal, dan hamstring.Supaya otot yang ingin dikuatkan bisa tepat sasaran, Anda perlu tahu gaya renang apa yang sesuai untuk otot yang dituju.<h4>4. Orang yang Sering Susah Tidur</h4>Sering susah tidur atau kurang nyenyak saat istirahat di malam hari? Coba berenang! Melansir dari Alaska Sleep Clinic, salah satu manfaat renang adalah membuat tubuh lebih lelah, sehingga Anda bisa tidur lebih lelap di malam hari.Bahkan, menurut penelitian di Therapeutic Recreation Journal, berenang bisa perbaiki kebiasaan tidur anak dengan gangguan autisme. Itu sebabnya, banyak terapis menyarankan orangtua dengan anak autistik untuk menjadwalkan latihan renang secara teratur.<h4>5. Anak yang Sedang Stres</h4>Menurut studi, aktif berenang terbukti bisa menurunkan stres, terutama pada anak pra-remaja berusia 11-13 tahun. Ini tentu kabar baik buat orangtua yang sering cemas anak-anaknya gampang stres karena beban pelajaran sekolah maupun tekanan pergaulan. Menghabiskan akhir minggu buat piknik sambil berenang bersama keluarga bisa jadi alternatif yang pantas dilirik!<h4>6. Pengidap Saraf Kejepit</h4>Tidak hanya untuk otot, salah satu manfaat renang lainnya adalah meredakan gejala saraf kejepit. Sebab, tubuh mengapung di air, nyeri saraf yang kita rasakan pun akan berkurang.Namun, jangan lupa. Meski olahraganya di dalam air, pastikan Anda tak lupa pemanasan sebelum mulai latihan, supaya mencegah terjadinya cedera.<h4>7. Ibu Hamil</h4>Menurut penelitian di jurnal Epidemiology, ibu hamil yang mulai berenang sejak awal atau pada pertengahan usia kehamilan berisiko lebih rendah untuk melahirkan prematur. Selain itu, berenang juga dapat menurunkan risiko perkembangan janin yang tidak normal.Para ahli menganjurkan ibu hamil untuk berenang setidaknya selama 1,5 jam per minggu.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kehamilan%20dan%20Kesehatan%20Reproduksi/artikel/7-olahraga-untuk-ibu-hamil-yang-paling-aman-dan-sehat-1655260905262" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Olahraga Untuk Ibu Hamil yang Paling Aman dan Sehat	</a> 
<h4>8. Ingin Jantung Lebih Kuat</h4>Berenang termasuk salah satu olahraga kardio. Melansir dari Orlando Health, berenang bisa melatih ketahanan jantung agar semakin kuat.Tentunya kita semua ingin punya jantung yang kuat. Sebab, semakin kuat jantung, proses aliran darah ke tubuh dan otak pun dapat berjalan lebih efisien.Itulah sejumlah manfaat renang untuk kesehatan fisik dan mental.Sobat Altea yang mengalami gangguan kesehatan bisa dapatkan saran dan rekomendasi sesuai kondisi yang dialami dari dokter spesialis di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji telekonsultasi dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Mei 2022. How Many Calories Do You Burn Swimming?</li><li>
Beskind, D. (1993). Swimming and asthma: Benefits and deleterious effects: Bar-Or O, Inbar O Sports Med 14: 397–405 Dec 1992. Annals of Emergency Medicine, 22(5), 870.</li><li>
Simply Swim. Diakses pada Mei 2022. Where Does Swimming Build Muscle</li><li>
Lawson, L. M., &amp; Little, L. (2017). Feasibility of a swimming intervention to improve sleep behaviors of children with autism spectrum disorder. Therapeutic Recreation Journal, 51(2).</li><li>
Alaska Sleep Clinic. Diakses pada Mei 2022. Swim to Improve Your Sleep and Health</li><li>
Köroglu, M., &amp; Yigiter, K. (2016). Effects of Swimming Training on Stress Levels of the Students Aged 11-13. Universal Journal of Educational Research, 4(8), 1881-1884.</li><li>
Laser Spine Institute. Diakses pada Mei 2022. Can swimming help when used as a pinched nerve treatment?</li><li>
Mette Juhl, et al. (2010). Is swimming during pregnancy a safe exercise?. Epidemiology (Cambridge, Mass), 21(2): 253-8</li><li>
Orlando Health. Diakses pada Mei 2022. Why Swimming Might Be the Best Form of Exercise There Is</li></ul>

8 Manfaat Renang Buat Kesehatan. Bisa Langsing!

Kondisi broken home bisa buat anak merasakan sedih yang berkepanjangan - AlteaCare | Foto: Envato

Keluarga yang harmonis adalah impian semua orang. Namun, saat terjadi perceraian, anak-anak jadi pihak yang paling sulit menghadapinya. Kondisi broken home bisa mengubah diri anak dan juga persepsinya terhadap keluarga.Mengutip dari Kamus Psikologi American Psychology Association, istilah broken home mengacu pada kondisi rumah tangga dengan salah satu orangtua (single parent), yang terjadi akibat adanya perceraian atau perpisahan orangtua.Sebenarnya, istilah ini secara umum dihindari oleh para ahli, karena seolah-olah hanya ada satu konsep keluarga ideal. Sementara, keluarga yang tidak sesuai dengan standar ini lantas dianggap tidak layak atau disfungsional (misalnya, broken).Namun, perlu diakui, perubahan struktur dan peran orangtua dalam keluarga setelah terjadi perceraian, bisa berdampak bagi anak. Terutama bila anak masih terlalu kecil untuk memahami apa itu perceraian.Melansir dari Healthline, usia sekolah dasar 6-12 tahun ini bisa dibilang adalah usia paling rentan dan terberat bagi anak untuk menghadapi perpisahan atau perceraian orangtuanya.Lalu, apa dampak yang dialami oleh anak yang mengalami broken home?Yuk, simak lebih lanjut!<h2>Dampak Broken Home pada Anak</h2>Berikut ini beberapa dampak yang dialami anak bila dihadapkan pada kondisi keluarga broken home akibat perceraian atau perpisahan orangtuanya: <h4>1. Anak Jadi Pemarah</h4>Kemarahan adalah salah satu proses yang dilalui anak saat menghadapi perceraian orangtuanya. Ia dapat jadi gampang marah, baik terhadap orangtua, dirinya sendiri, ataupun teman-temannya. Umumnya, rasa marah yang dirasakan anak akan menghilang setelah beberapa minggu. Namun, jika kondisi ini tidak berubah, bisa jadi ini adalah dampak emosional akibat perceraian orangtua. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-mengatasi-anak-pemarah-pahami-emosinya-1658935975752" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Cara Mengatasi Anak Pemarah. Pahami Emosinya!	</a> 
<h4>2. Kurang Dapatkan Kasih Sayang</h4>Saat terjadi perceraian, guncangan emosional tidak hanya dirasakan oleh orangtua. Justru kondisi anak bisa jauh lebih serius.Ketika komunikasi antara ayah atau ibu terputus, anak mungkin tidak bisa mendapat kasih sayang dari salah satu orangtua. Studi yang dikutip Psychoanalytic Psychology menunjukkan, ibu sering kali jadi kurang memberi dukungan dan kasih sayang setelah perceraian. Selain itu, pola asuh yang sebelumnya disiplin dapat menjadi kurang konsisten dan kurang efektif. Melansir dari Verywell Family, perceraian yang terjadi saat anak masih balita bisa membuat kondisi emosionalnya lebih problematis. Dampaknya berlangsung sampai anak menginjak usia remaja, bahkan sampai dewasa.<h4>3. Prestasi Belajar Menurun</h4>Bila kondisi broken home dialami anak yang sudah bersekolah, masalah yang mungkin dihadapi adalah turunnya nilai akademik.Studi yang dimuat di Proceedings of the National Academy of Science menyebutkan, anak-anak dari orangtua yang bercerai cenderung mengalami masalah dalam proses belajar di sekolah.Masalahnya bisa bermacam-macam, namun yang paling umum adalah nilai yang turun, bahkan hingga terancam putus sekolah. Kondisi ini dapat terlihat pada anak berusia enam tahun, namun semakin tampak saat anak masuk usia 13-18 tahun. Namun, penelitian tersebut menambahkan, bukan berarti anak-anak broken home lantas punya masalah pendidikan yang sama. <h4>4. Pola Makan dan Tidur Berubah</h4>Dampak lain dialami anak broken home adalah jam makan dan tidur yang berantakan.Tidak semua anak mengalaminya. Namun, menurut studi yang dilakukan di Inggris, kondisi broken home bisa membuat anak mengalami kenaikan berat badan akibat makan dan tidur yang tidak teratur.<h4>5. Mudah Sedih</h4>Rasa sedih berkepanjangan sering dialami oleh anak yang orangtuanya tidak berpisah atau bercerai.Mengutip Unair News, Psikolog Sanny Prakosa Wardhana dari Universitas Airlangga memaparkan bahwa anak broken home cenderung mengalami perubahan perilaku. Mereka dapat menarik diri dari lingkungan dan menyendiri.Bahkan, bila anak tidak punya support system yang baik, ia bisa mengalami stres berat yang berujung pada depresi.Namun, banyak anak yang berasal dari keluarga broken home bisa bertahan, keluar dari rasa sedih, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Di sinilah peran orangtua dibutuhkan untuk selalu mendampingi anak di masa-masa sulitnya.<h4>6. Rentan Terhadap Depresi</h4>Sedih yang berlarut-larut akibat perpisahan orangtua bisa membuat anak rentan alami depresi, bahkan berisiko melakukan bunuh diri.Menurut American Academy of Pediatric, munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup pada anak broken home cenderung lebih banyak dialami oleh anak laki-laki berusia 11 tahun ke atas. Anak laki-laki termasuk lebih berisiko untuk bertindak nekat seperti ini dibandingkan anak perempuan.Untuk itu, orangtua perlu berfokus untuk mencari solusi apabila terjadi perubahan atau masalah setelah perceraian. Segera minta bantuan profesional untuk membantu anak mengatasi gangguan emosionalnya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/depresi-anak-meningkat-saat-pandemi-ortu-perlu-lakukan-ini-1658834076952" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Depresi Anak Meningkat Saat Pandemi, Ortu Perlu Lakukan Ini	</a> 
Itulah beberapa dampak yang dialami anak yang berada dalam kondisi keluarga broken home.Setiap anak dapat mengalami kondisi berbeda, namun orangtua sebaiknya jangan ragu untuk minta pertolongan profesional bila sudah mengganggu kualitas hidup anak. Manfaatkan aplikasi AlteaCare untuk lakukan telekonsultasi langsung dengan psikolog berpengalaman dari rumah saja. Jangan khawatir, kerahasiaan tetap terjamin.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a> dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Healthline. Diakses pada Juni 2022. 10 Effects of Divorce on Children — and Helping Them Cope</li><li>
Family Means. Diakses pada Juni 2022. What Are the Effects of Divorce on Children?</li><li>
Unair News. Diakses pada Juni 2022. Broken Home Is Not End of Everything</li><li>
Brand, J. E., Moore, R., Song, X., &amp; Xie, Y. (2019). Parental divorce is not uniformly disruptive to children’s educational attainment. Proceedings of the National Academy of Sciences, 116(15), 7266-7271.</li><li>
Very Well Family. Diakses pada Juni 2022. The Psychological Effects of Divorce on Children</li><li>
Healthline. Diakses pada Juni 2022. What’s the Hardest Age for Children to See Their Parents Split?</li></ul>

6 Dampak Broken Home pada Anak. Bisa Depresi!

Cyberbullying pada anak bisa membuatnya terpuruk dan hilang percaya diri - AlteaCare | Foto: Envato

Di era teknologi seperti sekarang, perundungan tidak hanya dilakukan saat tatap muka, tetapi juga melalui media sosial. Lalu, bagaimana cara mengatasi cyberbullying seperti ini?Menurut Psikolog Rumah Sakit Mitra Keluarga Cikarang, Cecilia Helmina Erfanie Sinaga, M.Psi, cyberbullying adalah penghinaan atau intimidasi terhadap seseorang, yang dilakukan oleh individu lain. Bentuknya dapat melalui gambar, foto, video, penyuntingan gambar, komentar, dan tulisan status di platform digital.Tujuan pelaku perundungan digital ini adalah menurunkan rasa percaya diri dan harga diri orang yang ia rundung. Itu sebabnya, pelaku cenderung memilih orang yang dianggap lebih lemah darinya, misalnya anak-anak."Perundung akan mengintimidasi dan berperilaku tidak menyenangkan, sehingga self-esteem anak jatuh. Dengan begitu, anak akan merasa apa yang dikatakan si Perundung itu benar,” kata Cecilia dalam live streaming AlteaTalk Episode 34 bertajuk “Yuk, Lindungi Anak dari Cyber Bullying” di Instagram AlteaCare (@alteacare.id), Sabtu, 6 Agustus 2022.Dalam jangka waktu pendek atau panjang, cyberbullying dapat berdampak pada kesehatan mental anak. Keceriaan yang biasanya diperlihatkan berubah jadi kemurungan akibat melihat komentar di media sosial.Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua? Yuk, ikuti berbagai cara mengatasi cyberbullying berikut ini!<h2>8 Cara Mengatasi Cyberbullying pada Anak</h2>Beberapa hal ini bisa dilakukan bila anak kita mengalami perundungan dari temannya secara online:<h4>1. Ajak Anak Curhat</h4>Saat posting-nya di media sosial dapat komentar jorok dari temannya, orangtua mungkin bisa berpikir ini masalah sepele. Tapi, tidak bagi anak, lo!Untuk itu, orangtua harus mau berpikir dari sudut pandang anak. Caranya? Ajak anak bicara dari ke hati ke hati.&nbsp;Menurut Cecilia, kehadiran orangtua yang mau mendengarkan sangat penting bagi anak. Maka dari itu, dengarkan keluh-kesahnya."Kalau ibu atau ayah tidak membangun relasi yang baik, bagaimana anak mau cerita saat ada masalah? Sementara, ia butuh dukungan dari lingkungan sekitar untuk bisa bangun penilaian yang lebih baik seputar dirinya sendiri,” kata Cecillia.<h4>2. Ikuti Aktivitas Anak di Media Sosial</h4>Jadi follower di akun media sosialnya bisa membantu orangtua untuk tahu pola perilaku anak saat bermedia sosial. Apa saja yang bikin dia kesal dan resah, serta posting seperti apa yang dia komentari.Namun, bukan berarti kita lantas jadi hakim buat anak. Hindarilah menegur anak secara langsung seputar hal-hal yang ia lakukan di media sosial.“Bila punya anak remaja, kita harus setarakan diri sama dengan anak. Orangtua harus jadi sahabat si Remaja," kata Cecillia.Saat baca posting anak dan merasa terusik, tahan diri untuk komentar. Tunggu sampai Anda bisa bicara langsung dengan anak.Lalu, tempatkan diri sebagai orang yang ingin tahu, bukan untuk memberi tahu. Anda bisa mulai dengan bertanya, “Kemarin kamu posting soal itu, memangnya ada apa?” Ini bisa bantu untuk memancing anak terbuka dan mau cerita.<h4>3. Amati Perubahan Perilaku Anak</h4>Bila relasi sudah terjalin dengan baik, orangtua dapat amati perilaku anak. Apakah ada perubahan berarti?Biasanya, anak yang alami&nbsp;cyberbullying atau perundungan umumnya jadi cenderung tidak semangat, enggan pergi ke sekolah, cemas, takut, dan susah tidur.Bahkan, pada anak-anak yang masih kecil, cyberbullying bisa membuatnya mengalami kemunduran perilaku. Misalnya, tiba-tiba mengompol, buang air di celana, dan lain-lain.Cermat amati perubahan bisa membantu kita lebih cepat bertindak.<h4>4. Minta Bantuan Orang yang Dekat dengan Anak</h4>Anak tidak mau terbuka dan bercerita pada kita? Coba minta tolong pada orang lain yang cukup dekat dan ia percayai, seperti tante, om, sepupu, sahabat, guru sekolah, atau guru lesnya.Mintalah mereka jadi perantara untuk mengajak anak bicara dan curhat seputar hal yang ia alami. Bila perlu bantuan profesional, Anda bisa minta Psikolog atau guru bimbingan konseling di sekolah untuk ajak anak bicara.<h4>5. Mengobrol dengan Orangtua Pelaku Perundungan</h4>Jika kasus cyberbullying yang menimpa anak sudah terungkap, mungkin Anda perlu berbicara dengan orangtua pelaku secara baik-baik. Saat mengobrol, tidak perlu bawa anak masing-masing. Sebab, pertemuan ini bertujuan agar kedua orangtua sama-sama paham penyebab perundungan yang terjadi di media sosial.Orangtua pelaku pun bisa dapat feedback seputar perilaku negatif anaknya di media sosial, seperti berkomentar negatif atau bicara kasar.Sementara itu, kita sendiri sebagai orangtua dapat gambaran apa yang terjadi saat anak-anak berinteraksi di media sosial.<h4>6. Jalani Psikoedukasi</h4>Dalam sesi psikoedukasi bersama psikolog, anak yang jadi pelaku cyberbullying maupun yang dirundung akan belajar bagaimana etika bermedia sosial yang benar. Sesi ini bahkan perlu diikuti oleh orangtua masing-masing."Edukasi berkaitan dengan pola pengasuhan dan penggunaan gadget di rumah. Apakah orangtua cenderung lepas tangan, sehingga anak main gadget sendiri tanpa pernah dipantau? Lalu, siapa temannya dan apa saja yang dilakukan anak terhadap orang lain," jelas Cecillia.Proses psikoedukasi bisa panjang karena memang tidak mudah mengubah pola pengasuhan anak. Jadi, perlu ada kemauan dari orangtua kedua pihak untuk menjalaninya."Kalau salah satu pihak orangtua tertutup, menganggap anaknya tidak salah, psikoedukasi sulit dilakukan," ujarnya.<h4>7. Ajarkan Anak Etika Bermedia Sosial</h4>Ini terutama perlu dipahami oleh anak yang melakukan perundungan. Ajarkan dia untuk berpikir sebelum menulis atau mengunggah apa pun di media sosial."Misalnya, pikirkan sebelum tulis status. Ini hanya buat memuaskan hatiku atau bermanfaat buat dia? Kalau tidak ada faedahnya, stop. Tahan keinginan untuk melakukan hal-hal tidak baik," ujar Cecilia.<h4>8. Latih Anak Hadapi Perundungan</h4>Lalu, bagaimana dengan anak yang sering dirundung di media sosial? Ajari mereka sikap bodo amat. Bangun pola pikir anak, tanamkan bahwa mereka anak yang baik dan berharga di mata orangtua. Ini bisa membantu mereka lebih percaya diri.“Pastikan anak di lingkungan yang baik dan mendukung. Jadi, ketika ia bermasyarakat dan ada yang bilang jelek, ia tahu bahwa itu datang dari orang luar. Kata-kata jelek itu bisa dihempaskan dengan gampang," kata Cecilia.Itulah sejumlah cara mengatasi cyberbullying yang menimpa anak kita.Anda juga bisa ajak anak yang alami cyberbullying lakukan telekonsultasi dengan psikolog berpengalaman di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>segera!

8 Cara Mengatasi Cyberbullying pada Anak. Butuh Edukasi!

Dampingi anggota keluarga yang alami perundungan agar kesehatan mentalnya terjaga - AlteaCare | Foto: Envato

Keluarga seharusnya menjadi tempat teraman bagi semua anggotanya. Namun, bagaimana jika terjadi bullying dalam keluarga?Bullying atau perundungan adalah bentuk perilaku agresif terhadap seseorang secara sengaja dan berulang. Akibatnya, orang yang di-bully terluka atau merasa tidak nyaman.Fenomena perundungan bisa terjadi di lingkungan sekolah, kantor, komunitas, dan media sosial. Latar belakangnya bisa beragam, mulai dari masalah fisik, perilaku, etnis, gaya berpakaian, dan lain-lain.Ketika mendapat perundungan, seseorang biasanya akan kembali ke rumah untuk mencari perlindungan atau sekadar merasa aman. Masalahnya, bagaimana jika terjadi perundungan di dalam rumah?Yuk, kita pelajari tanda terjadinya bullying dalam keluarga berikut, supaya bisa bantu mencegah!<h2>Tanda Bullying Dalam Keluarga</h2>Perundungan yang terjadi dalam keluarga kebanyakan dilakukan secara verbal atau lewat perlakuan. Bukan dalam bentuk kekerasan fisik seperti yang sering terjadi di luar rumah.Sayangnya, tidak banyak orang sadar kalau ada beberapa perilaku yang sebenarnya bagian dari perundungan.Berikut adalah beberapa tanda yang dapat dikenali jika ada anggota keluarga kita melakukan perundungan kepada anggota keluarga lainnya:<ul><li>memaksa anggota keluarga lain memenuhi permintaan yang tidak masuk akal</li><li>
menyalahkan anggota keluarga lain akan semua hal buruk yang terjadi</li><li>
meremehkan perasaan atau pemikiran anggota keluarga yang lain</li><li>
selalu bikin kekacauan dengan melawan semua argumen anggota keluarga yang lain</li><li>
mengancam satu atau beberapa anggota keluarga dengan tujuan mengendalikan atau membuat mereka merasa bersalah</li><li>
bersikap superior dan berusaha menjatuhkan atau membuktikan orang lain salah</li><li>
menjadikan salah satu anggota keluarga sebagai bahan lelucon atau bersikap sarkastik saat berinteraksi dengan anggota keluarga lain</li><li>
menginterupsi apa pun yang dilakukan oleh anggota keluarga lain atau melebih-lebihkan kekurangannya sehingga dia menjadi minder atau inferior</li><li>
menuduh anggota keluarga lain egois, manja, dan tidak berkomitmen pada keluarga</li><li>
mendiamkan atau mengajak anggota keluarga lain berbalik melawan salah satu anggota keluarga yang dianggap sebagai “musuh”</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-tanda-toxic-relationship-dan-cara-mengatasinya-1655898312455" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Tanda Toxic Relationship dan Cara Mengatasinya</a> 
<h2>Solusi Mengatasi Bullying Dalam Keluarga</h2>Perlu diketahui, perundungan bisa terjadi antara orangtua dan anak, namun juga bisa antara kakak-adik. Keduanya sama-sama bisa menimbulkan dampak psikologis jangka panjang.Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa dilakukan saat terjadi bullying di dalam keluarga. <h4>1. Berikan Dukungan</h4>Bullying dalam keluarga bisa memperburuk hubungan dalam keluarga, baik antara pelaku dan yang di-bully, maupun anggota keluarga lain yang menyaksikan.Menurut studi, hubungan yang buruk dalam keluarga ini juga bisa merembet pada hubungannya dengan orang di luar rumah. Anak-anak yang mengalami perundungan bisa sulit percaya pada keluarganya, sehingga ia pun cenderung tidak mudah percaya pada orang lain.Maka dari itu, jika Anda melihat salah satu anggota keluarga di-bully, semisal saudara atau anak, berikan dukungan baginya. Atau, Anda bisa cari bantuan dari pihak profesional untuk membantu menyelesaikan masalah ini. <h4>2. Upayakan Ada Pihak Penengah</h4>Tindakan bullying dalam keluarga dapat berakibat gangguan kesehatan mental, bagi yang dirundung maupun anggota keluarga lain yang menyaksikan.Menurut penelitian yang dimuat di the Lancet Psychiatry, perundungan yang dilakukan oleh saudara sendiri bisa membuat orang yang mengalaminya lebih berisiko jatuh dalam depresi dan ingin menyakiti diri sendiri.Belum lagi adanya kemungkinan orang yang semula dirundung kemudian terdorong untuk menjadi pelaku perundungan terhadap teman sebayanya di luar.Untuk mencegah hal-hal tersebut, diperlukan pendampingan khusus. Mintalah psikolog untuk jadi mediator dalam keluarga untuk mencegah anggota keluarga yang dirundung mengalami gangguan kesehatan mental.<h4>3. Bersikap Tegas</h4>Tindakan perundungan harus dihadapi dengan ketegasan dan keberanian. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa dilakukan:<ul><li>Saat Anda melihat ada anggota keluarga yang dirundung, belalah dia dan katakan dengan tegas pada pihak yang merundung bahwa apa yang ia lakukan itu salah. Sampaikan ini tanpa harus ikut marah atau mengamuk.</li><li>
Saat Anda jadi pihak yang dirundung dan tidak ada anggota keluarga lain yang dapat membela, bersikaplah berani dan ungkapkan rasa keberatan Anda pada yang merundung. Bila ia menyangkal, Anda bisa katakan, “Kita tidak sedang membahas perasaan saya, tetapi kita membicarakan perilakumu!"</li></ul><h4>4. Kendalikan Diri</h4>Tindakan perundungan sangat menyebalkan. Tapi, Anda perlu ingatkan anggota keluarga yang mengalaminya untuk tetap kendalikan diri. Beri pengertian padanya untuk tidak melampiaskan luka batin yang dialami pada orang lain. Tegaskan padanya bahwa tindakan bullying yang ia terima itu tidak benar, sehingga tidak boleh dilakukan pada orang lain.Dampingi anggota keluarga dalam bersikap tegas melawan pihak yang merundung. <h4>5. Ajak Pergi Keluar Rumah</h4>Berada di sekitar anggota keluarga yang sering merundung bisa bikin orang yang di-bully selalu tertekan dan diliputi emosi negatif.Untuk mengatasinya, Anda dapat mengajaknya keluar rumah sekadar untuk jalan-jalan, main gim, atau makan dengan tenang sambil menenangkan pikiran. Meluangkan waktu untuk refreshing sejenak dapat menyingkirkan energi negatif sekaligus memberi kekuatan.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/tips-healing-dari-luka-batin-ternyata-tidak-bisa-instan-1646129157420" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tips Healing Dari Luka Batin. Ternyata Tidak Bisa Instan!</a> 
<h4>6. Buat Batasan</h4>Salah satu cara untuk menghentikan bullying dalam keluarga adalah dengan membuat batasan.Sepakati bersama, perkataan apa saja yang dapat ditoleransi dan perkataan apa saja yang termasuk "kelewat batas".Jika ada anggota keluarga yang mengucapkan hal "kelewat batas" saat merundung anggota keluarga yang lain, Anda berhak memberi peringatan.Itulah sejumlah tanda dan cara mengatasi bullying dalam keluarga yang bisa Anda lakukan.Jika Anda merasa mengalami perundungan dalam keluarga, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan psikolog di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan psikolog andalan! Sumber: <ul style=""><li style="">
American Psychological Association. Diakses pada Juli 2022. Bullying</li><li style="">
deLara, E. W. (2022). Family bullying in childhood: Consequences for young adults. Journal of interpersonal violence, 37(3-4), NP2206-NP2226.</li><li style="">
Wolke, D., Tippett, N., &amp; Dantchev, S. (2015). Bullying in the family: sibling bullying. The Lancet Psychiatry, 2(10), 917-929.</li><li style="">
Very Well Family. Diakses pada Juli 2022. 6 Ways to Deal With the Family Bully</li></ul>

Tanda-tanda Bullying Dalam Keluarga. Ini Solusinya!

Pastikan ikuti jadwal imunisasi anak supaya kesehatannya tetap terlindungi - AlteaCare | Foto: Envato

Sebagai orangtua, kita punya tanggung jawab menjaga anak tetap sehat dan terlindungi dari penyakit. Nah, salah satu caranya adalah memastikan si Kecil sudah dapat imunisasi anak secara lengkap.Di Indonesia sudah terdapat program imunisasi anak, yang telah disetujui oleh WHO. Vaksin yang diberikan dijamin aman dan terbukti secara ilmiah efektif mencegah penyakit, seperti campak, rubella, polio, difteri, maupun tetanus. Tanpa adanya vaksin, anak bisa terkena penyakit berbahaya dan dapat berakibat kematian. Sayangnya, selama pandemi COVID-19, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi turun drastis. Mengutip dari laman Satuan Tugas Penanganan COVID-19, selama periode 2019-2021 terdapat lebih dari 1,7 juta bayi yang belum dapat imunisasi dasar. Alasannya beragam, mulai dari terganggunya rantai pasokan vaksin, adanya aturan pembatasan kegiatan, jumlah tenaga kesehatan yang terbatas, hingga keengganan orangtua/wali membawa anak imunisasi karena takut terpapar virus corona.Nah, Sobat Altea perlu tahu, ada beberapa jenis vaksin yang perlu diberikan pada anak sejak ia baru lahir. Setiap vaksin ada dosis dan jadwalnya tersendiri. Apa saja, ya, imunisasi dasar yang wajib didapat anak? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini!<h2>14 Jenis Imunisasi Anak yang Wajib Diberikan</h2>Tujuan pemberian vaksin pada anak adalah untuk meningkatkan sistem imunnya. Setelah divaksin, diharapkan efektivitas respon imun jadi lebih tinggi, sehingga lebih siap menghadapi berbagai virus dan penyakit dari luar tubuh.Selain itu, bila anak telah mendapat imunisasi, kemungkinan ia menularkan virus ke anak atau orang lain pun jadi kecil. Dengan begitu, mengutip dari WHO, akan semakin banyak orang yang dapat hidup lebih lama dan lebih sehat karena sudah divaksin.Ini dia beberapa jenis imunisasi yang perlu diberikan pada anak sejak lahir:<h4>1. Hepatitis B</h4>Manfaat: Vaksin hepatitis B dapat mencegah penyakit akibat virus hepatitis B. 
Jadwal pemberian:&nbsp;imunisasi dasar diberikan sebanyak 4 (empat) dosis dengan jadwal:<ul><li>
segera setelah lahir</li><li>
usia 2 bulan</li><li>
usia 3 bulan</li><li>
usia 4 bulan</li></ul>Sementara booster diberikan saat anak berusia 18 bulan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/sekilas-tentang-vaksin-hepatitis-b-untuk-anak-dan-dewasa-1658921997776" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Sekilas Tentang Vaksin Hepatitis B Untuk Anak dan Dewasa</a> 
<h4>2. Polio</h4>Manfaat: vaksin polio tersedia dalam dua jenis, yaitu inactivated polio vaccine (IPV) yang mengandung virus polio yang telah dilemahkan, dan oral poliovirus vaccine (OPV) yang diberikan dengan cara diteteskan ke mulut.Vaksin ini bertujuan untuk mencegah penyakit polio pada anak dan bisa memberikan perlindungan seumur hidup.Jadwal pemberian:&nbsp;Vaksin ini diberikan pada anak sebanyak empat kali: <ul><li>pertama diberikan segera setelah lahir melalui pemberian imunisasi polio oral (bOPV-0)</li><li>
dosis kedua, tiga, dan empat secara berurutan pada usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan–bisa berupa vaksin OPV atau IPV, dan diberikan bersamaan dengan vaksin DPT</li></ul>Sedangkan dosis booster diberikan saat usia 18 bulan.<h4>3. BCG</h4>Manfaat: vaksin BCG atau Bacillus Calmette–Guérin adalah vaksin yang diberikan untuk mencegah penyakit tuberkulosis atau TBC. Jadwal pemberian: imunisasi BCG hanya diberikan sebanyak satu kali. Pemberiannya disarankan pada saat segera setelah lahir atau sebisa mungkin sebelum bayi berusia satu bulan. <h4>4. DPT</h4>Manfaat: imunisasi DPT diberikan untuk mencegah anak terkena penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. 
Jadwal pemberian: Imunisasi ini diberikan sebanyak lima dosis, dengan pengaturan:<ul><li>dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin DTwP atau DTaP</li><li>
vaksin DTaP diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan atau 2, 4, 6 bulan.</li><li>
booster pertama diberikan pada usia 18 bulan.</li><li>
booster berikutnya pada usia 5-7 tahun atau mengikuti program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) saat kelas 1 SD. Bila anak sudah berusia 7 tahun atau lebih, ia akan mendapatkan vaksin Td atau Tdap</li><li>
booster selanjutnya pada usia 10-18 tahun atau pada program BIAS kelas 5 SD</li><li>
booster Td dapat diberikan setiap 10 tahun</li></ul><h4>5. Hib </h4>Manfaat: Vaksin Hib atau haemophilus influenzae type B ditujukan untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kuman Hib, yaitu radang otak (meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga (otitis media), dan lain-lain.Jadwal pemberian:&nbsp;anak perlu menerima empat dosis vaksin Hib yaitu saat:<ul><li>usia 2 bulan</li><li>
usia 4 bulan</li><li>
usia 6 bulan</li><li>
booster diberikan pada usia 18 bulan</li></ul>Jika anak baru mau divaksin pada usia 1-5 tahun, Hib hanya diberikan sebanyak satu kali. Anak usia di atas 5 tahun tidak perlu diberikan vaksin ini, sebab penyakit yang terkait hanya menyerang anak di bawah usia 5 tahun. <h4>6. PCV</h4>Manfaat: selain kuman Hib, penyakit meningitis dan pneumonia juga dapat disebabkan oleh kuman pneumokukus. Untuk itu, sebaiknya anak mendapat vaksin Hib dan vaksin PCV.Sejak 2020, vaksin PCV atau pneumococcal conjugate vaccine sudah dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin. Jadwal pemberian:&nbsp;<ul><li>diberikan pada umur 2, 4 dan 6 bulan dengan booster pada umur 12 - 15 bulan </li><li>
jika belum diberikan pada umur 7-12 bulan, berikan PCV dua kali dengan jarak satu bulan, dilanjutkan booster setelah umur 12 bulan dengan jarak dua bulan dari dosis sebelumnya</li><li>
jika belum diberikan pada umur 1-2 tahun berikan PCV dua kali dengan jarak minimal dua bulan</li><li>
jika belum diberikan pada umur 2-5 tahun, vaksin PCV10 diberikan sebanyak dua kali dengan jarak dua bulan, sementara untuk vaksin PCV13 diberikan satu kali</li></ul>
 Halaman selanjutnya: 7. Rotavirus... &gt;&gt;

Manfaat dan Jadwal Imunisasi Anak Terbaru. Jangan Terlambat!

Banyak orangtua sering deg-degan kalau bawa anaknya untuk imunisasi di dokter anak. Pasalnya di efek samping imunisasi anak itu, lo. Anak kadang sampai demam tinggi, dan kalau masih bayi bisa rewel dan menangis semalaman. Memangnya, efek samping imunisasi anak bisa sampai berbahaya, ya? Lalu, kenapa banyak dokter bilang demam setelah imunisasi itu wajar. Sejauh mana demam itu bisa dibilang wajar?Nah, dalam live streaming AlteaTalk Episode ke-32 di Instagram AlteaCare (@alteacare.id) pada Jumat, 29 Juli 2022 lalu, Dokter Spesialis Anak dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran memberikan jawabannya. Dalam obrolan bertajuk “Kupas Tuntas Vaksin dan Imunisasi pada Anak”, sebagai pengantar, dr. Martini, Sp.A, menjelaskan pentingnya imunisasi dalam tahap pertumbuhan anak. Bahkan, imunisasi harus diberikan tepat waktu sesuai dengan jadwal yang direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Misalnya, imunisasi polio yang diberikan segera setelah lahir. “Ada tujuan kenapa diberikan pada usia tertentu. Sebab, penyakit tertentu sering terjadi ketika bayi menginjak usia saat ia mendapatkan imunisasi itu,” jelas dr. Martini.Nah, mengingat efek samping imunisasi anak ini bisa dibilang sulit dihindari, berikut ini adalah tips untuk menghadapinya dari ahlinya Altea. Yuk, simak!<h2>5 Efek Samping Imunisasi pada Anak</h2>Berikut ini adalah sejumlah efek samping atau kejadian ikutan yang kerap dialami anak setelah imunisasi:<h4>1. Nyeri di Sekitar Titik Suntikan</h4>Saat disuntik, anak mungkin menangis karena terkejut dan sakit. Tapi, kita tak perlu panik. Ini normal banget, kok!Rasa sakit ini biasanya akan hilang dalam beberapa menit. Juga bila anak lantas digendong dan dibujuk-bujuk oleh orangtuanya.Anak yang sudah agak besar mungkin juga bisa bilang area bekas suntikannya terasa tidak nyaman atau pegal. Tapi, biasanya ini juga tak lama akan hilang.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/manfaat-dan-jadwal-imunisasi-anak-terbaru-jangan-terlambat-1659408643432" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Manfaat dan Jadwal Imunisasi Anak Terbaru. Jangan Terlambat!</a><h4>2. Demam</h4>Salah satu efek samping imunisasi anak lainnya adalah demam.Beberapa jenis vaksin bisa bikin anak demam tinggi. Tapi, menurut dr. Martini, orangtua tidak perlu khawatir. Dokter biasanya akan berpesan untuk memberikan anak obat penurun demam dan dosisnya.<h4>3. Kejang</h4>Meski ini jarang terjadi, anak juga dapat mengalami demam hingga disertai kejang dalam beberapa hari setelah imunisasi."Mungkin ada hal lain, bukan karena vaksinnya. Bisa jadi, ada sebab lain yang bersamaan dengan vaksin," kata dr. Martini. 
Sebagai antisipasi, Anda bisa berikan obat penurun panas pada anak sebelum imunisasi."Ini boleh dilakukan kalau ada riwayat imunisasi yang disertai dengan demam tinggi dan kejang sebelumnya," imbuhnya.Bila suhu si Kecil sudah mencapai 39-40° Celcius, Anda boleh segera bawa dia ke dokter.<h4>4. Bengkak di Sekitar Titik Suntikan</h4>Hal lain yang sering dialami anak setelah imunisasi adalah bengkak di sekitar titik suntikan. "Kalau bengkak, dikompres dulu dengan air dingin," kata dr. Martini memberi saran.<h4>5. Luka Bernanah</h4>Tidak sedikit orangtua yang mengeluh munculnya luka lepuh dan bernanah setelah anak imunisasi BCG (Bacillus Calmette–Guérin). Imunisasi ini biasanya diberikan untuk mencegah tuberkulosis atau TBC.Biasanya, nanah muncul pada dua minggu atau satu bulan setelah imunisasi. Namun, dr. Martini berkata, orangtua bisa mencermati kondisi nanahnya. "Bila nanahnya sedikit, lalu anak tetap aktif, itu normal. Nanti, setelah nanah kering akan muncul bekas luka,” katanya. Namun, jika nanah yang keluar terlalu banyak disertai demam dan kulit memerah, segera bawa anak ke dokter untuk mendapat obat tambahan.Yang jelas, dr. Marini mengingatkan, kejadian ikutan setelah imunisasi BCG yang kurang nyaman ini jangan sampai bikin orangtua jadi urung membawa anaknya untuk imunisasi. Pasalnya, bisa anak sampai kena TBC, komplikasinya bisa sampai ke organ dalam, seperti otak, tulang, dan ginjal.Perlu diketahui juga, sebenarnya reaksi setiap anak terhadap imunisasi bisa berbeda-beda. Ada anak yang mungkin mengalami demam dan rewel. Ada juga yang justru tidak demam, tapi lebih banyak tidur.Selain itu, tidak semua vaksin lantas bikin anak demam. Menurut penelitian, ada beberapa jenis vaksin yang mungkin bisa bikin si Kecil demam tinggi, ada juga yang kemungkinan demamnya hanya 50%.Perbedaan efek samping yang dirasakan anak ini dikarenakan setiap anak punya reaksi imun yang berbeda. “Jadi bisa saja, kita prediksi bakal demam, tapi ternyata anaknya baik-baik saja, enggak demam," ujar dr. Marini.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/sekilas-tentang-imunisasi-polio-1658918627253" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Sekilas Tentang Imunisasi Polio</a> 
<h2>Bolehkah Imunisasi Ditunda?</h2>Jawaban singkatnya, boleh saja. Tapi, ada syaratnya, Sobat Altea! Berikut adalah kondisi yang membolehkan Anda menunda pemberian imunisasi pada anak.<ul><li>Anak sedang demam tinggi. "Kalau anak demam tinggi sampai 40 derajat, sedang sakit, atau ada penyakit lain, sebaiknya ditunda sampai ia sehat," saran dr. Martini.</li><li>Tubuhnya terlihat lemas. Kondisi fisik sepertinya bisa jadi pertanda anak sedang mengalami gejala penyakit lain. Sebaiknya tunda imunisasi sampai ia terlihat sudah bisa beraktivitas normal seperti biasa.</li><li>
Anak pernah kejang saat imunisasi sebelumnya. Sebaiknya bicarakan dulu dengan dokter dan sampaikan juga riwayat penyakit yang pernah diderita anak. "Dokter perlu pertimbangkan, apakah imunisasi bisa diberikan atau tidak dan bagaimana pemberiannya,” kata dr. Martini.</li></ul>Itulah beberapa efek samping imunisasi anak yang perlu jadi perhatian orangtua, tapi tidak perlu sampai bikin panik.Sebab, meski imunisasi bisa punya efek samping, bukan berarti lantas bisa ditunda atau dihindari. Menurut dr. Martini, vaksinasi itu lebih banyak untungnya daripada ruginya."Para ahli sudah mengembangkan vaksin selama ratusan tahun. Saat ini kita sudah rasakan manfaatnya. Jadi, sayang sekali, kalau lantas dilewatkan," kata dr. Martini.Untuk tambah wawasan, Anda bisa baca informasi akurat seputar vaksin dari sumber tepercaya. Mulai dari situs resmi WHO, Kementerian Kesehatan, atau <a href="https://alteacare.com/konten" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">blog AlteaCare!</a>Anda juga bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak andalan AlteaCare untuk buat janji vaksinasi anak sesuai jadwal.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>sekarang!

5 Efek Samping Imunisasi Anak. Tidak Perlu Khawatir!

Orangtua perlu dampingi anak dalam mengembangkan diri sesuai tipe kecerdasannya - AlteaCare | Foto: Envato

Buat Sobat Altea yang selama ini selalu berpikir kecerdasan anak hanya bisa dilihat lewat IQ-nya, ternyata ada cara lain untuk mengetahui bakat si Kecil. Kita perlu tahu cara belajarnya agar bisa membantu mengembangkan talentanya.Hal ini penting karena pada dasarnya manusia punya punya keterampilan yang berbeda. Karenanya, caranya untuk menyerap pengetahuan dan belajar pun berbeda. Misalnya, ada anak yang masih kecil sudah jadi poliglot karena bisa cepat belajar dan menguasai bahasa asing. Ada juga yang pintar matematika dan bisa selesaikan soal yang sulit. Memahami tipe kecerdasan anak jadi penting karena bisa membantunya saat memilih jurusan di SMA, kuliah, bahkan sampai bekerja nanti. Lalu, apa saja jenis kecerdasan anak yang perlu kita ketahui? Yuk, simak lebih lanjut!<h2>8 Kecerdasan Anak yang Perlu Orangtua Ketahui</h2>Teori tentang jenis kecerdasan anak pertama kali dikemukakan oleh Howard Gardner pada 1983. Dalam bukunya, Frames of Mind, Gardner yang adalah Psikolog dan Profesor dari Harvard University, menjelaskan bahwa ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Setiap jenis kecerdasan berkaitan dengan cara seseorang memroses informasi. Gardner memaparkan bahwa kecerdasan dipengaruhi oleh faktor biologis dan budaya. Menurut penelitian, saat kita belajar ada beberapa area di otak yang terhubung, aktif, dan mengalami transformasi.Pada setiap orang tentunya area yang aktif dapat berbeda-beda, sehingga jenis kecerdasan yang dimiliki pun tidak sama. Nah, berikut ini adalah delapan jenis kecerdasan menurut Teori Gardner yang juga dimiliki oleh anak-anak kita.<h4>1. Kecerdasan Logis-Matematis (Cerdas Angka)</h4>Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan untuk memahami pola, serta berpikir logis dan deduktif.Anak yang cerdas angka biasanya menonjol di bidang matematika dan sains. Ia juga memiliki karakteristik berikut: <ul><li>mampu memecahkan masalah dengan baik</li><li>
suka akan ide atau konsep yang abstrak</li><li>
suka melakukan eksperimen ilmiah</li><li>
bisa menyelesaikan perhitungan yang rumit</li></ul>Potensi karier: <ul><li>Ilmuwan atau peneliti</li><li>
Programmer</li><li>
Teknisi</li><li>
Akuntan atau ahli ekonomi</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/infografik-perkembangan-motorik-kasar-dan-halus-anak-usia-dini-1658841314711" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">INFOGRAFIK: Perkembangan Motorik Kasar dan Halus Anak Usia Dini	</a> 
<h4>2. Kecerdasan Verbal-Linguistik (Cerdas Kata)</h4>Kecerdasan verbal-linguistik berkaitan dengan kemampuan bahasa. Anak dengan kecerdasan ini biasanya menonjol dalam keterampilan berbicara serta menulis, misalnya puisi.Karakteristik anak yang cerdas kata antara lain:<ul><li>hobinya menulis dan membaca</li><li>
bisa menjelaskan sesuatu dengan sangat baik dan mudah dipahami</li><li>
mudah mengingat informasi yang disampaikan secara tertulis dan lisan</li><li>
menyelipkan humor saat bercerita</li></ul>Potensi karier: <ul><li>Penulis/jurnalis</li><li>
Editor</li><li>
Pengacara</li><li>
Guru</li><li>
Komedian</li></ul><h4>3. Kecerdasan Visual-Spasial (Cerdas Gambar-Warna)</h4>Kecerdasan spasial adalah kemampuan anak untuk menciptakan karya sesuai imajinasinya. Kemampuan ini tidak terbatas pada menggambar saja, ya! Anak dengan kecerdasan ini juga punya kelebihan dalam berpikir abstrak dan dan membayangkan sesuatu dalam berbagai dimensi.Karakteristik anak yang cerdas gambar-warna ini antara lain adalah:<ul><li>suka membaca dan menulis</li><li>
hobi menyusun puzzle</li><li>
suka menggambar, melukis, dan membuat karya seni</li><li>
bisa menangkap makna dari gambar atau grafik yang dilihat</li><li>
memahami pola dengan mudah</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Seniman</li><li>
Arsitek</li><li>
Teknisi</li><li>
Desainer fashion</li><li>
Pilot</li><li>
Dokter bedah</li></ul><h4>4. Kecerdasan Musikal (Cerdas Musik-Lagu)</h4>Anak dengan kecerdasan musik memiliki kelebihan dalam mengenali nada, suara, dan ritme.Kecerdasan ini terlihat menonjol pada anak yang mudah mengenali dan mengingat pola nada dan melodi dari sebuah lagu, serta membedakan berbagai macam suara yang ia dengarkan.Karakteristik anak yang cerdas musik-lagu antara lain:<ul><li>gemar bernyanyi dan mendengar musik</li><li>
bisa mengenali pola dan nada dalam lagu dengan mudah</li><li>
mudah ingat lagu dan melodinya</li><li>
bisa memainkan alat musik</li><li>
memiliki pengetahuan yang luas tentang musik, seperti struktur, irama, dan nada</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Musisi</li><li>
Pencipta lagu</li><li>
Penyanyi</li><li>
Guru musik</li><li>
Konduktor/Dirigen</li><li>
DJ</li></ul><h4>5. Kecerdasan Kinestetik (Cerdas Gerak)</h4>Anak dengan kecerdasan kinestetik punya kemampuan menggerakkan tubuhnya secara tepat dalam aktivitas fisik. Ia bisa menggabungkan kemampuan mental sekaligus fisiknya dengan baik sehingga gerakan yang dilakukan terkoordinasi dengan baik.Anak yang cerdas gerak biasanya menonjol dalam pelajaran dan ekstrakurikuler olahraga.Karakteristik lain yang dimiliki anak dengan jenis kecerdasan ini adalah:<ul><li>pandai menari dan punya minat besar pada olahraga</li><li>
senang menciptakan atau melakukan berbagai hal dengan tangannya</li><li>
punya koordinasi tubuh yang baik</li><li>
mudah mengingat sesuatu dengan melakukannya langsung, ketimbang cuma mendengar atau melihat saja</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Atlet</li><li>
Aktor</li><li>
Penari</li><li>
Mekanik</li><li>
Pematung</li><li>
Terapis fisik</li></ul><h4>6. Kecerdasan Interpersonal (Cerdas Sosial)</h4>Jenis kecerdasan anak ini terlihat dari kemampuan komunikasi dan berinteraksi yang baik dengan orang di sekitarnya. Biasanya anak ini cenderung supel dan mudah bergaul.Anak yang cerdas sosial punya karakteristik sebagai berikut:<ul><li>mampu memahami perasaan orang lain baik secara verbal maupun non-verbal</li><li>
pandai membaca situasi dari sudut pandang yang berbeda</li><li>
mampu menjalin relasi yang positif dengan orang lain</li><li>
Mampu menyelesaikan masalah dalam kelompok</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Marketer/sales</li><li>
Psikolog atau konselor</li><li>
Manajer tim</li><li>
Negosiator</li><li>
Politisi</li><li>
Humas</li></ul><h4>7. Kecerdasan Intrapersonal (Cerdas Diri)</h4>Anak dengan kecerdasan intrapersonal punya sensitivitas tinggi, sehingga ia bisa memahami perasaan, tujuan hidup, serta kecemasan yang ada dalam dirinya. Ia pun terbiasa membuat rencana kalau mau melakukan sesuatu.Karakteristik anak yang cerdas diri antara lain:<ul><li>mampu memahami kelebihan dan kekurangan dirinya</li><li>
senang mendalami teori dan ide-ide</li><li>
dapat mengendalikan emosi dan perasaan </li><li>
memahami apa yang jadi dasar motivasi dan perasaannya</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Filsuf</li><li>
Penulis</li><li>
Ilmuwan atau peneliti</li><li>
Konselor, psikolog, atau terapis</li><li>
Entrepreneur</li></ul>Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-tips-mendidik-anak-remaja-harus-pintar-tarik-ulur-1658975786500" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Tips Mendidik Anak Remaja, Harus Pintar Tarik-Ulur!	</a> 
<h4>8. Kecerdasan Naturalis (Cerdas Alam)</h4>Kecerdasan naturalis adalah kemampuan seseorang mengenali lingkungan sekitarnya, termasuk hewan dan alam.Anak yang cerdas alam biasanya punya karakteristik berikut: <ul><li>tertarik dengan keunikan alam dan berbagai spesies hewan</li><li>
suka melakukan kegiatan di alam, seperti berkemah, hiking, berkebun, atau wisata alam</li><li>
suka membuat katalog atau klasifikasi tentang informasi tertentu</li></ul>Potensi karier:<ul><li>Ahli biologi maupun lingkungan</li><li>
Petani atau ahli taman</li><li>
Ahli astronomi atau astronot</li><li>
Presenter acara edukasi seputar alam liar</li></ul>
Itulah beberapa jenis kecerdasan anak yang harus Anda ketahuiAnda bisa lakukan telekonsultasi dengan psikolog di AlteaCare bila ingin tahu lebih banyak seputar cara mengembangkan kecerdasan anak.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji telekonsultasi! 
 Sumber:<ul><li>Brualdi, A. C. (1996). Multiple intelligence: Gardner’s theory, practical assessment, research &amp; evaluation. Eric Clearing house on assessment and Evaluation, 5 (10).</li><li>
Very Well Mind. Diakses pada April 2022. Gardner's Theory of Multiple Intelligences</li><li>
CNBC. Diakses pada Juli 2022. A Harvard psychologist says humans have 8 types of intelligence. Which ones do you score the highest in?</li></ul>

Kenali 8 Tipe Kecerdasan Anak dan Potensi Kariernya

Salah satu cara melatih kesabaran anak adalah dengan mengajarinya untuk tidak langsung buka hadiah - AlteaCare | Foto: Envato

Kesabaran adalah sikap yang perlu dimiliki oleh setiap orang bila mau meraih keberhasilan dalam hidup. Dan, karakter ini perlu ditanamkan dan dilatih sejak dini pada anak-anak. Saat masih kecil, wajar saja kalau anak masih belum cukup sabar. Ketika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau permintaannya tidak dituruti, ia mudah rewel dan menangis.Tapi, Sobat Altea tahu tidak, kalau kita lantas mengikuti maunya si Kecil, ini justru malah bikin dia tidak mandiri! Itu sebabnya, kita perlu setia melatih kesabarannya.<h2>Belajar dari Eksperimen Permen Marshmallow</h2>Sebuah penelitian yang bertajuk Marshmallow Test mungkin dapat jadi inspirasi bagi para orangtua untuk mengajarkan kesabaran pada anaknya. Apa itu Marshmallow Test? Ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama Walter Mischel dan timnya dari Stanford University pada 1972. Tujuan dari dari eksperimen ini adalah melihat bagaimana anak mengendalikan diri ketika dijanjikan mendapatkan sesuatu tapi harus menunggu.Penelitian ini melibatkan anak-anak berusia 4-6 tahun, yang selepas eksperimen masih tetap dipantau perkembangannya sampai dewasa. Dalam eksperimen ini, anak diberikan camilan yang enak, seperti permen marshmallow. Mereka bebas memilih, langsung makan atau tunggu sampai peneliti kembali ke ruangan sekitar 10-15 menit kemudian. Kalau anak bersedia menunggu, ia bisa dapat camilan kedua. Tapi, syarat berikutnya, camilan pertama tidak boleh dimakan.Penelitian lanjutan yang dilakukan bertahun-tahun kemudian terhadap anak-anak ini mengungkap hasil yang menarik. Anak yang bersedia menunggu lebih lama saat berusia 4-5 tahun telah menjadi dewasa dengan karakteristik yang baik. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-mengatasi-anak-pemarah-pahami-emosinya-1658935975752" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Cara Mengatasi Anak Pemarah. Pahami Emosinya!	</a> 
Mereka dinilai lebih berprestasi dan lebih mudah bersosialisasi serta punya kemampuan komunikasi yang baik. Selain itu, mereka juga lebih rasional, penuh perhatian, selalu punya perencanaan, serta bisa menghadapi frustrasi dan stres dengan baik.Hasil eksperimen ini bikin kita jadi makin mengerti, ya. Ternyata memupuk kebiasaan sabar sejak anak-anak dapat berdampak positif, bahkan hingga ia sudah dewasa. Dari sini mungkin Sobat Altea jadi bertanya-tanya. Bagaimana cara supaya anak bisa jadi lebih sabar?Yuk, ikuti beberapa cara melatih kesabaran anak berikut ini!<h2>Begini Cara Melatih Kesabaran Anak!</h2>Apa kunci untuk melatih kesabaran anak? Tentu saja orangtuanya juga perlu sabar!Beberapa rekomendasi Altea ini bisa Anda coba lakukan bersama anak!<h4>1. Ajak olahraga</h4>Dunia anak adalah bermain. Maka dari itu, kita perlu pintar cari peluang untuk menjadikan sesi bermain dan juga olahraga sebagai ajang untuk melatih anak jadi pribadi yang sabar.Mengutip dari Health Direct, olahraga juga mampu mengendalikan sekaligus menyalurkan perasaan negatif ke arah yang positif. Tips: pilih olahraga yang membutuhkan kerja koordinasi antara gerak tangan dan pikiran. Misalnya, melempar bola ke keranjang dari jarak agak jauh. Atau, ajak anak main basket di lapangan dekat rumah. Ini bisa melatih kesabaran sekaligus motorik anak.<h4>2. Cari Momen yang Tepat</h4>Anak-anak umumnya suka hadiah. Nah, ada satu studi yang dilakukan oleh pakar dari Penn State University yang mencoba mengamati sejauh mana anak bisa bersabar dan mau menunggu saat ingin membuka hadiah.Hasil studi terhadap beberapa kelompok usia memperlihatkan, seiring dengan pertambahan usia secara alami anak akan bisa lebih sabar. Mereka lebih bisa mengendalikan diri saat diminta menunggu saat ingin membuka hadiah.Tapi, tentunya ini perlu kerjasama yang baik dari orangtua. Sebab, anak mungkin juga akan mencoba bernegosiasi supaya bisa segera membuka hadiah.Tips: Jadikan hari ulang tahun sebagai momen tepat untuk melatih kesabarannya. Apalagi jika ulang tahunnya dipestakan.Minta si Kecil menaruh hadiah-hadiah yang diterimanya di satu tempat, lalu saat mau dibuka minta dia untuk menunggu, misalnya sekitar 8-10 menit. Bila ia berhasil menunggu, beri dia pujian atas kesabarannya. <h4>3. Beri Contoh Lewat Perbuatan</h4>Cara terbaik untuk mengajarkan anak untuk sabar adalah dengan memberikan contoh kepada mereka tentang kesabaran.Sebab, pada dasarnya, anak adalah produk dari orangtuanya, jadi apa yang dilakukan oleh orangtua, tak akan jauh berbeda dengan anak. Tips: sederhana saja, ketika ortu sedang ada masalah yang bikin frustasi, cobalah untuk tetap tenang dan tidak meluapkan emosi marah di depan anak. Berikan juga contoh sikap sabar dalam keseharian. Misalnya, saat antre bayar parkir kendaraan, saat beli makanan, atau saat menunggu anak bersiap untuk berangkat sekolah.<h4>4. Harus Lebih Konkret</h4>Meminta anak menunggu kesannya memang simpel. Tapi bagi mereka, ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Jadi, kalau biasanya kita bilang “Iya, tunggu sebentar, ya” saat harus terima telepon sementara anak ingin dibacakan buku cerita, bicaralah lebih konkret. Katakan, misalnya “Oke, Mama terima telepon dulu 10 menit, ya. Setelah itu kita baca buku cerita.” Anda boleh juga minta si Kecil pasang timer sebagai pengingat.<h4>5. Ajak Anak Belajar Yoga</h4>Beberapa latihan seperti meditasi dan yoga bisa dilakukan untuk melatih kesabaran. Tidak hanya untuk dewasa, anak-anak pun bisa mendapat manfaatnya.Latihan meditasi atau yoga membuat pikiran lebih fokus pada saat ini, sehingga kita jadi lebih mindful. Melansir dari studi yang dikutip di Psych Central, bahwa latihan yang seperti ini dapat meningkatkan daya ingat dan mengontrol emosi.Tips: Anda bisa ajak anak melakukan gerakan yoga sederhana atau ikut kelas yoga khusus untuk anak. Atau, ajak anak bermeditasi sejenak selama beberapa menit setiap hari. Menurut Healthy Children, anak prasekolah sudah bisa diajak melakukannya selama beberapa menit sehari, sementara anak yang sudah SD bisa melakukannya dua kali sehari, masing-masing 3-10 menit. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-cara-agar-orangtua-bisa-dekat-dengan-anak-1659098645978" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Cara Agar Orangtua Bisa Dekat Dengan Anak</a>Itulah beberapa cara melatih kesabaran anak yang perlu dicoba oleh orangtua. Jangan lupa, anak itu meniru dari orangtua, jadi Anda pun perlu terlebih dulu belajar bersabar agar bisa jadi teladan yang baik buat anak. 
Bila Anda masih punya pertanyaan seputar cara melatih kesabaran pada anak atau ada masalah pada tumbuh kembang anak, jangan ragu lakukan telekonsultasi di AlteaCare untuk dapatkan saran dari ahlinya.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Greater Good Science Center. Diakses pada Juni 2022. How to Help Your Kids Be a Little More Patient</li><li>
Health Direct. Diakses pada Juni 2022. Developing life skills through sports</li><li>
Healthy Children. Diakses pada Juni 2022. Just Breathe: The Importance of Meditation Breaks for Kids</li><li>
Psych Central. Diakses pada Juni 2022. Tips for Being More Patient with Your Kids</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Juni 2022. Waiting for Marshmallows and Other Things We Want</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Juni 2022. How to Stop Living Life on Autopilot</li><li>
Mischel, W., Shoda, Y., &amp; Peake, P. K. (1988). The nature of adolescent competencies predicted by preschool delay of gratification. Journal of personality and social psychology, 54(4), 687.</li><li> </li></ul>

5 Cara Melatih Kesabaran Anak. Cari Momen yang Tepat!

Miliki ritual khusus bisa jadi salah satu cara membangun kedekatan dengan anak - AlteaCare | Foto: Envato

Hubungan anak dan orangtua&nbsp;adalah ikatan seumur hidup. Ini perlu dibangun sejak anak masih kecil, sehingga saat ia tumbuh dewasa, hubungannya dengan orangtua masih tetap hangat. Untuk itu, orangtua perlu cari cara agar bisa dekat dengan anak.Memang tidak mudah untuk membangun kedekatan dengan anak, terutama jika Anda dan si Kecil memiliki sifat yang berbeda. Namun, ini layak diperjuangkan. Sebab, relasi antara Anda dan si Kecil dapat membentuk pribadi, pilihan hidup, dan perilakunya secara utuh.Lalu, apa saja cara yang bisa dilakukan agar Anda bisa menjalin hubungan yang hangat dan dekat dengan si Kecil? Kita simak selengkapnya berikut ini!<h2>Begini Cara Orangtua Membangun Kedekatan dengan Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa tips untuk orangtua supaya bisa dekat dan akrab bagai sahabat dengan anaknya.<h4>1. Jadi Role Model</h4>Walaupun ayah disebut sebagai kepala keluarga, ibu juga perlu terlibat dan berperan. Jadi, keduanya punya tanggung jawab yang sama untuk membangun kedekatan dengan anak. Terlepas dari bagaimana pembagian peran yang telah disepakati dengan pasangan, lakukan tugas dengan sepenuh hati. Sebab, anak akan mengikuti apa yang dilakukan orangtua, terutama saat masih berusia dini. Apa yang mereka teladani dari orangtua akan dibawa terus hingga kehidupan mereka saat dewasa nanti. Karenanya, tanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak, seperti cinta kasih dan berbuat baik satu sama lain. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-kesalahan-orangtua-dalam-pola-asuh-anak-1657627432827" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Kesalahan Orangtua Dalam Pola Asuh Anak	</a> 
<h4>2. Luangkan Waktu Berduaan Saja</h4>Tidak cuma di kantor, sesi one-on-one atau berdua saja juga perlu dilakukan bersama anak. Dan, kalau Anda punya lebih dari satu anak, bagi waktu agar setiap anak punya kesempatan untuk berduaan saja dengan ayah atau ibunya. Tips: Tenang, Anda tidak perlu cari waktu khusus, kok. Mengutip dari Psychology Today, Anda bisa selipkan sekitar 15 menit saja setiap hari untuk setiap anak.Saat bersama, cobalah secara bergantian melakukan kegiatan sesuai keinginan Anda dan si Kecil. Pada hari giliran si Kecil, curahkan perhatian dan kasih sayang Anda padanya dan biarkan dia yang mengatur.Sementara pada hari giliran Anda, tahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang terlalu serius atau terstruktur. Fokuslah untuk melakukan sesuatu yang bisa bikin anak happy dan tertawa. <h4>3. Punya “Ritual” Khusus</h4>Ritual di sini sifatnya bukan keagamaan atau spiritualitas, melainkan aktivitas yang rutin dilakukan orangtua bersama anak. Misalnya, membaca buku bersama sebelum si Kecil tidur. Mengutip dari jurnal Sleep Medicine Reviews, menghabiskan waktu bersama meski hanya sesaat bisa bikin anak merasa lebih aman, tenang, dan nyaman. Manfaat lainnya, kualitas tidur anak juga jadi lebih baik, begitu juga dengan perkembangan emosinya.Tips: alternatif lain, ajak anak untuk main game bersama, misalnya di akhir minggu atau setiap selesai makan malam. Ini bisa membuat anak banyak tertawa sehingga semua emosi negatif yang ia rasakan akan berkurang. <h4>4. Luangkan Waktu Untuk Makan Bersama</h4>Tips yang satu ini kesannya klise tapi inilah cara paling efektif agar orangtua bisa dekat dengan anak. Dalam sehari, ada dua momen makan yang bisa digunakan, yaitu saat sarapan dan malam hari. Manfaatkan!Tidak hanya bisa membangun hubungan kedekatan dengan anak, menurut studi yang dikutip di Child Development, makan bersama keluarga bisa meningkatkan prestasi akademik dan membangun perilaku positif pada anak. <h4>5. Tunjukkan Empati </h4>Kedekatan diawali dengan kesediaan Anda untuk mendengarkan anak. Cobalah pahami emosinya dan berpikir dari sudut pandangnya. Perlihatkan bahwa Anda menyimak dengan penuh perhatian. Dan, tegaskan pada anak bahwa Anda akan selalu membantu dan mendampinginya. Dengan begitu, hubungan yang dekat dan saling percaya pun akan terjalin.<h4>6. Curahkan Kasih Sayang</h4>Anda pikir anak mungkin sudah paham kalau orangtuanya selalu menyayangi dan mengasihinya lewat tindakan. Namun, sebenarnya anak juga perlu afirmasi lewat kata-kata atau ekspresi yang Anda lakukan, lo!Jadi, jangan malu untuk mengungkapkan betapa Anda menyayanginya. Misalnya dengan berkata “Mama/Papa sayang kamu”. Atau, dengan memeluknya setiap berangkat atau pulang sekolah.Tips: tunjukkan juga cinta Anda dengan menyelipkan catatan-catatan kecil buat anak. Misalnya, menempelkan post-it bertuliskan “Happy Lunch!” di bekal si Kecil. Atau, tempel poster pemberi semangat saat anak sedang minggu ujian. <h4>7. Bersikap Terbuka</h4>Ada hal yang sensitif tidak yang tidak bisa ceritakan kepada anak, namun bukan berarti segala sesuatu kita tutupi.Sebaiknya, terbukalah kepada mereka. Ungkapkan apa yang kita rasakan, baik itu senang dan sedih. Ini kita lakukan agar anak tidak sungkan bercerita ketika ia sendiri mengalami masalah.Ketika orangtua dan anak bisa saling terbuka, bibit-bibit kedekatan hubungan akan bersemi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/7-ciri-ciri-hubungan-yang-sehat-perlu-dipertahankan-1655950151739" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Ciri-ciri Hubungan yang Sehat. Perlu Dipertahankan!</a> 
<h4>8. Jadikan Anak Prioritas</h4>Tips terakhir agar orangtua bisa dekat dengan anak adalah dengan menjadikannya sebagai prioritas.Sesibuk apa pun, berikan batasan waktu saat bekerja. Luangkan waktu dengan anak. Sebisa mungkin hindari distraksi yang dapat mengganggu momen bersama anak. Pindahkan ponsel ke mode silent atau mute, atau taruh di ruangan lain. Itulah beberapa cara agar orangtua bisa dekat dengan anak layaknya sahabat. Tentu saja, butuh proses dan waktu untuk mencapai semua ini. Bahkan, tidak jarang perjalanan Anda dan si Kecil diwarnai pertengkaran. Ini wajar, kok.Namun bila butuh saran lebih seputar menjalin hubungan yang dekat dan harmonis dengan anak maupun keluarga, Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan psikolog di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>di sini dan atur jadwal telekonsultasi segera! 

 Sumber:<ul><li>Family Service. Diakses pada Juni 2022. 8 Ways to Strengthen a Parent-Child Relationship</li><li>
Miller, D., P., Waldfogel, J., Han, W., J. (2012). Family Meals and Child Academic and Behavioral Outcomes. Child Development. Volume 83, Issue 6, Pages 2104-2120</li><li>
Mindell, J., A., &amp; Williamson, A., A. (2018). Benefits of a bedtime routine in young children: Sleep, development, and beyond. Sleep Medicine Reviews, Volume 40,Pages 93-108 </li><li>
UNICEF. Diakses pada Juni 2022. Family harmony at home</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juni 2022. How to Strengthen Parent-Child Relationships</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Juli 2022. 10 Habits to Strengthen a Parent-Child Relationship.</li><li>
Better Health. Diakses pada Juli 2022. Happy families</li></ul>

7 Cara Agar Orangtua Bisa Dekat Dengan Anak

Anak autis perlu punya ruang khusus di rumah sehingga bisa aman, nyaman, dan rileks - AlteaCare | Foto: Envato

Perilaku anak yang autistik cenderung berbeda dari teman sebayanya. Maka dari itu, pola asuh anak dengan autisme juga harus disesuaikan dengan kebutuhannya agar ia dapat berkembang dengan maksimal.
Secara umum, autisme adalah kondisi perkembangan yang kompleks, sehingga menyebabkan adanya gangguan pada kemampuan berkomunikasi, minat yang terbatas, dan perilaku yang berulang.
Sebenarnya, anak dengan kecenderungan autisme sudah terlihat tanda-tandanya sebelum ia berusia satu tahun. Namun, sering kali gejalanya baru tampak jelas saat ia masuk usia dua hingga tiga tahun.
<h2>Seperti Apa Gejala Autisme?</h2>
Memahami beberapa gejala autisme bisa membantu orangtua dalam menerapkan pola asuh yang tepat pada anak.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, gejala autisme bisa dilihat dari cara berinteraksi dan pola perilakunya.
Berikut adalah beberapa di antaranya:
<h4>1. Cara Berkomunikasi</h4>
Anak dengan autisme dapat mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial dengan sekitarnya. 
Beberapa hal yang kerap mereka lakukan adalah:
<ul>
 <li>menghindari kontak mata</li>
 <li>
 ketika berusia 0-9 bulan, tidak merespon saat dipanggil</li>
 <li>
 tidak memperlihatkan ekspresi bahagia, sedih, marah, dan terkejut hingga usia 9 bulan</li>
 <li>
 tidak merespons dalam permainan interaktif</li>
 <li>
 jarang atau tidak pernah menunjukkan gestur, misalnya melambaikan tangan saat berpisah dengan orangtua</li>
 <li>
 tidak tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain saat berusia 15 bulan</li>
 <li>
 tidak menatap atau melihat ke arah benda yang ditunjukkan saat sudah berusia 18 bulan</li>
 <li>
 tidak menyadari kehadiran orang lain</li>
 <li>
 sulit memahami perasaan orang lain</li>
</ul>
Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/autisme-1657549279204" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Autisme</a> 

<h4>2. Perilaku yang Berulang</h4>
Ciri khas anak autistik adalah melakukan sesuatu secara berulang. Beberapa hal yang umumnya dilakukan adalah: 
<ul>
 <li>menata mainan dan marah jika urutan yang telah dibuat berubah</li>
 <li>
 mengulangi perkataannya terus-menerus</li>
 <li>
 selalu bermain dengan mainan yang sama</li>
 <li>
 terlalu fokus pada salah satu bagian dari objek</li>
 <li>
 memiliki obsesi terhadap sesuatu</li>
 <li>
 harus mengikuti rutinitas yang sama ulang setiap hari</li>
 <li>
 sering menggerakkan tangan dan tubuh, atau memutar badan membentuk lingkaran</li>
</ul>
<h4>3. Karakteristik Lainnya</h4>
Ciri anak dengan autisme juga terlihat dalam beberapa aspek lainnya, seperti yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa, perilaku, hingga kesehatan fisiknya. 
Gangguan yang dapat dialami antara lain adalah: 
<ul>
 <li>kemampuan bahasa yang terlambat</li>
 <li>
 kemampuan bergerak yang terlambat</li>
 <li>
 kemampuan kognitif atau keterampilan belajar yang terlambat</li>
 <li>
 hiperaktif, impulsif, dan tidak perhatian</li>
 <li>
 epilepsi atau kejang</li>
 <li>
 pola makan dan tidur yang tidak biasa</li>
 <li>
 gangguan pencernaan, misalnya sembelit</li>
 <li>
 reaksi emosi dan suasana hati yang tidak bisa ditebak</li>
 <li>
 kerap cemas atau stres berlebihan</li>
 <li>
 punya rasa takut yang berlebihan atau tidak takut sama sekali</li>
 <li>
 bereaksi berlebihan terhadap suara, bau, cita rasa, serta benda yang dilihat atau dirabanya</li>
</ul>
<h2>6 Tips Pola Asuh Anak dengan Autisme </h2>
Beberapa hal ini perlu diperhatikan dalam mengasuh dan mendampingi anak yang autistik agar bisa menjalani rutinitasnya sehari-hari:
<h4>1. Buat Ruang Khusus</h4>
Anak dengan autisme perlu satu ruang yang bisa membuatnya merasa sangat nyaman dan aman, sehingga ia rileks. Siapkan satu kamar khusus untuknya di rumah dan beri beberapa tanda untuk membantunya memahami area mana yang berbahaya, misalnya anak tanggal. 
 Selain itu, jika anak kerap tantrum, pastikanlah berbagai perabotan di rumah sudah dilapisi pelindung. Dengan begitu, anak bisa terhindar dari cedera serius saat sedang mengamuk. 
 <h4>2. Buat Jadwal Rutinitas 
 </h4>Anak autistik sangat suka keteraturan. Karena itu, orangtua perlu buat jadwal yang terstruktur dan memastikan ia menjalani rutinitasnya tanpa gangguan. 
 Pastikan jadwalnya spesifik, mulai dari bangun tidur, berangkat sekolah, waktu makan, istirahat, hingga tidur. Sebisa mungkin usahakan agar tidak ada perubahan mendadak pada jadwal tersebut. 
 Seandainya pun akan terjadi perubahan jadwal, siapkanlah mental anak untuk menghadapi perubahan tersebut. 
 <h4>3. Libatkan Anak dalam Rutinitas Sehari-hari 
 </h4>Anda bisa mulai dari aktivitas sederhana, semisal mengajak anak berbelanja ke pasar. Dengan begitu, anak akan terbiasa dengan lingkungan di sekitarnya. 
 Selain itu, membiasakan anak berinteraksi akan membantu kemampuannya berkomunikasi. 
 <h4>4. Berikan Penghargaan Untuk Setiap Pencapaian 
 </h4>Saat si Kecil berhasil melakukan sesuatu yang sulit, misalnya pemeriksaan rutin di dokter gigi, berikan hadiah sebagai reward. 
 Melansir VeryWell Health, anak dengan autisme sangat suka konsistensi dan rutinitas, sehingga sering menolak diajak mencoba hal-hal baru. 
 Memberi hadiah diharapkan bisa mengurangi rasa tegang atau cemasnya, serta membantu si Kecil untuk fokus pada hasil akhir dan tidak takut pada proses yang akan dijalani. 
 Meski begitu, tidak semua anak autistik paham makna pemberian reward ini. Mengutip dari National Institute of Health, pemberian hadiah terkadang tidak bisa jadi stimulus untuk anak dengan autisme. Ada kemungkinan anak tetap tidak mencapai hasil yang diharapkan. 
 <h4>5. Pahami Indranya yang Sensitif 
 </h4>Anak autistik cenderung punya indra yang sensitif. Ada yang sensitif terhadap cahaya atau suara yang keras. Ada juga yang tidak bisa mencium aroma tertentu. 
 Agar anak dapat beradaptasi dengan lingkungannya, Anda dapat melakukan beberapa hal berikut: 
 <ul><li>sering bawa anak bermain di luar rumah</li><li>
 berikan mainan yang merangsang motoriknya, seperti playdough atau squishy</li><li>
 rangsang indra pendengarannya dengan musik</li><li>
 ajak main trampolin</li><li>
 jika anak sering mengabaikan suara, bicaralah padanya dengan suara keras dan diserta ekspresi tertentu</li><li>
 jika anak tidak peka terhadap rasa sakit, ajari anak mana objek yang panas dan dingin, serta yang berbahaya.</li></ul>
 Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/4-tips-mengajak-anak-autis-rutin-olahraga-1658398173938" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">4 Tips Mengajak Anak Autis Rutin Olahraga</a> 
 
 <h4>6. Pahami Kelebihan dan Kekurangannya 
 </h4>Kita percaya, setiap anak punya kelebihan dan kekurangannya, terlepas dari apa pun kondisinya. Karena itu, kita perlu tahu metode belajar apa yang paling tepat untuknya, apakah dengan membaca, menonton, atau mendengar? 
 Jika sudah mengetahui hal tersebut, Anda dapat fokus mengembangkan kemampuan anak. 
 Itulah sejumlah tips seputar pola asuh anak dengan autisme. 
 Bila Sobat Altea merasa cemas dengan perkembangan si Kecil, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak maupun psikolog di AlteaCare. 
 Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat janji telekonsultasi sekarang! 
 Sumber: 
 <ul><li>American Psychiatric Association. Diakses pada Maret 2022. What Is Autism Spectrum Disorder?</li><li>
 Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Maret 2022. Signs and Symptoms of Autism Spectrum Disorders</li><li>
 Help Guide. Diakses pada Maret 2022. Helping Your Child with Autsim Thrive</li><li>
 Web MD. Diakses pada Maret 2022. Parenting a Child on the Autism Spectrum</li><li>
 Very Well Health. Diakses pada Maret 2022. When to Use Rewards to Improve Behaviors in Autistic Children</li><li>
 Scott‐Van Zeeland, A. A., Dapretto, M., Ghahremani, D. G., Poldrack, R. A., &amp; Bookheimer, S. Y. (2010). Reward processing in autism. Autism research, 3(2), 53-67.</li></ul>

6 Tips Pola Asuh Anak Dengan Autisme. Pahami Kondisinya!

Sikap positif dari orangtua sangat dibutuhkan dalam mendidik anak remaja - AlteaCare | Foto: Envato

Anak yang masuk usia remaja terkadang bisa bikin orangtua sering bingung. Sikap dan suasana hatinya gampang berubah-ubah, sebab di masa ini mereka sedang transisi menuju dewasa. Untuk itu, orangtua perlu tahu cara mendidik anak remaja yang tepat. Ada beberapa hal yang sering dikeluhkan orangtua yang punya anak remaja. Perilaku yang cenderung membangkang, sering membantah bila dinasihati, sengaja melanggar aturan di rumah, dan masih banyak lagi. Mengutip dari MedicineNet, sulitnya perilaku remaja ini sebenarnya didasari keinginan untuk mandiri dan mengendalikan hidupnya sendiri. <h2>Penyebab Konflik Orangtua dan Remaja</h2>Beberapa masalah yang biasa terjadi saat orangtua mencoba untuk mendidik anak remaja antara lain adalah:<ul><li>Sulit berkomunikasi. Si Remaja cenderung moody dan sulit diajak bicara, serta kurang sopan saat berbicara dengan orangtua. Sementara anak merasa orangtua mengganggu privasinya.</li><li>
Berbeda pandangan. Remaja cenderung melawan orangtua karena punya opini sendiri tentang berbagai hal. Orangtua pun terkadang sulit memberi pengertian pada anak, sehingga perdebatan sering terjadi. </li><li>
Menolak dinasihati. Orangtua sering memberi nasihat pada remaja karena menganggapnya tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ini bikin si Remaja jengkel karena merasa tak butuh nasihat dan bisa mandiri.</li><li>
Beda ekspektasi. Si Remaja gerah dengan ekspektasi orangtua yang menurutnya terlalu tinggi. Sedangkan mereka punya masalah sendiri, mulai dari pergaulan, hormon, hingga jerawat bandel yang ganggu penampilan.</li><li>
Banyak komplain. Orangtua dianggap terlalu banyak mengeluh, mengkritik, atau membandingkan anak, terutama saat di acara keluarga. Akibatnya, anak pun sering protes dan ini dianggap sebagai perilaku membangkang.</li></ul>Membiarkan ketegangan terus berlanjut dan berusaha untuk menang tidak akan memberi manfaat, baik bagi orangtua maupun remaja. Salah-salah, ini malah membentuk perilaku yang kurang baik pada anak. Kita perlu tahu kalau mendidik anak remaja sebenarnya tidak ada aturan bakunya. Orangtua perlu beradaptasi dan membaca situasi serta suasana hati anak. Dengan menerapkan pola asuh yang fleksibel, orangtua bisa merebut hati anak sehingga bisa lebih mudah diajak bekerja sama. Ingat, bekerja sama dengan anak, lo, bukannya diatur!Lalu, apa saja yang bisa orangtua lakukan untuk mencapai semua ini?Yuk, simak tips mendidik anak remaja berikut ini!Baca juga:<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-tips-agar-orangtua-bisa-bonding-dengan-anak-1657022593835" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);"> 7 Tips Agar Orangtua Bisa Bonding Dengan Anak</a> 
 <h2>Tips Pola Asuh yang Tepat untuk Mendidik Anak Remaja</h2>Sabar adalah modal utama saat harus mendampingi anak yang masuk masa remaja. Tapi, itu saja tidak cukup. Para orangtua juga harus lakukan beberapa hal berikut ini:<h4>1. Jangan Terlalu Kaku</h4>Saat masih anak-anak, kita boleh agak kaku pada mereka. Misalnya, jam 9 malam harus tidur, sore harus belajar, dan lain-lain. Tapi, begitu masuk usia remaja, beri sedikit kelonggaran. Contoh, beri izin saat ia mau mengerjakan PR bersama di rumah teman. Atau, main ke mal bersama bestie-nya saat libur sekolah.Pada usia ini anak sedang mencari jati diri atau identitasnya. Memberi kelonggaran dapat membantu memberi ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi diri, minat, dan kemampuannya. Dari situ, si Remaja akan bisa tentukan tujuan dan jalan hidup yang ingin diambil.<h4>2. Tunjukkan Sikap Positif</h4>Meski ia sepertinya tak selengket saat masih anak-anak dulu, orangtua akan selalu jadi sosok yang digugu dan ditiru.Maka dari itu ortu harus memberikan contoh dengan selalu menunjukkan sikap yang positif. Mulai dari tindakan, perkataan, dan sikap saat di rumah maupun saat beraktivitas di luar.Hal inilah yang kemudian akan dilihat anak dan dijadikannya teladan. Seperti kata pepatah, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya.<h4>3. Tunjukkan Respek</h4>Konflik sering kali terjadi karena si Remaja merasa orangtua tidak menghargainya sebagai pribadi yang utuh. Padahal, ia merasa dirinya sudah besar dan mandiri, sehingga bisa melakukan apa pun sendiri, termasuk soal pilihan sekolah atau cita-cita.Untuk itu, orangtua perlu lebih respek pada keinginan dan keputusan anak, serta memberinya kesempatan untuk mencoba apa pun yang ia inginkan. Sejauh pilihannya tidak menyerempet bahaya, kita cukup dampingi saja dan beri semangat saat ia gagal. Menghormati keinginan anak dan tidak melulu menuntutnya buat patuh akan membuat si Remaja jadi lebih nyaman bersama orangtua. Mereka pun mau dengan percaya berbagi pengalaman dan isi hatinya dengan ayah dan ibunya.<h4>4. Diskusikan Soal “Wajib Lapor”</h4>Komunikasi dua arah sangat penting untuk mendidik anak remaja. Meski kita sudah beri dia kepercayaan untuk melakukan aktivitas di luar rumah bersama teman-temannya, jangan lepaskan pengawasan.Tentu, kita tidak perlu sampai buntuti si Remaja pergi ke mana. Tapi, coba diskusikan dengannya cara supaya dia bisa secara rutin memberi tahu orangtua tentang keberadaannya saat di luar rumah. Orangtua bisa misalnya minta anak untuk kirim pesan Whatsapp setiap mau kerja kelompok di rumah teman. Atau, buat kesepakatan dengannya untuk pasang aplikasi pengecekan lokasi di ponsel. <h4>5. Tetap Terapkan Disiplin </h4>Meski sudah diberi kebebasan, tapi bukan berarti orangtua biarkan anak sampai kebablasan. Sejumlah aturan tetap harus dibuat di rumah dan harus ditaati si Remaja.Misalnya, malam minggu dia boleh pergi ke rumah teman, tapi jam 10 malam sudah pulang. Bila aturan ini dilanggar, tetapkan konsekuensinya. Dengan begitu, ia akan belajar untuk disiplin dan ikut aturan keluarga. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-memarahi-anak-biar-tidak-sampai-luka-batin-1658936053066" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Cara Memarahi Anak Biar Tidak Sampai Luka Batin</a>Itulah beberapa tips mendidik anak remaja yang perlu dilakukan.Orangtua perlu pintar-pintar tarik-ulur agar anak tetap dalam koridornya tapi masih punya ruang untuk mengembangkan diri. Bila Sobat Altea termasuk yang mengalami kesulitan dalam mengasuh anak remaja, tidak ada salahnya minta saran pada psikolog di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Psychology Today. Diakses pada Juni 2022. 8 Tips for Parenting Teenagers</li><li>
WebMD. Diakses pada Juni 2022. 10 Parenting Tips for Raising Teenager</li><li>
MedicineNet. Diakses pada Juli 2022. What Are Teenager Problems with Parents?</li></ul>

5 Tips Mendidik Anak Remaja, Harus Pintar Tarik-Ulur!

Meski sedang marah, orangtua tetap perlu berusaha bicara dengan tenang - AlteaCare | Foto: Envato

Marah pada anak itu normal saja dialami oleh setiap orangtua. Tapi, seperti halnya anak belajar mengendalikan emosi, orangtua pun perlu belajar memarahi anak dengan cara yang lebih konstruktif supaya anak tidak sakit hati.Sudah jadi tanggung jawab orangtua untuk menegur, bahkan memarahi anak saat ia melakukan kesalahan. Ini supaya anak bisa belajar dan berkembang menjadi pribadi yang baik saat besar nanti.Masalahnya, mental anak bisa saja down akibat perkataan kita. Atau, peristiwa dimarahi ini membekas terus di benaknya hingga bertahun-tahun kemudian. Padahal, bukan itu maksud kita untuk memarahinya, bukan?Nah, untuk itu, kita sebagai orangtua perlu juga belajar cara memarahi anak yang benar. Yuk, simak beberapa tipsnya berikut ini!<h2>Begini Cara Memarahi Anak yang Benar</h2>Beberapa hal ini perlu Anda ingat saat ingin memarahi anak:<h4>1. Berbicara dengan Tenang</h4>Supaya pesan bisa diterima anak, cobalah bicara dengan tenang. Pastikanlah anak mengerti apa yang membuat Anda marah dan kenapa Anda marah.Lalu, tanya pada anak, apa alasannya melakukan kesalahan tersebut dan berusahalah untuk memahami dari sudut pandangnya.Penelitian menyebutkan berdialog dengan anak bisa meningkatkan kemampuan kognitif dan verbal anak, sekaligus mencegahnya mengalami luka batin di kemudian hari.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/8-cara-mengatasi-anak-pemarah-pahami-emosinya-1658935975752" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Cara Mengatasi Anak Pemarah. Pahami Emosinya!</a><h4>2. Perhatikan Kondisi Tubuh Saat Marah</h4>Sobat Altea tahu tidak, ternyata sikap tubuh kita saat lagi bicara normal dan sedang marah sangat berbeda! Menurut Stanford Parenting Center saat marah tubuh memberikan beberapa sinyal peringatan. Misalnya, detak jantung jadi lebih meningkat dan napas jadi lebih cepat. Sebagian orang juga bisa merasa tegang di area leher, rahang, dan kepalan tangan.Nah, kondisi ini harus benar-benar kita sadari saat marah. Lebih baik tenangkan diri dulu sebelum berhadapan dengan anak. <h4>3. Tetap Berpikir Logis</h4>Saat marah, kadang kita jadi sulit kendalikan diri. Namun, jangan sampai emosi mengambil alih logika kita, sehingga akhirnya kita melakukan hal-hal yang akhirnya berdampak buruk bagi psikologis anak. Satu hal yang harus disadari: sering kali anak tidak bermaksud bikin Anda marah. Jadi, tetap fokus pada usaha untuk menjelaskan pada anak apa kesalahannya. Bukannya pada emosi yang Anda rasakan akibat tindakan anak tersebut. <h4>4. Objektif dan Hindari Menghakimi</h4>Saat anak melakukan kesalahan, tegur dia berdasarkan apa yang ia lakukan saat itu. Bukannya mengungkit kesalahan lalu yang mungkin tidak relevan. Hindari juga menilai atau menghakimi dirinya. Atau menyimpulkan secara umum atas tindakan kecil yang ia lakukan. Misalnya, anak tidak mau membereskan kamar tidurnya yang sudah sangat berantakan. Lalu, Anda berkata, “Ah, kamu memang anak pemalas!”Contoh lain, anak lupa mengerjakan PR pada hari itu, sehingga dapat teguran dari gurunya. Anda lalu berkata, “Kamu itu memang tidak pernah bikin PR!”Berikan pujian dan teguran secara spesifik pada setiap hal yang anak lakukan dengan benar. <h4>5. Selingi dengan Humor</h4>Menegur anak dengan cara humoris juga bisa jadi cara yang baik dibanding dengan membentaknya. Humor tersebut bisa berbentuk sindiran, sarkasme, dan lain-lain.Menurut studi dari University of Northern Iowa, humor dapat membangun kedekatan antara orangtua dengan anak, meredakan stres, dan ketegangan pada anak.Teguran yang diselingi humor juga membantu perkembangan kognitif anak.<h4>6. Jangan Defensif</h4>Saat dimarahi, anak mungkin balas melontarkan kritik atau protes terhadap Anda. Jangan sampai ini malah bikin Anda emosi dan semakin memarahi, atau malah jadi berdebat atau protes balik.Coba pahami apa yang bikin anak membalas, lalu bicarakan hal itu dengannya. Tanyakan solusi yang dia pikirkan untuk masalah tersebut. 
<h4>7. Time Out!</h4>Anak tidak paham ketika dimarahi? Tidak sadar juga apa kesalahannya? Malah balik marah pada Anda? Oke, saatnya time out!Anda bisa ajak anak untuk jeda sejenak dan minta dia masuk kamar. Anda sendiri pun perlu tenangkan diri bila emosi rasanya sudah naik sampai kepala. Menurut pakar dari University of Arkansas Medical Science, melakukan time out dan jeda sesaat dapat membantu orangtua dalam mendisiplinkan anak. Bahkan, ini bisa lebih efektif dibandingkan memukul, berteriak, atau mengancam anak. Kebijakan ini juga bisa dilakukan untuk mengatasi anak dengan masalah perilaku, seperti sering tantrum, suka memukul, dan lain-lain. Lakukan ini hanya jika perilaku anak sudah keterlaluan, semisal melakukan hal berbahaya atau tidak mau menurut.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-keterampilan-sosial-yang-perlu-dimiliki-oleh-anak-1658309336507" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Keterampilan Sosial yang Perlu Dimiliki oleh Anak	</a> 
<h4>8. Berikan Kesempatan Kedua</h4>Ketika anak melakukan kesalahan, berikan kesempatan kedua untuk memperbaikinya. Ini bertujuan mengajarkan anak, bahwa selalu ada solusi dalam setiap situasi sulit.Misalnya ketika anak bermain-main di rumah hingga membuat ruangan berantakan, mintalah dia merapikannya kembali seperti semula.Itulah sejumlah cara memarahi anak supaya tidak sampai luka batin.Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut seputar kondisi kesehatan maupun psikologis si Kecil, jangan ragu buat janji telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare, ya! Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Nationwide Childrens. Diakses pada Maret 2022. Anger Management: Strategies for Parents and Grandparents</li><li>
Association of American Universities. Diakses pada Maret 2022. Talking With Your Children Is Important for Their Brain Development</li><li>
Web MD. Diakses pada Maret 2022. How to Manage Your Anger as a Parent</li><li>
Parents. Diakses pada Maret 2022. 6 Best Ways to Manage Your Child's Anger</li><li>
Aswegaen Thornhill, C. J. (2002). Literature review: using humor with children.</li><li>
Zolten, K., &amp; Long, N. (2006). Time-out as a discipline technique.&nbsp;</li><li>
Healthy Place. Diakses pada Maret 2022. Is There a Way to Discipline a Child Who Just Won’t Listen?</li></ul>

8 Cara Memarahi Anak Biar Tidak Sampai Luka Batin

Ajari anak memahami alasan di balik kemarahannya - AlteaCare | Foto: Envato

Ketika emosi memuncak, anak bisa tiba-tiba sulit diberi pengertian dan diajak kompromi. Orangtua butuh energi dan kesabaran ekstra buat menghadapi anak pemarah. Bahkan, butuh strategi khusus supaya tidak malah ikutan emosi!Dalam mengasuh anak yang gampang marah, orangtua perlu pendekatan berbeda. Apalagi, saat emosi sedang tinggi, anak bisa jadi lebih agresif dan lebih mudah frustrasi.Namun, kita perlu pahami satu hal. Sebenarnya, kemarahan adalah salah satu bentuk emosi yang bisa dimiliki semua orang. Masalahnya adalah bagaimana emosi ini bisa dikendalikan dengan baik, supaya anak bisa punya hubungan yang baik dengan orang di sekitarnya.Maka dari itu, sebagai orangtua kita perlu tahu cara mengatasi anak pemarah agar bisa mengendalikan emosinya.Yuk, simak tips mengatasi anak pemarah berikut ini!<h2>8 Cara Mengatasi Anak Pemarah</h2>Inilah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orangtua bila punya anak yang mudah marah:<h4>1. Ajari Anak Pahami Emosinya</h4>Anak terkadang tidak bisa menjelaskan apa yang sedang ia rasakan, termasuk kemarahan. Ia mungkin hanya merasa ada dorongan kuat untuk meluapkan emosinya, misalnya dengan berteriak, merusak benda, atau pergi dari tempatnya begitu saja. Maka dari itu, cara pertama yang bisa ortu lakukan untuk mengatasi anak pemarah adalah mengajarinya beragam jenis emosi, seperti rasa marah, sedih, bahagia, dan takut.Lalu, saat ia sedang marah, Anda bisa katakan, “Kamu lagi marah, ya?” dan tanyakan apa yang bikin dia marah. Pelan-pelan, anak akan belajar bahwa emosi yang ia rasakan itu adalah kemarahan. Lakukan juga hal ini saat membantunya memahami jenis emosi yang lain.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-kesalahan-orangtua-dalam-pola-asuh-anak-1657627432827" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Kesalahan Orangtua Dalam Pola Asuh Anak	</a> 
<h4>2. Beri Respons Terhadap Kemarahan Anak</h4>Salah satu kesalahan yang kerap dilakukan orangtua adalah pura-pura tidak tahu kalau anaknya sedang marah. Atau, cuma bilang kalau anaknya salah. Ternyata ini kurang efektif dalam meredakan kemarahan anak.Kalau Anda memang tahu apa yang bikin dia marah, lebih baik beri respons bahwa Anda tahu dia sedang marah. Lalu, ajak dia bicara baik-baik. Sebagai contoh, si Kecil marah karena tidak boleh nonton Youtube di gawai pagi ini. Anda bisa berkata seperti ini:"Papa ngerti kamu marah karena belum selesai nonton. Tapi, sekarang kamu harus mandi karena sebentar lagi mau sekolah."Dengan berkata begitu, Anda menyatakan bahwa marah itu boleh saja, asalnya disampaikan dengan cara baik dan tidak disembunyikan atau dilampiaskan ke hal lainnya.<h4>3. Ajak Anak Ungkapkan Emosi</h4>Beberapa anak, terutama yang sulit berkomunikasi, kadang tidak bisa menjelaskan kenapa ia marah. Nah, untuk itu orangtua bisa mengajak ngobrol. Dorong anak yang sedang marah ini untuk lebih banyak bicara. Jadi, Anda cukup beri pertanyaan pancingan yang bikin dia harus menjelaskan, bukannya cuma jawab ya atau tidak saja. Dengan begitu, anak akan belajar untuk mengungkapkan emosinya sekaligus kemampuan komunikasinya. Selain itu, anak juga jadi lebih menghargai keluarga dan lingkungan sekitarnya.<h4>4. Latih Anak Mengelola Rasa Marah</h4>Setelah tahu cara memahami emosi dan mengungkapkannya, solusi berikut untuk anak pemarah adalah belajar mengalihkan emosi secara positif. Misalnya, dengan latihan pernapasan.Menurut jurnal Frontiers in Psychology, ketika anak sedang stres atau marah, hormon kortisolnya akan meningkat. Akibatnya, darah yang semula mengalir ke lambung dan usus, berubah haluan ke otot dan mempersiapkan tubuh untuk bertindak sesuatu.Untuk meredakannya, ajak anak tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan perlahan. Lakukan berulang-ulang, hingga emosinya turun. Biasanya, kadar kortisol akan kembali seimbang setelah mengulang 20 sesi latihan ini.<h4>5. Jangan Ikuti Saat Anak Tantrum</h4>Beberapa anak melampiaskan kemarahannya dengan cara tantrum, alias ngambek atau ngamuk. Banyak orangtua yang gampang menyerah dan meladeni tantrum, dengan harapan setelah itu anak tidak marah-marah lagi. Tapi, ternyata ini cara yang keliru, Sobat Altea. Sebab, ini hanya bikin anak berpikir kalau tantrum adalah jalan untuk mendapat apa yang ia inginkan. Lalu, apa yang harus dilakukan saat anak marah lalu tantrum?Beberapa tips yang dikutip dari buku Temper Tantrum ini bisa Anda lakukan:<ul><li>tetap tenang</li><li>
abaikan tantrum anak</li><li>
alihkan perhatiannya</li><li>
jika perlu, tinggalkan anak tantrum sebentar dan tunggu hingga dia lebih tenang</li><li>
Bila anak sudah tenang, baru ajak bicara</li></ul>
<h4>6. Awasi Tontonannya</h4>Di zaman serba digital ini, anak di bawah usia lima tahun sudah mengenal Youtube. Bahkan, banyak anak menjadikan platform ini sumber hiburan utama.Untuk itu, orangtua perlu effort ekstra untuk mengawasi konten yang dia tonton. Cegah anak menonton konten yang mengandung kekerasan, apalagi jika ia punya masalah dalam mengendalikan emosi.Arahkan anak pada konten yang menayangkan bagaimana konflik diselesaikan dengan sehat. Atau, ajak dia baca buku fisik atau digital yang isinya menarik dan punya pesan moral yang baik.<h4>7. Ajak Bicara Secara Pribadi</h4>Si Kecil sering meledak saat di tempat publik? Hindari menasihati, bahkan balas mengomelinya di depan banyak orang. Lebih baik cari tempat yang sepi agar Anda dan anak bisa berbicara dengan lebih fokus. Situasi yang lebih kondusif juga bisa bantu anak meredakan emosinya. Plus, anak pun terhindar dari rasa malu karena dilihat banyak orang.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/tak-perlu-marah-marah-begini-cara-atasi-anak-yang-tantrum-1632363564733" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tak Perlu Marah-marah, Begini Cara Atasi Anak Yang Tantrum	</a> 
<h4>8. Jelaskan Batasan Untuk Marah</h4>Beri pengertian pada anak bahwa dia boleh marah, tapi ada batasnya. Misalnya, marah boleh, tapi jangan sampai memukul orang lain. Jelaskan pada si Kecil bahwa tindakan seperti itu bisa menyakiti orang lain. Dengan begitu, anak pun lebih paham apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.Itulah cara mengatasi anak pemarah yang dicoba oleh para orangtua.Bila si Kecil sepertinya tidak bisa menguasai emosinya, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan psikolog anak di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat janji telekonsultasi hari ini! Sumber:<ul><li>VeryWell Family. Diakses pada Maret 2022. 7 Ways to Help a Child Cope With Anger</li><li>
Parents. Diakses pada Maret 2022. 6 Best Ways to Manage Your Child's Anger</li><li>
Rangel-Rodríguez, G. A., Badia, M., &amp; Blanch, S. (2021). Encouraging Emotional Conversations in Children With Complex Communication Needs: An Observational Case Study. Frontiers in Psychology, 12, 2225.</li><li>
Ma, X., Yue, Z. Q., Gong, Z. Q., Zhang, H., Duan, N. Y., Shi, Y. T., ... &amp; Li, Y. F. (2017). The effect of diaphragmatic breathing on attention, negative affect and stress in healthy adults. Frontiers in psychology, 874.</li><li>
Sisterhen, L. L., &amp; Wy, P. A. W. (2021). Temper tantrums. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.</li></ul>

8 Cara Mengatasi Anak Pemarah. Pahami Emosinya!

Imunisasi polio pada anak dapat diberikan dalam bentuk oral maupun suntikan - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Apa Itu Imunisasi Polio?</h2>Imunisasi polio adalah salah satu jenis imunisasi dasar yang wajib diberikan pada anak-anak. Di dalam vaksin polio terdapat virus polio yang dilemahkan, sehingga diharapkan dapat mengaktifkan sistem imun tubuh terhadap virus tersebut. Virus polio adalah jenis virus yang dapat menyebar dari satu orang ke orang lain. Penyebarannya terjadi melalui feses orang yang terinfeksi atau droplet yang dikeluarkan saat orang yang terinfeksi batuk atau bersin. 
<h2>Penyakit yang Bisa Dicegah</h2>Pemberian imunisasi polio pada anak bertujuan untuk mencegah penyakit polio atau poliomyelitis, yang disebabkan oleh virus polio.Penyakit ini bisa dialami oleh siapa saja dan dapat menimbulkan gejala berupa:<ul><li>	demam</li><li>
	lelah</li><li>
	nyeri tenggorokan</li><li>
	nyeri kepala</li><li>
	nyeri perut dan otot</li><li>
	muntah</li><li>
	kaku kuduk atau kekakuan pada leher</li></ul>Gejala biasanya akan membaik dalam waktu seminggu. Namun pada kasus tertentu virus polio dapat menyerang sistem saraf tulang belakang dan otak, yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan dalam hitungan beberapa jam. Apabila virus ini menginfeksi otot pernapasan, maka dapat mengancam nyawa. 
<h2>Siapa yang Bisa Divaksin?</h2>Polio terutama menyerang anak yang berusia kurang dari 5 (lima) tahun. Penyakit ini dapat dicegah, namun bila anak sampai terkena polio maka tidak ada obatnya. Vaksin polio yang diberikan beberapa kali dapat melindungi anak dari polio seumur hidupnya. Sementara itu, orang dewasa biasanya tidak lagi memerlukan vaksin ini karena diharapkan sudah menerimanya saat masih anak-anak. Namun, ada beberapa kondisi yang membuat orang dewasa sebaiknya melakukan vaksinasi polio, bila belum menerimanya saat masih anak-anak.Kondisi tersebut antara lain adalah:<ul><li>	akan bepergian ke negara yang berisiko tinggi terjadi polio</li><li>
	bekerja di laboratorium dan menangani spesimen yang mengandung virus polio</li><li>
	berprofesi sebagai tenaga kesehatan yang mengobati pasien dengan penyakit polio atau kontak erat dengan orang yang terkena virus polio </li></ul>Sementara itu, vaksin ini sebaiknya tidak diberikan apabila seseorang memiliki kondisi berikut:<ul><li>	mengalami gejala alergi reaksi berat dan mengancam nyawa setelah mendapatkan vaksin dosis pertama</li><li>
	sedang sakit sedang atau berat—pemberian vaksin ditunda sampai kondisi membaik </li></ul>
<h2>Dosis dan Jadwal Pemberian Imunisasi Polio</h2>Jadwal pemberian vaksin polio adalah sebagai berikut:<h4>1. Untuk Anak</h4>Anak perlu mendapat empat dosis vaksin polio, yaitu pada saat ia berusia: <ul><li>	0 bulan atau segera setelah lahir</li><li>
	2 bulan</li><li>
	3 bulan</li><li>
	4 bulan</li></ul>Anak yang lahir di fasilitas kesehatan dapat diberikan imunisasi polio oral (bOPV-0) saat pulang atau pada kunjungan pertama.Selanjutnya diberikan vaksin bOPV atau IPV (inactivated polio vaccine) bersamaan dengan vaksin DPT (DTwP atau Dtap). Vaksin IPV minimal diberikan 2 kali sebelum berumur 1 tahun bersama vaksin DPT. Sedangkan dosis booster diberikan saat usia 18 bulan. <h4>2. Untuk Dewasa</h4>Vaksin polio untuk dewasa diberikan dalam 3 (tiga) dosis.Jarak antara dosis pertama dan dosis kedua adalah 1-2 bulan, sedangkan dosis ketiga diberikan dengan selang waktu 6-12 bulan dari dosis kedua. <h2>Tipe Vaksin yang Diberikan</h2>Ada dua jenis vaksin yang digunakan untuk melawan polio, yaitu:<h4>1. Inactivated poliovirus vaccine (IPV)</h4>Jenis vaksin ini sudah digunakan sejak tahun 2000 dan biasanya disuntikkan di lengan atau paha, tergantung usia penerimanya. Bayi dan anak disarankan untuk mendapatkan 4 (empat) dosis vaksin IPV.<h4>2. Oral poliovirus vaccine (OPV)</h4>Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, jenis vaksin ini sudah tidak tersedia lagi. Namun, masih ada beberapa negara lain yang menggunakannya.Cara pemberian vaksin ini adalah dengan diteteskan ke dalam mulut. 
<h2>Efek Samping Imunisasi Polio</h2>Kebanyakan orang tidak mengalami efek samping setelah mendapatkan vaksinasi polio.Namun beberapa efek samping yang mungkin dapat muncul adalah:<ul><li>	kemerahan di tempat penyuntikan</li><li>
	nyeri pada lengan yang disuntik</li><li>
	pingsan</li><li>
	reaksi alergi berat </li></ul><h2>Hal Lain yang Perlu Diperhatikan</h2>Pada beberapa negara yang rutin menjalankan program vaksinasi polio, penyakit ini dapat hilang. Mengingat hingga saat ini tidak ada obat untuk polio, sangat penting bagi anak-anak untuk diimunisasi agar terhindar dari penyakit polio. Bila anak Anda mengalami keluhan kesehatan, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Segera gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>sebagai solusi kesehatan Anda dan keluarga! Referensi: <ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses November 2021. Polio Vaccine</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses November 2021. Jadwal Imunisasi Anak usia 0-18 tahun tahun 2020</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses November 2021. Lembar Fakta Poliomielitis, Rubela, dan Campak</li><li>
National Health Service. Diakses November 2021. Polio</li><li>
WHO. Diakses November 2021. Poliomyelitis: Vaccine Derived Polio</li></ul>

Sekilas Tentang Imunisasi Polio

Imunisasi BCG termasuk salah satu jenis imunisasi dasar yang wajib diberikan pada anak - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Apa Itu Imunisasi BCG?</h2>Imunisasi BCG atau Bacillus Calmette–Guérin adalah salah satu imunisasi yang wajib diberikan pada anak dan sudah masuk dalam program imunisasi dasar anak.Vaksin ini diberikan di berbagai negara yang masih memiliki prevalensi tinggi terhadap terjadinya tuberkulosis atau TB. Vaksin BCG sudah tersedia selama 80 tahun terakhir dan merupakan salah satu jenis vaksin yang paling banyak tersebar di seluruh dunia. Pemberian vaksin BCG pada bayi baru lahir terbukti dapat menurunkan risiko tuberkulosis berat, meningitis tuberkulosis, dan tuberkulosis milier.<h2>Penyakit yang Bisa Dicegah</h2>Imunisasi BCG ini bertujuan untuk mencegah penyakit TBC atau tuberkulosis. Penyakit TBC disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb), yang masih banyak terdapat di negara berkembang dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penyakit ini. Berdasarkan data dari WHO, sekitar 16-20 juta kasus tuberkulosis terjadi di seluruh dunia pada 2001 dengan lebih dari 8 juta kasus baru dan lebih dari 1.8 juta orang meninggal dunia. Tuberkulosis merupakan penyakit serius yang menginfeksi paru-paru dan kadang dapat menyebar ke organ tubuh lain, seperti otak, tulang, ginjal dan yang lainnya. Penyakit ini menular melalui udara mengandung droplet yang dikeluarkan seseorang saat batuk, bicara, dan bersin. Bakteri penyebabnya dapat bertahan dalam udara untuk beberapa jam.Tuberkulosis juga sering dikaitkan dengan HIV/AIDS, sehingga dapat sampai menyebabkan kematian. Penyebab terjadinya kematian pada infeksi TB biasanya berkaitan dengan meningitis.Baca juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/tuberkulosis-paru-1649307905046" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tuberkulosis Paru	</a><h2>Siapa yang Bisa Divaksin?</h2>Beberapa kelompok yang disarankan untuk menerima imunisasi BCG antara lain adalah:<ul><li>	Anak-anak. Vaksin BCG dapat diberikan pada anak dengan tes tuberkulin negatif</li><li>
	Tenaga kesehatan, terutama yang bekerja di tempat yang berisiko tinggi terhadap tuberkulosis</li></ul>Sementara itu, kondisi yang tidak memungkinkan seseorang untuk mendapatkan vaksin BCG adalah:<ul><li>	Sedang hamil. Hingga kini, studi keamanan terhadap pemberian vaksin ini kepada ibu hamil masih perlu dilakukan lebih lanjut</li><li>	Orang dengan sistem imun rendah, seperti orang dengan HIV, sebaiknya tidak diberikan vaksinasi ini.</li></ul><h2>Dosis dan Jadwal Pemberian Imunisasi BCG</h2>Pemberian vaksin BCG sebaiknya diberikan sebanyak satu kali. Jadwal pemberian adalah segera setelah lahir atau sebisa mungkin sebelum bayi berusia 1 bulan. Vaksin BCG dapat diberikan pada anak berusia 3 bulan atau lebih apabila hasil uji tuberkulin negatif. Namun, bila uji tuberkulin tidak tersedia maka BCG dapat diberikan. Vaksin ini biasanya diberikan di lengan tangan atas dan biasanya akan meninggalkan bekas luka suntikan. Bila timbul reaksi lokal yang cepat pada minggu pertama, sebaiknya lakukan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis tuberkulosis. <h2>Efek Samping Imunisasi BCG</h2>Beberapa efek samping yang bisa muncul setelah pemberian vaksin BCG ini adalah:<ul><li>	Nyeri atau luka di tempat penyuntikan</li><li>
	Demam</li><li>
	Nyeri kepala</li><li>
	Bengkak pada kelenjar di bawah ketiak pada area sekitar titik suntik </li><li>
	Abses</li><li>
	Inflamasi tulang </li></ul><h2>Hal Lain yang Perlu Diperhatikan</h2>Tuberkulosis paru dapat dicegah dengan menjaga sirkulasi udara atau ventilasi ruangan yang baik. Selain itu, biasakan juga terapkan etika batuk dan bersin yang baik. Pada saat batuk atau bersin, tutup mulut dan hidung dengan bagian dalam lengan atas, atau menggunakan tisu. Selanjutnya, cuci tangan di bawah air mengalir dan gunakan sabun.Bila Anda mengalami keluhan kesehatan, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Segera gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>sebagai solusi kesehatan Anda dan keluarga! Referensi:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses November 2021. BCG Vaccine</li><li>
WHO. Diakses November 2021. BCG Vaccine</li><li>
National Health Service. Diakses November 2021. BCG Vaccine</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses November 2021. Jadwal Imunisasi Anak IDAI 2020</li></ul>

Sekilas Tentang Imunisasi BCG

Jumlah anak yang depresi di masa pandemi mengalami peningkatan signifikan - AlteaCare | Foto: Envato

Sudah bukan rahasia lagi kalau depresi juga bisa dialami oleh anak-anak. Apalagi ditambah dengan pandemi. Menurut hasil riset dari UNICEF, depresi pada anak layaknya fenomena gunung es.Karena depresi sering kali luput dari pengamatan, sebagian besar orangtua tidak tahu kalau sang buah hati ternyata mengalami depresi.Melansir dari WebMD, gejala anak dengan depresi bisa bervariasi. Kondisi ini kerap tidak terdiagnosis sehingga tidak ditangani dengan tepat. Sebab, orangtua sering mengira anak sedang mengalami gangguan emosi atau psikologis, yang wajar terjadi pada usianya. Yuk, kita telusuri lebih lanjut seperti apa depresi pada anak berikut ini!<h2>Depresi Pada Anak Selama Pandemi</h2>Dunia anak-anak adalah bermain. Ketika pandemi datang, semua harus terhenti. Anak terpaksa berada di rumah selama berbulan-bulan, hingga kondisi psikis anak jadi terpengaruh. Mereka seperti kehilangan dunianya.Studi yang dimuat di JAMA Pediatrics menyebutkan, depresi dan kecemasan pada anak dan remaja meningkat selama pandemi hingga dua kali lipat. Kondisi ini dibandingkan dengan sebelum pandemi.Hal ini dikarenakan terganggunya aktivitas anak sehari-hari, sehingga mereka tidak bisa bermain dengan teman. Bahkan, tidak sedikit anak yang juga kehilangan anggota keluarganya. Semua ini bisa membuat anak diliputi rasa takut dan cemas. Tidak hanya itu, Sobat Altea. Menurut UNICEF, memasuki tahun ketiga pandemi, kondisi kesehatan dan kesejahteraan mental anak-anak terus menurun.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/depresi-1656385494520" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Depresi</a> 
<h2>Gejala Depresi pada Anak</h2>Setiap anak dapat mengalami gejala depresi yang berbeda-beda. Namun, umumnya gejala yang dialami anak mirip dengan yang dialami orang dewasa.Untuk itu, orangtua perlu mencermati perilaku anak sehari-hari. Perhatikan setiap aktivitas yang dilakukan anak. Apakah ada perubahan yang cukup drastis dari sebelumnya?Mengutip dari Kementerian Kesehatan RI, berikut ini gejala depresi yang terlihat pada anak:<ul><li>sering menyendiri atau mengurung diri di kamar</li><li>
menjauhi teman-temannya</li><li>
lebih sensitif, rewel, atau mudah marah</li><li>
sering menangis</li><li>
sulit berkonsentrasi </li><li>
perubahan nafsu makan dan tidur - bisa berlebihan atau berkurang</li></ul>Bila Sobat Altea mengamati hal ini terjadi pada si Kecil di rumah dan berlangsung selama lebih dari dua minggu, jangan anggap remeh, ya. Segera konsultasikan hal ini dengan psikolog anak agar segera dapat penanganan.Jangan anggap gejala depresi yang dialami anak sekadar kondisi moody karena ia sedang puber atau lagi ngambek pada orangtuanya. Kondisi ini tidak bisa hilang dengan sendirinya dan butuh bantuan profesional.<h2>Ini yang Perlu Orangtua Lakukan</h2>Ketika anak mengalami depresi, orangtua perlu selalu mendampingi. Misalnya, memastikan kebutuhan fisik anak tercukupi karena ada kemungkinan ia tidak nafsu makan. Anak yang sedang depresi terkadang juga merasakan keluhan fisik seperti lelah, sakit perut, atau sakit kepala. Selain itu, orangtua juga perlu memastikan kondisi psikis anak dapat mengalami perubahan yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua untuk mengatasi depresi pada anak: <h4>1. Siap Untuk Mendengarkan Anak</h4>Saat anak sudah menunjukkan gejala depresi, orangtua perlu mendekatkan diri dan menyediakan waktunya untuk anak.&nbsp;Sebisanya, ajak anak untuk bicarakan apa yang ia rasakan dan jadilah pendengar yang baik.Mendengarkan berarti menyimak dengan penuh perhatian serta berusaha memahami apa informasi yang disampaikan anak. Jadi, sebisanya jangan terlalu banyak berkomentar, apalagi menghakimi dan menyalahkan. Cobalah memahami sudut pandang anak.Hal ini akan dapat membantu anak untuk berbagi beban jiwa yang ia rasakan. Selain itu, anak bisa merasa lebih tenang dalam proses pemulihan depresi karena tahu ada orangtua sebagai pihak yang bisa ia percaya.<h4>2. Ajak Anak Berkonsultasi</h4>Depresi pada anak, terutama bila sudah berat, mungkin tidak bisa diselesaikan hanya dengan sesi curhat dengan orangtua. Untuk itu, kita pun perlu minta bantuan dari profesional, misalnya psikolog. Karenanya, coba ajak anak temui psikolog untuk konseling. Psikolog akan memeriksa kondisi psikis anak, lalu menyusun program untuk mengatasi depresinya. Anak dapat menjalani psikoterapi atau cognitive-behavioral therapy (CBT) yang bisa membantu mengatasi gangguan depresi yang dialami.Tugas orangtua adalah mendampingi anak selama menjalani terapi dan juga dalam proses pemulihannya dalam rutinitas sehari-hari.<h4>3. Sabar dan Penuh Kasih</h4>Saat gejala depresi membuat anak sedikit-sedikit marah, bad mood, atau kelewat emosional sehingga gampang menangis, orangtua harus banyak sabar. Perlakukan si Kecil dengan penuh kasih sayang. Anda juga bisa konsultasi dengan psikolog untuk tahu bagaimana cara menghadapi sikap si Kecil tanpa terbawa emosi. Sikap positif dari orangtua akan menguatkan anak dalam proses menuju kesembuhan dari depresi.<h4>4. Nikmati Kebersamaan Dengan Anak</h4>Tugas orangtua bukan hanya memastikan anak minum obat yang diresepkan oleh psikiater secara teratur. Namun, juga untuk menciptakan suasana di rumah yang nyaman untuk anak.Lakukan berbagai aktivitas bersama anak yang bisa memperkuat bonding. Mulai dari nonton, bermain, memasak, baca buku, atau membawa binatang peliharaan berjalan-jalan keliling komplek. Kalau ada waktu, ajak anak vacation sejenak di luar kota. Ini juga bisa bantu anak buat dapat momen khusus untuk healing, sekaligus mendekatkan relasinya dengan orangtua.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-aktivitas-ini-perlu-dilakukan-bareng-anak-biar-lebih-bonding-1658115725950" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Aktivitas Ini Perlu Dilakukan Bareng Anak. Biar Lebih Bonding!	</a> 
Sobat Altea yang sedang resah akan perubahan perilaku anak selama pandemi, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan psikolog ataupun psikiater di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat janji telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>JAMA Network. Diakses pada April 2022. Global Prevalence of Depressive and Anxiety Symptoms in Children and Adolescents During COVID-19</li><li>
P2PTM Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada April 2022. Apa sajakah gejala Depresi pada Anak ?</li><li>
Psychology Today. Diakses pada April 2022. Listening Skills Test</li><li>
Society of Clinical Child &amp; Adolescent Psychology. Diakses pada April 2022. What is CBT?</li><li>
St. Judge Children's Research Hospital. Diakses pada April 2022. Children and teens taking antidepressants</li><li>
UNICEF. Diakses pada April 2022. Dampak COVID-19 terhadap rendahnya kesehatan mental anak-anak dan pemuda hanyalah ‘puncak gunung es’ </li><li>
WebMD. Diakses pada Juli 2022. Depression in Children</li><li>
Nemours Kids Health. Diakses pada Juli 2022. Childhood Depression: What Parents Need to Know</li></ul>

Depresi Anak Meningkat Saat Pandemi, Ortu Perlu Lakukan Ini

Tidak semua anak melalui periode merangkak - AlteaCare | Foto: Envato

Salah satu saraf yang vital dalam pertumbuhan anak adalah saraf motorik. Maka dari itu, sebagai orang tua, kita harus mengamati secara seksama perkembangan motorik anak, terutama di usia 1-5 tahun.Saraf motorik adalah salah satu bagian pada sistem saraf pusat yang terhubung pada otot, kelenjar, organ lainnya di seluruh tubuh. Saraf ini sangat penting menunjang efektivitas kita dalam bergerak.Selain itu, saraf motorik juga berperan dalam memperkuat tulang dan otot manusia.Secara umum, terdapat dua jenis motorik, yaitu motorik halus dan kasar.Motorik halus merujuk pada pergerakan yang melibatkan sejumlah otot kecil di beberapa bagian tubuh, semisal tangan, lengan, jari, jempol, bibir, dan lidah. Sementara, motorik kasar berhubungan dengan aktivitas yang melibatkan otot besar. Misalnya, saat bayi mengangkat kepalanya, duduk, merangkak, berjalan, dan melompat.Nah, kedua jenis motorik ini akan berkembang sesuai dengan perkembangan usia.Lalu, bagaimana tahap perkembangan motorik anak pada usia 1-5 tahun? Yuk, simak penjelasannya di sini!<h2>Perkembangan Motorik Halus Usia 1-5 Tahun</h2>Seperti ini perkembangan motorik halus anak secara bertahap, sesuai dengan pertambahan usianya. Infografik berikut ini bisa Anda jadikan panduan.<img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1658841201599-INFOGRAFIK%20Perkembangan%20Motorik%20Halus%20Anak%20Usia%20Dini-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"><h4>1. Usia 0-2 Tahun</h4>Ketika usianya, sudah menginjak 5 bulan, biasanya bayi sudah bisa memegang wajah dan mengisap jempolnya.Kemudian, pada usia 6 bulan, gerakan jarinya sudah lebih lincah dan bisa meniru gerakan jari orang dewasa. Sementara, pada usia satu tahun, bayi sudah bisa membuat gerakan berbeda pada tangan kiri dan tangan kanan secara bersamaan.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-cara-mengasah-keterampilan-motorik-halus-lewat-bermain-1657110887225" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Cara Mengasah Keterampilan Motorik Halus Lewat Bermain	</a> 
<h4>2. Usia 2-3 Tahun</h4>Pada usia 2 tahun, anak akan mulai bisa membuka halaman pada buku.Selain itu, anak juga mulai belajar memegang alat tulis. Bahkan, bisa memegang alat tulis dengan hanya menggunakan jempol dan beberapa jari.Kemudian, pada usia ini juga anak sudah mulai bisa menggambar. Otot tangannya pun sudah semakin kuat, sehingga bisa mengangkat benda-benda berbobot ringan dengan satu tangannya.Untuk mengasah saraf motoriknya, Anda bisa memberikannya playdough atau squishy.<h4>3. Usia 3-4 Tahun</h4>Di usia tiga tahun, tangan anak sudah mulai lincah. Kita bisa mengajarinya cara memegang pensil, gunting, dan sendok.Selain itu, di usia ini juga Anda sudah bisa memberikannya mainan lego. Pasalnya, pada usia 3-4 tahun, mereka sudah bisa menyusun lego dengan bentuk sederhana.Selain itu, kemampuannya dalam menggambar pun sudah semakin baik, Anda bisa mengajarkan menggambar bentuk-bentuk sederhana, seperti lingkaran, segitiga, persegi, dan lain-lain.Tidak hanya itu, kedua tangannya juga sudah bisa berkoordinasi secara baik. Dengan begitu, saat satu tangan kanan bekerja, tangan kirinya bisa membantu untuk melakukan sebuah pekerjaan.Misalnya, ketika sedang menyusun balok, tangan kanannya dapat digunakan untuk mengambil balok, sedangkan tangan kirinya menjaga keseimbangan susunan balok agar tidak jatuh.<h4>4. Usia 4-5 Tahun</h4>Pada usia ini, sebagian anak sudah belajar di Taman Kanak-kanak dan perkembangan motoriknya pun sudah semakin bagus. Biasanya, pada usia ini, anak sudah bisa menggunting secara lurus.Kemudian, anak juga mulai belajar berhitung dan menuliskan namanya sendiri. Lalu, kemampuannya untuk memegang dan membawa barang pun sudah semakin sempurna.Tidak hanya itu, di usia ini, anak juga sudah bisa ganti baju sendiri.<h2>Perkembangan Motorik Kasar Usia 1-5 Tahun</h2>Perkembangan motorik kasar anak&nbsp;terjadi&nbsp;dengan pesat pada usia dini. Kita bisa melihat betapa luar biasanya kemampuan anak yang terjadi dari satu tahap usia ke tahap berikutnya pada infografik&nbsp;berikut ini.<img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1658841256369-INFOGRAFIK%20Perkembangan%20Motorik%20Kasar%20Anak%20Usia%20Dini-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"> <h4>1. Usia 0-2 Tahun</h4>Saat menginjak usia tiga bulan, bayi akan belajar cara menyeimbangkan kepala dengan badannya saat bergerak. Lalu, di usia enam hingga 10 bulan, bayi akan belajar untuk merangkak. Nah, di usia 10 hingga 14 bulan, biasanya bayi akan belajar cara berjalan. 
<h4>2. Usia 2-3 Tahun</h4>Karena sudah mulai bisa berjalan, bayi yang berusia 2-3 tahun biasanya akan mulai belajar caranya melompat. Dengan gerakan kaki semakin lincah, mereka juga akan belajar cara berlari dan menendang bola. Pada usia ini, anak juga sudah bisa menunjuk benda, namun jika belum bisa melakukannya, segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak. 
<h4>3. Usia 3-4 Tahun</h4>Pada usia tiga tahun, motorik kasarnya pun sudah banyak berkembang. Otot tangan yang semakin kuat, membuatnya bisa menangkap lemparan bola. Kemudian, anak sudah mulai bisa melompat sambil melangkah ke depan dan bisa menggunakan sepeda roda tiga. Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-permainan-untuk-mengasah-kemampuan-motorik-kasar-anak-1657110061272" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Permainan Untuk Mengasah Kemampuan Motorik Kasar Anak	</a> 
<h4>4. Usia 4-5 Tahun</h4>Perkembangan motorik kasar anak usia 4-5 tahun cukup pesat karena otot-ototnya telah bertambah kuat. Pada usia ini, anak sudah bisa melompat, lari, dan memanjat. Kemudian, mereka juga sudah bisa jungkir balik dan mengendarai sepeda roda dua. Selain itu, Anda juga sudah mulai bisa mengajarinya untuk berenang atau bermain sepatu roda.Itulah perkembangan motorik anak usia dini yang harus Anda ketahui, baik motorik halus maupun kasarnya.Bila Anda merasa cemas dengan perkembangan motorik si Kecil, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare!Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>The University of Queensland. Diakses pada Mei 2022. Types of neurons</li><li>
Hadders-Algra, M. (2018). Early human motor development: From variation to the ability to vary and adapt. Neuroscience &amp; Biobehavioral Reviews, 90, 411-427.</li><li>
Kid Sense Child Development. Diakses pada Mei 2022. Fine Motor Development Chart</li><li>
Children's Hospital of Richmond at Virginia Commonwealth University. Diakses pada Mei 2022. Gross motor skills: Birth to 5 years</li></ul>

INFOGRAFIK: Perkembangan Motorik Kasar dan Halus Anak Usia Dini

Berenang adalah salah satu olahraga yang disarankan untuk anak berkebutuhan khusus - AlteaCare

Aktivitas fisik seperti berolahraga sangat penting untuk anak-anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Permainan olahraga untuk anak berkebutuhan khusus sangat baik untuk meningkatkan kesehatan dan fungsi kognitifnya.Sebagai orang tua, mungkin kita kerap khawatir saat anak berkebutuhan khusus menjalani aktivitas fisik. Mungkin takut cedera, sakit, atau kelelahan.Namun ternyata, olahraga berdampak sangat baik untuk anak berkebutuhan khusus.Aktivitas fisik dapat membantu anak berkebutuhan khusus menjadi lebih percaya diri, mudah bersosialisasi, sekaligus menjaga berat badannya.Apalagi jika anak Anda sangat menikmati aktivitasnya, jangan dihalang-halangi, ya!Yuk, simak rekomendasi Altea seputar permainan olahraga untuk anak berkebutuhan khusus berikut!<h2>7 Permainan Olahraga Untuk Anak Berkebutuhan Khusus</h2>Berikut ini adalah beberapa jenis olahraga yang baik untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus:<h4>1. Berenang</h4>Olahraga yang satu ini dapat dilakukan oleh anak penyandang autisme, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, dan lain-lain.Pada anak berkebutuhan khusus, berenang sangat penting untuk membentuk kekuatan otot, meningkatkan ketahanan fisik, dan fleksibilitas.Selain manfaat fisik, berenang juga baik untuk kesehatan mentalnya. Olahraga ini dapat membuat anak lebih mampu mengendalikan diri, lebih percaya diri, dan lebih mudah bersosialisasi.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/manfaat-olahraga-buat-tumbuh-kembang-anak-1645430762008" target="_blank">Manfaat Olahraga Buat Tumbuh Kembang Anak</a> 
<h4>2. Bersepeda</h4>Si Kecil tidak suka olahraga air? Bersepeda bisa menjadi alternatif lainnya. Biarkanlah anak bersepeda di sekitar kompleks perumahan sambil menikmati pemandangan.Pada anak berkebutuhan khusus, bersepeda dapat meningkatkan kemampuan saraf motoriknya. Selain itu, jika berkesempatan bersepeda bersama teman-teman bisa meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.<h4>3. Sepakbola</h4>Ternyata, sepakbola juga bisa jadi permainan olahraga untuk anak berkebutuhan khusus, lo!Bahkan penyandang tuna daksa dan tuna netra pun dapat bermain sepakbola dengan beberapa penyesuaian. Misalnya, para penyandang tuna daksa menggunakan tongkat penyangga untuk membantu berlari dan menendang bola.Bagi anak berkebutuhan khusus, bermain sepakbola dapat meningkatkan kekuatan, ketahanan fisik, dan fleksibilitas. Ini akan membantu mereka dalam melakukan berbagai rutinitas sehari-hari.Selain itu, karena sepakbola adalah olahraga tim, anak jadi dapat bersosialisasi. Saat bermain, anak akan berusaha berkomunikasi dan berkoordinasi dengan rekan setim untuk mencetak gol.<h4>4. Boccia</h4>Boccia adalah permainan olahraga yang didesain untuk penyandang celebral palsy.Permainan ini mengharuskan pemain melempar bola secara tepat sasaran. Peserta harus menggunakan kekuatan otot tangannya serta kemampuan koordinasi, agar bola yang dilempar mendekati sasaran.Olahraga ini sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung dan meningkatkan fleksibilitas.Selain itu, karena boccia merupakan olahraga tim, para penyandang celebral palsy dapat meningkatkan kemampuan komunikasinya.<h4>5. Senam</h4>Olahraga senam juga sangat baik untuk perkembangan anak berkebutuhan khusus, terutama penyandang autisme.Saat senam, anak harus fokus bergerak sesuai irama. Selain itu, gerakan dalam senam juga akan merangsang kemampuan motorik kasar dan halus anak autistik.Contoh gerakan yang menstimulasi motorik kasar misalnya lari di tempat dan lompat. Sementara, contoh gerakan yang merangsang motorik halus adalah memutar pinggang seperti hula hoop.<h4>6. Lari</h4>Olahraga lari juga sangat baik untuk perkembangan fisik dan mental anak berkebutuhan khusus, terutama penyandang autisme dan down syndrome.Pada anak down syndrome, berlari dapat memupuk rasa percaya diri. Mereka pun jadi lebih mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari, baik yang sifatnya rekreasi maupun bekerja. Menurut penelitian, olahraga ini juga dapat meningkatkan respon saraf dan ototnya.Sementara, pada anak autistik, olahraga lari dapat menyeimbangkan tekanan pada otaknya. Selain itu, lari juga bisa menurunkan risiko kelebihan berat badan, diabetes, gangguan kecemasan, dan depresi.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/4-tips-mengajak-anak-autis-rutin-olahraga-1658398173938" target="_blank">4 Tips Mengajak Anak Autis Rutin Olahraga	</a> 
<h4>7. Handball</h4>Handball atau bola tangan&nbsp;adalah jenis olahraga yang bisa dimainkan oleh anak kebutuhan khusus, baik penyandang autisme, tuna daksa, tuna rungu, dan lain-lain.Selain melatih otot tangan, bagi anak berkebutuhan khusus, handball dapat meningkatkan koordinasi tangan dan mata. Hal ini juga dapat membuat mereka belajar untuk fokus.Itulah sejumlah permainan olahraga untuk anak berkebutuhan khusus.Jika anak Anda mengalami masalah kesehatan, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Anda bisa lakukan dari rumah, sehingga lebih praktis dan nyaman bagi si Kecil.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>University of Rochester Medical Center. Diakses pada Mei 2022. Sports and Children with Special Needs</li><li>
Lucas, M. D. (2015). Swimming in Adapted Physical Education: Guaranteed for many, but offered by few. VAHPERD Journal, 36(2), 19-21.</li><li>
Cañiz, A. C., Olivé, F. D., &amp; Catalunya, F. I. E. P. “Biking? Let’s Make it Happen!”: Cycling intervention to enhance motor skills, social interaction and inclusion of pupils with Autism and other special needs.</li><li>
Coach Art. Diakses pada Mei 2022. 4 Benefits of Soccer For Kids (With Adaptation For Disability Inclusion)</li><li>
Health Fitness Revolution. Diakses pada Mei 2022. Top 10 Health Benefits of Bocce Ball</li><li>
American Speech Language Hearing Association. Diakses pada Mei 2022. Moving Therapy to the Gym: The Benefits of Gymnastics for Children with Autism</li><li>
Gordon, D. (2010). The Benefits of Exercise to a Down's Syndrome Population. Understanding Intellectual Disability and Health. Down's Syndrome Association, May 2006. Web. 15 Nov. 2012.</li><li>
Washington Post. Diakses ada Mei 2022. Can running help autistic children?</li><li>
Connect Ability Australia. Diakses pada Mei 2022.The Importance of Physical Activity for Children with Disabilities</li></ul>

7 Permainan Olahraga untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Dampingi anak dalam menggunaan media sosial supaya tidak terkena cyberbullying - AlteaCare | Foto: Envato

Perilaku netizen tidak bisa dikendalikan. Banyak dari mereka tidak menggunakan media sosial dengan bijak. Akibatnya, angka cyberbullying atau perundungan dunia maya pun meningkat. Sementara itu, situasi pandemi juga mengakibatkan orangtua lebih longgar dalam memberikan gawai bagi anak-anaknya. Ini mengingat anak perlu menggunakan gadget untuk mendukung pembelajaran jarak jauh, misalnya untuk belajar dan mengerjakan tugas. Tidak bisa ditolak, akses ke internet yang lebih lama bisa membuat paparannya pada anak jadi semakin panjang. Anak pun termasuk yang berisiko mengalami cyberbullying, bahkan tanpa sepengetahuan orangtua.<h2>Apa Itu Cyberbullying?</h2>Mengutip dari UNICEF, yang dimaksud dengan cyberbullying adalah perundungan dengan menggunakan teknologi digital.Anak dapat mengalaminya saat menggunakan media sosial, mengobrol di aplikasi chat, atau saat bermain game online. Perundungan ini dilakukan secara agresif dan berulang dari waktu ke waktu, terhadap orang yang dianggap tidak bisa melawan. Cyberbullying bertujuan membuat anak merasa takut dan marah, serta dipermalukan. Beberapa contoh perundungan dunia maya antara lain adalah: <ul><li>Menyebarkan berita bohong atau foto memalukan seseorang di media sosial</li><li>
Mengirim pesan atau ancaman lewat chat, atau menulis komentar maupun postingan yang memalukan dan menyakitkan di media sosial</li><li>
Membuat akun palsu atau membajak akun orang lain, kemudian mengirim pesan jahat pada orang lain</li><li>
Trolling atau mengirim pesan yang mengancam di jejaring sosial, chat, atau game online</li><li>
Mengucilkan atau menolak anak-anak tertentu dari game, aktivitas, atau grup pertemanan online</li><li>
Membuat grup chat yang bertujuan menebar kebencian pada orang tertentu serta menghasut untuk mempermalukan seseorang</li><li>
Memaksa anak untuk mengirim gambar sensual atau terlibat dalam percakapan sensual</li></ul>Bahaya terjadinya perundungan dunia maya terhadap anak ini tidak boleh disepelekan, Sobat Altea. Apalagi, menurut Pew Research Center, 92% anak menggunakan media sosial setiap hari, dan 71% menggunakan lebih dari satu jenis media sosial. Dengan begitu, anak-anak kita pun lebih berisiko untuk terpapar berbagai bentuk intimidasi secara online. Plus, mengutip dari Microsoft, masyarakat Indonesia termasuk pengguna internet yang tidak sopan.Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak jangan sampai jadi korban perundungan dunia maya?<h2>Cara Mencegah Anak Jadi Korban Cyberbullying</h2>Berikut ini beberapa cara yang perlu ortu lakukan supaya anak terhindar dari perundungan dunia maya lewat aktivitas online yang sering ia lakukan: <h4>1. Ajari Etika Posting di Medsos</h4>Sejak awal anak punya akun di media sosial (medsos), ajarkan ia untuk menyaring dan berpikir sebelum membuat posting. 
Dampingi anak saat baru mulai menggunakan akunnya, serta ajarkan aturan main sebagai berikut:<ul><li>Hindari memasang foto, nama asli, dan tanggal lahirnya sendiri di akun medsos</li><li>
Hindari menyebutkan nama sekolah, tempat kursus, maupun tempat tinggal</li><li>
Hindari membuat posting foto yang dengan latar belakang sekolah, rumah, atau lokasi saat itu, disertai dengan tag lokasi</li></ul>Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/sehatkah-sering-curhat-di-media-sosial-1634012259833" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Sehatkah Sering “Curhat” di Media Sosial?</a> 
 <h4>2. Amankan Akun Media Sosialnya	</h4>Semua media sosial sekarang punya fitur private account atau pengaturan privasi. Nah, orangtua harus mengajak anak memanfaatkan fitur ini. Sebab, ini bisa menjauhkan akun anak dari pelaku cyberbullying, sehingga orang asing tidak bisa melihat riwayat unggahan anak. Anda juga bisa ajarkan anak untuk gunakan two-factor authentication pada sejumlah aplikasi tertentu (termasuk Whatsapp) sehingga menyulitkan orang asing yang mau masuk ke akun anak dari perangkat lain.Selain itu, ajarkan juga anak untuk menggunakan password atau kata sandi untuk mengamankan akunnya. Ingatkan dia untuk tidak membagikan kata sandi itu pada siapa pun selain orangtuanya.<h4>3. Hati-hati Dengan Akun Anonim</h4>Pelaku cyberbullying biasanya bersembunyi di balik akun bodong dan menunjukkan identitas aslinya. Ciri-cirinya, saat profilnya dibuka Anda hanya menemukan nama pengguna (yang sering kali tidak jelas) dan foto profil yang kurang meyakinkan. Kalau dicek lagi, akun tersebut terlihat tidak pernah mengunggah atau membuat posting apa pun.Ajarkan anak untuk selalu memeriksa akun yang mengirim request pertemanan dengannya, serta waspada dan langsung menolak, bahkan memblokir atau melaporkan akun tersebut. Begitu juga jika ada akun yang mengirimkan direct message, apalagi disertai dengan tautan. Minta anak untuk tidak menanggapinya.<h4>4. Cek Akun Anak </h4>Meski anak sudah beranjak besar dan sepertinya hanya sibuk dengan teman sekolahnya, orangtua tetap perlu memeriksa akun medsosnya secara berkala. Lihat dengan siapa anak sering chat, dan siapa saja yang ia follow di medsos.Dengan begitu, kita bisa mendeteksi apabila ada potensi yang mengarah pada cyberbullying, baik dari orang yang tidak dikenal maupun temannya sendiri.Kita juga bisa berteman dengannya di media sosial agar bisa bantu memantau ketika akunnya dibajak pelaku cyberbullying.Dan bila ada foto, video, atau posting yang sekiranya berpotensi untuk kena perundungan dunia maya, kita bisa segera minta anak menghapusnya.<h4>5. Latih Kesabaran Anak</h4>Media sosial sangat riuh. Dalam waktu cepat, berita viral bernada negatif bisa bermunculan dan banjir tanggapan. Semua orang bisa bicara dan komentar, baik relevan atau tidak, dan terlepas dari kapasitas atau keahlian mereka.Kondisi ini bisa bisa memunculkan perdebatan dan perselisihan, serta tidak menutup kemungkinan mengarah ke cyberbullying.Inilah yang bisa Anda ajarkan pada anak:<ul><li>Minta untuk sabar dan mau menelusuri info secara lengkap, serta tidak langsung merespons atau berkomentar pada berita-berita yang sedang viral</li><li>
Ajari untuk membaca kembali sebelum posting tulisan, lelucon, caption, atau komentar di medsos miliknya maupun temannya</li><li>
Biasakan berpikir dulu sebelum akan share atau repost sesuatu yang dianggapnya lucu, karena ini belum tentu bisa diterima oleh publik</li></ul><h4>6. Jangan Takut Untuk Lapor</h4>Saat melihat akun yang mencurigakan dengan sering mengunggah foto atau video yang terdapat unsur kebencian, bantu anak untuk segera blokir atau laporkan pada penyedia platform medsos terkait.Atau, jika si Kecil mengalami perundungan dari media sosial, dan kumpulkan bukti-buktinya lalu hubungi pelayanan sosial anak (TePSA). Dengan begitu, pelaku cyberbullying tidak bisa lagi menggunakan akunnya karena telah terblokir.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-cara-mencegah-bullying-di-sekolah-semua-harus-terlibat-1658495103754" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Cara Mencegah Bullying di Sekolah. Semua Harus Terlibat!</a>Itulah beberapa cara mencegah anak alami cyberbullying yang bisa dilakukan orangtua.Bila anak alami perundungan dunia maya sehingga kondisi psikisnya terganggu, segera lakukan telekonsultasi dengan psikolog anak berpengalaman di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>di sini dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Espelage, D. L., &amp; Hong, J. S. (2017). Cyberbullying prevention and intervention efforts: current knowledge and future directions. The Canadian Journal of Psychiatry, 62(6), 374-380.</li><li>
Vaillancourt, T., Faris, R., &amp; Mishna, F. (2017). Cyberbullying in children and youth: Implications for health and clinical practice. The Canadian journal of psychiatry, 62(6), 368-373.</li><li>
UNICEF. Diakses pada Juni 2022. Cyberbullying: Apa itu dan bagaimana menghentikannya</li><li>
Verywell Health. Diakses pada Juni 2022. How to Prevent Cyberbullying</li><li>
Nemours Kids Health. Diakses pada Juli 2022. Teaching Kids to Be Smart About Social Media</li></ul>

Anak Rentan Cyberbullying, 6 Hal ini yang Harus Ortu Lakukan

Bullying pada anak perlu diatasi melalui kerjasama dari berbagai pihak terkait - AlteaCare | Foto: Envato

Semakin banyaknya kasus perundungan terhadap anak bisa bikin kita sebagai orangtua jadi khawatir. Namun, sulit buat kita buat terus mengikuti ke mana pun anak pergi. Kita hanya bisa melakukan berbagai cara mencegah bullying, yang dimulai dari rumah.Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dalam kurun waktu 9 tahun ini, yaitu dari 2011 sampai 2019, telah terdapat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Data terkait kasus perundungan, baik di institusi pendidikan maupun media sosial media, sudah mencapai 2.473 laporan dan terus bertambah.Supaya tindakan bullying tidak menimpa anak-anak kita, setiap pihak yang terlibat harus bergerak. American Psychological Association mengimbau seluruh elemen masyarakat, seperti pihak sekolah, orangtua, dan anak, berada di satu koridor yang sama untuk mencegah bullying terjadi di sekolah.Apa saja cara mencegah bullying pada anak yang bisa diupayakan? Yuk, simak lebih lanjut!<h2>Cara Mencegah Bullying pada Anak di Sekolah</h2>Kerja sama seperti ini bisa dilakukan oleh orangtua, sekolah, dan pihak ketiga untuk mencegah anak mengalami perundungan, mulai sejak dini.<h4>1. Sering Ajak Anak Ngobrol</h4>Jalin komunikasi dengan anak adalah kunci. Anda sebagai orangtua perlu jelaskan pada anak, bahwa perilaku bullying tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.&nbsp;Ajari juga cara untuk menanggapi tindakan bullying di sekolah dengan percaya diri.Anda bisa jelaskan dengan bahasa yang dipahami anak, misalnya dimulai dengan obrolan sederhana berikut:<ul><li>Bagaimana sekolah hari ini? Hari ini kamu belajar apa di sekolah?</li><li>
Biasanya kalau istirahat sekolah kamu main sama siapa?</li><li>
Kantin di sekolah ramai, ya? Siapa saja yang sering jajan di sana? </li><li>
Bagaimana bekal hari ini? Kamu biasa makan bekal sekolah sama siapa?</li></ul>Ketika obrolan sudah mengalir dan si kecil nyaman bercerita, saatnya Anda beri “pesan sponsor”. Jelaskan seperti apa pertemanan yang sehat dan bagaimana caranya supaya dia bisa berteman dengan baik di sekolah. Baca juga:<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-cara-membangun-quality-time-bersama-keluarga-1658307314717" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);"> 7 Cara Membangun Quality Time Bersama Keluarga</a> 
<h4>2. Bentuk Perilaku yang Sehat pada Anak</h4>Sejak usia dini, beri pengertian dan ajarkan anak memilih mana yang baik dan yang buruk. Selain itu, ajarkan juga mereka cara memperlakukan orang lain dengan hormat, termasuk tidak mengambil barang milik orang secara paksa. Selain itu, anak juga perlu belajar perilaku yang baik saat berinteraksi dengan guru, teman, dan karyawan di sekolah, serta orang lain yang ia temui di luar. Sikap-sikap seperti ini perlu segera dikoreksi: <ul><li>Menatap lawan bicara dengan tidak sopan, terutama pada yang lebih tua. Misalnya melotot atau memutar mata</li><li>
Berbalik badan atau membelakangi orang saat sedang diajak bicara</li><li>
Menertawakan orang lain atau mengajak teman untuk menertawakan </li><li>
Membuat nama panggilan buat teman dengan maksud negatif, termasuk memanggilnya dengan nama orangtuanya</li><li>
Mengabaikan atau menganggap teman seolah-olah tidak ada</li><li>
Melukai teman secara fisik</li><li>
Membuntuti atau mendatangi rumah teman tanpa izin dari orangtua maupun teman yang bersangkutan </li></ul>
<h4>3. Orangtua Jalin Komunikasi Dengan Sekolah</h4>Selain masalah akademik, ortu juga bisa perlu sering ngobrol dengan sekolah maupun wali kelas anak. Tanyakan perkembangan anak selama belajar dan apakah ada masalah dalam pertemanan.Saat sedang mencari sekolah untuk si Kecil, jangan ragu untuk bertanya pada sekolah, apakah sudah punya kebijakan atau kode etik tentang bullying. Kebijakan ini perlu meliputi intimidasi secara fisik, verbal, atau cyberbullying. <h4>4. Sekolah Perlu Buat Kebijakan</h4>Sekolah sebagai rumah kedua bagi anak juga perlu membuat kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bullying selama proses belajar anak.Beberapa kebijakan yang bisa diterapkan adalah:<ul><li>Secara berkala memberi sosialisasi seputar bullying pada siswa </li><li>
Tegaskan bahwa sekolah tidak menoleransi bullying dan akan bertindak tegas bila terjadi perundungan siswa</li><li>
Tidak memperbolehkan kegiatan yang sifatnya perpeloncoan, misalnya dalam masa orientasi sekolah bagi siswa baru</li><li>
Mendorong siswa untuk melakukan aktivitas bersama dalam satu kelompok yang terdiri atas siswa dari berbagai tingkatan, seperti kelompok ensambel musik atau kelompok teater</li></ul><h4>5. Libatkan Pihak Luar</h4>Mencegah bullying perlu kerjasama antar pihak. Karenanya, jangan ragu untuk melibatkan institusi lain dalam menyusun program kebijakan di sekolah maupun dalam pendampingan kasus bullying.Di Indonesia ada beberapa lembaga yang memiliki keterkaitan dengan isu anak, misalnya saja LBH APIK atau KPAI. Kerjasama dengan pihak ketiga ini akan lebih memudahkan akses komunikasi untuk melaporkan aksi-aksi perundungan dan upaya pencegahannya.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-keterampilan-sosial-yang-perlu-dimiliki-oleh-anak-1658309336507" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Keterampilan Sosial yang Perlu Dimiliki oleh Anak	</a> 
Itulah beberapa cara mencegah bullying di sekolah yang bisa dilakukan bersama-sama oleh setiap pihak terkait. 
Bila Anda khawatir anak mengalami perundungan di sekolah dan sulit untuk mengatasinya sendiri, Anda bisa minta bantuan profesional. Ajak anak lakukan telekonsultasi dengan psikolog di AlteaCare. Sesi telekonsultasi yang dilakukan dari rumah membuatnya nyaman dan lebih mudah bercerita. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare</a> di sini dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>American Psychological Association. Diakses pada Mei 2022. How parents, teachers and kids can take action to prevent bullying</li><li>
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diakses pada Mei 2022. Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI</li><li>
Lesley University. Diakses pada Mei 2022. 6 Ways Educators Can Prevent Bullying in Schools</li><li>
Public Safety Canada. Diakses pada Mei 2022. Bullying Prevention in Schools</li><li>
UNICEF. Diakses pada Mei 2022. How to talk to your children about bullying</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Mei 2022. 10 Ways to Prevent School Bullying</li></ul>

6 Cara Mencegah Bullying di Sekolah. Semua Harus Terlibat!

Bullying pada anak bisa membuat perilakunya berubah- AlteaCare | Foto: Envato

Bullying atau perundungan adalah kejadian yang memilukan. Anak yang pernah di-bully bisa alami trauma, dan dampak bullying akan tersisa dan sulit dilupakan hingga ia besar.Melansir dari Raising Children Australia, perundungan terjadi ketika seseorang secara sengaja dan berulang membuat orang lain merasa terganggu, takut, terancam, atau terluka. Perundungan juga bisa dengan cara merusak barang, reputasi, atau relasi dengan orang lain.Bentuk bullying yang bisa dialami anak dari lingkungan sekitarnya adalah:<ul><li>diejek, dicela, atau diberi nama julukan yang berkonotasi negatif</li><li>
diabaikan saat menjalani aktivitas bersama, misalnya bermain</li><li>
dijadikan bahan lelucon atau cerita yang menjijikkan atau jahat</li><li>
didorong, dibuat terjatuh, atau dipukul, maupun diambil atau dirusak barangnya</li></ul>Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pengaduan kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Data yang dihimpun dari 2011 hingga 2019 menyebutkan, angka laporan terkait dengan bullying di lingkup pendidikan dan media sosial mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-cara-mencegah-bullying-di-sekolah-semua-harus-terlibat-1658495103754" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Cara Mencegah Bullying di Sekolah. Semua Harus Terlibat!</a> 
<h2>Tanda-tanda Anak Di-bully</h2>Tidak semua anak yang dirundung akan bercerita pada orangtua. Tanda-tanda yang jelas, seperti memar atau luka, kadang luput dari mata orangtua. Namun, kita boleh curiga si Kecil mengalami perundungan di sekolah jika:<ul><li>perilakunya berubah atau gampang cemas</li><li>
Nafsu makan berkurang, tidurnya tidak nyenyak, dan tidak melakukan kegiatan favoritnya</li><li>
jadi lebih moody atau gampang marah dibanding biasanya</li><li>
mulai menghindari situasi tertentu, misalnya tidak mau sekolah atau lewat jalan tertentu</li></ul>Orangtua bisa coba ajak anak untuk curhat atau pancing dia bercerita pengalamannya hari itu. Ini penting, Sobat Altea, karena bila ketahuan ia mengalami bullying, Anda bisa segera bertindak. Berpikir anak hanya bersikap berlebihan dan tidak menanggapinya akan membuatnya mengalami dampak bullying yang luar biasa, yang bisa berpengaruh pada masa depannya. Bukan mustahil, mengutip dari Raising Children Australia, anak yang dulu pernah dirundung pada akhirnya akan berubah menjadi pelaku perundungan.Simak lebih lanjut untuk mengetahui dampak apa yang terjadi bila anak menjadi korban bullying<h2>Dampak Bullying pada Anak</h2>Berikut ini adalah sejumlah efek dari perundungan yang diterima anak terhadap kesehariannya:<h4>1. Prestasinya Menurun</h4>Bullying bisa membuat anak tidak bisa belajar dengan baik di sekolah, sehingga berpengaruh pada nilai dan prestasinya. Penelitian yang dilakukan oleh University of California, Amerika Serikat terhadap siswa sekolah menengah menemukan, tingginya level perundungan berkaitan dengan semakin rendahnya prestasi anak selama belajar di sekolah. Siswa yang paling sering di-bully diamati memiliki prestasi akademik lebih buruk dibandingkan teman-teman sekolahnya. <h4>2. Perubahan Perilaku</h4>Perundungan yang diterima tidak hanya membuat anak jadi mudah tersinggung atau marah. Namun, perilakunya di rumah pun dapat berubah ke arah kurang baik. Misalnya, menjadi anak pendendam yang ingin membalas perlakuan buruk yang diterimanya, meski tidak secara langsung pada orang yang merundungnya. Atau, justru jadi bersikap anti-sosial dalam pergaulan.Selain itu, anak dapat terjebak dalam perilaku berbahaya, seperti mengonsumsi alkohol. Bahkan, pada kondisi tertentu anak bisa melakukan tindakan kekerasan, sehingga membuatnya dikeluarkan dari sekolah.<h4>3. Pola Makan Tidak Sehat</h4>Anak yang sering di-bully secara fisik, misalnya dikatai gendut karena punya berat badan berlebihan, bisa mengalami perubahan pola makan.Anak dapat terjebak persepsi bahwa ia memang gendut, berat badannya tidak ideal, tidak menarik, dan bisa ditolak oleh lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, ia bisa lakukan perubahan pola makan secara ekstrem.Menurut penelitian yang dimuat di International Journal Eat Disorder, anak berusia 9-25 tahun yang menjadi korban perundungan berisiko alami gangguan pola makan, seperti anoreksia dan bulimia. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/6-penyebab-anoreksia-nervosa-yang-perlu-anda-tahu-1657023065633" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Penyebab Anoreksia Nervosa yang Perlu Anda Tahu	</a> 
<h4>4. Tidak Percaya Diri</h4>Anak korban perundungan umumnya bisa mengalami krisis rasa percaya diri dan kurang dapat menghargai dirinya sendiri. Ini karena ia sering mendapat komentar atau celaan yang jahat dan menyakitkan hati. Studi yang dimuat di The British Journal of Educational Psychology menyebutkan, 80% siswa yang mengalami bullying di sekolah juga sulit bersosialisasi dengan orang lain.Ia tidak dapat menjalin dan menjaga relasi dengan orang lain, serta merasa dirinya tidak pantas berada di lingkungan dan menjadi teman, apalagi sahabat baik. Melansir dari Verywell Family, rendahnya rasa percaya diri dan self-esteem ini akan terbawa terus hingga anak besar. Anak jadi sulit percaya pada orang lain, baik saat menjalin hubungan asmara maupun di tempat kerja.<h4>5. Sering Sakit</h4>Terlepas dari memar dan luka yang dialami saat di-bully secara fisik, beberapa keluhan fisik juga dapat dialami oleh anak. Keluhan ini berkaitan dengan rasa cemas yang kerap dirasakan oleh anak.Stres yang dirasakan oleh tubuhnya bisa membuat si Kecil jadi gampang sakit, atau sering mengalami sakit maag, sakit perut, atau sakit kepala. Perhatian ekstra perlu diberikan pada anak yang sebelumnya sudah punya kondisi kesehatan tertentu, seperti alergi kulit, gangguan pencernaan, atau penyakit jantung. Sebab, kondisi ini cenderung memburuk atau sering kambuh bila ia jadi korban perundungan.<h4>6. Depresi</h4>Saat terus dirundung dan tidak dapat pertolongan, pada akhirnya anak dapat putus asa. Ia pun percaya bahwa apa pun yang dilakukan tidak bisa mengubah situasi, karenanya ia berhenti berusaha.Kondisi seperti ini lama-lama bisa bikin anak jadi terpuruk dan depresi. Mengutip studi dari the American Journal of Psychiatry, anak yang sering di-bully dapat mengalami depresi, gangguan kecemasan, memiliki keinginan bunuh diri. Itulah beberapa dampak bullying pada anak yang perlu segera diatasi. Orangtua perlu minta pertolongan dari profesional untuk membantu anak mengatasi dampak psikologis dan psikis akibat perundungan. Anda bisa ajak anak untuk lakukan telekonsultasi dari rumah saja dengan dokter spesialis dan psikolog berpengalaman di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>di sini dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Raising Children Australia. Diakses pada Juli 2022. Children bullying others</li><li>
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diakses pada Juli 2022. Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juli 2022. The Long-Lasting Effects of Bullying</li><li>
Nemours Kids Health. Diakses pada Juli 2022. Helping Kids Deal With Bullies</li><li>
Claire L. F., Michael J. B. (2005). The social skills problems of victims of bullying: self, peer and teacher perceptions. The British Journal of Educational Psychology, 75(Pt 2):313-28.</li><li>
Cleveland Clinic. Diakses pada Juni 2022. Common Sleep Disorders</li><li>
Psycom. Diakses pada Juni 2022. Short Term and Long Term Effects of Bullying</li><li>
Pichel, R., Feijóo, S., Isorna, M., Varela, J., &amp; Rial, A. (2022). Analysis of the relationship between school bullying, cyberbullying, and substance use. Children and Youth Services Review, 134, 106369.</li><li>
Copeland, W. E., Bulik, C. M., Zucker, N., Wolke, D., Lereya, S. T., &amp; Costello, E. J. (2015). Is childhood bullying involvement a precursor of eating disorder symptoms? A prospective analysis. The International journal of eating disorders, 48(8), 1141.</li><li>
Fox, C. L., &amp; Boulton, M. J. (2005). The social skills problems of victims of bullying: self, peer and teacher perceptions. The British journal of educational psychology, 75(Pt 2), 313–328. </li><li>
Takizawa, R., Maughan, B., &amp; Arseneault, L. (2014). Adult health outcomes of childhood bullying victimization: evidence from a five-decade longitudinal British birth cohort. American journal of psychiatry, 171(7), 777-784.</li></ul>

6 Dampak Bullying Pada Anak. Segera Atasi!

Salah satu gejala ascariasis atau cacingan adalah sakit perut - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Ascariasis</h2>Ascariasis adalah infeksi usus halus yang disebabkan oleh cacing ascaris lumbricoides, yang merupakan spesies dari cacing gelang. Seseorang dapat terinfeksi ascariasis saat tangan atau jarinya terkontaminasi tanah atau kotoran, kemudian termakan.Infeksi ini juga bisa dialami bila mengonsumsi buah atau sayuran mentah tanpa mencuci atau mengupasnya terlebih dulu. 
<h2>Penyebab Ascariasis</h2>Gangguan ini disebabkan oleh cacing ascaris. Cacing ini hidup di usus halus manusia dan telurnya ditularkan melalui tinja orang yang terinfeksi. 
Ascariasis adalah infeksi yang umum terjadi di negara berkembang, terutama yang belum memiliki sanitasi memadai. 
<h2>Faktor Risiko Ascariasis</h2>Cacing gelang hidup di daerah di seluruh dunia, namun lebih sering ditemukan di daerah subtropis dan tropis. 
Faktor risiko yang membuat orang dapat terkena ascariasis antara lain :<ul><li>	Terpajan tanah atau kotoran yang terkontaminasi</li><li>
	Tinggal di lingkungan dengan sanitasi buruk, misalnya tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus sesuai standar</li><li>
	Menggunakan tanah yang terkontaminasi sebagai pupuk. </li></ul><h2>Gejala Ascariasis</h2>Umumnya, Anda tidak mengalami gejala apa pun saat terkena ascariasis. Namun proses infeksi yang terjadi di usus dapat juga terjadi pada organ lainnya. Hal ini membuat Anda mungkin akan merasakan beberapa keluhan. 
Apabila cacing ascaris menyerang usus, Anda dapat mengalami:<ul><li>	Mual</li><li>
	Muntah</li><li>
	Diare</li><li>
	Nyeri perut akibat sumbatan usus oleh cacing</li><li>
	Nafsu makan menurun </li></ul>
Sedangkan jika cacing ascaris mengenai paru, keluhan yang dirasakan antara lain:<ul><li>	Batuk</li><li>
	Tersedak</li><li>
	Darah dan lendir</li><li>
	Sensasi tidak nyaman di dada</li><li>
	Demam</li><li>
	Penurunan berat badan</li><li>
	Gangguan tumbuh kembang pada anak</li><li>
	Ditemukan cacing pada tinja </li></ul><h2>Diagnosis Ascariasis</h2>Diagnosis ascariasis bisa dilakukan melalui pengambilan sampel tinja untuk diperiksa di laboratorium. Pada sebagian orang, infeksi ini dapat disadari ketika mereka mengeluarkan cacing saat batuk ataupun buang air besar. 
Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan untuk menentukan jumlah dan lokasi cacing, seperti:<ul><li>	Endoskopi </li><li>
	Computed Tomography (CT) scan</li><li>
	MRI (Magnetic Resonance Imaging)</li><li>
	Ultrasound (USG)</li><li>
	Rontgen</li></ul><h2>Pengobatan Ascariasis</h2>Obat anti cacing merupakan pilihan utama dalam pengobatan. Untuk keluhan yang sifatnya, ascariasis tetap harus segera diobati agar mencegah parasit tidak berpindah ke paru-paru. 
Secara khusus dokter dapat memberikan pengobatan antihelmintik, yaitu obat-obatan untuk membunuh cacing. Pengobatan berlangsung selama 1-3 hari. 
<h2>Pencegahan Ascariasis</h2>Hidup di lingkungan dengan sanitasi yang modern dan baik dapat menurunkan risiko terkena ascariasis. Namun, pencegahan medis perlu dilakukan bagi mereka yang tinggal di daerah atau lingkungan yang berisiko. Ini dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing secara masal. 
Untuk pencegahan sehari-hari, Anda dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Misalnya, membiasakan diri mencuci dan mengolah makanan dengan baik atau mencuci tangan setelah dari kamar mandi. 
Saat berada di daerah yang langka sumber air bersih dan sanitasi, Anda dapat melakukan hal-hal berikut ini:<ul><li>	Pastikan makanan disiapkan dengan cara sebersih mungkin</li><li>
	Saring kemudian rebus air yang akan diminum</li><li>
	Sebelum memegang dan menyantap makanan, cuci tangan di bawah aliran air bersih dan gunakan sabun </li><li>
	Sebaiknya hindari menggunakan toilet umum</li><li>
	Cuci dan masak semua sayur dan buah-buahan yang tumbuh di tanah yang terkontaminasi</li><li>
	Pastikan anak-anak untuk mencuci tangan dengan air dan sabun setelah bermain </li></ul>
Edukasi dan pencegahan terhadap ascariasis sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, dengan melibatkan orang-orang yang bekerja di daerah pertanian maupun pengelola makanan. Selain itu, pembangunan sistem sanitasi sesuai standar juga perlu jadi perhatian untuk mencegah terbentuknya sumber kontaminasi cacing ascaris. 
<h2>Kapan Harus ke Dokter? </h2>Gangguan ascariasis umumnya tergolong ringan, namun tidak ada salahnya Anda berkonsultasi dengan dokter bila mengalami keluhan yang mengganggu. Jika keluhan terasa berat, segera kunjungi unit gawat darurat. Misalnya jika terjad nyeri perut yang luar biasa dan disertai muntah. Kondisi ini dapat berkaitan dengan penyumbatan usus akibat volume cacing sudah terlampau banyak dan saling menggumpal. Selain itu, bisa juga akibat adanya penyumbatan saluran empedu. 

Anda dapat sampaikan keluhan ini melalui telekonsultasi menggunakan video call di aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare</a>. Referensi:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Mei 2021. Ascariasis</li><li>
Medical News Today. Diakses pada Mei 2021.What is Ascariasis</li><li>
National Center for Biotechnology Information. Diakses pada Mei 2021.</li><li>
Healthline. Diakses pada Mei 2021. Ascariasis : Complication</li></ul>

Ascariasis (Infeksi Cacing)

Bekerja sama dengan teman adalah salah satu keterampilan sosial yang penting dimiliki anak - AlteaCare | Foto: Envato

Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa terlepas dari orang lain. Maka dari itu, sejak kecil anak perlu diajarkan keterampilan sosial agar dapat beradaptasi dengan dunia di sekitarnya. Sobat Altea mungkin termasuk orangtua yang khawatir akan kemampuan sosialisasi anaknya, karena si Kecil cenderung pemalu. Namun, tak perlu kecil hati. Sebab, keterampilan ini bisa diasah, kok!Sebagai orang terdekat dan role model pertama anak dalam hidupnya, peran Ayah dan Ibu sangat penting dalam membentuk keterampilan sosialnya. Proses pembelajaran keterampilan sosial sudah dapat dimulai saat anak memasuki usia satu tahun. Ketika itu, anak mulai mengembangkan keterampilan sosial sekaligus mengeksplorasi dunia di sekitarnya. Yuk, kita simak apa saja nilai-nilai yang perlu ditanamkan untuk membentuk keterampilan sosial anak berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/6-kesalahan-orangtua-dalam-pola-asuh-anak-1657627432827" rel="nofollow" style="color: rgb(74, 134, 232);">6 Kesalahan Orangtua Dalam Pola Asuh Anak</a> 
<h2>7 Keterampilan Sosial yang Penting Dipelajari Anak</h2>Nilai-nilai ini perlu ditanamkan sejak dini agar anak dapat lebih luwes saat berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya:<h4>1. Berbagi</h4>Kenalkan pada anak apa itu berbagi sejak dini. Sebab, hal ini dapat membantunya ketika beranjak dewasa, agar mudah mendapatkan teman dan bergaul dengan orang lain.Melansir dari Psychological Science, anak umumnya sudah punya keinginan untuk berbagi dengan orang lain sejak usia dua tahun. Namun, hal ini hanya dilakukannya ketika memiliki barang dalam jumlah berlebih.Berbeda dengan anak usia 3-6 tahun, yang cenderung tidak mau berbagi. Namun, seiring dengan pertambahan usia, menjelang usia 7 tahun mereka mulai memahami arti berbagi dengan teman dan orang di sekitarnya. Lakukan ini: ajak anak untuk berbagi apa yang dimiliki dengan orang yang membutuhkan, baik itu makanan atau mainan. Misalnya, saat berangkat ke sekolah ingatkan dia untuk melihat apakah ada temannya yang tidak bawa bekal. Lalu, dorong anak untuk berbagi bekal dengan temannya karena Anda sudah membawakan sedikit lebih banyak.Ketika si Kecil sudah belajar berbagi, rasa percaya dirinya akan tumbuh.<h4>2. Mau Mendengarkan</h4>Menjadi pendengar yang baik sama berharganya dengan menjadi pembicara yang baik. Kemampuan mendengarkan perlu diajarkan pada anak sedini mungkin.Keterampilan ini akan berguna bagi anak, baik di hari ini maupun saat ia besar nanti. Saat di sekolah, misalnya, anak mampu belajar dengan baik karena dapat menyimak dan mencerna yang disampaikan oleh guru. Dan, ketika sudah beranjak dewasa, keterampilan iniakan bermanfaat dalam menjalin hubungan dengan klien maupun rekan kerja di kantor.Lakukan ini: latih kemampuan mendengarkan dengan mengajaknya menyimak dongeng yang Anda bacakan sebelum tidur. Anda juga bisa biasakan si Kecil untuk bergantian dengan kakak atau adiknya saat mau bicara. Minta ia untuk terlebih dulu mendengarkan saudaranya, baru mengatakan apa yang ia pikirkan.<h4>3. Berani Lakukan Kontak mata</h4>Anak yang pemalu umumnya cenderung menghindari kontak mata langsung karena merasa kurang nyaman. Nah, untuk itu orangtua perlu melatihnya terus, agar bisa diterima di lingkungan pertemanan. Sebab, kontak mata juga bagian dari kemampuan emosional, yang bisa bikin orang lain nyaman ketika berbicara dengannya.Lakukan ini: biasakan Si Kecil untuk menatap Anda kapan pun Anda mengajaknya berbicara. Begitu juga saat ia ingin mengatakan atau meminta sesuatu. Namun, bila anak sepertinya begitu sulit untuk kontak mata dengan orang sekitarnya, orangtua dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis anak. Sebab, ini mungkin saja dapat mengarah pada gejala autisme.<h4>4. Ikut Aturan</h4>Ada satu peribahasa lama yang mungkin pernah Sobat Altea dengar: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ada usia ketika anak cenderung membantah dan melawan, serta ingin mengikuti kemauannya sendiri. Nah, kecenderungan ini perlu direm oleh orangtua. Sebab, ini bisa membuat mereka sulit untuk bergaul dan diterima oleh teman-temannya.Lakukan ini: buat aturan di rumah sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati oleh keluarga, lalu ingatkan anak untuk selalu mengikutinya. Misalnya, batasan waktu untuk menonton TV dan menggunakan gadget.<h4>5. Mau Terima Kritik</h4>Jangankan anak-anak, kita yang sudah dewasa pun masih sulit menerima feedback dari orang lain, bahkan ketika kita tahu kritik itu bertujuan baik.Sementara anak-anak terkadang dapat bereaksi berlebihan terhadap kritik, karena punya masalah dengan pengendalian diri dan pengelolaan emosi.Maka dari itu orangtua perlu mengajarkan si Kecil untuk bersedia dikritik dan menerima masukan dari orang lain, apalagi yang lebih tua, seperti guru di sekolah.Lakukan ini: tanamkan dalam diri anak bahwa kritik itu bukan semacam pengadilan, namun sebagai suatu bentuk perhatian akan apa yang ia lakukan. Layaknya terima hadiah, kritik juga harus diterima dengan baik.<h4>6. Menghargai Privasi</h4>Sebagai orangtua, kita harus menjelaskan perbedaan antara ruang publik dan ruang pribadi atau privasi. Sebab, anak yang tumbuh di lingkungan rumah yang nyaman mungkin akan berpikir bahwa dunia luar sama seperti di rumah. Bisa bebas masuk ke sana-sini tanpa harus minta izin atau ketuk pintu.Lakukan ini: ajarkan pada anak beberapa hal ini:<ul><li>Apa yang boleh ditanya dan tidak boleh ditanya pada orang lain saat baru berkenalan. Misalnya, agama atau kepercayaan yang dianutnya</li><li>
Menjaga jarak nyaman ketika bicara dengan orang lain agar lawan bicara lebih nyaman </li><li>
Tidak masuk ke ruangan kamar tanpa izin saat sedang berkunjung ke rumah orang lain, seperti teman sekolah atau teman dari orangtua</li></ul><h4>7. Kerja Sama</h4>Keterampilan sosial terakhir yang perlu dimiliki anak adalah bekerja sama. Beri pengertian anak, apa itu kerja sama yang baik, serta apa manfaatnya. Selain itu, juga cara dan contoh kerja sama yang baik dengan teman dan anggota keluarga di rumah. Lakukan ini: latih kerja sama anak lewat permainan. Misalnya, saat si Kecil main bersama temannya, mintalah mereka bermain bersama membangun istana dari balok. Atau, minta mereka bertukar mainan setiap beberapa menit sekali.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-cara-mengasah-keterampilan-motorik-halus-lewat-bermain-1657110887225" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Cara Mengasah Keterampilan Motorik Halus Lewat Bermain</a> 
Itulah beberapa keterampilan sosial yang perlu dipelajari oleh anak sejak dini.Bila Sobat Altea merasa resah akan proses tumbuh kembang emosional maupun sosial si Kecil, coba lakukan telekonsultasi dengan psikolog anak di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Be Strong International. Diakses pada Mei 2022. How to Teach Children the Value of Following Rules</li><li>
National Childbirth Trust (NCT). Diakses pada Juli 2022. How and when do babies develop social skills?</li><li>
Penn State Extension. Diakses pada Mei 2022. Teaching children to cooperate</li><li>
Understood. Diakses pada Mei 2022. How to Teach Your Child About Personal Space</li><li>
Understood. Diakses pada Mei 2022. Why some kids overreact to criticism</li><li>
Very Well Family. Diakses pada Mei 2022. 7 Most Important Social Skills for Kids</li><li>
Very Well Family. Diakses pada Mei 2022. How to Help a Child Who Doesn't Like Eye Contact</li></ul>

7 Keterampilan Sosial yang Perlu Dimiliki oleh Anak

Supaya anak mau belajar gosok gigi, aktivitasnya harus terasa menyenangkan - AlteaCare | Foto: Envato

Kalau boleh jujur, terkadang kita sebagai orangtua juga bisa kesal pada anak. Biasanya, karena si Batita masih suka pipis sembarangan. Atau, si Balita tidak mau bereskan mainannya yang berantakan. Dan, yang lebih bikin jengkel lagi, susah banget ternyata ajari si Kecil cara gosok gigi yang benar!Tapi, tenang dulu, Ayah dan Ibu. Jangan gampang naik pitam. Nanti si Kecil malah makin malas dan emoh gosok gigi. Duh, padahal dia ‘kan harus rajin supaya giginya tetap sehat!Sama halnya saat kita harus putar akal untuk bujuk si Picky Eater supaya mau makan sepotong sayuran, orangtua pun perlu trik spesial supaya si Kecil mau gosok gigi sendiri. Yuk, coba cara jitu ala Altea untuk bantu ajak anak belajar cara gosok gigi yang benar berikut ini!<h2>Begini Trik Ajari Anak Cara Gosok Gigi yang Benar</h2>Membuat anak mau menggosok gigi sendiri dan melakukannya dengan benar itu tantangan tersendiri buat ayah dan ibunya. Satu yang perlu diingat: kalau mau sukses, kuncinya adalah menjadikan kegiatan yang satu ini terasa menyenangkan. Simak beberapa tips supaya acara gosok gigi bisa terasa fun dan bikin anak happy:<h4>1. Ceritakan Pentingnya Gosok Gigi</h4>Sebelum masuk ke teknis, lebih baik beri pengertian dulu pada anak kenapa ia harus menggosok gigi. Orangtua bisa menjelaskan dengan bantuan buku cerita bergambar. Atau, dengan cara mendongeng kisah seorang anak yang tidak suka gosok gigi. Pilih cerita yang kira-kira bikin imajinasi anak berkembang tanpa harus membuatnya takut.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-aktivitas-ini-perlu-dilakukan-bareng-anak-biar-lebih-bonding-1658115725950" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Aktivitas Ini Perlu Dilakukan Bareng Anak. Biar Lebih Bonding!</a> 
<h4>2. Ajak Gosok Gigi Sama-sama</h4>Anak cenderung mengikuti apa yang dilakukan orangtua. Maka dari itu, ajak ia untuk gosok gigi sama-sama, misalnya sebelum tidur. Sambil gosok gigi, Anda bisa ajarkan cara pegang sikat gigi, mengoleskan pasta gigi, sampai arah menggosoknya.Lakukan setiap hari dan terus perbaiki kesalahan anak sedikit demi sedikit, sampai akhirnya anak mahir dan menguasai cara gosok gigi yang benar.<h4>3. Lakukan Sambil Bercermin</h4>Supaya anak bisa tahu teknik gosok gigi yang tepat, ajak dia melakukannya di depan cermin.Tunjukkan padanya, bagian mana saja yang penting untuk dibersihkan dan butuh perhatian ekstra. Dengan cara ini, secara tidak langsung anak belajar untuk fokus dan konsentrasi terhadap apa yang dilakukannya.<h4>4. Sabar, Semua Butuh Waktu </h4>Sebagai orang dewasa, gosok gigi mungkin hal sepele. Tapi, bisa jadi tidak untuk anak. Apalagi jika baru pertama kali melakukannya. Jadi, salah-salah sedikit wajar saja. Seperti pasta gigi jatuh dari sikat, busa di mulut turun hingga ke baju, hingga sikat gigi jatuh ke lantai.Beri waktu pada anak untuk beradaptasi dan tidak perlu mendesak mereka untuk cepat-cepat gosok gigi. Ingat, goal kita adalah bikin anak merasa kegiatan ini fun dan seru, bukan sebaliknya.Sesekali ortu perlu kasih apresiasi tipis-tipis buat si Kecil jika sudah menggosok gigi dengan baik dan benar. Beri tantangan buat mereka setiap hari dan beri semangat padanya saat bisa menyelesaikannya.<h4>5. Siapkan Sikat Gigi Favorit Anak</h4>Sekarang, sudah banyak sikat gigi yang lucu. Coba ajak si Kecil pilih sikat gigi sesuai keinginannya. Anda cukup pastikan sikat tersebut sesuai usia anak, serta bulu sikatnya pas dan tidak terlalu kasar untuk gusinya.Menurut Early Childhood Australia, si Kecil cenderung termotivasi jika menggunakan barang yang disukainya. Dengan membiarkannya memilih sendiri sikat gigi maupun pasta gigi yang disukai, ia akan menganggap aktivitas membersihkan gigi menyenangkan.Saat si Kecil sudah mulai malas gosok gigi, ortu bisa janjikan reward. Misalnya, kalau si Kecil rajin gosok gigi dua kali sehari selama satu minggu, ia boleh bermain lebih lama dari biasanya. <h4>6. Sambil Dengar Musik</h4>Tidak ada salahnya gosok gigi sambil dengar musik. Cara ini bisa Anda lakukan supaya anak happy dan tidak bosan. Yuk, putar lagu kesukaan mereka, misalnya lagu Baby Shark atau Hey Tayo. Ajak si Kecil untuk gosok gigi sesuai irama musik. Buat melatih anak gosok gigi lebih lama (minimal 2 menit atau setara dengan lagu Happy Birthday to You yang diulang dua kali!), ortu juga bisa kasih tantangan. Misalnya, anak tetap harus gosok gigi sampai lagunya berhenti.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/ciri-ciri-anak-sehat-yang-perlu-diketahui-harus-jiwa-dan-raga-1657021796678" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Ciri-Ciri Anak Sehat yang Perlu Diketahui. Harus Jiwa dan Raga!	</a> 
Itulah beberapa tips ajari anak cara gosok gigi yang benar tapi tetap fun. Kalau Anda merasa tidak pede dalam mengajari anak, coba ajak dia lakukan telekonsultasi dengan dokter gigi anak di AlteaCare, supaya bisa dapat penjelasan yang lebih bisa dipahami anak. Begitu juga saat si Kecil alami masalah pada giginya, segera buka AlteaCare dan buat janji dengan dokter gigi berpengalaman. Yuk, segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>di ponsel Anda! Sumber:<ul><li>Brisbane Kids. Diakses pada Juni 2022. 8 Fun Ways To Encourage Your Kids To Brush Their Teeth</li><li>
Emma’s Diary. Diakses pada Juni 2022. How To Teach Your Children to Brush Their Teeth </li><li>
Health Hub. Diakses pada Juni 2022. 6 Tips to Make Brushing Teeth Fun for Kids!</li></ul>

6 Tips Ajari Anak Cara Gosok Gigi yang Benar. Yuk, Dibikin Fun!

Melakukan kegiatan bersama adalah salah satu cara membangun quality time bersama keluarga - AlteaCare | Foto: Envato

Kalau Sobat Altea ingin punya hubungan yang dekat, akrab, dan hangat dengan pasangan maupun anak, semua itu butuh proses. Sebab, quality time bersama keluarga perlu dibentuk dari waktu ke waktu. Untuk para orangtua yang sehari-hari sibuk ngantor, ini bukanlah hal mustahil. Selama Anda punya komitmen dan mau berusaha untuk tujuan bersama, jangan ragu untuk jalan terus!Sebab, memiliki quality time bersama sangat bermanfaat kesehatan dan keharmonisan keluarga. Riset yang dimuat di Journal of Abnormal Child Psychology bahkan menyebutkan, menghabiskan waktu dengan salah satu orangtua saja sudah bisa membantu menurunkan gejala depresi pada anak remaja. Dalam riset yang dilakukan terhadap remaja dengan gangguan depresi, para peneliti menemukan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan anak bersama orangtua bisa berdampak positif terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Ini terlepas dari apakah orangtua punya hubungan yang hangat dengan anaknya. Dengan kata lain, kebersamaan itu sendiri sudah berarti buat anak yang sedang dalam masalah. Kalau kebersamaannya berkualitas dan penuh cinta, pasti lebih dahsyat lagi efeknya!Nah, lantas bagaimana caranya supaya kita bisa membangun quality time bersama keluarga? Simak langsung tipsnya berikut ini!<h2>Cara Membangun Quality Time Bersama Keluarga</h2>Altea ngerti, tidak mudah buat para ortu untuk menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anaknya. Berikut ini adalah beberapa kesempatan yang bisa dijadikan ide untuk membentuk quality time bersama keluarga:<h4>1. Berbagi Tanggung Jawab di Rumah</h4>Jangan sungkan minta anak melakukan tugas di rumah. Sebab, ini dapat membantu membangun hubungan yang berkualitas dalam keluarga. Menurut Psikolog dari Children’s Hospital of Richmond, Virginia Commonwealth University, memberikan tugas membersihkan perabotan rumah yang kotor, misalnya, dapat meningkatkan rasa tanggung jawab anak.Selain itu juga dapat meningkatkan keterampilan adaptif dan membangun harga diri. Kedua kemampuan ini sangat diperlukan ketika anak beranjak dewasa.Dengan berbagi tugas, waktu membereskan rumah jadi lebih cepat sehingga setelahnya orangtua dan anak punya kesempatan untuk menikmati quality time.Baca juga:<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/8-aktivitas-beres-beres-rumah-yang-bisa-membakar-kalori-1652178545099" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);"> 8 Aktivitas Beres-Beres Rumah Yang Bisa Membakar Kalori </a> 
<h4>2. Ada Waktu Khusus Keluarga</h4>Kebersamaan dengan keluarga, menurut studi yang dikutip dari jurnal PLoS One, dapat berdampak positif bagi kesehatan fisik dan mental anak maupun orangtua.Karenanya, mau setiap hari atau setiap akhir minggu, tetapkan waktu khusus ketika seluruh keluarga berkumpul dan beraktivitas bersama. Misalnya, makan malam bersama setiap hari atau jalan ke taman komplek setiap pagi. Atau, bila anak Anda sudah remaja, ajak setiap Sabtu nonton di bioskop. Apa pun kegiatan yang dipilih, lakukan bersama seluruh anggota keluarga. Itulah yang disebut quality time, yaitu ketika seluruh keluarga menghabiskan waktu bersama dan melakukan satu hal bersama-sama. <h4>3. Biarkan Anak yang Tentukan</h4>Sehari-hari, orangtua cenderung lebih dominan dalam menentukan jadwal kegiatan anak. Mulai dari sekolah, les mata pelajaran, hingga pilihan pakaian.Nah, ada saatnya kita perbolehkan anak untuk memilih kegiatan dan mengeksplorasi minatnya. Misalnya, ingin belajar menari tradisional atau ice skating. Atau, bikin kue maupun belajar coding. Mengutip opini Malcolm Gladwell, penulis Tipping Point dan Outliers, bila anak sedari kecil sudah melakukan aktivitas yang diminati selama 10.000 jam, ia akan memiliki keahlian yang hebat. <h4>4. Beri Dukungan Untuk Anak</h4>Agar quality time bersama keluarga bisa terwujud, orangtua tak hanya bisa beri dukungan dalam hal material, melainkan juga secara moral.Misalnya, ketika anak sedang ikut kejuaraan di sekolahnya atau sedang belajar musik, orangtua mendukung dengan memberinya semangat dan hadir saat anak bertanding atau konser.Dukungan orangtua dapat menjadi pondasi dalam hubungan keluarga yang solid.Menurut studi, mendapatkan dukungan keluarga dapat mencegah seseorang mengalami stres atau gangguan mental lainnya.<h4>5. Membantu Tugas Sekolah</h4>Terlibat dalam proses belajar anak juga bisa jadi momen yang tepat untuk menciptakan kebersamaan keluarga. Apalagi, pelajaran matematika, fisika, dan kimia bisa bagai kiamat buat anak, sehingga mereka perlu bantuan Anda. Dampingi dia saat mengerjakan tugas sekolahnya dan jelaskan cara menjawab soal yang benar tanpa memberikan kunci jawabannya.Anda juga dapat terlibat dalam proyek yang sedang ia kerjakan dengan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan. Temani saat pengerjaan sehingga anak merasakan besarnya perhatian dan dukungan orangtua dalam pendidikannya. <h4>6. Liburan Bersama</h4>Saat pikiran sudah penat dengan kerjaan, jangan lupa liburan, ya. Jangan healing keluar kota sendiri saja, tapi ajak juga keluarga. Sebab, ini bisa jadi salah satu cara membangun quality time.Mengutip penelitian dari Annals of Tourism Research, berlibur bersama keluarga bisa memperkuat ikatan dan komunikasi dalam keluarga.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/mendadak-sakit-saat-liburan-ini-dia-pertolongan-pertamanya-1645531181422" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Mendadak Sakit Saat Liburan? Ini Dia Pertolongan Pertamanya</a> 
<h4>7. Cari Hobi yang Bisa Dilakukan Bersama</h4>Temukan kesamaan minat dengan pasangan atau anak. Lalu, lakukan kegiatan bersama-sama. Misalnya, bila si Remaja dan Anda suka musik, ajak dia ke konser musik bersama. Atau, luangkan waktu untuk berenang bersama si Kecil yang baru mulai belajar.Melakukan aktivitas bersama bisa sangat menyenangkan. Plus, menurut Psychology Today keluarga yang memiliki minat yang sama umumnya juga punya relasi yang sehat dan quality time yang baik.Itulah beberapa cara membangun quality time dengan keluarga.Bila Sobat Altea butuh saran profesional terkait pola asuh anak maupun cara membangun keluarga ideal, lakukan telekonsultasi saja dengan Psikolog di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>di sini dan buat janji telekonsultasi segera! Sumber:<ul><li>Manczak, E. M., Ordaz, S. J., Singh, M. K., Goyer, M. S., &amp; Gotlib, I. H. (2019). Time Spent with Parents Predicts Change in Depressive Symptoms in Adolescents with Major Depressive Disorder. Journal of abnormal child psychology, 47(8), 1401–1408.</li><li>
BBC News. Diakses pada Juni 2022. Can 10,000 hours of practice make you an expert?</li><li>
Health Hub. Diakses pada Juni 2022. Building a Supportive Network of Family and Friends</li><li>
Highland Spring. Diakses pada Juni 2022. The Top Ten Benefits Of Spending Time With Family</li><li>
Psych Central. Diakses pada Juni 2022. How Do You Motivate Kids to Keep Their Room Clean?</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Juni 2022. The Importance of Shared Interests in Relationships</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juni 2022. How to Create Quality Time With Your Family</li><li>
Lehto, X. Y., Choi, S., Lin, Y. C., &amp; MacDermid, S. M. (2009). Vacation and family functioning. Annals of Tourism Research, 36(3), 459-479.</li></ul>

7 Cara Membangun Quality Time Bersama Keluarga

Masak bareng anak bisa jadi salah satu kegiatan bonding yang bisa dilakukan di rumah - AlteaCare | Foto: Envato

Sobat Altea mungkin sering dengan saran: kalau mau dekat dengan anak sebaiknya luangkan banyak waktu buatnya. Menurut pakar, tumbuh kembang anak bisa optimal jika mereka punya relasi yang kuat, positif, dan penuh kasih sayang dengan orangtuanya. Mengutip dari Raising Children Australia, hubungan yang positif dengan orangtua memungkinkan si Kecil belajar banyak tentang lingkungan sekitarnya dengan perasaan nyaman dan aman. Mereka bebas bereksplorasi karena tahu ada orangtua yang selalu menjaga, mencintai, dan melindungi.Tentunya kondisi ini susah dicapai kalau Sobat Altea selalu sibuk dan tidak pernah bersama si Kecil. Atau, saat mendampinginya Anda sambil melakukan hal lain, mulai dari chat urusan kantor, belanja online, atau nonton drakor.Nah, untuk itu sebaiknya kita mulai cari cara supaya bisa melewatkan waktu bersama anak dengan lebih berkualitas. Tidak perlu sampai khusus buat jadwal vacation ke luar kota, lakukan saja aktivitas bersama di rumah supaya bisa bonding dengan si Kecil!Yuk, simak beberapa aktivitas yang perlu dilakukan bersama anak dan jadikan inspirasi!<h2>5 Aktivitas di Rumah untuk Bonding Dengan Anak </h2>Lakukan kegiatan ini di rumah supaya bisa lebih dekat dengan si Kecil: <h4>1. Olahraga Setiap Weekend</h4>Tinggalkan rasa malas bangun pagi di akhir minggu dan ajak si Kecil untuk berolahraga bersama. Ajak dia tentukan jenis olahraga yang mau dilakukan minggu ini. Entah itu main sepeda keliling komplek, lari pagi di kawasan olahraga, atau sekadar main bulutangkis di depan rumah.Yang penting bukan olahraganya, tapi interaksi yang terjadi saat latihan. Menurut studi di jurnal BMC Public Health, olahraga bersama keluarga bisa membangun kedekatan secara emosional.Selain itu, anak yang pemalu bisa didorong untuk lebih berperan dan berinteraksi dengan sekitarnya. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/8-olahraga-ringan-yang-bisa-dilakukan-di-rumah-gampang-1650626741965" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">8 Olahraga Ringan Yang Bisa Dilakukan di Rumah. Gampang!</a> 
<h4>2. Makan Bersama Setiap Hari</h4>Selalu luangkan waktu untuk makan bersama si Kecil di meja makan, setidaknya sehari sekali, misalnya saat makan malam. Anda bisa ajak anak masak hidangan favoritnya buat dinikmati sama-sama.Data dari Harvard University menyebutkan, hingga kini hanya sekitar 30% keluarga yang secara rutin makan bersama. Padahal, makan malam bersama keluarga punya banyak manfaat untuk si Kecil.Menurut pakar, makan malam bersama keluarga dapat membantu menurunkan risiko kecemasan dan depresi pada anak. Selain itu, juga bisa mencegah terjadinya gangguan makan, perilaku tidak sehat seperti merokok.Momen makan bersama membuat anak bisa bicara dengan orangtua dan bercerita soal masalah yang dihadapi di sekolah. Dukungan orangtua bisa membuat anak jadi lebih percaya diri dan tidak mudah menyerah.<h4>3. Nonton Bareng</h4>Pilih satu film bagus dari Netflix sesuai usianya&nbsp;dan tonton bersama si Kecil di rumah. Ini bisa jadi solusi menyenangkan saat sedang mager di akhir pekan.Sambil menonton, coba pancing-pancing komentar dan pendapat si Kecil tentang adegan yang sedang dilihat. Misalnya, “menurut kamu kenapa Voldemort tidak suka dengan Harry Potter?” atau “kenapa Batman melawan penjahat?”Teknik yang disebut ahli dari University of Pennsylvania sebagai coviewing bisa beri stimulasi pada si Kecil untuk bisa berpikir lebih kritis. Dia pun dapat pelajaran positif dari film yang bisa dipraktikkan sehari-hari. <h4>4. Obrolan Sebelum Tidur</h4>Buat Sobat Altea yang juga orangtua bekerja, momen sebelum anak tidur sering dipakai untuk mengobrol dan menanyakan pengalamannya hari itu. Sesekali, Anda boleh, lo, sedikit mengulik soal topik obrolan yang agak serius. Apalagi kalau anak sudah masuk usia remaja, sekitar 12-16 tahun. Sesi ngobrol yang agak serius ini mungkin terasa agak canggung di awal. Tapi, kadang kita tidak sadar kalau anak mungkin punya satu pertanyaan besar di kepalanya, yang perlu diobrolkan dengan orang dewasa. Misalnya, apa yang terjadi bila salah satu orangtua meninggal.Dengan meluangkan waktu untuk obrolan seperti ini, Anda bisa membangun kedekatan dengan anak, serta perlahan membantunya lebih dewasa.<h4>5. Bersih-bersih </h4>Siapa sangka, aktivitas remeh macam bersih-bersih bisa bikin keluarga makin kompak! Plus, kerja bersama ini juga bisa membuat rumah jadi bebas kotoran serta pemicu alergi.Yang menarik, menurut studi selama 75 tahun yang dilakukan peneliti Harvard University, anak-anak yang bantu-bantu membereskan rumah cenderung lebih sehat. Mereka juga umumnya lebih bahagia dan mandiri saat dewasa.Ini karena sejak dini anak sudah diberikan tanggung jawab dan terbiasa bekerja dalam tim. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/10-cara-membersihkan-rumah-solusi-cepat-buat-yang-sibuk-1654008044834" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">10 Cara Membersihkan Rumah. Solusi Cepat Buat Yang Sibuk!</a> 
Itulah beberapa aktivitas bareng anak yang perlu dilakukan orangtua supaya bisa lebih bonding.Sobat Altea yang sedang galau karena kurang bisa membangun kedekatan dengan keluarga, jangan kecil hati. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan psikolog keluarga berpengalaman di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan atur jadwal telekonsultasi segera! Sumber: <ul><li>Harvard Graduate School of Education. Diakses pada Juni 2022. Harvard EdCast: The Benefit of Family Mealtime</li><li>
Brown, H. E., Schiff, A., &amp; Van Sluijs, E. M. (2015). Engaging families in physical activity research: a family-based focus group study. BMC Public Health, 15(1), 1-8.</li><li>
Kids Health. Diakses pada Juni 2022. Talking to Your Parents or Other Adults</li><li>
University of Pennsylvania. Diakses pada Juni 2022. A family that watches movies together, can learn together</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juni 2022. The Importance of Chores for Kids</li></ul>

5 Aktivitas Ini Perlu Dilakukan Bareng Anak. Biar Lebih Bonding!

Anak butuh kedekatan dengan orangtua agar bisa menjalin ikatan emosional - AlteaCare | Foto: Envato

Mendidik anak adalah suatu hal yang sangat sulit. Sebagai orangtua kita selalu belajar, sebab tidak ada buku panduan untuk menjadi orangtua yang baik. Jangan sampai kita terjebak pada pola asuh yang salah.Sehari-hari, sering tanpa sadar kita sebagai orangtua salah dalam menerapkan pola asuh. Bila hanya terjadi sesekali, mungkin tidak masalah. Namun, bila pola asuh yang kurang baik ini diterapkan dalam kurun waktu cukup panjang, anak pun bisa mengalami masalah psikologis.Nah, berikut ini adalah beberapa kesalahan dalam pola asuh, yang sebaiknya dihindari oleh orangtua.Yuk, simak uraiannya di sini! Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/pola-makan-anak-berantakan-ortu-ternyata-punya-pengaruh-1647962316366" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Pola Makan Anak Berantakan? Ortu Ternyata Punya Pengaruh	</a> 
<h2>Kesalahan yang Perlu Dihindari Dalam Mengasuh Anak</h2>Salah asuhan bisa berdampak buruk bagi perkembangan perilaku maupun psikologis anak. Berikut ini adalah beberapa tindakan yang perlu orangtua hindari:<h4>1. Banyak mengatur</h4>Cobalah bertanya pada diri kita sendiri. Dari sekian banyak pilihan yang diambil oleh anak, seberapa besar pengaruh kita sebagai orangtua? Memang, pada beberapa keputusan tertentu orangtua sebaiknya perlu terlibat. Namun, tidak perlu sampai semua aspek kehidupan anak, apalagi sampai ke hal-hal remeh. Terutama bila anak juga sudah besar dan sudah bisa ambil keputusan sendiri.Melansir dari Psychology Today, terlalu banyak intervensi orangtua dalam pilihan anak bisa membuat mereka terlalu dependen. Mereka tidak dilatih untuk punya prinsip dan pendapat sendiri, serta tidak bisa mengatur hidupnya sendiri.Di samping itu, anak juga bisa kurang motivasi dan semangat dalam menjalani kesehariannya. Meskipun mungkin cerdas, secara emosional mereka tidak dewasa.Membiarkan anak melakukan dan memutuskan sendiri dapat membantu mereka jadi lebih mandiri. Mereka pun bisa mengandalkan kemampuannya sendiri dalam mencapai hal-hal yang diinginkan, mulai dari nilai di sekolah hingga cita-cita impian.<h4>2. Menyepelekan Masalah</h4>Apa yang Anda lakukan bila si Kecil berbohong? Apa Anda termasuk yang kemudian meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini dengan anak? Atau, hanya berkomentar, “Ah, sudahlah. Namanya juga anak kecil.”Sikap menganggap remeh perilaku anak yang tidak benar hanya karena mereka masih anak-anak ini tidak dianjurkan, Sobat Altea. Sebab, apa yang dilakukan anak hari ini akan membentuk pribadinya di masa depan. Jadi, segera ajak mereka bicara saat kedapatan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Buat mereka mengerti kenapa tindakan itu tidak boleh dilakukan.Begitu juga dengan berbohong. Mengutip dari John Hopkins Medicine, anak yang suka berbohong dan tidak punya banyak teman mungkin saja punya rasa percaya diri yang rendah atau sedang tertekan.Sementara itu, anak yang suka berbohong dan punya masalah perilaku lainnya, seperti suka berkelahi, bisa jadi juga memiliki gangguan psikologis yang perlu jadi perhatian orangtua. <h4>3. Memiliki Harapan yang Tidak Realistis</h4>Sebagai orangtua, kita ingin anak-anak bisa lebih baik dari kita, terutama terkait taraf hidup. Kita berharap, hidup anak kelak bisa jauh lebih baik daripada yang dirasakan bersama orangtuanya sekarang ini.Sadar atau tidak, keinginan kita itu terkadang kita tanamkan pada anak dalam bentuk target-target hidup yang terlalu tinggi dan sulit dijangkau. Misalnya, harus masuk sekolah favorit, ranking 1 di kelas, hingga juara olimpiade tingkat nasional.Hal ini justru akan membuat jarak antara orangtua dan anak. Sebab, mustahilnya keinginan Anda membuat anak menarik diri. Atau, kalaupun ia berusaha untuk mencapainya, hal ini bisa membuatnya mengalami kecemasan yang berlebihan.<h4>4. Sering Memberi Kritik dan Membandingkan</h4>Pada kondisi tertentu, Anda boleh memberi kritik pada anak agar ia mengerti kesalahannya dan segera memperbaikinya. Namun, bila&nbsp;hari demi hari yang diterimanya hanya kritikan, tentu ini tidak baik bagi anak. Apalagi bila dikritik di depan teman-temannya, pasti rasanya sungguh tidak nyaman.Satu lagi: kebiasaan membanding-bandingkan anak dengan anak lain juga tidak berdampak positif bagi perkembangannya. Misalnya, membandingkan si Kecil dengan sepupunya saat sedang ada acara kumpul keluarga di hari raya. Anak bukannya merasa happy di hari itu, malah jadi hilang percaya diri. Karenanya, sebagai orangtua kita perlu sadar bahwa anak punya batasan dan punya keunggulan di dalam dirinya, entah itu dari sisi akademik atau non-akademik. Lebih baik Anda berfokus pada hal-hal baik serta prestasi yang pernah dia capai selama ini. Beri pujian di depan keluarga besar dan ini akan mendongkrak keyakinan dirinya.<h4>5. Kurang Peduli Pada Anak</h4>Menjadi orangtua bekerja adalah persoalan dilematis. Saking sibuknya bekerja, bahkan di Sabtu dan Minggu, waktu Anda untuk bersama anak jadi sangat sedikit. Padahal, anak butuh kedekatan agar terjadinya ikatan emosional.Tidak sedikit orangtua, terutama yang tinggal di kota besar, memilih untuk menitipkan anaknya ke orangtua asuh atau kakek dan nenek. Tentu ini adalah bukan keputusan yang tepat dan bijak.Sebab, ini akan membuat anak mengalami masalah emosional dan bahkan bisa berperilaku destruktif. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-tips-agar-orangtua-bisa-bonding-dengan-anak-1657022593835" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Tips Agar Orangtua Bisa Bonding Dengan Anak </a><h4>6. Mengabulkan Setiap Keinginan</h4>Ketika anak mulai rewel dan menangis akibat keinginannya tidak terwujud, orangtua pun sering ambil jalan pintas. Kasih gadget saja, nanti juga tenang.Ternyata, ahli dari Boston University School of Medicine tidak menyarankan hal ini. Sebab, ketika anak terlalu asyik dengan gawainya, lama-lama mereka bisa ketergantungan.Begitu juga dengan kebiasaan memenuhi setiap keinginan anak, meskipun kita tahu itu kurang baik. Kelak anak akan sulit saat harus hidup mandiri dan selalu bergantung oleh orang lain. Itulah beberapa kesalahan dalam pola asuh anak yang sering orangtua lakukan.Sobat Altea yang memiliki anak jangan ragu untuk minta saran seputar pola asuh dan parenting dari Psikolog di AlteaCare. Yuk, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat janji telekonsultasi dengan Psikolog andalan! Sumber:<ul><li>John Hopkins Medicine. Diakses pada Mei 2022. Lying and Stealing</li><li>
NIH News in Health. Diakses pada Mei 2022. Dr. Jenny Radesky on Kids and Smart Devices</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Mei 2022. Top Ten Parenting Mistakes</li><li>
Very Well Family. Diakses pada Mei 2022. 7 Most Common Parenting Mistakes</li></ul>

6 Kesalahan Orangtua Dalam Pola Asuh Anak

Autisme dapat dialami siapa saja, namun pada umumnya gangguan ini muncul di masa balita - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Autisme</h2>Autisme, atau lengkapnya gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder/ASD), adalah gangguan perkembangan memengaruhi aspek perilaku dan komunikasi. Autisme bisa didiagnosis pada kelompok usia mana pun, meski biasanya gejala autisme muncul pada 2 tahun pertama kehidupan. Autisme disebut sebagai suatu gangguan spektrum karena gejala yang muncul bisa beragam. Orang dengan autisme sering kali terlihat seperti orang kebanyakan. Namun, perbedaannya terletak pada cara berkomunikasi, berperilaku, dan belajar. Sebagian orang dengan autisme membutuhkan banyak bantuan untuk dapat menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara sebagiannya lagi membutuhkan lebih sedikit bantuan. <h2>Penyebab Autisme</h2>Hingga kini, para ahli masih belum menemukan penyebab pasti dari autisme. Namun, berdasarkan data penelitian, terdapat beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan seorang anak lebih mungkin mengalami autisme, termasuk di dalamnya faktor lingkungan dan genetik.Perlu digarisbawahi bahwa berdasarkan penelitian tidak ditemukan bukti adanya hubungan antara vaksin MMR dan autisme. Demikian juga, para ahli tidak mendapati adanya bukti yang memperlihatkan hubungan antara vaksin lainnya yang diberikan pada anak-anak dengan kemungkinan mengalami autisme. <h2>Faktor Risiko Autisme</h2>Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya autisme:<ul><li>	memiliki saudara dengan autisme</li><li>
	lahir pada saat orangtua sudah berusia cukup tua</li><li>
	memiliki kondisi genetik tertentu, seperti down syndrome</li><li>
	lahir dengan berat badan lahir sangat rendah</li></ul>Namun, hal ini tidak lantas membuat semua orang dengan faktor di atas pasti mengalami autisme. <h2>Gejala Autisme</h2>Gejala autisme biasanya mulai muncul sebelum usia 3 tahun. Gejala ini bisa bertahan seumur hidupnya, walaupun terkadang dapat juga membaik seiring berjalannya waktu. Gejala yang dialami oleh orang dengan autisme adalah:<h4>1. Gangguan Komunikasi</h4>Gangguan ini mencakup kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.Anak dengan gangguan autisme dapat melakukan hal berikut:<ul><li>	menghindari kontak mata</li><li>
	tidak merespon saat dipanggil dengan namanya saat sudah usia 9 bulan</li><li>
	tidak menyadari ketika seseorang merasa sedih atau tersakiti saat usia 24 bulan</li><li>
	hanya menunjukkan sedikit ketertarikan pada teman mainnya</li><li>
	kesulitan dalam memahami perasaan orang lain atau perasaan dirinya sendiri saat berusia 36 bulan ke atas </li></ul><h4>2. Gangguan Perilaku</h4>Gangguan perilaku ini umumnya dikenali ketika anak tertarik pada atau memiliki perilaku yang sifatnya berulang atau terbatas, misalnya:<ul><li>	mengulang kata atau kalimat berkali-kali </li><li>
	selalu bermain dengan mainan yang sama dan dengan cara yang sama</li><li>
	merasa kesal ketika terjadi perubahan sekecil apa pun </li></ul><h4>3. Karakteristik Lainnya</h4>Anak dengan autisme juga dapat memiliki karakteristik di bawah ini:<ul><li>	kemampuan berbahasa terlambat</li><li>
	kemampuan bergerak terlambat</li><li>
	kemampuan kognitif/belajar terlambat</li><li>
	hiperaktif, dan/atau sulit dalam mengarahkan fokus</li><li>
	memiliki penyakit epilepsi/kejang</li><li>
	memperlihatkan reaksi emosional yang tidak biasa</li><li>
	tidak mengenal rasa takut atau sebaliknya malah takut berlebihan</li><li>
	pola makan dan pola tidur yang tidak biasa</li></ul>Perlu diperhatikan bahwa tidak semua anak dengan autisme menunjukkan gejala yang seperti di atas. <h2>Diagnosis Autisme</h2>Skrining adalah tahap pertama yang penting untuk mendiagnosis autisme. Skrining untuk spektrum autisme paling sering digunakan untuk melihat gejala autisme pada anak usia di bawah dua tahun atau yang lebih besar, serta orang dewasa yang tidak terdiagnosis saat kecil. Dengan adanya skrining sejak dini, terapi pun bisa dilakukan lebih cepat sehingga dapat membantu mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Skrining biasanya mencakup:<ul><li>	kuesioner untuk orangtua, yang berkaitan dengan perkembangan dan perilaku anak</li><li>
	observasi oleh tim ahli untuk melihat bagaimana anak bermain dan berinteraksi dengan orang lain</li><li>
	tes untuk melihat kemampuan anak dalam berpikir dan mengambil keputusan </li></ul>Selain itu, terkadang gangguan fisik yang dialami anak dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan autisme. Oleh karenanya, skrining bisa juga meliputi:<ul><li>	cek darah</li><li>
	tes pendengaran</li><li>
	tes genetik </li></ul><h2>Pengobatan Autisme</h2>Gangguan autisme pada anak hingga kini masih belum dapat disembuhkan. Namun, terdapat sejumlah terapi atau intervensi yang bisa dilakukan. Terapi ini dapat dilakukan sejak awal masa kanak-kanak serta sepanjang rentang kehidupan. Adanya intervensi atau terapi ini dapat meningkatkan perkembangan, kesehatan, dan juga kualitas hidup. Beberapa hal ini juga perlu diperhatikan agar anak dengan autisme bisa hidup dengan baik:<ul><li>	Monitor perkembangan anak dengan melakukan pemeriksaan secara rutin. </li><li>
	Saat autisme sudah terdiagnosis, baik orangtua maupun anak perlu mendapatkan akses informasi, layanan kesehatan, pemeriksaan penunjang, serta terapi yang dibutuhkan. Untuk itu, orangtua perlu bekerja sama dengan tim dokter ahli yang menangani anak. </li></ul><h2>Pencegahan Autisme </h2>Autisme tidak dapat dicegah, namun para orangtua menerapkan kebiasaan hidup sehat sejak sebelum menjalani program kehamilan. Pola hidup yang sehat meliputi <ul><li>	pola makan yang baik, berolahraga, dan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin </li><li>
	saat memasuki masa kehamilan, ibu hamil perlu mendapatkan asupan nutrisi, suplemen, serta perawatan prenatal yang baik.</li><li>
	menghindari konsumsi obat selama kehamilan, lebih baik konsultasikan dengan dokter sebelum memutuskan minum obat tertentu</li><li>
	jauhi alkohol dan rokok</li><li>
	bila memiliki kondisi kesehatan tertentu, sebaiknya lakukan pemeriksaan dan pengobatan di bawah penanganan dokter ahli</li></ul><h2>Kapan Harus ke Dokter?</h2>Apabila anak Anda mengalami beberapa gejala yang dapat berkaitan dengan autisme, segera komunikasikan dengan dokter. Banyak orang dengan autisme juga dapat memiliki kondisi kesehatan lainnya yang mungkin tidak terdiagnosis saat dilakukan pemeriksaan untuk autisme. Hal ini juga membutuhkan pemantauan secara teratur bersama dokter yang menanganinya. Jangan ragu untuk menyampaikan keluhan yang berhubungan dengan autisme dan berdiskusi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare. Ayo, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter kesayangan Anda! Referensi:<ul><li>Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada September 2021. Autism Spectrum Disorder (ASD).</li><li>
National Institute of Mental Health. Diakses pada September 2021. Autism Spectrum Disorder.</li><li>
Medline. Diakses pada September 2021. Autism Spectrum Disorder.</li><li>
WHO. Diakses pada September 2021. Autism spectrum disorders.</li><li>
National Health Service. Diakses pada September 2021. Autism.</li><li>
WebMD. Diakses pada Juli 2022. Can You Prevent Autism?</li></ul>

Autisme

Ajak anak untuk berolahraga bersama agar berat badannya turun dan tidak lagi obesitas - AlteaCare | Foto: Envato

Melihat anak kecil berpipi chubby dan berbadan gemoy bisa bikin kita gemas. Tapi, sebenarnya ini pertanda anak itu mengalami obesitas. Orangtuanya perlu tahu cara mengatasi obesitas pada anak mereka sebelum terlambat.Dalam live streaming AlteaTalk Episode 28 di akun <a href="https://www.instagram.com/alteacare.id/" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Instagram AlteaCare</a><a href="https://www.instagram.com/alteacare.id/" target="_blank">,</a> dr. Christin Santun Sriati Lumbantobing, M.Gizi, Sp.GK, FINEM, dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, memaparkan beberapa ciri khas obesitas pada anak yang perlu dicermati orangtua.Beberapa di antaranya adalah:<ul><li>Penampilan tubuh yang tampak tidak proporsional</li><li>
Terdapat guratan di kulit perut</li><li>
Anak mudah lelah dan mengantuk</li></ul>Dalam pemeriksaan rutin di dokter spesialis anak, bisa jadi kurva pertumbuhan anak tersebut sudah masuk kategori yang tidak ideal. Kurva pertumbuhan ini membandingkan tinggi dan berat badan anak dengan rata-rata anak pada usianya.Bila si Kecil sudah termasuk kelompok obesitas, sebaiknya Anda segera berupaya untuk membantu mengatasinya. Sebab, bila masalah berat badan ini dianggap sepele, dampaknya dapat dialami anak saat dewasa nanti. Tapi, tidak perlu panik, Sobat Altea. Simak lebih lanjut untuk mengetahui solusinya berikut ini.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/ciri-ciri-anak-sehat-yang-perlu-diketahui-harus-jiwa-dan-raga-1657021796678" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Ciri-Ciri Anak Sehat yang Perlu Diketahui. Harus Jiwa dan Raga!	</a> 
<h2>8 Cara Mengatasi Obesitas pada Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk membantu anak menurunkan berat badan serta membentuk pola makan yang lebih sehat:<h4>1. Kurangi Porsi Makannya</h4>Cara ini mungkin dapat efektif untuk mengatasi obesitas pada anak. Namun, dr. Christin menganjurkan agar kita tidak langsung membatasi makan anak secara ekstrem seperti diet pada orang dewasa. Pertimbangannya, anak kecil masih dalam masa pertumbuhan. Jadi, sebaiknya kita kurangi porsi makannya secara bertahap."Misalnya, si Kecil biasa makan dua centong nasi. Kita turunkan perlahan jadi satu setengah centong nasi. Nanti kalau sudah terbiasa, kita turunkan lagi jadi satu centong," kata dr. Christin memberi contoh.<h4>2. Menu Makanan Harus Seimbang</h4>Tidak hanya urusan porsi makanan, tapi komposisi makanan dalam piringnya juga harus proporsional. Dokter Christin mengajak orangtua untuk mengikuti panduan "Isi Piringku" dalam mengatur menu makan si Kecil."Jadi, dalam satu piring, setengahnya itu sayur dan buah, lalu seperempatnya karbohidrat, dan sisa seperempatnya untuk lauk," kata dr. Christin.<h4>3. Jauhkan Jeroan</h4>Selain itu, dr. Christin juga menyarankan kita tidak memberikan anak jeroan dalam menu makanannya. Nah, jeroan yang dimaksud bukan hanya ati, ampela, dan usus, Sobat Altea. Kulit ayam yang gurih itu juga termasuk, ya! Sebab, kulit ayam goreng sangat tinggi kalori. Jadi, si Kecil boleh saja makan ayam goreng. Tapi, singkirkan kulitnya. Dengan begitu asupan kalori si Kecil akan banyak berkurang.<h4>4. Makanan Bersantan? Jangan Sering-sering!</h4>Ada banyak menu yang diolah dengan bahan santan. Misalnya saja makanan khas Padang. Atau, opor ayam ala Jawa. Demi kesehatan, sebaiknya si Kecil tidak sering-sering mengonsumsi lauk berbahan santan. Pasalnya, makanan bersantan mengandung lemak yang cukup tinggi. Sementara lemak adalah salah satu faktor yang membuat anak gemuk."Jadi, misalnya selama ini dalam satu minggu anak hampir setiap hari ketemunya santan melulu. Sekarang dikurangi, hanya boleh satu kali," kata dr. Christin kembali memberi contoh.<h4>5. Ubah Cara Memasak di Rumah</h4>Salah satu kekhawatiran anak saat diet adalah tidak dapat merasakan lagi gorengan. Namun, menurut dr. Christin, makan gorengan boleh saja asal cara menggorengnya diubah.Kebiasaan menggoreng yang sering dilakukan orang adalah dengan mencemplungkan bahan ke wajah berisi banyak minyak. Nah, ini ternyata bisa bikin kolesterol jadi naik, Sobat Altea!Supaya lebih sehat, kurangi jumlah minyak saat menggoreng. Cukup tuang sedikit saja untuk melapisi wajan. Tidak perlu banyak-banyak sampai mau buat kolam.Setelah minyak panas, masukkan bahan yang mau dimasak, lalu bolak-balik hingga matang. Menurut dr. Christin, cara menggoreng seperti ini membuat tekstur makanan tetap garing. Tapi, kadar minyaknya tidak sebanyak saat kita menggorengnya dengan banyak minyak.<h4>6. Hindari Jajanan yang Banyak Gula</h4>Cara mengatasi obesitas pada anak selanjutnya adalah menghindarkan anak dari jajanan yang tinggi gula. Sebut saja seperti minuman boba, es krim dengan banyak toping, donat, dan lain-lain.Jajanan kekinian seperti boba, kata dr. Christin, mengandung banyak gula. Sebab, minuman berisi boba, susu kental manis, dan gula tambahan lain. Tentu ini bisa bikin kadar gula darah anak meningkat."Daripada jajan boba, coba bikin smoothies sendiri dari buah-buahan. Sama-sama enak, sama-sama segar. Mau tambah es krim boleh saja," kata dr. Christin.<h4>7. Ajak Berolahraga</h4>Berolahraga teratur bisa membantu mengatasi masalah kelebihan berat badan anak. Namun, Anda perlu perhatikan beberapa hal.Pertama, biarkan anak memilih jenis olahraga yang ia suka, agar lebih semangat dalam latihan. Lalu, sesuaikan porsi olahraga dengan kemampuannya. Ingat, anak yang gemuk umumnya cenderung gampang lelah. Jadi, jangan paksa dia melakukan olahraga yang berintensitas tinggi."Kalau anak gemar berenang atau bersepeda atau jalan tetapi 10 menit saja, ya enggak masalah. Jangan dipaksa," kata dr. Christin.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/manfaat-olahraga-buat-tumbuh-kembang-anak-1645430762008" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Manfaat Olahraga Buat Tumbuh Kembang Anak	</a> 
<h4>8. Beri Dukungan Total </h4>Dukungan yang dimaksud di sini tidak sekadar memberikan motivasi. Anda pun perlu ikut menjalani pola diet tersebut bersama anak. "Keluarga harus ikut, karena anak mencontoh. Kalau keluarganya tidak suka sayur, dia enggak akan mau disuruh makan sayur,” ujar dr. Christin.Begitu juga dengan urusan pilihan makanan, jajanan, dan berolahraga. Orangtua perlu menjadi teladan dan terus mendampinginya.Itulah sejumlah cara mengatasi obesitas pada anak yang bisa Anda lakukan.Anda bisa melakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare untuk berdiskusi seputar pola makan maupun masalah berat badan yang dialami si Kecil. Yuk, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>sebagai solusi kesehatan keluarga dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Live Streaming Altea Talk Episode 28, "Cegah Obesitas pada Anak Sedari Dini"</li><li>
Ng, T. K. W., &amp; Tee, E. S. (1998). Replacing coconut santan with palm oil santan: impact on dietary C12-16 saturated fatty acids, serum total cholesterol, and cardiovascular risk. Malaysian journal of nutrition, 4(1 &amp; 2), 65-72.</li></ul>

8 Cara Mengatasi Obesitas pada Anak. Diet Saja Tidak Cukup!

Bermain lego dapat mengasah kemampuan motorik halus sekaligus kecerdasan anak - AlteaCare | Foto: Envato

Selain melatih kemampuan motorik kasarnya, orangtua juga perlu meluangkan waktu untuk mengasah keterampilan motorik halus anak. Sebab, keterampilan ini banyak digunakan dalam aktivitas harian si Kecil.Mulai dari memasang kancing saat berpakaian, mengikat tali sepatu, membuka kotak bekal di sekolah, hingga menggambar dengan pensil. Semua ini adalah contoh keterampilan motorik halus yang perlu dikuasai anak. Untuk menguasainya, anak perlu mengoordinasikan gerakan antara jari, tangan, maupun matanya. Tentunya ini tidak mudah. Pasalnya, bila keterampilan motorik halus ini tidak dilatih, si Kecil dapat mengalami masalah saat usianya semakin bertambah. Ambil contoh saja, ia tidak bisa mengikat kembali tali sepatunya yang terlepas saat di sekolah. Atau, guru mengeluh karena tulisan tangannya sulit dibaca.<h2>Apa Itu Keterampilan Motorik Halus?</h2>Melansir dari Verywell Family, keterampilan motorik halus adalah aktivitas yang melibatkan otot-otot kecil anak. Misalnya, otot di tangan, pergelangan tangan, dan jari, yang dikoordinasikan dengan matanya.Kegiatan yang melibatkan gerakan koordinasi pada jari-jari tangan dengan mata ini dapat dimulai sejak masih bayi. Misalnya, saat memegang mainan yang mengeluarkan suara gemerincing maupun menggenggam boneka kecil atau tangan ibunya.Saat anak sudah lebih besar, kemampuan motorik halus ini bisa lebih kompleks lagi. Misalnya saat ia menggunting kertas, membalik halaman buku, menggunakan mouse komputer, atau memainkan alat musik. 


Keterampilan motorik halus anak akan berkembang sejalan dengan pertambahan usianya. Namun, orangtua juga perlu memberikan stimulasi yang tepat, misalnya melalui aktivitas sehari-hari maupun lewat permainan.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/5-permainan-untuk-mengasah-kemampuan-motorik-kasar-anak-1657110061272" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">5 Permainan Untuk Mengasah Kemampuan Motorik Kasar Anak</a><h2>Cara Mengasah Keterampilan Motorik Halus Lewat Bermain</h2>Berikut ini adalah beberapa jenis permainan yang bisa dilakukan bersama anak untuk melatih sensor motorik halusnya:<h4>1. Menggambar</h4>Bila si Kecil sudah bisa memegang pensil, mulai ajari dia untuk corat-coret di kertas. Boleh pakai pensil warna maupun krayon, mana saja yang ia sukai.Anda bisa membuat titik-titik yang membentuk objek tertentu. Lalu, si Kecil akan menggambar garis untuk menyambung titik tersebut.Tips: Anda juga bisa mengajak dia menggambar dengan jarinya. Sediakan cat warna anti toxic yang aman untuk kulitnya dan kertas karton yang besar.Bebaskan si Kecil untuk membentuk apa saja. Bila masih belum bisa menggambar, ajak dia untuk mengecap tangannya ke kertas. Wah, seru!<h4>2. Permainan Dengan Spons</h4>Spons yang biasa digunakan saat mencuci piring juga bisa digunakan untuk melatih motorik halus anak. Begini caranya: <ul><li>Siapkan dua wadah atau mangkuk kosong dan air secukupnya</li><li>
Isi salah satu wadah dengan air, sementara yang lainnya kosong</li><li>
Ajak anak untuk mencelupkan spons ke wadah berisi air</li><li>
Minta anak untuk berpindah ke wadah lainnya, lalu ajari dia untuk memeras air dari spons ke wadah yang kosong</li></ul>Permainan ini bisa menguatkan otot jari dan tangan anak.<h4>3. Menyusun Balok Lego</h4>Mainan yang satu ini menarik bagi anak-anak karena berwarna-warni. Ternyata, mainan ini juga sangat bermanfaat untuk mengasah otak, kreativitas, sekaligus keterampilan motorik halusnya. Melansir dari Children's Wellness Center, bermain susun-menyusun balok lego dapat melatih ketangkasan dan kekuatan jari tangan si Kecil. Selain itu, anak juga belajar untuk fokus dalam mengerjakan sesuatu.Tips: pilih lego sesuai dengan usia anak. Biasanya, untuk anak di bawah lima tahun baloknya lebih besar sehingga lebih mudah disusun.<h4>4. Merangkai Puzzle</h4>Puzzle juga dapat jadi alat permainan yang melatih kemampuan motorik halus anak. Sekarang ini sudah ada berbagai jenis puzzle yang bisa dipilih berdasarkan usia. Bahkan, ada juga puzzle yang tiga dimensi sehingga bisa memberi tantangan lebih bagi anak yang sudah agak besar. Mengambil potongan puzzle, lalu mencari dan menempatkannya di tempat yang benar bisa melatih keterampilan serta kekuatan otot kecil yang ada di tangan si Kecil.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/selain-jarang-bergerak-ini-dampak-pakai-gadget-pada-anak-1641361770167" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Selain Jarang Bergerak, Ini Dampak Pakai Gadget Pada Anak</a> 
<h4>5. Membentuk Dengan Clay</h4>Mainan yang satu ini juga bisa merangsang kekuatan jari sekaligus imajinasi anak. Anda bisa menyediakan clay khusus untuk permainan dengan bahan parafin yang berwarna-warni, serta dilengkapi dengan alat pencetak dan penggilas.Tips: Dampingi si Kecil saat menggilas, mencetak, dan menyatukan berbagai potongan clay menjadi satu bentuk. Biarkan ia berkreasi sesuai imajinasinya. Jangan lupa setelahnya beri pujian buat hasil karyanya, ya!Itulah beberapa aktivitas permainan yang bisa dilakukan orangtua bersama anak untuk melatih keterampilan motorik halusnya. Buat Sobat Altea yang gelisah karena perkembangan si Kecil mungkin belum mencapai yang diharapkan sesuai usianya, lakukan saja telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare.Yuk, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>untuk mendapatkan solusi kesehatan bagi seluruh keluarga dan buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Children's Wellness Center. Diakses pada Maret 2022. 10 Incredible Benefits of Playing with Lego</li><li>
Understood. Diakses pada Maret 2022. 6 fine motor skills activities for kids</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Maret 2022. Fine and Gross Motor Skills in Children</li><li>
WebMD. Diakses pada Maret 2022. What Are Some Examples of Fine Motor Skills?</li><li>
WebMD. Diakses Juli 2022. How to Help Your Child With Fine Motor Skills</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juli 2022. Fine Motor Skills for Toddlers and Preschoolers</li></ul>

5 Cara Mengasah Keterampilan Motorik Halus Lewat Bermain

Bermain di taman bisa membantu mengasah keterampilan motorik kasar anak - AlteaCare | Foto: Envato

Perkembangan motorik anak dimulai sejak ia masih bayi dan semakin pesat sejalan dengan pertambahan usianya. Baik motorik kasar maupun motorik halus, keduanya perlu sering diasah agar si Kecil semakin terampil.Yang dimaksud dengan keterampilan motorik kasar adalah keterampilan yang memerlukan gerakan seluruh tubuh dan melibatkan otot-otot besar. Motorik kasar terlihat saat si Kecil melakukan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, berjalan, berlari, dan duduk tegak.Melansir dari Verywell Family, setiap anak dapat mengalami perkembangan keterampilan motorik kasar pada usia yang berbeda. Umumnya, anak berusia 3-18 bulan akan mulai berkembang dari duduk, merangkak, sampai bisa berjalan sendiri. <h2>Dimulai Sejak Bayi</h2>Perkembangan motorik kasar mulai terlihat saat bayi memasuki usia lima bulan, ketika ia mulai bisa duduk meski masih perlu ditopang. Dalam waktu sebulan, saat tulang punggungnya semakin kuat, ia akan dapat duduk tanpa ditopang.Setelah itu, si Kecil akan belajar menekuk lutut untuk berdiri, merangkak, berjalan sambil dipegangi, hingga akhirnya bisa berjalan sendiri.Nah, Anda sebagai orangtua bisa membantu merangsang perkembangan motorik si Kecil, Sobat Altea. Sebelum usia satu tahun, Anda bisa membantunya duduk dan merangsangnya untuk duduk tanpa ditopang. Saat ia mulai belajar merangkak dan berdiri, Anda bisa menyediakan ruang gerak yang aman dan nyaman, serta memotivasinya untuk bergerak. Begitu juga saat belajar berjalan, tuntun si Kecil. Dan, saat sudah mulai stabil coba lepaskan tangan Anda dan biarkan ia berjalan mandiri.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/ciri-ciri-anak-sehat-yang-perlu-diketahui-harus-jiwa-dan-raga-1657021796678" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Ciri-Ciri Anak Sehat yang Perlu Diketahui. Harus Jiwa dan Raga!</a> 
<h2>Semakin Besar, Semakin Aktif</h2>Lalu, bagaimana setelah si Kecil sudah mulai lancar berjalan? Nah, Anda perlu lebih banyak memberi stimulasi agar perkembangan motorik kasar anak semakin baik.Cara yang paling efektif dan menyenangkan bagi anak (dan orangtua!) adalah dengan melakukan permainan. Selama bermain, anak tidak hanya dipancing untuk menggerakkan seluruh tubuh, namun juga melatih kemampuannya berpikir.Untuk anak yang sudah masuk usia bawah tiga tahun atau batita, orangtua bisa melatih keterampilan motorik kasarnya dengan memberi stimulasi agar tangan dan kakinya bergerak. Misalnya, dengan menepuk dan mengayun-ayun tangan si Kecil sambil bernyanyi.Sementara bila si Kecil sudah melewati usia tiga tahun dan mampu berdiri dan berjalan dengan lancar, ada lebih banyak variasi permainan yang bisa dilakukan bersama orangtua.<h2>Jenis Permainan Untuk Mengasah Kemampuan Motorik Kasar</h2>Berikut ini adalah beberapa jenis permainan yang bisa Anda lakukan bersama anak untuk merangsang sensor motorik kasarnya:<h4>1. Ayunan atau Jungkat-jungkit</h4>Permainan ini bisa dibilang efektif untuk membantu Si Kecil belajar mengkoordinasikan anggota tubuhnya. Saat berayun, dia perlu menggerakan badan dan kakinya untuk mendapatkan posisi yang seimbang.Tips: awasi si Kecil saat bermain karena risiko terjatuh saat bermain sangat besar. Dampingi anak dalam jarak dekat.<h4>2. Menangkap Balon atau Gelembung Sabun</h4>Bangun keterampilannya dengan permainan menggunakan balon atau gelembung sabun. Anda bisa melambungkan balon kemudian anak mencoba menangkapnya. Atau, tiupkan gelembung sabun dan anak mengejar untuk meletuskannya. Saat bermain, anak dirangsang untuk berlari zigzag, melompat, dan gerakan lain yang membutuhkan keseimbangan.Tips: Anda juga bisa mengajak si Kecil bermain lempar tangkap bola untuk merangsang fokus dan refleks geraknya.<h4>3. Bermain Mobil-mobilan</h4>Mengutip dari Child Development, kita menyediakan permainan yang dapat sekaligus merangsang kemampuan kognitif dan perencanaan pada anak. Contohnya, melalui permainan yang punya tujuan.Jika si Kecil sering bermain mengendarai mobil-mobilan atau sepeda roda tiga atau Anda bisa atur rumah bagaikan medan petualangan buatnya dengan menempatkan beberapa benda sebagai halangan. Lalu, ajak anak mengendarai mobil-mobilannya seolah-olah mau menuju suatu tempat. Biarkan ia menentukan sendiri jalannya dan mencari solusi saat harus melewati halangan.Tips: untuk anak perempuan yang punya kereta belanja kecil, Anda bisa ajak dia berpura-pura sedang berbelanja di supermarket. Letakkan beberapa benda yang bisa diambilnya dengan cara berjongkok maupun berjinjit.<h4>4. Menari</h4>Menari mengikuti irama lagu bisa jadi adalah salah satu aktivitas melatih sensor motorik kasar yang menyenangkan. Anak pun tidak mudah bosan, apalagi jika yang diputar adalah lagu kesukaannya.Menari dapat melatih keseimbangan, koordinasi, dan juga membuat anak lebih peka dengan ritme.Tips: tidak punya ide mau pasang musik apa? Anda bisa ajak dia menari diiringi lagu pembuka film kesayangannya, misalnya Tayo the Little Bus. Lakukan ini setiap kali sebelum ia menonton.<h4>5. Permainan peran (role play)</h4>Permainan ini bisa merangsang kemampuan motorik kasar anak sekaligus imajinasinya. Selain itu, ada sejumlah keterampilan lain yang juga ia pelajari dalam permainan tersebut, seperti:<ul><li>keseimbangan dan koordinasi</li><li>
kekuatan dan daya tahan</li><li>
perhatian dan kewaspadaan</li><li>
kesadaran akan tubuh</li><li>
perencanaan gerakan</li></ul>Ajak si Kecil memerankan salah satu tokoh favoritnya di film. Lalu, buat skenario cerita yang seru bersamanya. Misalnya, anak, menjadi robot berkaki dan bertangan kaku atau seekor macan yang kelaparan dan ingin menerkam mangsanya–apa pun yang dapat mereka bayangkan. Biarkan ia mengeksplorasi perannya secara bebas. Tips: Bermainlah bersamanya agar ia semakin semangat. Contohnya, si Kecil menjadi Spiderman yang menyelamatkan ibunya dari penjahat.Ini sekaligus akan jadi momen yang sangat tepat buat memperkuat bonding dengan anak. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Anak/artikel/7-tips-agar-orangtua-bisa-bonding-dengan-anak-1657022593835" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">7 Tips Agar Orangtua Bisa Bonding Dengan Anak</a> 
Itulah beberapa permainan yang bisa mengasah kemampuan motorik kasar anak.Bila Sobat Altea khawatir akan perkembangan motorik anak yang sepertinya berbeda dengan teman-teman sebayanya, jangan ragu untuk lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare. Yuk, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>untuk dapatkan solusi kesehatan keluarga dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>Understood. Diakses pada Maret 2022. 8 gross motor skills activities for kids</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Maret 2022. Gross Motor Skills Development Timeline and Progression</li><li>
Child Development. Diakses pada Maret 2022. Gross Motor Activities</li><li>
Verywell Family. Diakses pada Juli 2022. Gross Motor Skills Activities for Little Kids</li></ul>

5 Permainan Untuk Mengasah Kemampuan Motorik Kasar Anak

Kualitas tidur berpengaruh penting pada tumbuh kembang anak - AlteaCare | Foto: Envato

Tidur yang cukup dan nyenyak sepanjang malam sangat bermanfaat bagi bayi dan anak. Memastikan anak memiliki waktu tidur yang ideal dapat mendukung tumbuh kembangnya secara optimal.Dibandingkan orang dewasa, bayi dan anak memiliki jam tidur yang lebih panjang. Mengutip dari National Sleep Foundation, bayi berusia 0-3 bulan umumnya tidur selama 14-17 jam, sementara usia 4-11 bulan selama 12-15 jam.Seiring dengan pertambahan usia, jam tidur anak akan semakin memendek. Saat masuk usia sekolah, waktu tidur ideal si Kecil hanya tinggal 9-11 jam saja.Masalah jam tidur ini tidak boleh disepelekan. Sebab, kualitas dan kuantitas tidur yang terjaga dapat sangat memengaruhi kesehatan bayi dan anak secara menyeluruh. 
Yuk, simak penjelasan mengenai sejumlah manfaat tidur untuk bayi dan anak berikut ini!Baca juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Penyakit%20Dalam/artikel/tidur-berkualitas-didapat-jantung-pun-sehat-1654223432823" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Tidur Berkualitas Didapat, Jantung pun Sehat!</a> 
<h2>5 Manfaat Tidur untuk Bayi dan Anak</h2>Berikut ini adalah beberapa manfaat yang bisa didapat oleh bayi dan anak melalui jadwal tidur yang teratur setiap malam: <h4>1. Mencegah Obesitas</h4>Memiliki berat badan yang sesuai dengan rata-rata berat badan anak seusianya dapat menunjang proses tumbuh kembang anak secara optimal. Nah, supaya hal ini bisa tercapai, pastikan si Kecil selalu cukup tidur, ya.Menurut penelitian jangka panjang yang disebut Rise and SHINE (Sleep Health in Infancy &amp; Early Childhood), ada hubungan antara kualitas tidur dengan berat tubuh anak.Disiplin orangtua dalam menidurkan bayi yang baru lahir antara Pk. 19.00-Pk. 08.00 esok harinya memperlihatkan hasil positif. Bayi didapati berisiko 26% lebih kecil untuk mengalami masalah kelebihan berat badan.<h4>2. Kinerja Otak Optimal</h4>Manfaat tidur untuk bayi dan anak yang berkaitan dengan peningkatan kinerja otak dibuktikan oleh penelitian yang dimuat di jurnal Nature and Science of Sleep.Menurut studi tersebut, kualitas dan kuantitas tidur berperan penting dalam perkembangan memori, bahasa, dan fungsi eksekutif otak. Fungsi ekskutif berkaitan dengan kemampuan otak untuk mengendalikan proses berpikir dan berperilaku seseorang.<h4>3. Mengendalikan Emosi</h4>Penelitian dari University of Birmingham menemukan kaitan antara durasi tidur yang lebih sedikit dengan kemampuan mengendalikan diri dan emosi.Penelitian tersebut membuktikan, seorang anak dapat mengalami masalah dalam mengendalikan diri dan emosinya saat menginjak usia 24 bulan, bila sering kurang tidur. Salah satu gangguan emosi yang ditunjukkan adalah sering mengalami tantrum.Selain kurangnya waktu tidur, masalah lain yang juga dialami anak adalah sulit untuk tertidur dan sering terbangun di tengah malam. 
<h4>4. Lebih Kreatif</h4>Kuantitas dan kualitas tidur yang cukup juga dapat merangsang kreativitas bayi, anak, dan remaja, lo!Pola tidur yang teratur dapat membantu anak untuk bisa berpikir lebih jernih dan mengingat lebih baik, sehingga kreativitasnya jadi lebih tinggi.Selain itu, aktivitas bermimpi yang terjadi saat anak tidur nyenyak dapat membantu otak dalam memroses pengalaman dan pengetahuan yang didapat anak selama terjaga. Semua ini akan dapat diolah menjadi hal yang kreatif saat ia terbangun.<h4>5. Tubuh Lebih Sehat</h4>Mengutip dari Johns Hopkins Medicine, penelitian membuktikan bahwa anak kecil yang cukup tidur umumnya memiliki tingkat kesehatan yang baik.Sementara itu, anak yang kekurangan tidur akan berisiko mengalami tekanan darah tinggi, obesitas, dan depresi.<h2>4 Tips Agar Anak Tidur Nyenyak Setiap Malam</h2>Beberapa hal ini dapat dilakukan oleh orangtua agar si Kecil bisa tidur lelap sepanjang malam tanpa gangguan: <h4>1. Biarkan Anak Tidur Sendiri </h4>Usahakan agar anak tidur sendiri tanpa berbagi ranjang dengan orang tua atau saudara. Banyak orangtua berpikir, tidur bersama anak bisa membuatnya merasa lebih aman dan nyaman. Namun, menurut studi yang dimuat di Nurse Media Journal of Nursing, berbagi ranjang dapat berdampak pada masalah tidur anak. Pasalnya, sebelum tidur anak dan orangtua cenderung melakukan aktivitas yang pada akhirnya mengganggu tidur. Contohnya seperti mengobrol atau bermain di tempat tidur.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Umum/artikel/anda-bertanya-dokter-spesialis-tidur-menjawab-1635226418613" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Anda Bertanya, Dokter Spesialis Tidur Menjawab</a> 
<h4>2. Jauhkan dari Gawai</h4>Kebiasaan memainkan gawai juga akan mempengaruhi kualitas tidur anak. Para ahli merekomendasikan agar anak sudah berhenti main gadget sekitar dua jam sebelum tidur.Sebagai gantinya, anak bisa membaca buku atau komik sebelum tidur. Jika anak belum bisa membaca, Anda bisa membacakan cerita untuknya.<h4>3. Matikan Lampu</h4>Salah satu cara agar anak tidur nyenyak adalah dengan mematikan lampu saat hendak tidur. Mengutip Stanford Children's Health, lampu yang terang dapat menstimulasi otak agar terus bekerja.Selain itu, kondisi lampu yang terang juga membuat anak merasa tegang dan menghambat produksi hormon yang membuat anak mengantuk, yaitu melatonin dan serotonin. Idealnya, lampu kamar tidur anak sudah dimatikan dalam satu atau dua jam sebelum tidur.<h4>4. Punya Jadwal Tidur</h4>Supaya kualitas tidur bisa didapat, anak harus tidur dan bangun di pada jam yang sama, termasuk pada akhir pekan.Seandainya terjadi perubahan pun, pastikan pergeseran waktunya tidak banyak, yaitu sekitar 30 hingga 60 menit saja.Pasalnya, perubahan ritme tidur dapat membuat si Kecil sulit bangun pada hari berikutnya. Ini pun akan berpengaruh pada rutinitas pada hari itu dan jam tidur berikutnya.Itulah manfaat tidur untuk bayi, anak, dan remaja serta tips agar dapat tidur nyenyak.Bila pola tidur anak mengkhawatirkan buat Anda, jangan ragu untuk melakukan telekonsultasi dengan dokter dari Sleep Disorder Clinic di AlteaCare!Yuk, gunakan <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan buat janji dengan dokter andalan segera! Sumber:<ul><li>Sleep Foundation. Diakses pada Maret 2022. How Much Sleep Do Babies and Kids Need?</li><li>
National Institute of Health. Diakses pada Maret 2022. Study finds link between sleep habits and weight gain in newborns</li><li>
Tham, E. K., Schneider, N., &amp; Broekman, B. F. (2017). Infant sleep and its relation with cognition and growth: a narrative review. Nature and science of sleep, 9, 135.</li><li>
Science Daily. Diakses pada Maret 2022. Poor sleep in infancy linked to behavioral and emotional problems in toddlers</li><li>
Dreams UK. Diakses pada Juli 2022. 7 Ways Sleep And Creativity Are Linked</li><li>
John Hopkins Medicine. Diakses pada Maret 2022. The Importance of Sleep for Kids</li><li>
Wahyuningrum, E., Yulianti, N. R., &amp; Gayatina, A. K. (2020). Factors Affecting Sleep Problems in Preschoolers. Nurse Media Journal of Nursing, 10(2), 107-118.</li><li>
SCL Health. Diakses pada Maret 2022. Why It’s Time to Ditch the Phone Before Bed</li><li>
Stanford Children's Health. Diakses pada Maret 2022. Tips for better rest</li></ul>

5 Manfaat Tidur untuk Bayi dan Anak. Jadi Lebih Kreatif!

Vaksin HPV dapat melindungi kita dari paparan virus penyebab kanker serviks - AlteaCare | Foto: Envato

Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker pada wanita yang kerap kali baru diketahui saat sudah terlambat. Ironisnya, sebenarnya kanker yang satu ini termasuk yang dapat dicegah, salah satunya dengan pemberian vaksin HPV.Pada tahun ini, pemerintah telah memasukkan vaksin HPV ke dalam daftar imunisasi rutin wajib di Indonesia. Ini artinya, vaksin HPV bisa didapatkan secara gratis. Vaksin HPV adalah jenis vaksin yang memberli perlindungan terhadap infeksi human papillomaviruses (HPV). HPV adalah kumpulan yang terdiri atas 200 jenis virus. Sekitar 40 jenisnya menyebar melalui hubungan seksual.Selain itu, virus ini juga bisa menyerang organ tubuh lain, seperti anus, tenggorokan, penis, vulva, dan vagina.Hingga kini, ada empat jenis vaksin yang telah disetujui oleh WHO dan keempatnya memberi perlindungan dari virus HPV tipe 16 dan 18. Kedua tipe ini diketahui menjadi penyebab setidaknya 70% kanker serviks.Simak sejumlah fakta berikut agar supaya bisa lebih paham seputar manfaat vaksin ini!Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kehamilan%20dan%20Kesehatan%20Reproduksi/artikel/kenali-sejak-dini-8-ciri-ciri-kanker-serviks-ini-1632546550183" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Kenali Sejak Dini 8 Ciri-ciri Kanker Serviks Ini</a> 
<h2>7 Fakta Vaksin HPV yang Dapat Mencegah Kanker Serviks</h2>Inilah beberapa hal penting seputar vaksin HPV yang perlu diketahui para perempuan maupun orangtua yang memiliki anak perempuan:<h4>1. Tidak Menyebabkan Menopause</h4>Menurut salah satu hoaks di masyarakat, vaksin HPV dapat menyebabkan menopause. Isu ini tersebar melalui grup WhatsApp.Kementerian Kesehatan melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi telah menyatakan bahwa isu tersebut tidak benar. Vaksin HPV ditujukan untuk mencegah kanker serviks. Sementara menopause disebabkan oleh perubahan hormon seiring bertambahnya usia pada wanita.Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan hubungan antara vaksin HPV dan menopause.<h4>2. Mencegah Kanker</h4>Vaksin ini tidak dibuat dari virus HPV, baik dalam kondisi hidup maupun mati. Vaksin HPV terbuat dari protein tunggal yang terdapat pada lapisan luar virus.Setelah divaksin, tubuh akan membuat antibodi, yang nantinya dapat melawan virus sesungguhnya bila Anda sampai terkena paparan.<h4>3. Tidak Bikin Mandul</h4>Menurut penelitian, virus HPV dapat menyebabkan disfungsi seksual. Namun, hal ini tidak berlaku untuk vaksinnya. Dan, berita bahwa vaksin HPV juga menyebabkan kemandulan juga tidak benar. Seperti dilansir di situs Kementerian Komunikasi dan Informasi, setelah vaksin, kita memang akan mengalami reaksi seperti demam dan pusing selama kira-kira dua hari. Hal ini terjadi karena tubuh sedang membentuk antibodi untuk melawan virus.Namun, ini adalah kejadian ikutan pasca imunisasi yang normal, bukan tanda-tanda kemandulan, ya, Sobat Altea!<h4>4. Dapat Diberikan Untuk Wanita dan Pria</h4>Virus HPV salah satunya menyebabkan kanker serviks pada wanita. Namun, bukan berarti vaksin HPV hanya ditujukan untuk wanita.Sebab, virus ini juga dapat menyerang organ lain seperti penis, anus, dan tenggorokan. Jadi, pria pun bisa mendapatkan vaksin ini.<h4>5. Di Indonesia,&nbsp;Anak Perempuan Jadi Prioritas</h4>Terkait dengan kanker serviks, vaksin HPV akan lebih efektif bila diberikan sebelum seorang perempuan aktif secara seksual.Vaksinasi sedini mungkin pada anak dapat membantu pembentukan antibodinya sebelum menginjak usia remaja. Jadi, ketika virus HPV masuk ke dalam tubuh, sistem imun anak sudah siap untuk melawannya.Di Indonesia, pemerintah mencanangkan program vaksin HPV untuk anak perempuan kelas 5 dan 6 SD. Kegiatan vaksinasi ini dilakukan pada program kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), yang dilaksanakan setiap Agustus.Vaksin HPV diberikan dalam dua dosis, karena berdasarkan riset anak-anak berusia di bawah 14 tahun dapat membuat antibodi lebih banyak daripada mereka yang lebih tua usianya. Bagaimana jika sudah berusia di atas 14 tahun? Anda tetap bisa menerima vaksin HPV, namun dalam tiga kali dosis. <h4>6. Efektif Mencegah Paparan Virus</h4>Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal Current Problems in Cancer, vaksin HPV diperkirakan dapat menghilangkan 80% infeksi HPV secara global.Selain itu, vaksin juga dapat mengurangi tingkat keparahan sebesar 20%.Penelitian ini menyebut bahwa vaksin adalah pendekatan yang sangat menjanjikan dalam mencegah keparahan infeksi HPV.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kehamilan%20dan%20Kesehatan%20Reproduksi/artikel/awalnya-tanpa-gejala-inilah-7-penyebab-kanker-serviks-1644893451773" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">Awalnya Tanpa Gejala, Inilah 7 Penyebab Kanker Serviks </a> 
<h4>7. Efek Sampingnya Tidak Berbahaya</h4>Seperti halnya vaksin lainnya, vaksin HPV juga bisa menimbulkan efek samping atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Namun, jangan khawatir. Efeknya tidak membahayakan, kok!Beberapa keluhan yang dialami setelah menerima vaksin antara lain:<ul><li>Demam</li><li>
Pusing</li><li>
Kemerahan dan bengkak di sekitar area yang disuntik</li><li>
Mual</li><li>
Sakit kepala</li></ul>Dalam kasus yang sangat jarang, ada juga orang yang mengalami anafilaksis atau reaksi alergi yang berat. Bila sampai mengalami hal ini, sebaiknya segera datang ke instalasi gawat darurat.Itulah sejumlah fakta tentang vaksin HPV yang sangat penting untuk dipahami.Sobat Altea yang tertarik lebih jauh seputar vaksin HPV ini, baik untuk diri sendiri, pasangan, maupun anak, dapat berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter. Terutama bila Anda memiliki alergi berat terhadap obat-obatan tertentu.Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis berpengalaman di AlteaCare. Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" style="color: rgb(74, 134, 232);">AlteaCare </a>dan segera buat janji dengan dokter andalan! Sumber:<ul><li>National Cancer Institute. Diakses pada April 2022. Human Papillomavirus (HPV) </li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses Juli 2022. Kemenkes Tambah 3 Jenis Vaksin Imunisasi Rutin, Salah Satunya HPV</li><li>
WHO. Diakses pada Juli 2022. Cervical cancer</li><li>
Kementerian Komunikasi dan Informasi. Diakses pada April 2022. [HOAKS] Vaksin Kanker Serviks Sebabkan Menopause Dini</li><li>
Ceylan, B., &amp; Özerdoğan, N. (2015). Factors affecting age of onset of menopause and determination of quality of life in menopause. Turkish journal of obstetrics and gynecology, 12(1), 43.</li><li>
HPV Vaccine Cancer Council. Diakses pada April 2022. Facts about HPV and the HPV vaccine</li><li>
Kementerian Komunikasi dan Informasi. Diakses pada April 2022. [HOAKS] Vaksin HPV Bikin Mandul</li><li>
Laurent, J. S., Luckett, R., &amp; Feldman, S. (2018). HPV vaccination and the effects on rates of HPV-related cancers. Current problems in cancer, 42(5), 493-506.</li><li>
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada April 2022. HPV Vaccine Safety and Effectiveness Data</li></ul>

7 Fakta Vaksin HPV yang Mencegah Kanker Serviks

Orangtua perlu terus mendampingi anak dengan diabetes tipe 1 - AlteaCare | Foto: Envato

Setiap orang berisiko mengidap diabetes. Bahkan, anak-anak pun bisa mengalami gangguan diabetes tipe 1. Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan, jumlah diabetes pada anak usia 0-18 tahun terus mengalami peningkatan. Tentu hal ini membuat kita sebagai orangtua jadi waspada. Sebab, diabetes tidak bisa disembuhkan. Yang bisa dilakukan adalah menjaga kondisi diabetes pada anak supaya tidak memburuk.Jika memiliki anak dengan diabetes tipe 1, ortu perlu arahkan si kecil untuk lakukan pola hidup sehat dan skrining secara rutin ke rumah sakit. Demikian menurut dr. Maria Connie Untario, Sp.PD, dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Mitra Keluarga.Hal ini disampaikannya saat jadi narasumber pada live streaming AlteaTalk Episode 24 di Instagram AlteaCare (@altecare.id) Rabu, 25 Mei 2022 lalu, dengan tema “Diabetes tipe 1 pada Anak”.Berikut ini adalah beberapa hal menarik yang perlu dicatat oleh para orangtua.Yuk, simak lebih lanjut di sini!<h2>Kenapa anak kecil bisa kena diabetes?</h2>Sobat Altea pernah bertanya-tanya, kenapa anak yang baru lahir bisa didiagnosis mengidap diabetes tipe 1? Hal ini ternyata dikarenakan diabetes tipe 1 termasuk jenis penyakit bawaan atau genetik. Jadi, jika salah satu atau kedua orangtua memiliki riwayat diabetes, besar kemungkinan si Kecil juga akan mengidap penyakit tersebut.Menurut dr. Connie, gejala diabetes tipe 1 pada anak dapat terlihat sejak kecil. Misalnya, anak sering mengompol atau buang air kecil. Lalu, ia pun sering merasa haus yang berlebihan. Ini adalah beberapa gejala khas diabetes.Meski demikian, ada juga beberapa kasus anak dengan diabetes tipe 1 yang tidak menunjukkan gejala. Untuk itu, orangtua perlu lebih cermat memerhatikan perubahan pada si Kecil.Apabila ada gejala awal yang kurang jelas dan sedikit mengarah pada diabetes, jangan ragu untuk segera bawa si Kecil melakukan skrining di rumah sakit, kata dr. Connie.<h2>Orangtua perlu selalu mendampingi </h2>Saat si Kecil sudah didiagnosis diabetes tipe 1, hidupnya akan sangat berubah. Untuk itu, orangtua perlu mendampinginya dalam melalui setiap proses, agar ia bisa hidup dengan penyakitnya. Kondisi diabetes tidak lantas membuat si Kecil tidak boleh lagi bermain atau melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga. Orangtua tetap harus mendorongnya untuk aktif, karena olahraga bisa membantu menjaga kadar gula darahnya.Selain mengajak si Kecil rutin olahraga, berikut ini adalah beberapa hal lain yang perlu orangtua lakukan dalam perannya sebagai pengasuh dan pendamping anak dengan diabetes tipe 1:<h3>1. Memahami seputar suntik insulin</h3>Tubuh anak dengan diabetes tipe 1 tidak dapat memroduksi insulin. Itu sebabnya, menurut dr. Connie, anak perlu melakukan suntik insulin secara berkala.Dosis insulin akan ditentukan oleh dokter yang merawat. Dosis ini dilihat berdasarkan pola kadar gula anak selama beberapa minggu terakhir. Orangtua perlu mengetahui seluk-beluk penyuntikan insulin pada anak. Selain itu, juga memberi pemahaman pada si Kecil tentang pentingnya injeksi insulin bagi kondisi kesehatannya. <h3>2. Memberikan dukungan untuk anak</h3>Anak dengan diabetes tipe 1 memiliki kondisi khusus, tidak seperti anak-anak pada umumnya. Yang paling terlihat adalah dari kondisi fisiknya. Pada umumnya, anak dengan diabetes tubuhnya lemas karena kekurangan energi.Orangtua perlu memberi dukungan buat anak supaya tidak merasa terkucilkan. Komunikasikan juga kondisi anak pada sekolah agar anak merasa orang sekitar ada untuknya. <h3>3. Atur pola makan anak</h3>Menurut dr. Connie, karbohidrat adalah sumber gula. Maka dari itu, pilihlah makanan dengan indeks glikemik (IG) yang rendah. Hal ini akan membantu memperlambat produksi gula darah.Sementara bila si Kecil suka ngemil, sebaiknya hindari dan beralih ke camilan yang sehat dan rendah gula.Jangan lupa untuk konsultasikan kondisi anak secara rutin dengan dokter spesialis. Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare untuk membantu menangani diabetes tipe 1 pada anak.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>dan atur buat janji telekonsultasi segera!

Pentingnya Peran Orangtua Bagi Anak Dengan Diabetes Tipe 1

Ajarkan si Kecil untuk tetap mengenakan masker dan melakukan protokol kesehatan agar terhindar dari hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya - AlteaCare | Foto: Envato

Baru saja kasus penularan COVID-19 mereda, dunia sudah dihebohkan kembali dengan penemuan kasus hepatitis misterius. Agar dapat mengantisipasi, kita harus mengetahui gejalanya terlebih dulu.Hingga 10 Mei 2022, WHO telah mencatat 348 kasus probable untuk hepatitis berat di 21 negara di dunia. Penyakit misterius ini menyerang anak-anak, dengan kisaran usia satu bulan hingga 16 tahun. Di Indonesia, sudah ditemukan sebanyak 15 kasus hepatitis akut pada anak. Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan investigasi untuk mengetahui faktor risiko penyakit ini.Melansir dari laman Kementerian Kesehatan RI, hasil investigasi kontak memperlihatkan bahwa anak yang meninggal datang ke fasilitas kesehatan pada kondisi stadium lanjut. Akibatnya, tenaga kesehatan hanya punya sedikit waktu untuk melakukan tindakan pertolongan.Dari sini, para orangtua dapat satu pesan penting. Penting sekali untuk mengenali gejala dan tidak menunda-nunda untuk membawa si Kecil ke fasilitas layanan kesehatan.Yuk, simak sejumlah fakta mengenai hepatitis akut pada anak yang perlu diketahui.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/hepatitis-1648626865016" target="_blank">Hepatitis</a> 
<h2>5 Fakta Tentang Hepatitis Akut Pada Anak</h2>Pahami hal-hal penting terkait dengan hepatitis akut pada anak berikut ini:<h3>1. Dialami oleh anak-anak</h3>Hingga hari ini penyakit hepatitis akut ditemukan pada kelompok anak-anak. Sejumlah anak juga dilaporkan harus melakukan transplantasi hati.Bila ditelusuri, hepatitis akut ini diduga berkaitan dengan kasus di Alabama, Amerika Serikat, pada Oktober 2022-Februari 2022 lalu. DalamMorbidity and Mortality Weekly Report yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention pada 6 Mei 2022 lalu, dalam kurun waktu tersebut sebanyak 9 anak dirawat di rumah sakit Children’s of Alabama, dengan indikasi hepatitis berat.<h3>2. Penyebabnya misterius</h3>Penyakit hepatitis akut ini disebut misterius karena penyebabnya masih belum diketahui. Sangat penting bagi orangtua untuk mencermati adanya tanda-tanda hepatitis akut pada si Kecil.Melansir dari Kementerian Kesehatan, secara umum gejala awal hepatitis akut pada anak adalah:<ul><li>	Mual</li><li>
	Muntah-muntah</li><li>
	Sakit perut</li><li>
	Diare</li><li>
	Kadang dapat disertai demam ringan</li></ul>Jika kondisi anak memburuk, gejala yang dialami dapat berupa urine berwarna pekat seperti teh, feses atau BAB berwarna putih pucat, dan kulit berubah menjadi kuning. Segera bawa anak ke fasilitas layanan kesehatan supaya bisa mendapat diagnosis awal.Orangtua harus segera bertindak agar anak tidak sampai mengalami perburukan hingga si Kecil mengalami penurunan kesadaran. Ini menunjukkan bahwa kondisi infeksi hepatitis sudah sangat berat, yang disebut juga oleh dokter sebagai hepatitis fulminan. Pada tahap ini, kesempatan dokter untuk menolong anak menjadi semakin kecil.<h3>3. Tidak ditemukan keberadaan virus hepatitis</h3>Meski menyerang jaringan hati, dalam kasus penyakit ini tidak tidak ditemukan virus hepatitis.Mengutip Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI Tentang Kewaspadaan Terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya No.: HK.02.02/C/2515/2022, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan virus hepatitis tipe A, B, C, dan E. Beberapa jenis virus justru ditemukan pada beberapa kasus. WHO mencatat, dalam 74 kasus ditemukan adenovirus dalam tubuh pasien. Sementara itu, pada sebanyak 11,3% kasus di Inggris ditemukan adanya paparan SARS-CoV-2. Sejumlah kasus juga mendeteksi infeksi SARS-CoV-2 sekaligus adenovirus.Kasus hepatitis berat pada anak yang dilaporkan di Morbidity and Mortality Weekly Report pun menemukan adanya paparan adenovirus. Namun, dalam kasus ini tidak ditemukan adanya paparan virus SARS-CoV-2.Di Indonesia sendiri, hasil pemeriksaan pada tiga kasus awal juga tidak menemukan adanya virus SARS-CoV-2. <h3>4. Diduga berkaitan dengan adenovirus</h3>Dari banyak kasus yang terjadi di seluruh dunia, satu kesamaan yang muncul adalah temuan adenovirus tipe 41. Secara umum, virus adenovirus utamanya menyerang saluran cerna dan saluran pernapasan. Adenovirus dapat menyebar melalui kontak dengan orang lain. Sementara adenovirus tipe F41 biasanya menyebar melalui transmisi fekal-oral, atau dari kotoran atau feses yang tersentuh tangan, kemudian masuk ke mulut. Hal ini bisa membuat anak mengalami gejala seperti diare, muntah, demam, dan terkadan juga diikuti dengan gangguan pernapasan atas. 
Adenovirus tipe F41 juga sering jadi penyebab hepatitis pada anak yang punya gangguan imun (imunokompromais). Namun, para ahli masih belum bisa memastikan bahwa adenovirus punya peran pasti dalam fenomena hepatitis akut pada anak.Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/bayi-kuning-bisa-dialami-bayi-baru-lahir-ini-alasannya-1645430286073" target="_blank">Bayi Kuning Bisa Dialami Bayi Baru Lahir, Ini Alasannya	</a> 
<h3>5. Menjaga kebersihan bisa mencegah penularan</h3>Sementara para ahli bekerja keras untuk menemukan titik terang dari hepatitis akut yang menyerang anak, WHO mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan sebagai langkah perlindungan diri.Beberapa hal ini bisa Anda lakukan bersama seluruh keluarga, terutama anak-anak, untuk mencegah penularan hepatitis akut:<ul><li>	Ajari anak untuk rajin mencuci tangan menggunakan sabun</li><li>
	Ingatkan anak untuk tidak berbagi alat makan dengan orang lain</li><li>
	Pastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi matang</li><li>
	Jauhkan anak dari kontak dengan orang sakit agar tidak ikut terpapar</li><li>
	Perhatikan pengolahan sampah dan kotoran di rumah</li><li>
	Jaga kebersihan rumah agar tidak menjadi sarang virus</li></ul>Cegah juga penularan hepatitis akut melalui saluran pernapasan dengan selalu menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Ajak anak untuk disiplin pakai masker, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas yang tidak perlu. 
Itulah sejumlah fakta tentang hepatitis akut pada anak.Jika si Kecil mengalami gejala yang mengarah pada penyakit misterius ini, Anda bisa lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis anak di AlteaCare.Yuk, unduh aplikasi <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>supaya bisa segera buat janji dengan dokter andalan! 
 Sumber:<ul><li>Medscape. Diakses pada Mei 2022. Mysterious Hepatitis in Kids: What We Know and Don't Know Now</li><li>
Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI Tentang Kewaspadaan Terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya No.: HK.02.02/C/2515/2022</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Mei 2022. Pemerintah Lakukan Investigasi Kontak 3 kasus Hepatitis Akut Pada Anak</li><li>
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada Mei 2022. Hepatitis Akut Menular Lewat Saluran Cerna dan Saluran Pernafasan, Begini Cara Mencegahnya</li><li>
Baker, J. M. (2022). Acute Hepatitis and Adenovirus Infection Among Children—Alabama, October 2021–February 2022. MMWR. Morbidity and Mortality Weekly Report, 71.</li><li>
Kompas.com. Diakses pada Mei 2022. Menkes Sebut 15 Kasus Hepatitis Akut Terdeteksi di Indonesia</li></ul>

5 Fakta Tentang Hepatitis Akut Pada Anak. Cermati Gejalanya!

Tidak cuma bikin gemas, punya binatang peliharaan juga bikin kita lebih sehat - AlteaCare | Foto: Envato

Ada banyak alasan kenapa seseorang memelihara binatang di rumah, mulai dari anjing, kucing, ikan, hingga kura-kura dan burung. Yang jelas, setiap orang merasakan manfaat sehat punya hewan peliharaan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku anjing dan kucing yang menggemaskan, gerak-gerik ikan berenang di akuarium atau kolam yang menenangkan, suara burung yang bikin hati tenteram. Menurut sejumlah studi, kehadiran hewan peliharaan sangat bermanfaat buat kesehatan mental kita. Saat Perang Dunia Pertama, kelompok tentara Amerika bahkan sampai perlu membawa anjing saat bertugas. Salah satu tujuannya adalah supaya para tentara tidak mudah stres dan nyaman meski berada di medan perang.Seperti dilansir di Psychology Today, mengelus, memegang dan memeluk hewan dapat meningkatkan kadar hormon serotonin dan dopamin di dalam tubuh. Hasilnya, kita pun bisa merasa lebih tenang.Bila berinteraksi terus-menerus dengan peliharaan di rumah, kita pun jadi bisa mengelola stres dan mengatasi emosi-emosi negatif, seperti rasa cemas, sedih, bahkan depresi.<h2>Inilah 6 manfaat sehat punya hewan peliharaan</h2>Buat Sobat Altea yang pet lover atau sedang tertarik memelihara binatang, baik anjing, kucing, dan lain-lain, simak beberapa manfaat sehat yang bisa didapat:<h3>1. Hidup tidak lagi sepi</h3>Rasa kesepian dan terisolasi, apalagi seperti awal masa pandemi lalu, bisa berdampak buruk terhadap kesehatan mental. Hewan peliharaan mungkin tidak bisa diajak ngobrol, tapi mereka punya insting untuk memahami emosi kita. Kita pun serasa punya teman yang setia mendampingi hari demi hari. Menyentuh, mengelus maupun menggendong hewan peliharaan bisa mengatasi rasa sepi dan kita pun jadi lebih ceria.<h3>2. Bikin mood jadi positif</h3>Bad mood karena terjebak macet di perjalanan? Sampai di rumah lalu bermain dan melihat tingkah laku hewan peliharaan yang menggemaskan bisa bikin suasana hati jadi lebih baik dalam sekejap.Hal ini sejalan dengan penelitian dari John Hopkins Medicine, yang menunjukkan bahwa bermain dengan hewan peliharaan dapat meningkatkan hormon oksitosin. Hormon ini berguna untuk meredakan stres dan membuat kita lebih happy.Baca Juga:&nbsp;<a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kesehatan%20Jiwa/artikel/ini-dia-4-hormon-kebahagiaan-dan-cara-memaksimalkannya-1658399060154" target="_blank" data-abc="true">Ini Dia 4 Hormon Kebahagiaan dan Cara Memaksimalkannya</a><h3>3. Menurunkan risiko penyakit jantung </h3>Stres dan marah-marah bikin tekanan darah jadi tinggi? Waduh, kalau sering begini bisa-bisa bahaya buat kesehatan jantung Anda. Tapi kalau kita punya hewan peliharaan seperti anjing misalnya, mungkin akan berbeda ceritanya. Sebab, menurut penelitian yang dimuat di jurnal Circulation, orang yang memelihara hewan, khususnya anjing, memiliki denyut jantung istirahat dan tekanan darah yang lebih rendah. Saat stres sedang datang pun, para pemilik hewan peliharaan ini cenderung hanya mengalami peningkatan sedikit dalam denyut jantung dan tekanan darahnya. Ditambah lagi, setelah stres hilang kondisi denyut jantung dan tekanan darahnya pun bisa lebih cepat kembali ke normal.<h3>4. Bikin kita jadi lebih aktif bergerak</h3>Siapa yang sering mengeluh malas berolahraga? Bisa jadi bukan para pemilik anjing, yang setiap hari harus rajin mengajak kesayangannya ini berjalan-jalan di luar. Tidak heran kalau studi menyebukan bahwa kehadiran anjing bisa berpengaruh positif terhadap level aktivitas fisik pemiliknya. Dibandingkan orang yang tidak punya anjing, para dog lovers berjalan kaki 18,9 menit lebih lama setiap minggunya.Nah, ini bisa jadi solusi buat Anda yang sedang ingin turunkan berat badan atau perlu lebih banyak bergerak, ya!<h3>5. Meningkatkan imun anak</h3>Selain bisa menjadi teman bermain, hewan peliharaan juga bisa jadi “obat” buat pemiliknya. Apalagi buat mereka yang punya bayi di rumah.Anggapan umum bahwa bayi mudah sakit bila hidup bersama binatang peliharaan, ternyata tidak tepat. Mengutip dari WebMD, bayi yang dibesarkan dalam keluarga yang punya hewan peliharaan mungkin lebih kecil kemungkinannya mengidap alergi maupun asma.<h3>6. Teman terapi untuk anak berkebutuhan khusus</h3>Anak yang berkebutuhan khusus umumnya punya masalah pada sistem motorik tubuhnya. Nah, salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan menghadirkan hewan peliharaan sebagai “terapis”.Kehadiran hewan kesayangan bisa mendorong anak untuk aktif bermain, berinteraksi, serta melatih sensor motoriknya.Baca Juga: <a href="https://alteacare.com/konten/kategori/Kehamilan%20dan%20Kesehatan%20Reproduksi/artikel/hewan-peliharaan-yang-harus-dihindari-saat-hamil">6 Hewan Peliharaan yang Harus Dihindari saat Hamil. Hati-Hati, ya!</a>***Demikian manfaat sehat punya hewan peliharaan di rumah.Bila Anda tertarik untuk mengadopsi anjing, kucing, maupun jenis peliharaan lainnya, sebaiknya siapkan dulu rumah Anda. Dengan begitu, para hewan kesayangan juga bisa punya tempat tinggal yang layak dan tetap terjaga kesehatannya. Diskusikan dengan dokter spesialis apabila Anda atau anggota keluarga punya keluhan maupun gangguan kesehatan kronis, yang mungkin dapat terdampak bila memelihara hewan di rumah. Untuk berkonsultasi lebih cepat, Anda bisa memanfaatkan fitur video call konsultasi dengan dokter terpercaya melalui aplikasi AlteaCare.Yuk download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" data-abc="true">AlteaCare </a>dan buat janji dengan dokter andalan Anda segera!Sumber:<ul><li>The National WWI Museum and Memorial. Diakses pada Maret 2022. Dogs in WW1</li><li>
Psychology Today. Diakses pada Maret 2022. The Psychological and Physical Benefits of Having a Pet</li><li>
John Hopkins Medicine. Diakses pada Maret 2022. The Friend Who Keeps You Young</li><li>
Levine, G. N., Allen, K., Braun, L. T., Christian, H. E., Friedmann, E., Taubert, K. A., ... &amp; Lange, R. A. (2013). Pet ownership and cardiovascular risk: a scientific statement from the American Heart Association. Circulation, 127(23), 2353-2363.</li><li>
WebMD. Diakses pada Maret 2022. 6 Ways Pets Can Improve Your Health</li><li>
Verywell Mind. Diakses pada Maret 2022. How Owning a Dog or Cat Can Reduce Stress</li></ul>

6 Manfaat Sehat Punya Hewan Peliharaan. Bisa Perbaiki Mood!

<h2>Definisi Croup</h2>Croup adalah gangguan infeksi saluran pernapasan yang menyerang trakea, laring, dan bronkus. 

Infeksi ini menghalangi pernapasan dan menimbulkan ciri khas berupa suara batuk yang keras seperti menggonggong. Croup umumnya menyerang bayi dan anak-anak kecil. 
 <h2>Penyebab Croup</h2>Croup disebabkan oleh infeksi virus, biasanya virus parainfluenza. Virus ini menyebar lewat inhalasi langsung saat yang sakit sedang batuk atau bersin. Droplet yang terpercik dan mengandung partikel virus ini dapat bertahan hidup bila mengenai permukaan benda, seperti meja, gagang pintu, ataupun mainan. 
Penularan bisa terjadi bila kita memegang permukaan yang terkontaminasi, kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut. Virus masuk terutama melalui hidung dan nasofaring, kemudian menyebar dan menyerang laring dan trakea. 
 <h2>Faktor Risiko Croup</h2>Sebanyak 3% anak terkena croup setiap tahunnya. Gangguan ini lebih sering menginfeksi anak-anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun. Hal ini terjadi karena anak-anak memiliki saluran pernapasan yang lebih kecil dari orang dewasa. Karena itu, mereka pun lebih rentan mengalami croup. Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Croup

Croup

Autisme sering keliru dianggap sebagai gangguan kejiwaan - AlteaCare | Foto: Envato

Pertama kali melihat anak dengan gangguan autisme, apa yang Anda pikirkan? Aneh, atau gila? Atau, terbelakang? Ternyata semua ini tidak benar. Autisme bukanlah gangguan kepribadian, kejiwaan, ataupun kecerdasan.Gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder) adalah gangguan yang berkaitan dengan fungsi sistem neurologis (saraf) dan otak. Mengutip dari jurnal Paediatrica Indonesiana, autisme ditandai oleh gangguan pada kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi, serta perilaku yang cenderung diulang-ulang. Pada 2020, sekitar 16% anak di seluruh dunia mengalami gangguan autisme, dengan jumlah anak laki-laki tiga kali lebih besar daripada anak perempuan. Di Indonesia sendiri belum ada data yang pasti, namun diperkirakan gangguan ini dialami oleh sekitar 2,4 juta orang.Gejala autisme umumnya mulai terlihat saat anak berusia 3 tahun dan semakin jelas saat masuk usia sekolah. Namun, studi menyebutkan munculnya gejala autisme sudah dapat dilihat saat masih anak berusia 6-18 bulan. Misalnya, anak tidak merespons saat diajak berinteraksi. Masih kurangnya pemahaman masyarakat seputar gangguan yang satu ini menyebabkan munculnya banyak salah pemahaman maupun mitos tentang autisme. Apa saja itu?Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/3-mitos-tentang-campak-pada-anak-1631155232921" target="_blank">3 Mitos Tentang Campak Pada Anak</a> 
 <h2>Mitos seputar gangguan autisme pada anak</h2>Berikut ini adalah beberapa mitos dan miskonsepsi yang beredar seputar gangguan spektrum autisme:<h3>1. Anak jadi autis karena vaksin</h3>Miskonsepsi ini berawal dari sebuah penelitian yang tidak sesuai kaidah ilmiah pada tahun 1998, bahwa vaksin MMR bisa menyebabkan autisme. Vaksin MMR adalah jenis vaksin untuk mencegah penyakit measles (campak), mumps (gondong), dan rubella (campak jerman) pada anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia menegaskan bahwa vaksinasi MMR tidak berhubungan dengan autisme, serta tidak menyebabkan kemunduran pada perkembangan anak. Faktanya, hingga kini para ahli masih belum menemukan penyebab pasti gangguan autisme. Namun, melansir dari jurnal Paediatrica Indonesiana, ada sejumlah faktor yang bisa berpengaruh pada gangguan autisme, antara lain: <ul><li>	Faktor keturunan, seperti memiliki saudara kandung yang autistik </li><li>
	Usia orangtua cukup lanjut saat anak dilahirkan</li><li>
	Lahir dengan berat badan lahir rendah</li><li>
	Paparan zat teratogenik (bisa berasal dari logam berat dan racun lainnya) terutama pada masa awal kehamilan sang ibu </li><li>
	Ibu punya riwayat pernah terpapar infeksi virus saat&nbsp;hamil</li><li>
	Ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu selama kehamilan</li></ul><h3>2. Anak dengan autisme cenderung agresif</h3>Mengutip dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, gejala autisme dapat berkaitan dengan dua gangguan: <ul><li>	Komunikasi dan interaksi sosial. Tidak merespons saat diajak bicara atau ditanya, serta sulit menjalin hubungan sosial-emosional secara timbal balik dengan orang lain.</li><li>
	Pola perilaku atau aktivitas yang terbatas dan berulang. Misalnya, mengepakkan tangan, berputar, dan berlari bolak-balik. Aktivitas sehari-hari dianggap sebagai ritual yang dilakukan secara kaku, tidak boleh berubah sedikit pun. </li></ul>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, kurangnya reaksi anak autistik terhadap rangsangan dari luar membuatnya dapat bereaksi berlebihan atau tidak wajar. Terutama jika ada rangsangan nyeri, suhu, suara, atau tekstur benda. 
Gejala ini dapat mengganggu anak dalam berinteraksi sosial, bermain, maupun dalam aktivitas lainnya. Tak heran bila orang melabelinya sebagai anak agresif.<h3>3. Paparan gadget atau TV bisa menyebabkan autisme</h3>Anak yang terlalu sering bermain gadget bisa memperlihatkan perilaku yang mirip dengan anak autistik. Misalnya saja, anak jadi tidak responsif saat diajak berkomunikasi oleh orangtuanya. Namun, bukan berarti anak yang sering main gadget atau nonton TV lantas bisa mengalami autisme. Dan, bukan berarti juga gadget adalah penyebab autisme. Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/benarkah-hobi-main-gadget-bisa-bikin-anak-autis-1640779327741" target="_blank">Benarkah Hobi Main Gadget Bisa Bikin Anak Autis?</a> 
<h3>4. Anak autis bisa sangat cerdas atau punya gangguan kecerdasan</h3>Sebagian anak autisme dikenal memiliki keterampilan splinter atau splinter skill. Keterampilan ini membuatnya menonjol dalam bidang tertentu, seperti daya ingat, membaca, seni, musik, matematika, atau olahraga. Misalnya, bisa menyebut angka dari satu hingga satu juta pada usia 5 tahun atau mengingat daftar nama tumbuhan. Pada anak autistik, memiliki keterampilan splinter tidak berarti ia memahami apa yang dikuasai. Anak mungkin bisa membaca pada usia 3 tahun, tapi belum tentu paham arti kata yang dibacanya. <h3>5. Autisme adalah gangguan mental</h3>Autisme berkaitan dengan gangguan neurologis, tepatnya kelainan pada struktur otaknya. Karena, gangguan ini tidak bisa ditangani dengan pemberian obat, melainkan dalam bentuk terapi. Beberapa jenis terapi yang bisa diberikan pada anak autistik antara lain adalah:<ul><li>	Terapi perilaku</li><li>
	Terapi lewat permainan</li><li>
	Terapi okupasi</li><li>
	Terapi fisik</li><li>
	Terapi bicara</li></ul>Orangtua perlu bekerjasama dengan dokter spesialis anak, psikolog, serta terapis terkait supaya anak autistik bisa berkembang dengan baik. Bila Anda punya pertanyaan seputar autisme pada anak atau ingin berkonsultasi seputar kondisi si Kecil, coba lakukan telekonsultasi lewat AlteaCare. Di sini Anda bisa terhubung dengan berbagai dokter spesialis berpengalaman. Yuk, download <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare</a> sekarang! 
 Sumber:<ul><li>Aditya, C. J., Dahliana, J. K., Widodo, A. D., &amp; Sekartini, R. (2021). Autism spectrum disorder screening in children aged 16-30 months using the Modified Checklist for Autism in Toddlers-Revised (M-CHAT-R). Paediatrica Indonesiana, 61(5), 247-52.</li><li>
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Diakses pada Maret 2022. Hari Peduli Autisme Sedunia: Kenali Gejalanya, Pahami Keadaannya</li><li>
Healthline. Diakses pada Februari 2022. Everything You Need to Know About Autism Spectrum Disorder (ASD)</li><li>
Autism Association Western Australia. Diakses pada Februari 2022. What Are The Common Misconceptions Of Autism?</li><li>
Verywell Health. Diakses pada Februari 2022. 8 Things That Don't Cause Autism Autism isn't contagious</li><li>
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Maret 2022. Autisme: Adakah harapan?</li><li>
Verywell Health. Diakses pada Maret 2022. What Are Splinter Skills in Autism?</li></ul>

5 Mitos Tentang Autisme Pada Anak. Vaksin Salah Satunya!

Anak-anak lebih berisiko terhadap penyakit campak - AlteaCare | Foto: Envato

<h2>Definisi Campak</h2>Campak dikenal juga dengan sebutan measles, morbili, atau rubella (rubeola). Gangguan ini disebabkan oleh virus dan terbilang serius serta bersifat sangat menular. 
Penyakit campak hampir selalu bisa dicegah dengan vaksinasi. Sebab bila tidak dapat berakibat fatal pada anak kecil. 
 <h2>Penyebab Campak</h2>Campak disebabkan oleh virus dari keluarga paramyxovirus dan penyebaran terjadi lewat kontak langsung dan udara (airborne). Virus campak bisa hidup sampai dua jam di udara bebas setelah orang yang terinfeksi tidak lagi di tempat itu. 
Cara penularannya bisa digambarkan seperti ini: <ul><li>Seseorang yang terinfeksi cacar berpapasan dengan Anda, lalu batuk dan bersin. </li><li>Anda menghirup udara yang telah terkontaminasi atau memegang permukaan benda yang disentuh oleh orang tersebut, misalnya meja. </li><li>Bila setelah itu Anda tidak mencuci tangan, malah memegang mata, hidung, atau mulut, Anda dapat terinfeksi.</li></ul>
Saking sangat menularnya campak, bila ada satu orang yang terinfeksi, sekitar 90% orang di sekitarnya yang tidak memiliki imunitas akan terinfeksi. Orang yang terinfeksi bisa menyebarkan virus campak dalam jangka waktu sejak 4 hari sebelum hingga 4 hari sesudah ruam campak muncul. 
 <h2>Faktor Risiko Campak</h2>Beberapa kelompok ini memiliki risiko tinggi untuk terkena campak:<ul><li>
	Anak-anak yang belum mendapat vaksinasi campak. Tak hanya terhadap campak, komplikasinya juga berbahaya bagi anak, bahkan bisa menyebabkan kematian.</li><li>
	Orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap campak. Baik karena tidak pernah divaksin atau sudah vaksin tetapi kekebalan tubuh tidak terbentuk.</li><li>
	Ibu hamil yang belum divaksin campak</li></ul>
Campak masih sangat sering ditemukan di negara-negara berkembang, terutama pada sebagian wilayah Afrika dan Asia. Hampir lebih dari 95% kematian akibat campak terjadi pada negara dengan pendapatan per kapita rendah dan sistem infrastruktur kesehatan yang lemah. Halaman selanjutnya: Gejala, Diagnosis, Pengobatan Campak

Campak

Kegiatan rutin seperti memasak dan makan bersama anak bisa membentuk pola makan anak - AlteaCare | Foto: Envato

Memastikan anak selalu sehat, makan bergizi tiap hari, aktif bermain dan belajar, serta cukup tidur adalah tanggung jawab orangtua. Untuk itu, ibu dan ayah perlu memantau pola makan sang buah hati, sebab apa yang disantapnya dapat berpengaruh pada tumbuh kembangnya.Tahukah Sobat Altea, ternyata orangtua punya peranan besar dalam membentuk persepsi dan perilaku anak terhadap makanan? Menurut studi di jurnal Nutrients, lingkungan sekitar anak, terutama orangtua yang dijumpainya setiap hari, punya peran aktif dalam membentuk pola makannya hingga besar nanti. Pengalaman menikmati berbagai rasa dan aroma bisa mendorong anak memiliki pilihan makan yang lebih sehat. Uniknya, pengalaman ini juga dibangun lewat interaksi si Kecil saat makan bersama kedua orangtuanya. Dan, semua itu berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan. <h2>Bedanya pengalaman makan bersama ibu dan ayah</h2>Sebagian orangtua bisa kompak punya pola asuh yang sama untuk anak-anaknya. Tapi, sebagian lain bisa berbeda. Misalnya, ibu cenderung banyak aturan, sementara ayah lebih permisif. Nah, perbedaan pola asuh ini ternyata juga bisa terbawa saat orangtua harus memberi makan anak-anaknya. Apalagi kalau si Kecil sudah punya tendensi makan secara berlebihan atau makan menuruti emosinya. Saat makan bersama&nbsp;ibu:<ul><li>	Buat ibu, makan adalah aktivitas mengisi perut sehingga ia berfokus memastikan anaknya makan dengan benar.</li><li>
	Ibu memberi jenis dan porsi makanan yang sesuai dengan anak. Bila ada dua anak, porsi dan jenis makanan untuk anak yang suka makan dan yang picky eater bisa berbeda.</li><li>
	Selama makan, ibu cermat memantau apa yang masuk ke dalam mulut anaknya. Kalau ada satu jenis makanan dianggap sudah berlebih, anak bisa diminta berhenti makan, apalagi bila dia terbilang kegemukan.</li></ul>Saat makan bersama&nbsp;ayah:<ul><li>	Ayah memandang kegiatan makan sebagai interaksi sosial, yang memungkinkannya untuk bonding dan mendengar cerita pengalaman anak pada hari itu sementara sang ayah bekerja.</li><li>
	Ayah jarang memantau apa yang dimakan dan porsi makan anaknya, namun cenderung memaksa anaknya untuk makan.</li><li>
	Saat anaknya meminta jenis makanan tertentu, ayah cenderung memanjakan dan mengabulkan karena tidak mau ribut dan repot.</li></ul><h2>Apa yang memengaruhi anak dalam memilih makanan?</h2>Orangtua bisa punya pengaruh, tapi anak pun punya preferensinya sendiri. Berikut ini adalah hal-hal yang berperan dalam pilihan makan si Kecil:<ul><li>	Jenis makanan yang tersedia. Anak cenderung makan apa yang ada di sekitarnya. Bila di sekitar rumah banyak restoran cepat saji, mereka bisa saja sesekali minta makanan dari sana. Kalau porsi makannya sudah terbiasa banyak, ia akan selalu makan berlebihan.</li><li>
	Rutinitas makan. Kesibukan bekerja bisa bikin orangtua kesulitan menyediakan makanan yang bergizi dan makan bersama anak secara terjadwal. Anak jadi tak punya waktu makan yang pasti, sehingga bisa bikin ngemilnya jadi tak terkendali.</li><li>
	Kebiasaan atau ritual makan. Ada keluarga yang biasa menyantap buah sebagai penutup waktu makan. Atau, memasak makanan tinggi lemak di hari raya. Kebiasaan maupun ritual yang dibentuk oleh keluarga, agama, maupun budaya ini berpengaruh pada anak di kemudian hari. </li><li>
	Iklan. Melihat snack dan minuman manis di televisi bisa bikin si Kecil jadi korban iklan. Banyak studi menyebutkan kaitan antara marketing merek camilan dengan tingginya angka obesitas pada anak. </li><li>
	Emosi. Rasa bosan atau stres yang dialami anak sering berujung pada kebiasaan makan yang buruk atau emotional eating. </li></ul>
Baca juga: <a href="https://alteacare.com/article-detail/emosi-bikin-lapar-dan-makan-berlebihan-ini-penyebabnya-1642088680433" target="_blank" data-abc="true">Emosi Bikin Lapar dan Makan Berlebihan? Ini Penyebabnya!</a><h2>Cara mengubah pola makan anak</h2>Terlepas dari perbedaan pola asuh antara ayah dan ibu, orangtua perlu menanamkan kebiasaan makan yang baik pada anak. Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan: <ul><li>	Periksa kulkas dan dapur. Sediakan hanya bahan makanan yang sehat di rumah dan hindari menyimpan makanan instan maupun camilan tinggi gula.</li><li>
	Dorong anak makan lebih sehat. Awali waktu makan dengan menu sayuran. Menurut penelitian, trik ini bisa bikin anak makan 47% lebih banyak sayuran. Sajikan juga makanan anak secara khusus agar ia tertarik untuk makan.</li><li>
	Sering makan bersama. Jadikan setidaknya waktu makan malam bersama setiap sebagai momen keluarga. Matikan TV dan gadget selama makan supaya bisa fokus pada kegiatan makan.</li><li>
	Beri teladan pada anak. Si Kecil cenderung mengikuti apa yang dilakukan orangtua. Jadi, kalau orangtua ingin anak makan sayur, beri contoh dan jangan cuma bicara.</li><li>
	Pantau pola makannya. Bila si Kecil kerap cari makanan saat sedang stres atau emosi, jangan abaikan. Orangtua perlu mengenali pemicu stres anak, serta mengajarinya untuk mengenali emosinya.</li></ul> Buat SobatAltea yang masih bingung bagaimana membentuk pola makan anak yang baik, yuk coba lakukan telekonsultasi dengan dokter spesialis di AlteaCare. Segera unduh <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank" data-abc="true">AlteaCare </a>dan buat janji konsultasi sekarang, ya! 
 Sumber:<ul><li>Scaglioni, S., De Cosmi, V., Ciappolino, V., Parazzini, F., Brambilla, P., &amp; Agostoni, C. (2018). Factors Influencing Children's Eating Behaviours. Nutrients, 10(6)</li><li>
Harris, H. A., Jansen, E., &amp; Rossi, T. (2020). ‘It's not worth the fight’: Fathers' perceptions of family mealtime interactions, feeding practices and child eating behaviours. Appetite, 150, 104642</li><li>
Food Facts for Healthy Choices. Diakses pada Februari 2022. Parental Influence On Children’s Eating Habits</li><li>
University of Michigan Health. Diakses pada Februari 2022. Healthy Eating in Children: Things That Influence Food Choices</li></ul>

Pola Makan Anak Berantakan? Ortu Ternyata Punya Pengaruh

Jangan sepelekan demam pada anak, apalagi bila sudah berhari-hari-AlteaCare | Foto: Envato

Banyak orangtua cemas ketika anaknya demam, tapi tidak sedikit yang cenderung anggap sepele dan tidak ambil pusing. Mereka berpikir demam akan hilang dengan sendirinya, karena anak kepanasan sehabis bermain di luar. Atau, karena bayi lagi tumbuh gigi. Anda juga mungkin sering dapat tips mengatasi anak demam dari keluarga, teman, atau kerabat. Tapi, bisa jadi tips tersebut tidak dianjurkan oleh dokter.Nah, biar tahu dengan jelas cara mengatasi anak demam, simak infografik ini!<h2><img src="https://elasticbeanstalk-ap-southeast-1-270086613765.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/uploads/1647495614515-INFOGRAFIK-4%20Cara%20Mengatasi%20Anak%20Demam.%20Jangan%20Dianggap%20Remeh-AlteaCare.png" style="position: relative; inset: 0px; box-sizing: border-box; border: none; min-width: 100%; max-width: 100%; min-height: 100%; max-height: 100%;"> 

</h2> <h2>Fakta penting seputar demam pada anak</h2>Berikut ini adalah beberapa hal penting terkait demam pada anak:<h3>1. Demam bukan penyakit melainkan kondisi</h3>Hampir semua anak pernah demam. Dan, demam sebenarnya merupakan respons normal terhadap kondisi dalam tubuhnya. Anak bisa dikatakan demam apabila suhu tubuhnya mengalami peningkatan. Pada umumnya, suhu tubuh normal seseorang berada pada kisaran 36,1º-37,2º Celcius. Bila suhu tubuh si Kecil sudah mencapai 38º Celcius, berarti dia mengalami demam.<h3>2. Kriteria demam dapat berbeda-beda</h3>Setiap orang punya suhu tubuh berbeda-beda, sehingga kriteria demamnya pun tidak sama. Beberapa hal yang memengaruhi suhu tubuh seseorang antara lain:<ul><li>	Waktu pengukuran suhu: cenderung rendah di pagi hari dan lebih tinggi menjelang sore</li><li>
	Faktor usia: bayi dan anak-anak cenderung memiliki suhu tubuh lebih tinggi daripada remaja dan dewasa</li><li>
	Lain-lain: Level aktivitas, makanan, hingga siklus menstruasi (pada perempuan)</li></ul><h3>3. Infeksi adalah penyebab utama demam</h3>Selain akibat peradangan, beberapa penyakit akibat virus dan bakteri bisa menyebabkan anak mengalami demam. Contohnya seperti batuk-pilek, gastroenteritis, infeksi telinga, croup, atau infeksi saluran kemih. Pemberian imunisasi juga dapat menimbulkan kejadian ikutan berupa demam. Di masa pandemi seperti sekarang, kondisi demam anak juga bisa mengindikasikan paparan virus corona penyebab COVID-19.Yang perlu diperhatikan terkait penyebab demam:<ul><li>	Tidak seperti anggapan umum, hingga kini belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung bahwa proses tumbuh gigi pada bayi bisa menyebabkan demam. Seperti dilansir di WebMD, proses tumbuh gigi memang dapat meningkatkan suhu tubuh bayi, tapi hanya sedikit. </li><li>	Kebiasaan membedong atau membungkus bayi berusia di bawah tiga bulan dengan selimut bisa membuat badannya cenderung hangat seperti demam. </li></ul>
<h3>4. Cara memastikan demam pada anak</h3>Jangan ukur dengan menempelkan tangan ke dahi, leher, ataupun ketiak si Kecil. Anda perlu gunakan alat pengukur suhu atau termometer. Saat ini sudah tersedia berbagai jenis termometer, mulai dari termometer air raksa, digital, sensor inframerah, hingga termometer telinga digital maupun yang dimasukkan ke dalam telinga.Cara melakukan pengukurannya adalah:<ul><li>	Dimasukkan ke mulut. Bisa dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, yang sudah bisa menahan termometer dalam mulutnya. Pastikan si Kecil tidak habis minum yang panas atau dingin setidaknya 30 menit sebelumnya. Setelah digunakan, bersihkan dengan air dan sabun, lalu keringkan dan simpan dalam tempat yang aman.</li><li>
	Dijepit di ketiak. Untuk bayi atau anak yang belum bisa menahan termometer di mulut, pengukuran suhu bisa dilakukan di ketiak. Kondisi ketiak sebaiknya kering dan Anda perlu menekan siku si Kecil ke arah dadanya hingga beberapa menit atau sampai berbunyi tanda suhu sudah terukur.</li><li>
	“Ditembak” ke telinga. Termometer telinga bisa digunakan pada bayi dan anak. Tarik sedikit daun telinga anak, masukkan termometer ke lubang telinganya, tahan hingga hasilnya keluar. Bila menggunakan yang digital, cukup arahkan sensornya ke lubang telinga. Hasil pengukuran termometer telinga tidak seakurat termometer yang dimasukkan ke mulut. </li></ul><h3>5. Pantau terus kondisi demam anak</h3>Seperti dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, demam pada sebagian besar anak dapat dirawat di rumah. Namun, orangtua perlu terus memantau dan segera membawa anak demam ke dokter bila mengalami kondisi seperti berikut:<ul><li>	Bila berusia di bawah 3 bulan: seperti apa pun kondisinya harus segera ke dokter</li><li>
	Bila berusia 3-36 bulan: mengalami demam lebih dari 3 hari atau terdapat tanda bahaya, atau saat suhu tubuhnya termasuk tinggi ≥39ºCelcius</li><li>
	Untuk semua usia: saat suhu tubuhnya sudah lebih dari 40ºCelcius, mengalami demam disertai kejang, atau mengalami demam berulang selama 7 hari meski demam hanya beberapa jam </li><li>
	Bila memiliki kondisi penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, lupus, maupun ginjal</li><li>
	Bila anak mengalami demam disertai ruam</li></ul>Waspadai tanda bahaya saat anak demam, misalnya menangis terus, gelisah, atau sulit bernapas. Atau, anak tidak merespons, lalu bibir, lidah, dan kukunya tampak kebiruan. Manfaatkan layanan telekonsultasi di <a href="http://onelink.to/alteacare" target="_blank">AlteaCare </a>untuk dapat petunjuk penanganan kondisi darurat demam sambil Anda bersiap menuju rumah sakit terdekat. 
 Sumber:<ul><li>Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses pada Februari 2022. Demam: Kapan Harus ke Dokter?</li><li>
Barbi, E., Marzuillo, P., Neri, E., Naviglio, S., &amp; Krauss, B. S. (2017). Fever in children: pearls and pitfalls. Children, 4(9), 81.</li><li>
UpToDate. Diakses pada Februari 2022. Patient education: Fever in children (Beyond the Basics)</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022. Fever</li><li>
WebMD. Diakses pada Februari 2022.Can Teething Cause a Fever?</li></ul>